Share

6. Mantan Ngajak Balikan

Suara langkah kakiku terdengar membahana di lantai enam. Dengan semangat, aku membersihkan ruangan sebelum nanti pulang kembali ke kostan. Selesai dengan pekerjaannku, aku kembali menuju ke pantry utama.

Di sana hanya ada Aryo yang sedang bermain ponsel. Sebenarnya agak malas kalau harus satu ruangan dengan mantan. Tapi aku ada perlu menaruh semua peralatan tempurku jadi mau tak mau harus kembali ke pantry. 

Kulewati Aryo tanpa mengatakan sepatah kata pun. Selesai menaruh alat tempur, aku segera keluar dari pantry sambil mencangklong tas. Namun langkahku terhenti karena panggilan dari Aryo. Aku menoleh ke arahnya. Terlihat Aryo duduk tegak, ponselnya sudah berada di atas meja.

"Hai, Kania. Kamu sehat?"

Aku mengernyit mendengar pertanyaan Aryo.

"Lah kamu emangnya gak bisa lihat aku? Kalau aku sakit gak mungkin dong aku mondar mandir sejak pagi kek kitiran. Pasti kalau aku sakit aku tuh lagi rebahan di kost. Pertanyaan aneh."

Aku segera berbalik dan hendak melanjutkan langkah.

"Kania!"

Refleks aku memutar tubuhku kembali dan menatap Aryo sambil bersedekap.

"Apalagi?!" ketusku.

Aryo terlihat menarik napas dalam lalu mengembuskannya kasar. Dia menatapku dengan tatapan sendu. Jiah! Drama bener. Aku tak bergeming dan tetap dengan posisi tangan bersedekap, dagu sedikit dinaikkan, tatapan mataku kubikin setajam mungkin lalu sengaja senyum sinis yang tercetak bukan senyum lain apalagi senyum menggoda. Hoek! No way. Senyum itu hanya akan kuperlihatkan pada suamiku kelak.

"Kenapa diem? Mau ngomong apa?"

"Maaf. Maafkan aku ya Kania, aku bener-bener menyesal banget udah ngecewain kamu, mengkhianati kamu. Aku udah jadi lelaki brengsek. Aku ... aku nyesel banget." Aryo menatapku dengan mata berkaca-kaca. Mungkin bagi orang lain, mereka akan merasa iba. Tapi bagiku, enggak. Justru aku muak.

"Aku bener-bener nyesel banget Kania. Deswita gak kayak kamu. Kamu mungkin rada gila tapi kamu baik. Kamu tulus. Deswita gak kayak kamu. Deswita ...."

Dan bla bla bla. Aryo terus menceritan keburukan Deswita padaku. Deswita beginilah, Deswita begitulah. Tukang nuntutlah, tukang belanja lah. Helow, bukannya dari dulu dia udah tahu yah kalau Deswita kan emang begitu. Lalu masalahnya apa?

Hampir lima belas menit Aryo menceritakan kehidupan rumah tangganya yang baru berjalan satu bulan. Aku merasa muak mendengarnya namun sengaja kutahan. Aku hanya penasaran, maksud Aryo itu apa dengan curhat kehidupan rumah tangganya padaku.

"Terus?"

"Ya begitu Kania, Deswita gak pernah menghargai aku, dia egois banget, dia gak pernah nyiapin apa pun keperluanku. Dia males-malesan. Aku udah gak tahan banget hidup sama Deswita."

Aryo menghentikan curhatannya. Dia meminum kopinya lalu berulang kali menarik napas dan mengembuskannya.

"Terus?"

"Ya begitu, Kania. Intinya aku udah gak tahan hidup sama dia."

"Terus kenapa kamu malah curhat ke aku? Bukannya lebih baik kamu ngomong dari hati ke hati sama istrimu?"

Aryo menatapku sendu kemudian dia tersenyum lebar. 

"Aku udah mutusin mau menceraikan Deswita setelah dia melahirkan dan aku akan menikahi kamu." Ada senyum sangat lebar yang menghiasi bibir Aryo saat mengatakannya.

Aku sendiri hanya bisa melongo. Cukup lama aku bertahan dengan posisi melongo. Untung aku sedang tak berada di kebun bunga dengan para kumbang dan kupu-kupu. Atau di sekitar TPA dengan segala lalat dan kumpulan hewan pengisap darah. Soalnya, kalau aku sedang berada di taman bunga atau TPA, bisa dipastikan para serangga domestik kini sedang berlomba-lomba masuk ke dalam mulutku. Soalnya aku kan manis.

"Nia! Kania. Kania!" bentakkan Aryo mengagetkanku. Otomatis mulutku terkatup. Aku berusaha menenangkan diriku. 

Setelah kembali ke dunia nyata bukan halu aku malah tertawa terpingkal-pingkal.

"Nia! Kamu kenapa? Kenapa kamu tertawa kek gitu?"

Aku masih tertawa sementara Aryo sudah berdiri. Terlihat sekali kini mukanya memucat seperti orang yang sedang ketakutan.

Sementara aku terus saja tertawa. "Hahaha, hihihi, hahaha, hihihi, hahaha."

Aku bahkan sampai memegang perutku yang tiba-tiba kram karena kebanyakan tertawa.

"Nia! Nia! Kamu kenapa, Sayang? Kamu gak papa, 'kan? Kamu gak ketempelan kuntilanak penghuni pantry, 'kan?" Aryo masih menatapku dengan raut wajah panik.

Aku menghentikan tawaku. Meski masih ingin tertawa namun aku berusaha sangat keras agar tak tertawa lagi. Begitu tawaku sudah reda segera kulempar tatapan maut pada Aryo. Aryo kaget dan terlihat mukanya semakin ketakutan.

"Ni-nia. Ka-mu ke-napa? Ka-mu gak kesu-rupan, 'kan?"

Wajah Aryo semakin memucat apalagi ketika aku mendekat ke arahnya dengan memasang wajah garang.

Plak. Langsung saja kutampar pipinya. Sungguh aku merasa geram sekali. Dulu ketika mendapati Aryo selingkuh, aku memilih diam dan mencoba menyelamatkan sendiri hatiku yang sudah berdarah-darah. Jangan tanyakan berapa Betadine, kain kasa sama plester yang kugunakan. Banyak pokoknya. Belum lagi air mataku yang terus menerus mengalir sampai membuat kolam di sekitar sarung bantal yang bergabung dengan kolam iler. 

Dan kini? Si mantan malah ngajakin aku balikan? Ngajakin nikah? Setelah dia mencampakkanku begitu saja? No way. Mending aku nyari bujang muka tembok tapi hatinya bak malaikat dan penuh kasih sayang daripada harus kembali sama mantan.

"Nia! Kamu tampar aku, Sayang?"

"Sayang sayang kepala kamu kena godam. Heh, mantan! Apa kamu lupa apa yang udah kamu lakuin buat aku! Apa kamu ingat perlakuan kamu, di belakang aku. Selingkuhin aku, belum lagi sampai DP duluan sama mantan temen aku itu. Kamu pikir aku mau balikan sama kamu? No way! Mending aku nyari bujang muka tembok tapi baik hati dan sombong. Gak masalah. Asal dia setia sama aku. Ngaca kamu! Ngaca! Dulu kamu kemana, hah? Meski aku di luar ketawa-ketiwi aku tetap punya hati. Sakit kalau disakiti, nangis kalau kamu khianati."

"Nia ... maaf. Aku khilaf."

"Khilaf itu sekali, Aryo. Bukan berkali-kali. Itu namanya demen. Itu namanya brengsek. Hiks hiks hiks."

Akhirnya aku menangis di depan Aryo. Sesuatu yang sebulan lalu jangan sampai terlihat di depan orang lain kini kuperlihatkan di depannya. Aku tak peduli dengan malu, Maluku masih tetap di sebelah pulau Sulawesi gak mungkin pindah-pindah. Penting sakit hatiku harus diluapkan.

"Nia, maaf. Ayo kita perbaiki semua. Aku janji aku akan berubah. Aku akan melepaskan Deswita. Kamu sabar ya, tunggu aku." Aryo mendekat ke arahku, refleks aku menjauh. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Kusapu dengan kasar air mataku.

"Enggak Aryo, pantang bagiku untuk merebut milik orang lain. Kalau kamu menyesal, harusnya kamu bertobat dan perbaiki diri kamu. Harusnya kamu berusaha menjadikan pernikahan kamu sebagai ladang untuk memperbaiki diri bukannya malah semakin menjerumuskan kamu."

"Nia ... aku mohon, maafkan aku. Beri aku kesempatan."

Aku menggeleng, kuseka air mataku serta ingusku yang masih keluar dengan lengan baju.

"Kesempatan buat kamu udah gak ada. Maaf Aryo, kisah kita udah usai. Jangan ganggu aku lagi, biarkan aku menata masa depanku. Lebih baik kamu perbaiki hubunganmu dengan Deswita. Ingat, ada anak kalian di rahim Deswita. Jadikan dia sebagai pengingat akan kesalahan kamu. Jangan kamu korbankan dia hanya untuk napsu kamu."

Aku langsung berbalik dan berjalan menuju ke luar pantry. Aku berlari menuju atap gedung. Aku butuh tempat untuk mengasingkan diri sejenak.

Sampai di atas gedung, aku berjongkok dan mulai menangis lagi. 

"Ya ampun, dasar mantan sialan! Gak tahu apa aku lagi bokek, duitku udah abis buat bayar bukunya si Sania. Hiks hiks hiks. Yak, aku gak punya duit buat beli Betadine, kasa, sama plester. Hiks hiks hiks. Dasar mantan sialan. Enak aja ngajak balikan, hiks hiks hiks."

Aku benar-benar merasa frustasi karena air mataku tak juga berhenti. Mana tuh ingus juga ikut-ikutan meler lagi. 

Sebuah uluran tissue mengarah di depan wajahku. Aku mendongak. Tampak seseorang berdiri dengan posisi wajahnya sengaja tak menatap ke arahku.

"Pakai ini, kasihan lengan bajumu udah gak bisa nampung air mata sama ingus."

Aku menerima uluran tissue dari Pak Andro. Menarik  beberapa lembar, lalu segera kuhapus air mataku. Menarik tissue lagi untuk menghapus ingus. Sengaja aku membuat suara agar ingusku keluar semua.

"Ma-kasih. Pak An-dro," ucapku sambil sesenggukan.

Dia hanya tertawa mengejek. Mana tuh decakan sinisnya terdengar lagi. 

"Gak nyangka ya, cewek kayak kamu bisa patah hati juga. Bisa nangis juga."

"Iyalah, Pak. Meski saya sedikit gila tetap saja saya punya hati, Pak. Bapak aja yang gak ada hati bisa sedih diselingkuhin pacar apalagi Nia yang cuma wanita biasa," ucapku sambil membuang ingusku lagi.

"Ck. Lebay," sinisnya. 

Aku menoleh tak terima ke arah Pak Andro. Beneran ya ini orang gak ada empati sama sekali. Padahal kemarin waktu dia patah hati, aku loh yang dengan sukarela membuatkannya kopi. Karena sedang sedih, aku membiarkan saja tingkahnya. Terlalu lelah untuk membalas.

Aku justru fokus meratapi diri dengan posisi masih jongkok. Kurasakan embusan angin menerpa wajahku. Aku merasa tenang. Kelegaan kini menyergap diriku, aku pun berdiri lalu melangkahkan kaki menuju ke pembatas gedung. Kurentangkan kedua tanganku ke samping, mata sengaja kupejam agar lebih menikmati embusan angin yang datang.

Grep. Duk! Gedebuk. Brak!

Aku mengaduh karena merasakan sakit pada bokongku yang baru saja mencium lantai. Segera kupandangi seseorang yang berada di sampingku dengan posisi duduk juga dengan raut wajah keheranan.

"Kamu mau bunuh diri?!" teriaknya.

"Kalau mau bunuh diri jangan di sini apalagi di depan saya! Sana nyari tempat lain." Pak Andro terlihat kesal dan terus memarahiku.

Aku melongo tak percaya. Bunuh diri? Astaga! Jangan bilang Pak Manajer mengira aku mau bunuh diri. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status