Bella dengan cepat menghabiskan sarapannya. Tadi malam Brandon meneleponnya, dia berkata jika pagi ini akan ada Meeting penting dengan client dari luar. Dan tadi pagi ia sedikit kesiangan.
“Kenapa buru-buru sekali? Ini belum jam tujuh.” Ramma, sang papa membuka suara melihat puterinya yang sedikit tergesa-gesa tidak seperti biasanya.
“Kak Brandon ada Meeting penting pagi ini, dan aku kesiangan.”
Ramma tersenyum melihat puterinya yang saat ini sedikit lebih disiplin dengan waktu.
Issabella Aditya, Puteri tunggalnya tersebut adalah sosok yang cantik, mirip dengan Mamanya. Gadis ini pintar, kepintaran yang tentu saja menurun darinya, cantik menurun dari sang Mama, belum lagi keterampilan bela dirinya yang di latih langsung olehnya.
Namun sayang, Bella memiliki sedikit sikap buruk. Gadis ini cenderung cuek, dingin, jutek, tidak suka menghiraukan orang-orang di sekitarnya, dan dia susah sekali di atur.
Mungkin karena memang anak tunggal dan di manja seluruh anggota keluarganya, maka Bella tumbuh menjadi sosok yang seperti itu. Beberapa bulan yang lalu, Ramma berinisiatif memperkerjakan Bella di kantor Brandon. Bukan tanpa alasan, karena saat itu Brandon memang sedang membutuhkan sekertaris pribadi. Lagi pula ini juga menjadi suatu rencana utama untuk masa depan Bella. Dan sejak bekerja di kantor Brandon, sedikit banyak Bella sudah berubah. Ia menjadi lebih disiplin dengan waktu, sedikit menghargai orang-orang di sekitarnya, dan dapat berinteraksi dengan lebih baik dengan teman-teman sekantornya.
“Bell, Mama dengar Aaron sudah pulang, ya?”
Bella mendengus, lagi-lagi nama sialan itu yang di sebut pagi ini. Apa nggak bisa sehari saja tanpa ada nama itu di dengar oleh telinganya?
“Iya, memangnya kenapa, Ma?”
“Dia tampan nggak?” goda sang Mama.
Bella memutar bola matanya ke arah sang Mama. “Mama ngapain sih nanyain itu? Mau setampan apapun kalau sikapnya menjengkelkan juga nggak ada yang tertarik, Ma.”
“Memangnya mama nyuruh kamu tertarik sama Dia?”
Dan Bella pun tersedak dengan roti yang sedang di makannya. Astaga, kenapa selalu seperti ini sih? Selalu saja dia di kait-kaitkan dengan seorang Aaron Revaldi. Sejak kecil hingga sebesar ini. Apa mereka tidak tahu bagaimana bencinya Bella dengan sosok Aaron?
“Sudah sayang, jangan goda dia terus, pipinya sampai merah kayak kepiting rebus.” Kali ini Ramma ikut menggoda puterinya tersebut.
Bella berdiri dengan kesal. Menegak habis susu yang ada di hadapannya. “Papa sama Mama sama saja. Aku berangkat.” ucap Bella dengan nada ketus khas nya.
“Biar di antar sama supir sayang.” Ramma mengingatkan.
“Enggak, aku lebih suka naik Busway.” Bella lalu mencium kedua pipi Mama dan Papanya sambil berpamitan dan pergi meninggalkan sang Mama dan Papa yang saling pandang dengan kepergian Bella.
“Dia mirip kamu. Keras kepala.” ucap Ramma sambil melirik ke arah Shasha, istri yang sangat di cintainya.
“Tapi kamu suka, kan?”
“Ya sangat.” jawab Ramma dengan pasti. Keduanya saling tersenyum saat kehangatan menyelimuti suasana di antara mereka.
***
“Mama.”Aaron berlari ke arah meja makan sambil mencium pipi sang Mama.
Di sana sudah ada Nessa dan Alisha yang menyiapkan Sarapan pagi di meja makan, Sang kakak, Brandon yang sudah rapi dan sedang menggendong putera pertamanya. Dan juga sang Ayah, Dhanni, yang tadi malam baru pulang dari luar kota kini sudah duduk tegap dengan koran di tangannya.
“Duhhh, kenapa lagi sih teriak-teriak?” Tanya Nessa pada putera bungsunya tersebut.
Aaron hanya memperlihatkan cengiran khasnya sambil memutar-mutar dasi yang ada di tanganya. Ya tentu saja, Nessa tahu apa maksudnya. Aaron minta di pakaikan dasinya. Sudah menjadi kebiasaan umum jika para lelaki di rumah tersebut sangat malas mengenakan dasinya sendiri
“Dasar manja.” Kata Nessa sambil mencubit hidung mancung puteranya tersebut.
“Mama harusnya menikmati saat-saat terakhir memasangkan dasi untukku.” ucap Aaron membuat Nessa sedikit heran.
“Saat terakhir? Maksudmu?”
“Maksudnya, sebentar lagi akan ada yang memasangkan dasi untuknya, Ma.” Kali ini Brandon yang ikut menjawab.
“Benarkah? Siapa?” Nessa bertanya penuh dengan antusias.
“Mama akan tahu nanti.”
Nessa tersenyum. “Paling juga nggak jauh dari Issabella Aditya.” goda Nessa.
Sedangkan Aaron hanya bisa tertawa lebar. “Doakan saja Ma.” Aaron lalu memilih duduk di sebelah sang kakak. “Gimana, lo sudah ngurus semua untuk gue, kan?”
“Ya, gue sudah ngurus semua demi lo.”
“Thanks. Lo memang abang terbaik gue.” ucap Aaron menepuk-nepuk bahu kakaknya tanpa tahu sopan santun.
‘Bell, tunggu saja, aku akan kembali menarikmu kedalam duniaku.’ Tekat Aaron dalam hati.
***
Bella duduk dengan gelisah di Halte Bus. Dia tidak sedang menunggu Bus, tapi sedang menunggu jemputan pribadinya.
Dimas, lelaki yang sudah menjadi kekasihnya selama dua tahun terakhir. Mereka sangat dekat sejak SMA dan dua tahun yang lalu keduanya sepakat menjadi sepasang kekasih.
Hubungan mereka bukanlah suatu hubungan yang mulus-mulus saja. Sampai saat ini, Bella masih belum memberitahukan kepada kedua orang tuanya tentang hubungannya dengan Dimas tersebut. Bukan karena Bella tak ingin serius dengan Dimas, tapi lebih karena Sang Papa terlalu pilih-pilih siapa yang cocok menjadi kekasihnya.
Berkali-kali sang papa menolak mentah-mentah lelaki pilihannya saat para lelaki itu bertandang ke rumahnya. Bella bingung, sebenarnya Type seperti apa sih pilihan sang Papa? Akhirnya saat ia dan Dimas sepakat menjalin sebuah hubungan, mereka akhirnya sepakat untuk berhubungan secara diam-diam.
Seorang lelaki dengan motor bebeknya berhenti tepat di hadapan Bella. Bella menatap lelaki tersebut sambil menyunggingkan sebuah senyuman. Dimas, lelaki yang di cintainya.
Dimas Lelaki yang sederhana, dia bekerja di bagian administrasi di sebuah perusahaan swasta di kota ini. Posisinya tentu jauh dari yang di harapkan Papa Bella, tapi Bella tidak menyerah, ia mencintai lelaki ini, jadi ia harus mempertahankannya.
“Maaf aku telat, tadi macet.” ucap Dimas sambil memberikan Bella sebuah helm yang biasa di kenakan Bella saat di boncengnya.
“Nggak apa-apa, nggak telat-telat amat kok.”
“Katanya kamu ada rapat pagi ini.”
“Ya seperti itulah, tapi waktunya masih cukup kok.” ucap Bella sambil tersenyum manis. Bella yang memang biasa bersikap cemberut, dingin dan cuek, namun berbeda ketika berhadapan dengan Dimas.
“Ayo naik.” ajak Dimas. Bella akhirnya naik ke atas motor tersebut, dan mereka akhirnya melaju menuju tempat kerja Bella.
***
Selalu tampil mempesona, begitulah sosok Aaron Revaldi. Ini adalah hari pertamanya memasuki kantor milik keluarganya sendiri. Sebelumnya, gosip tentang kehadirannya memang sudah ramai di bicarakan di kalangan pegawai kantor, tapi tetap saja, kedatangan Aaron untuk pertama kalinya ini benar-benar membuat sesak para pegawai wanita di kantornya tersebut.
Bagaimana tidak, Aaron terlihat sangat tampan dengan senyuman khasnya, wajahnya imut menurun dari sang Mama, sedangkan postur tegapnya mirip dengan sang Papa dan kakaknya hanya saja ia sedikit lebih kecil. Ramah pada setiap orang, sedikit berbeda dengan Brandon yang cenderung lebih pendiam dan sedikit dingin pada bawahannya. Belum lagi gelar yang dibawanya dari Harvard University, sungguh, Aaron menjadi paket lengkap bagi siapapun yang ingin memiliki sosok suami yang sempurna.
Aaron berdiri di sebelah jendela besar di ruangan sang Kakak, sambil melihat ke luar jendela, ia sesekali berbicara dengan kakaknya yang sibuk dengan beberapa berkas di mejanya.
“Kenapa dia belum datang?” tanya Aaron tanpa mengalihkan pandangannya dari arah luar jendela.
“Mungkin terjebak macet.” jawab Brandon cuek.
“Harusnya lo menyediakan fasilitas untuk dia, Brand.”
Brandon menatap adiknya itu dengan seksama. “Om Ramma nyuruh dia kerja di sini supaya bisa mandiri, kalau gue nyediain fasilitas untuknya, sama saja dia kerja di tempatnya sendiri.”
Aaron megembuskan napas dengan kasar. “Setelah dia jadi bawahan gue, gue yang akan memberinya fasilitas.”
“Lo nggak profesional.”
“Gue nggak peduli.” ucap Aaron cuek. “Gue hanya mau yang terbaik untuknya.”
Brandon tersenyum. “Lo benar-benar gila karena seorang Issabela.”
“Lo juga pernah gila karena seorang Angel.” Keduanya lalu sama-sama tertawa.
Tak lama Aaron mengehentikan tawanya ketika melihat seorang wanita turun dari sebuah motor dengan seseorang lelaki yang memboncengnya. Itu Wanita yang sama dengan wanita yang kemaren, motor yang sama, dan pastinya lelaki yang sama.
Sial!! Bella di antar oleh lelaki kemarin sore yang menjemputnya.
“Brand, o kenal dia siapa?” tanya Aaron yang sontak membuat Brandon berdiri menuju ke arah Aaron yang masih berdiri di depan jendela.
Brandon mengamati pria dan wanita yang di maksud Aaron. “Gue nggak kenal, tapi mungkin mereka ada dalam suatu hubungan, Bella memang sering di antar jemput oleh lelaki itu.”
“Sial!” umpat Aaron.
Brandon tersenyum melihat kelakuan sang adik. “Kenapa? Lo merasa tersaingi?” Aaron hanya diam tak menghiraukan kata-kata Brandon.
-TBC-
Bella benar-benar gugup. Ia telat, sangat telat malah. Ini sudah hampir jam setengah sepuluh siang, dan ia baru sampai di kantor Brandon. Ahh semoga saja Brandon tidak marah dengannya karena keterlambatannya.Tadi, selain macet, ternyata yang membuat Bella terlambat adalah Ban motor Dimas yang tiba-tiba bocor. Dan itu membuat Bella terlambat sampai jam setengah sepuluh sekarang ini. Bella tak memikirkan dirinya, mungkin Brandon nanti hanya akan marah dengannya, tapi bagaimana dengan Dimas? Bisa saja Dimas akan di marahin habis-habisan oleh Bos nya karena terlambat. Dan itu membuat Bella tidak tenang.Bella merapikan pakaianya saat sebelum membuka pintu ruangan Brandon. Ia menghela napas panjang lalu mulai mengetuk pintu di hadapannya tersebut.Setelah mengetuk, Bella akhirnya masuk dan langsung meminta maaf atas keterlambatannya pada Brandon.“Maaf Pak, saya-” Bella menghentikan kalimatnya ketika mendapati sosok itu duduk santai di sofa di dal
Aaron kembali ke kantor dengan senyuman lebarnya, sedangkan Bella dengan kekesalan yang sudah naik di kepalanya. Dengan tengilnya, Aaron menyuruhnya ini dan itu padahal mereka baru saja sampai di kantor. Belum lagi sikap Aaron yang seakan tak serius bekerja.“Nih, kopinya.” kata Bella dengan ketus.“Thanks Bell, ngomong-ngomong, malam ini kamu ada waktu nggak?”“Nggak.”“Oke, nggak apa-apa kok, aku juga nggak pengen ngajak kamu janjian, hahhaha” ucap Aaron dengan tawa lebarnya yang langsung membuat Bella mendengus kesal.Bella lalu menuju ke meja kerjanya. Ya, dengan permintaan sialannya Aaron, Bella yang saat ini menjadi sekertaris pribadi Aaron akhirnya di buatkan meja kerja sendiri di ruangan Aaron.Bella benar-benar tak habis pikir. Seniat ini kah seorang Aaron mengerjainya?“Bella.” panggil Aaron dengan nada menggoda.“Kamu mau apa lagi sih?”
Bella menghempaskan tubuhnya di ranjang besar di dalam kamarnya. Ahh sangat nyaman, pulang pada waktu hujan tadi benar-benar membuatnya kesal, akhirnya setelah puas menunggu hujan reda hingga jam 6 sore, ia menyerah, dan berakhir menelepon supir rumahnya untuk minta di jemput.Dan disinilah sekarang dirinya, telentang di ranjang besar Queen Sizenya. Bella merasa ada yang sedang membuka pintu kamarnya, akhirnya ia bangun dan mendapati sang Mama sudah berada di sana dengan nampan yang penuh dengan cemilan dan susu cokelat panas.“Capek sayang?” Sang mama menaruh nampan di meja kecil sebelah ranjang Bella, lalu duduk di pinggiran ranjang tepat di sebelah Bella.Bella mengangguk. “Duhh, kapan sih Ma, aku bisa keluar dari perusahaan Kak Brandon?” tanya Bella dengan nada sedikit kesal.“Memangnya kenapa? Kamu nggak betah? Perasaan selama enam bulan terakhir ini kamu nggak pernah mengeluh kerja di sana.”&ldquo
Bella mendorong jauh-jauh tubuh Aaron ketika mereka sudah berada di dalam ruangan Aaron. Harusnya tadi ia menginjak keras-keras kaki lelaki ini atau mendorongnya sekuat tenaga hingga lelaki ini terjungkal. Namun nyatanya, ia tidak enak. Tentu saja karena beberapa karyawan lelaki yang satu lift dengannya tadi yang selalu memperhatikan setiap gerak-gerik mereka berdua.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Aaron dengan nada jengkelnya.“Harusnya aku yang bertanya apa yang kamu lakukan? Kamu itu atasan di sini, apa pantas melecehkan bawahannya seperti tadi?”Aaron mengangkat sebelah alisnya. Lalu berjalan pelan mendekat ke arah Bella. “Melecehkan? Sepertinya kata itu terlalu berlebihan.” ucap Aaron penuh intimidasi, sedangkan kakinya masih berjalan pelan menuju ke arah Bella.Meski Bella masih mengangkat dagunya, kakinya masih saja melangkah mundur, ia tidak ingin terpengaruh oleh tatapan Aaron, tapi di sisi lain, ia berpik
“Karena dia calon istriku.”Aaron menatap wajah Bella yang masih menyiratkan rasa keterkejutannya. Wanita itu nampak tak percaya dengan apa yang di dengarnya, wajah Bella tampak memucat, seakan takut akan sesuatu, dan itu membuat Aaron tidak suka.Sial! Kau sudah menakutinya sialan!! Aaron merutuki dirinya sendiri.Secepat kilat Aaron merubah ekspresi wajahnya. Ia menatap Bella dengan senyuman lebarnya, lalu Ia mulai tertawa terbahak-bahak seakan menertawakan Bella dan Dimas yang masih shock dengan kata-katanya tadi.Bella mengerutkan keningnya karena heran dengan apa yang di lakukan Aaron, lelaki di hadapannya itu tampak menertawakannya. Ada apa? Apa yang membuat Aaron tertawa terbahak-bahak seperti itu? Apa ada yang lucu dengan dirinya?“Wajah kalian lucu tau nggak.” kata Aaron masih dengan tawa lebarnya.“Apa maksudmu?” tanya Bella dengan wajah bingungnya.“Kal
Bella benar-benar kesal karena sejak tadi ada yang mengetuk pintunya. Jika itu sang Mama tentu saja mamanya itu akan segera membuka pintunya dan masuk ke dalam, tapi jika itu salah satu pelayan rumahnya, mereka jelas tidak akan mengetuk pintu kamarnya berkali-kali saat dirinya tidak ingin di ganggu seperti saat ini.Dengan malas Bella bangkit dari ranjangnya dan membuka pintu kamarnya tersebut. Alangkah terkejutnya saat ia menatap sosok yang paling tak ingin ia temui di dunia ini, Aaron dengan seringaian liciknya.“Hai Bell.”“Kamu? Ngapain kamu ke sini?”“Aku ada perlu sama kamu.” kata Aaron dengan santai.“Maaf, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi. Aku sudah mengajukan surat pengunduran diri dan segala apapun yang berhubungan dengan kontrak, Papaku yang akan mengurusnya.”Aaron menyandarkan tubuhnya di pinggiran pintu kamar Bella, ia mengambil sebuah amplop cokelat yang berada di dalam saku
Bella melemparkan tubuhnya di atas ranjang besarnya. Wajahnya masih memerah. Ia meraba sepanjang bibirnya, di sana masih terasa panas, bekas ciuman intens yang di berikan oleh Aaron. Ciuman yang sarat akan kerinduan yang menggebu. Apa lelaki itu merindukannya? Ayolah Bell, jangan mudah percaya lagi. bisik Bella pada dirinya sendiri.Bella masih mengingat bagaimana Aaron memperlakukannya tadi. Membuat jantungnya kembali berdetak tak menentu, membuat tubuhnya seakan panas dingin karena ucapannya.*** Lumatan itu terhenti, bibir mereka masih sangat dekat bahkan masih sedikit menempel satu sama lain. Desah napas bersahutan di antara keduanya. Hening, tak ada kata. Keduanya hanya diam, seakan saling menikmati satu sama lain. Telapak tangan Aaron masih menangkup kedua pipi Bella, ibu jarinya sesekali mengusap lembut pipi wanita di hadapannya tersebut, mengagumi kecantikannya, kelembutannya yang seakan membuat Aaron menegang s
Paginya, mau tak mau Bella kembali masuk kerja, sedikit malu karena kembali menginjakkan kaki di kantor lelaki yang sangat di bencinya itu, tapi mau bagaimana lagi, ia terikat dengan kontrak. Lagi pula sang papa sepertinya sangat mendukung Aaron, sebenarnya ada apa sih dengan Papanya dan juga Aaron?Bella masuk ke dalam ruangannya yang satu ruangan denga Aaron, ternyata di dalam sana sudah duduk Aaron di kursi kebesarannya dengan wajah seriusnya dan juga berkas-berkas kerja di hadapannya.Bella canggung, ingin menyapa atau tidak. Jika tidak, maka akan terlihat sangat tidak sopan, bagaimanapun juga Aaron adalah atasanya.“Selamat pagi pak.” sapa Bella sedikit hormat.“Pagi.” hanya itu jawaban Aaron.Entah kenapa jawaban Aaron membuat Bella tak suka. Aaron tidak terlihat seperti biasanya, Dia terlihat bersikap cuek pada diri Bella, dan entah kenapa Bella merasa tidak nyaman dengan semua itu.Bella lalu bergegas duduk di