Aku menghentikan aktivitas lari pagiku. Mengelap keringat lalu menoleh ke belakang ke arah empat soulmateku. Siapa lagi kalau bukan Heri, Shelomita, Anastasya dan Gita. Ulala, apa maksud mereka? Ngajakin lari pagi malah pada sibuk selfi. Ya wis, aku memilih lari lagi. Rambutku yang panjangnya sepunggung sengaja kukuncir dan memakai topi.
Puas berkeliling sebanyak dua putaran, aku memilih berjalan santai sambil memandang ke sekeliling. Sejak tadi terlihat banyak cowok menatapku sambil kedip-kedip, menebar senyum bahkan menyapa. Tetapi tak kugubris sama sekali. Bukannya aku sok jual mahal tetapi karena di sampingku tadi ada cewek cantik banget yang berlari beriringan denganku. Mana tuh kulit mulus banget, licin guys, matanya sipit dengan wajah khas keturunan Tionghoa. Makanya, walau sejak tadi ada yang lirik-lirik, senyum-senyum bahkan kedip-kedip ke arahku, gak tak gubris. Takut salah tafsir. Takut GeEr mengira lagi tepe-tepe sama aku jebule malah maring wong wadon neng jejerku (ternyata sama perempuan di sebelahku). Aku gak kuat nahan malunya, guys. Jadi mending pasang muka kalem dan sok gak kenal. Yeah.
Setelah berjalan santai sebanyak lima putaran, aku memilih beristirahat, duduk di bawah pohon dan menyelonjorkan kaki, tak lupa lap keringat sana-sini dan terakhir meminum air kemasan yang kubawa. Airnya sengaja kupilih yang tawar, bukan yang manis-manis, soalnya aku udah manis. Hoek.
"Woi, kamu dari mana aja, Nia? Kita cari-cari kok gak ada?"
Aku melirik malas ke arah Gita yang muncul bersama kawan-kawan.
"Kalian nyari aku di mana?"
"Di sebelah sana." Shelomita menunjuk ke bagian depan Monas. Aku semakin memutar bola mata.
"Kamu kemana, Non? Kita cari-cari, loh." Heri langsung duduk di sebelahku.
"Habis muterin Monas, kan niat aku ke sini olahraga bukan olah mata," sindirku dan hanya dibalas oleh para soulmateku dengan derai tawa.
Kami pun mulai bercerita ngalor ngidul ngetan ngulon berhenti ketika mentok gak ada topik obrolan. Lalu berlanjut ghibah lagi begitu menemukan tema ghibahan. Tiba-tiba, Anastasya memberi kode ke arah kami.
"Guys tengok arah jam delapan."
Refleks empat kepala menoleh bersamaan. Woha, si Papan Datar sedang olahraga pemirsa. Otomatis mata keempat gadis cantik penghuni pantry PT. Samudra Pelita fokus pada objek tampan idaman jutaan perempuan.
"Masya Allah, nikmat Tuhan mana yang bisa kudustakan melihat pahatan makhluk Tuhan bernama Andromeda Bagaskara. Duh! Bisa gak sih aku jadi kaos jerseynya aja, atau jadi lap keringetnya juga gak papa. Rela gue." Anastasya mulai ngedrama.
"Kamu benar, boleh gak sih, aku bermimpi jadi pacarnya, selingkuhan juga boleh." Gita ikut-ikutan menyuarakan isi hati.
"Sssttt, itu Pak Andro. Dia kemari," bisik Shelomita begitu semangat. Dia bahkan sengaja memasang senyum termanis saat Pak Andro melewati kami. Kedua teman perempuanku pun melakukan hal yang sama termasuk aku. Tetapi walau senyum pepsodent sudah kami tebarkan, Pak Andro seperti tak melihat kami berempat. Dia tetap berlari tanpa tengok kanan kiri. Padahal, kami berempat plus Heri sudah merasa gigi kami kering gara-gara tersapu oleh angin.
"Kita dicuekkin gitu? Astaga!" Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Gita.
"Ho'oh."
"Iya."
"Betul."
"Yap, sepertinya kita harus menginjak bumi guys, jangan main-main mulu di antariksa." Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Semua sahabatku menoleh ke arahku. Aku membalas tatapan mereka.
"Aku salah ngomong? Enggak, 'kan?"
"Bahasamu loh, Nia. Sok banget," sinis Heri padaku.
"Dih! Kania gitu, jabatan boleh OG, otak no KW KW apalagi weka weka. Udah ah, aku mau lari lagi, ada yang ikut?"
Sesuai dugaanku, empat kepala menggeleng. Bahkan masing-masing sudah mengeluarkan ponsel dan siap memasang aksi buat selfi. Ya sudahlah, emang adanya mereka kayak gitu.
*****
Aku mengibas-kibaskan tanganku ke area mulut. Tak lupa menjulurkan lidah. Pedaaaas. Busyet dah, ternyata cabenya cabe setan semua. Padahal kupikir cabe lagi mahal makanya pakenya cabe-cabean eh ... beneran cabe rupanya.
"Duh, mana airku habis. Ternyata siomaynya pedes." Aku masih memasang ekspresi kepedasan, lalu bermaksud mengambil minum ke arah pantry. Sebuah uluran tangan datang ke arah wajahku saat pantatku baru saja terangkat setinggi sepuluh senti. Kulirik siapa si empunya. Uwow, si Pak Manajer yang terhormat rupanya.
"Eh, Bapak. Siang Pak."
"Hem."
"Makasih, Pak. Tahu aja Kania butuh sedekah air."
"Ck. Udah kelihatan dari ekspresi kamu."
"Hehehe."
Aku langsung mengambil air mineral yang disodorkan oleh Pak Andro lalu kembali memakan siomay yang tinggal sedikit. Ini jam makan siang, jadi kami para OB dan OG sedang istirahat juga. Kalau aku, memilih membeli siomay dan duduk di pojokan balkon lantai enam. Sengaja gak turun, takut tergoda jajan. Duitku lagi minus.
"Duitmu habis, ya? Kok cuma makan siomay?" Pak Andro berkata dengan ekspresi datar, suara biasa aja tapi membuat hatiku sedikit terluka.
"Ish, Bapak. Gak usah ngomong bener deh Pak. Bikin hati Kania sakit, Pak. Macem habis dijanjiin mau dikawinin tapi gak dinikahin. Nyesek." Sengaja aku mengelap mataku dengan ujung baju.
"Gak usah lebay."
"Aih, si Bapak. Tahu aja kalau aku lebay, eh mau minta gak Pak, tapi udah kugigit ujung plastiknya."
Kusodorkan plastik berisi siomay dengan ujung yang sudah terbuka ke arah Pak Andro. Dia hanya menatap jijik ke arah siomay yang ada dalam genggaman tanganku.
"Gak mau? Ya udah, padahal ada cap bibirku loh Pak. Pasti manis dan bikin Bapak ketagihan."
Pletak.
"Aduh! Sakit Pak. Bar-bar bener deh, pantas ceweknya selingkuh orang si Bapak gak romantis. Cewek itu suka banget bibirnya diubek-ubek sama bibir pacarnya bukannya dianggurin, Bapak."
Pletak. Lagi sebuah jitakan mampir di keningku.
"Otakmu perlu dirukyah, tahu."
"Ya elah, Pak. Kok tahu?"
Pletak.
Aku cuma bisa mengerucutkan bibir. Semenjak tragedi jadi pacar pura-pura walau sehari doang, Pak Andro semakin semena-mena padaku. Tentu aksinya hanya berlaku jika kami hanya berdua. Entah berapa kali, keningku ini dijitak sama dia. Belum lagi bibirku yang sering sekali kena ciuman dari benda-benda yang dia pegang. Entah map, kertas, pulpen, buku, koran. Cuma satu aja tuh yang kagak kena yaitu ciuman dari bibir tebalnya. Ups!
"Habiskan makanmu, buatin saya mie instan super pedas!"
Aku melongo, mie instan? Super pedas?
"Yakin ini Bapak mau makan mie instan?"
"Hem."
"Okelah."
Selesai menghabiskan siomay, aku segera menuju ke pantry. Memanaskan air, mengambil cabai, memotongnya, mengambil mie instan dan memasukkan ke dalam rebusan air mendidih. Tak lupa menambahkan irisan cabai. Dalam waktu lima menit, mie instan pesanan Pak Andro sudah matang.
Baru saja, aku hendak mengantar ke ruangan Pak Andro, eh si Pak Manajer yang terhormat sudah menghampiri dengan langkah gontai. Dia langsung duduk di kursi. Segera kusodorkan semangkuk mie instan di hadapannya.
Pak Andro sejak tadi hanya mengaduk-aduk mie tanpa memakannya. Aku yang gemas akhirnya merebutnya.
"Kalau Bapak gak niat makan mie, mending buat saya saja, Pak."
Tanpa meminta persetujuan, aku langsung memakan mie dengan semangat. Bahkan suara kunyahan dan seruputan dari mulutku begitu kencang terdengar.
"Enak?"
"Banget."
"Heh."
Pak Andro mengambil air minum dan meneguknya. Dia kembali mengembuskan napas kasar. Ckckck, patah hati emang melelahkan sepertinya. Aku pun merasa kasihan sama dia, duh! Yang lagi patah hati. Aku pun pernah merasakannya, untung cepat move on. Demi rasa persaudaraan sesama umat yang pernah diselingkuhi sama pacar, aku pun berusaha menghibur Pak Andro.
"Semangat dong, Pak. Hati boleh patah tapi napsu makan jangan berubah. Rugi jadinya. Lagian si Bapak kan ganteng? Ntar nyari yang lebih cantik dari Mbak Jelita kan bisa."
Pak Andro menatapku dengan tatapan sendu. Duh, beneran dah si Mbak Jelita udah salah langkah, mengkhianati lelaki baik kayak Pak Andro demi lelaki lain yang ... ah, begitulah.
"Apa aku harus jadi badboy ya, agar pacarku gak berpaling dariku?"
"Eh, jangan Pak. Jadi coolboy aja, kek sekarang. Banyak cewek yang suka coolboy kayak Bapak kok."
"Serius?'
"Seribu rius."
"Termasuk, kamu?'
"Yes, makanya Kania terima kalau Bapak nembak saya. Tapi ditembaknya pakai hati ya Pak jangan pakai pistol. Kania masih pengen hidup. Belum ngerasain kawin juga. Atau Bapak mau kawinin Kania? Kania bersedia kok."
Pak Andro menatapku dengan tatapan tajam.
"Maksud kamu?!" Terlihat rahang Pak Andro sudah mengeras, raut mukanya sedikit memerah.
Aku tertawa.
"Kenapa kamu tertawa. Emangnya lucu, kamu minta dikawinin sama saya, hah?!"
"Ya emang lucu, Pak. Kania seneng kok, andai bisa kawin sama Bapak."
"Kania!" bentak Pak Andro. Suaranya menggelegar dan dia sudah berdiri.
"Hahaha."
"Kania!"
"Gak usah marah deh Pak, jelas Pak Andro gak bakalan mau kawin sama Kania. Orang kalau Pak Andro mau kawin sama Kania, syaratnya Pak Andro kudu ngasih mas kawin sama Kania yang banyak pokoknya. Bapak mau?"
Pak Andro terdiam, mukanya yang awalnya memerah karena marah perlahan-lahan mengendur. Dia duduk kembali, menggeleng-gelengkan kepala lalu langsung menyerobot mangkok di depanku.
"Ngomong sama kamu bikin darah tinggi," gerutunya sambil menyendokkan mie lalu memasukkan ke dalam mulut.
"Hahaha, kan Kania antik, Pak."
"Iya, perlu dimusiumin."
"Ditaruh di kamar Bapak aja ya, Pak."
"Hem, iya. Eh ...."
Aku segera berlari sebelum kena jitakan apalagi ciuman dari berbagai benda yang ada di pantry. Kabur, pokoknya.
Aku berlari sekuat tenaga dari parkiran menuju ke halaman sekolah tempat lima bus pariwisata sedang bertengger. Astaga! Benar-benar dah. Untung aku ini emak-emak strong, kalau enggak. Duh!"Pak, Pak, Pak. Bentar jangan ditutup!" teriakku pada bapak-bapak yang akan menutup pintu bus."Mamake!"Seorang gadis berusia tujuh belas tahun akhirnya turun. Dia segera memelukku dengan sangat erat seakan kami baru saja tak berjumpa setelah berpisah sekian lama. Padahal baru juga beberapa jam gak ketemu."Kamu ini ya Mbak, kan mamake uwis ngomong dicek dulu barang-barangnya. Kalau lupa gak jadi plesir kamu!""Hehehe." Si gadis remaja cantik duplikatku hanya cengengesan saja. Dia pun mencium tanganku, bercipika-cipiki lalu segera masuk menuju ke dalam bus. Aku dadah-dadah dan dibalas hal yang sama oleh Lyra. Pada Pak Kernet bus dan guru-guru yang ada di dalam bus aku mengangguk sopan.Selesai dengan urusan Lyra yang mau berangkat studi wisata ke Bromo, aku segera menuju ke tempat putri bungsuku yan
*Kania*Menjalani kehidupan baruku sebagai istri dari seorang Andromeda Bagaskara itu benar-benar menyenangkan sekali. Setelah menjadi istrinya, otomatis aku dipecat dari MJS. Aslinya aku tetap ingin bekerja di sana, tetapi Mas Andro gak mau. Saat aku bertanya apa dia malu punya istri seorang OG? Jawaban yang kuterima sungguh luar biasa saudara-saudara."Mas gak peduli sama status kamu dan pekerjaan kamu. Penting kamu jangan zina sama berbuat buruk, gak baik. Kalau kamu mau kerja atau kuliah lagi, oke gak masalah penting kamu jangan jadi OG lagi di MJS, bekerja satu atap sama mas.""Kenapa aku gak boleh kerja satu atap sama Mas Andro?" cecarku."Kenapa? Apa Mas Andro takut aku ngerecokin pekerjaan Mas? Takut Mas gak bisa selingkuh gitu?" Aku memberondongnya dengan banyak pertanyaan."Astaghfirullah, kamu pikir mas sejahat itu. Insya Allah mas tipe setia.""Terus kenapa kita gak boleh kerja satu atap?" tanyaku dengan mimik muka memelas.Mas Andro mengembuskan napasnya dalam lalu menata
*Andromeda Bagaskara*Gadis cilik itu terus saja menangis dengan sesenggukan. Sesekali dia mengelap air mata dan ingusnya yang ikut keluar. Aku mengulurkan sapu tanganku padanya.“Bajumu udah kotor, udah gak bisa lagi nampung ingus. Nih, pakai punyanya Mas.”“Makasih, Mas Ando.”“Andro!”“Ando?”“Andro! Udah tujuh tahun masih belum bisa bilang ‘R’.”Gadis itu hanya bersungut-sungut lalu mengeluarkan ingusnya lagi dengan sapu tanganku.“Nih.” Dita kecil menyerahkan sapu tangan padaku.“Jorok, cuci dulu baru balikin sama mas.”“Oke.”“Mau pulang?”Dita menggeleng. “Mau nunggu Bapak sama Ibu saja.”“Oooo.”“Mas Ando gak balik ke pesta?”“Malas, udah aku usir semua orang sama Juwita juga.”“Kasihan Mbak Juwi, Mas Ando kok galak.”“Kamu jangan polos gitu dong, kalau dijahatin balas, kalau gak bisa marah-marah ya pakai aksi gila kek, gokil kek. Pokoknya lawan. Ngerti?!”Dita mengangguk lalu tersenyum. Melihat senyumnya, aku pun ikutan tersenyum. Aneh memang, tapi aku yang kini berusia dua b
Aku menselonjorkan kedua kakiku di atas kasur. Pegel. Ternyata nikah itu capek juga. Padahal cuma berdiri di atas pelaminan, memasang senyum dan menyalami tamu doang tapi ternyata bikin capek.Suara pintu kamar yang terbuka mengalihkan atensiku dari rasa capek. Aku tersenyum pada Mas Suami yang dibalas dengan senyum juga.“Capek ya Mas?”“Iya.”“Mandi dulu sana.”Mas Andro menurut dan langsung menuju ke kamar mandi dalam. Aku terkekeh geli saat kembali sadar kalau Mas Andro begitu perhitungan saat merehab rumah Bapak. Selain didesain sedemikian rupa, rupanya dia menambahkan kamar mandi dalam, khusus di kamarku dan kamar kedua orang tuaku. Ckckck. Pintar-pintar.Sebagai hadiah buat si pintar, aku harus menyiapakan diri. Segera saja aku mengganti daster rumahan dengan gaun tipis menerawang yang kubeli bersama Ara. Kemudian kuolesi wajahku dengan bedak tipis-tipis lalu menggunakan lipstick warna terang biar semakin menantang buat disosor. Rambut pun kusisir rapi. Dan terakhir menyemprotk
Hari pernikahanku pun tiba. Keluarga Tante Laras banyak yang datang. Sementara dari Om Andreas ada beberapa. Kakek Ahsan pun datang.Keharuan terjadi saat Kakek Ahsan bertemu dengan Bapak. Keduanya berpelukan dan tangis-tangisan membuat semua orang yang melihat sampai menitikan air mata. “Gak nyangka beneran nikah sama Pak Manajer, loh.” Aku kaget karena sempat melamunkan adegan pertemuan Bapak dan Kakek Ahsan. Senyum kuulas pada BIP yang baru datang.“Namanya juga jodoh. Mungkin habis ini kamu sama Dokter ACDC yang nyusul.” Aku mencoba bijak.BIP sama sekali tak berkomentar, tapi aku bisa melihat ada semburat warna merah di pipinya. Ckckck, pasti deh ada apa-apa antara BIP sama Pak Dokter. Aih jadi gak sabar drama apa yang bakalan terjadi sama si dua manusia yang hidup bertetangga itu. Moga-moga sih akhir kisah keduanya happy ending kayak aku.“Kania, ayok keluar. Ijab kabulnya mau dimulai.”Aku mengangguk pada Ibu. Ibu menuntunku menuju ke ruang depan yang sudah disetting untuk te
Hari ini, Pak Andro sekeluarga akan mengunjungi rumahku di Banyumas. Aku sudah bilang pada kedua orang tuaku. Dan ketika sampai di sana, kedua lelaki paruh baya hanya saling menatap sambil menitikan air mata. Lalu mereka saling berangkulan dan menangis penuh haru. Aku yang masih bingung bagaimana bisa ada scene menangis antara Bapak dan Om Andreas makin dibuat bingung ketika ibuku berteriak heboh dan langsung cipika-cipiki dengan Tante Laras. Semakin melongo dong akunya. “Apa kamu gak paham artinya?” Mas Andro menghampiriku lalu melingkarkan tangannya pada bahuku. “Enggak.”“Ck. Kadang kamu telmi.”“Terlalu minis!”“Dan absurd.”“Abis sun radius dekat mulut.”Mas Andro hanya bisa geleng-geleng kepala. Kasihan sekali dia, bisa ketemu cewek aneh kayak aku.“Stres tahu ngomong sama kamu.”“Terus ngapain dipacarin?”“Habis antik.”Kami pun tertawa. Begitulah kami. Kalau ngobrol kadang gak nyambung tapi gak nyangka udah pacaran hampir enam bulan. Meski masih banyak netijen nyinyir yang g