Share

3. Butiran Nasi Bikin Keki

Guncangan pada bahuku menyadarkan diriku kalau aku tertidur. Ya ampun. Aku menoleh ke sekelilingku. Hem ... rupanya Pak Andro menghentikan mobilnya di tepi jalan yang sepi. Puas melihat sekeliling aku beralih menatap ke arah Pak Andro.  Aku kaget karena Pak Andro yang sedang menatapku dengan intens. Aku deg-degan berharap Pak Andro khilaf sehingga hal yang iya-iya akan kami lakukan.

Pak Andro mencondongkan tubuhnya semakin mendekat ke arahku, otomatis aku memepetkan punggungku hingga mentok ke pintu. Tubuhnya semakin mendekat, membuatku gugup dan semakin berharap. Akhirnya, kututup mataku, menunggu dengan jantung berdebar-debar.

Semenit, dua menit, lima menit sesuatu yang kuharapkan terjadi sama sekali tak terjadi. Pelan-pelan kubuka mataku. Tampaklah wajah ganteng Pak Andro yang sedang menatapku dengan tatapan geli dan senyum mengejek.

"Kamu berharap saya cium? Sorry ya, mantanku aja yang kupacari selama dua tahun gak saya apa-apain, kamu yang bukan siapa-siapa malah berharap aku apa-apain. Tuh, ilap lagi ilernya. Makin banyak tahu."

Gubrak!!!

Rasanya aku benar-benar ingin menjatuhkan diri ke atas kasur. Malu sumpah! Entah kenapa sejak sejam yang lalu aku sudah dua kali mempermalukan diri di depan Pak Manajer yang terhormat. Sungguh, ini bukan momen romantis yang ingin kukenang karena sudah memperlihatkan muka ileran di depan pria tampan.

"Hehehe. Maaf, Pak. Sepertinya Ibu saya dulu pernah ngidam tapi gak keturutan sama Bapak. Makanya, sayanya suka ileran. Hehehe." Aku pun hanya bisa beralasan.

"Ck. Nomer rekening kamu berapa? Cepat sebutkan!" titahnya sambil mengambil ponselnya.

"Nomer rekening? Buat apa Pak?" tanyaku bingung.

"Buat transfer uang sepuluh juta. Sebagai bayaran karena kamu sudah menjadi pacar pura-pura saya seharian ini."

"Gak usah, Pak. Setelah dipikir-pikir, saya jangan dibayar. Takut gak berkah uangnya, dari pada Bapak kasih sepuluh juta tapi gak berkah, saya minta sumbangan dua ratus ribu aja. Buat biaya hidup empat hari sebelum tanggal satu," ucapku sambil tersenyum manis.

Pak Andro menatapku tajam. Tatapannya membuatku sedikit merinding.

"Hehehe. Kalau Bapak gak berkenan, bolehlah saya pinjem dulu. Nanti gajian saya lunasi utang saya, Pak."

Pak Andro tidak menjawab, dia hanya merogoh sakunya. Membuka dompet dan mengeluarkan lima lembar uang kertas berwarna merah muda.

"Ini." Dia mengulurkan uang itu ke arahku.

"Buat saya? Atau Bapak ngutangi saya?"

"Buat sedekah saya, sama orang miskin."

"Alhamdulillah." Aku langsung mengambil lima lembaran kertas dari Pak Andro. Tak lupa pula kuambil tangannya dan langsung kuciumi dengan takdim.

Cup cup cup.

"Makasih Pak. Bapak baik banget sumpah. Saya doakan rejeki Bapak lancar terus dan dapat jodoh wanita sholehah."

Cup cup cup.

Aku masih mencium tangan kanannya berulang-ulang. Pak Andro memekik keras sambil menarik tangannya hingga terlepas dari ciuman mautku.

Pak Andro menarik beberapa lembar kertas tissue dan melemparnya ke arahku. Dia sendiri mengambil lagi dan langsung menggunakannya untuk mengelap punggung tangan kanannya.

"Kamu, jorok. Hiii ... ilermu nempel semua nih!"

Aku menutup mulutku, mencoba menahan tawa. Ya ampun, lupa aku tadi habis bangun belum ngelap iler. Dengan memasang wajah sok manis, aku mengambil lembaran tissue yang tadi dilempar Pak Andro. Masih memasang wajah sok manis, aku membersihkan area mulut, dagu sampai pipi. Kemudian mengulas senyum manis sambil kedip-kedipin mata. Pak Andro hanya menatapku jijik bahkan tubuhnya begidik.

Masa bodolah, dia mau jijik kepadaku atau tidak. Penting aku udah dapat sedekah darinya. Mayan lima lembar uang kertas berwarna merah muda. Hahaha.

****

Aku berjalan dengan hati riang gembira. Sesekali mengusap perutku yang kekenyangan. Alhamdulillah, rejeki gadis baik hati, tidak sombong dan suka sedekah senyum benar-benar sedang kurasakan.

Rupanya dugaanku benar, rantang empat susun dari Bu Laras isinya adalah cumi saus tiram, gurameh bakar, kering kentang super pedas dan ayam goreng beserta sambalnya. Duh baiknya, tadi malam sudah kuhabiskan cumi saus tiramnya. Tadi pagi aku sarapan dengan gurameh bakar. Dan aku masih punya kering kentang dan ayam goreng buat bekal makan siang dan makan malam. Plus sedekah dari Pak Andro yang masih aman tersimpan di dompet. Bahagiaku ternyata semudah itu.

"Woi, Nia."

Aku menoleh dan tersenyum pada Gita.

"Loh gak barengan sama Heri, Ta?"

"Enggak. Heri nganter calon bininya dulu. Aku jadi gak bisa nebeng. Terpaksa ngojeg."

"Oooo."

Kami melangkah menuju kantor sambil sesekali bercerita. Sampai di bagian pantry utama di lantai satu, kami pada OG dan OB segera berkumpul kecuali Deswita dan Aryo yang baru nikah dan lagi honeymoon.  Menurut sumber yang terpercaya yaitu si biang gosip alias Shelomita, Aryo dan Deswita sama sekali gak bulan madu. Yang ada mereka cuma pindah dari kontrakan Gita menuju ke kontrakan Aryo beberapa jam setelah resepsi selesai. Dan menurut sumber terpercaya juga, katanya Aryo dan Deswita sedang dilanda banyak hutang gara-gara ngadain resepsi besar-besaran di kampung Deswita kemarin.

Ya ampun! Semoga besok pas aku nikah, bapak ibuku gak perlu ngutang-ngutang sampai harus bingung bayarnya. Lagian si Aryo, cuma kepala pantry aja gayanya selangit. Pakai nyewa gedung mewah, katering mewah dan MUA mahal. Buat apa pakai jasa MUA mahal-mahal kalau pada kenyataannya cantikan dandananku daripada Deswita. Jiah, kibas rambut manjah pokoknya.

Srrtttt. Zak!

Nah, anggap aja bunyi kibasan rambutku kayak gitu. Dah ah, males ngomongin mantan mending fokus sama tugas harian sebagai OG dengan hati riang gembira dan senyum indah menawan hati para pria tampan.

Seperti biasa aku melaksanakan tugasku sebagai OG yang pekerjaannya seakan tak pernah berhenti. Membersihkan ruangan dari ujung atas sampai bawah belum lagi harus selalu siap siaga jika para karyawan membutuhkan bantuan kami. Beliin ini, beliin itu, ambilin ini, ambilin itu. Bolak-balik naik turun tangga atau lift sudah hal biasa. Namanya juga OG, emangnya bos tinggal main perintah doang.

Waktu makan siang adalah waktu terbaik bagi kami para OB dan OG untuk beristirahat. Meski pada prakteknya kami masih harus mengurusi pekerjaan dan tidak bisa istirahat.

Aku yang sejak tadi terus bergerak macam 'kitiran' segera mengempaskan pantatku di salah satu kursi yang ada di pantry. Suasana sangat sepi, sepertinya rekan-rekanku yang lain sedang istirahat juga. Aku segera membuka bekalku, menatanya di meja dan segera memakannya. Baru juga dua suapan sudah ada seseorang yang memanggilku.

"Ya?" Aku menoleh ke arah pintu dan tampaklah sosok yang tak asing lagi.

"Bikinin saya kopi."

"I-iya, Pak."

Aku segera mengelap mulutku dengan lengan baju dan segera memanaskan air untuk menyeduh kopi pesanan Pak Andro. Sambil menunggu air matang aku melanjutkan makan secepat kilat. Teko yang berisi air berbunyi bersamaan dengan suapan terakhirku.

"Alhamdulilah."

Segera aku minum air putih, merapikan bekas makanku dan bergegas menuju ke kompor untuk mematikan kompor gas. Selanjutnya, kutuangkan air panas pada racikan kopi yang sudah kubuat. Mengaduknya dengan putaran searah jarum jam sebanyak sebelas kali.

'Kopi hitam pekat nan wangi siap dihidangkan.'

Aku segera membawanya dengan nampan menuju ke ruangan Pak Andro.

"Permisi, Pak. Saya mau mengantarkan kopi."

"Masuk."

Aku pun segera masuk dan menaruh kopi di meja Pak Andro.

"Permisi, Pak."

"Tunggu!"

Aku yang niatnya akan berbalik jadi urung dan kembali menatap ke arah Pak Andro.

"Iya, Pak."

Pak Andro mengawasiku dengan tatapan tajamnya. Aku jadi sedikit kikuk.

"Kamu, cewek yang kemarin, 'kan?"

"Hehehe. Iya, Pak. Pacar sehari semalamnya Bapak."

Aku hanya bisa memasang wajah manis dan menampilkan senyuman semanis madu. Berharap dengan ini, bisa membawaku kembali menjadi pacar seharinya dan bisa bertemu dengan Bu Laras yang baik hati. Soalnya aku berniat mau ngembaliin rantang empat susun milik Bu Laras, syukur pas pulang malah tuh rantang balik lagi padaku dan diisi lagi sama makanan. Hahaha, cerdas kan akunya.

"Ya udah, balik sana!"

Apa? Cuma gitu doang. Ya elah, Pak. Kirain aku mau dikasih sumbangan lagi. Dengan sedikit memberengut aku berbalik dan segera berjalan menuju pintu, namun belum sempat aku menarik gagang pintu, Pak Andro kembali memanggilku.

"Iya, Pak."

Pak Andro menunjuk ke arah ujung bibir kirinya.

"Itu, ada butiran nasi di bibir kamu. Bersihin dulu!"

Mataku membulat, aku segera mengambilnya dan ulala, beneran dah! Ada tiga butir nasi yang masih nempel di ujung bibir. Dengan menahan rasa malu aku segera keluar dari ruangan Pak Andro.

Setelah berada di luar, segera kumasukkan tiga butir nasi ke dalam mulut dan mengunyahnya. Meski kesal, aku masih ingat kalau membuang-buang makanan itu dosa. Jadi weslah, dimakan saja.

"Haduh, Nia. Kamu ini suka bener mempermalukan diri di depan cowok ganteng. Beneran gak kece banget jadi kamu. Cewek lain nampilin wajah cantik-cantik tersipu malu. Kamu malah nampilin wajah kurang duit, muka ileran sama doyan makan. Duh!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status