Share

2. Ngeces

Aku mencoba menutup mulutku rapat-rapat dari godaan makanan yang menggiurkan. Jangan tanyakan sudah berapa kali aku meneguk ludah, berkali-kali pokoknya. Makanya jangan sampai ... jangan sampai aku membuka mulut, pasti aku bakalan ngeces. Tuh iler bakalan keluar semua. Duh, gak kece tahu, gadis cantik terlihat norak di depan calon mertua sehari doang. Uhuk!

Ya, Bapak Manager yang terhormat membawaku ke rumahnya di kawasan perumahan elit di Jakarta. 

"Ayo, Nak Nia dimakan, jangan cuma dilihatin aja." 

"Nggih, Tante."

"Ayo-ayo jangan malu-malu. Ambil apa pun yang kamu mau."

"Nggih, Om."

Akhirnya dengan semangat dua ribu dua dua, aku mulai mengambil piring. Menaruh nasi dan beberapa lauk lalu aku serahkan piring itu pada Pak Andro. Tak lupa kuulas senyum termanis yang aku punya. Pak Andro menatapku tajam tapi kubalas dengan senyum terkembang.

Entah karena dia pun sama laparnya denganku atau karena ingin terlihat natural sebagai pacar dadakan, dia menerimanya juga. Bahkan bonus lengkungan bulan sabit pada bibirnya. Aku melongo pemirsah, shock. Ternyata Bapak Manajer tambah tampan kalau lagi senyum. Untung tadi aku mengiyakan permintaannya. Lumayan, dapat senyum gratis hohoho. 

"Nia tinggal dimana?"

"Di-"

"Di kompleks apartemen di Nirvana Romance," sambar Pak Andro. Aku memilih diam.

"Oh, ya?"

"I-iya," jawabku terbata.

"Kerja apa?"

"Ja-"

"Staff marketing."

Aku melotot ke arah Pak Andro sedangkan tatapan Pak Andro seolah menyiratkan agar aku diam saja. Manut. Akhirnya aku memilih ikut alur cerita yang disusun Pak Andro. (Padahal yang nyusun cerita kan Mamak Bai_Nara)

"Sudah berapa lama?"

"S-"

"Setahun." Lagi-lagi pertanyaan dari Bu Laras, mamahnya Pak Andro dijawab oleh Pak Andro sendiri. Ya sudahlah, mending aku nikmatin makan malam aja toh tukang jawab pertanyaan sudah siap menghadang.

"Ooooo."

"Asli mana?"

"Banyumas." Kali ini aku yang menjawab. Banyumas is the best pokokmen. Walaupun bahasa kami mungkin terdengar aneh di telinga orang tapi aku bangga menyandang status Wong Banyumas. Syukur sih ditambahin Wong Banyumas yang sudah nikah plus kawin. Dan yang nambahin Pak Andro. Hahaha.

"Kok dari tadi kamu yang jawab sih, Dro. Kenapa bukan Nia?" 

"Kan sama saja, Mah."

"Ck. Kamu nih!"

Akhirnya Bu Laras membahas hal lain yang bisa aku jawab dengan sangat baik. Setelah makan malam, Bu Laras dan Pak Andreas, papahnya Pak Andro mengajakku ngobrol. Mungkin karena dasarnya aku cerewet dan suka mempermalukan diri, aku dan kedua orang tua Pak Andro sejak tadi mengobrol seru bahkan sesekali diselingi tawa. Pak Andro? Gak tahu dia dimana. Setelah acara makan malam selesai, dia menghilang dengan alasan ada telepon penting. Tapi sudah satu jam dia tidak kembali. 

"Nia."

"Nggih, Tante."

Bu Laras mendekatkan duduknya di sampingku. Dia menggenggam kedua tanganku dengan erat.

"Saya tahu, kamu bukan pacarnya Andro. Saya gak tahu dia nemu kamu dimana dan dia jadikan kamu pacar bohongan karena alasan apa."

What? Jadi Bu Laras tahu? Mukaku memucat lalu kulirik Pak Andreas yang tersenyum simpul ke arahku. Aku meringis, jujur aku merasa takut.

"Gak usah takut! Kita paham kok, kita gak akan menyalahkan kamu. Saya memang gak ngerti alasan kamu mau jadi pacar pura-pura anak saya. Tapi ... satu hal yang Tante minta sama kamu. Kalau kamu nanti jadi pacar anak saya beneran, tolong jangan sakiti hati anak saya ya? Jangan tinggalin Andro. Andro itu emang anaknya kaku, dingin, gak bisa gombal, makanya Jelita selingkuh sama Bintang, sahabatnya."

Wow, mulutku menganga. Helow, orang ganteng, perfect, banyak duit ternyata bisa ditikung sama teman juga? Apa kabar aku yang biasa aja dan gak ada duit? Ternyata benar. Aksi tikung menikung pacar orang memang lagi nge-hits.

"Kamu bisa kan Kania?" Wajah Bu Laras tampak memohon. 

Aku membalas genggaman Bu Laras lalu tersenyum.

"Kania gak pernah mimpi Pak Andro bisa jatuh cinta sama Kania, Tante. Kania sadar diri. Kania bukan siapa-siapa. Lagian ya Tante, Kania juga baru ditinggal mantan nikah sama mantan sahabat. Mereka selingkuh di belakang Kania. Padahal mantan Kania gak seganteng dan sekeren Pak Andro. Lah, sama yang gak ganteng aja Kania di-kick out apalagi sama Pak Andro hehehe."

"Hahaha. Jadi sama-sama mantan yang terbuang ini ceritanya?"

"Oooo, no no no Tante. Kania bukan mantan yang terbuang tapi mantan yang mengalah dengan elegan."

"Hahaha. Kamu lucu. Ngomong-ngomong kamu kerja apa?"

"Hehehe, OG Tante."

"Serius?"

"Ciyus, Tante. Kalau sekolah Kania tinggi ditunjang jabatan yang kece di kantor pasti deh Kania ikut dalam barisan merebut hati Bapak Manajer yang terhormat. Tapi karena Nia cuma OG, Kania cukup jadi pengagum aja."

"Hahaha, kamu lucu."

"Makasih, Om. Biasanya pada bilang Kania gila, bukan lucu."

"Hahaha." 

Entah apa yang aku pikirkan. Yang aku tahu, karena kebohonganku sudah diketahui sama orang tua Pak Andro ya sudahlah mending jujur aja sekalian. Ternyata setelah aku jujur, bukannya memarahiku, keduanya malah semakin mencandaiku. 

Kami bertiga semakin mesra. Bahkan Pak Andreas kini sedang bercerita sambil sesekali membanyol sementara Bu Laras mengimbangi banyolan sang suami. Herman aku, ini Pak Andro sikap kutubnya niru siapa ya? Emak bapaknya kocak begini. Lah ... apa jangan-jangan dia adalah anak yang tertukar atau terbuang? Anak pungut gitu? Tapi wajahnya menurun garis wajah Pak Andreas dan kulitnya nurun emaknya. Duh! Tau ah, penting aku udah makan malam.

Pukul sembilan malam aku pamit. Kedua orang tua Pak Andro mengantarku sampai di depan bahkan Bu Laras membawakanku beberapa lauk yang tadi terhidang di meja makan. Aku menerimanya dengan tangan terbuka rantang empat susun di atas kedua tanganku. Hap, langsung kupeluk sayang tuh Rantang. Hohoho, asik besok tinggal masak nasi. Cihuy, ngirit. Hahaha.

"Makasih ya Kania. Jangan lupa kapan-kapan main lagi."

"Pasti Tante."

"Hati-hati ya Nak, Andro jangan ngebut. Pastikan Kania sampai di apartemennya dengan selamat." Ada nada geli dalam suara Pak Andreas sedangkan aku menunduk, demi menutupi tawaku. Ya ampun.

"Iya. Andro berangkat dulu, Pah. Mah."

"Hati-hati."

"Kania pulang, Tante, Om. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumslaam."

Kami berdua akhirnya masuk dalam mobil. Sepanjang perjalanan tak ada obrolan dari kami. Namun sejak tadi aku tak bisa tak senyum. Sesekali aku menatap rantang empat susun yang ada di pangkuanku bahkan kadang mengelus mesra. Tak sabar rasanya untuk melihat isinya. Aku harap isinya, cumi saus tiram atau gurameh bakar yang tadi ada di depan Pak Andreas. Karena kedua lauk itu letaknya jauh dari jangkauanku makanya aku tak berani mengambilnya.

"Tissue di depan." Suara dingin mampir di telingaku membuatku gelagapan.

"I-iya. Kenapa?"

"Itu tissue di depanmu."

"Tissue? Buat apa?"

"Buat lap iler kamu, tuh netes?"

"Hah?!" Mataku membelalak. Aku segera bercermin pada kaca yang ada di tengah mobil. Astagana yang dulu sering nongol di stasiun ikan terbang tunggangannya Raja penuh wibawa bernama Anglung Darmawan. Beneran ngeces ternyata. Duh! Malunya.

Dengan wajah tertunduk, aku mengambil beberapa helaian tissue dan segera mengelap tumpahan liur yang sudah memetakan diri di sekitar dagu. Ah! Bodoh kau Nia, cewek lain itu jaim gitu. Pasang aksi kemayu, kalem dan elegan. Lah ini kamu malah kasih tampang ileran. Duh! Aku nanti harus telepon Bapak, mau ngomelin dia. Ini pasti gegara Ibu dulu ngidam tapi gak diturutin sama Bapak. Hadeh!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status