Share

Peraturan di Rumah Eric

            Eric berdiri merenggangkan ototnya sejenak di balkon kamarnya. Hari ini ia merasa sangat baik moodnya. Melihat langit yang cerah, burung-burung membentuk barisan sedang berimigrasi, dan suasana yang sangat tenang seolah ia tak memiliki beban ataupun musuh yang slalu diwaspadai.

            “Sejak kapan aku tidak pernah merasa selepas ini?” dialognya yang ditujukan pada dirinya sendiri.

            Tanpa sengaja matanya menangkap sebuah balkon yang sebenarnya sangat tak ada rasa special-spesialnya sama sekali. Ia yang sering diam di balkonnya setiap hari, dan pastinya tanpa dipandangpun, balkon kamar sebelahnya selalu ada. Namun hari ini berbeda. Balkon itu seolah memiliki muansa yang mengunci pandangannya. Bukan balkonnya, tetapi seseorang didalam kamar itu.

            Sejak kemarin ia masih belum menengok gadis itu karena sejak kemarin ia juga dipaksa beristirahat oleh Fin dan baru bangun setengah jam yang lalu. Kemarin ia hanya menyerahkan gadis itu pada Lea, temannya yang perempuan yang merupakan orang kepercayaannya juga. Katanya, gadis itu sudah siuman jam 6 pagi tadi, bahkan gadis itu sudah seperti bukan orang sakit.

            Eric menjadi penasaran dan ingin bertemu dnegan gadis itu. Mengapa gadis itu tidak sedikitpun memiliki fikiran untuk menjenguknya? Padahal gadis itu tahu, kalau ia juga terluka. Ia menghembus nafas panjang. “Kenapa malah mengharapkannya?” ia menertawakan dirinya sendiri. Bayangan Ghea di otaknya membuatnya tersenyum geli.

            “Karena kamu ingin,” suara Fin muncul secara gambling dibelakangnya.

            Eric kaget dengan kehadiran Fin yang tiba-tiba. Ia merutuki sahabatnya yang kini malah seenaknya sendiri keluar masuk kamar pribadinya. “Ada pintu itu untuk ketuk dulu sebelum masuk,” katanya dengan bersungut-sungut.

            Fin malah tertawa. “Biasanya juga seperti ini. Kepergok mengharapkan seorang gadis, barulah kamu jadi lebih emosional, iya kan?” ia membenarkan dengan menggerakkan dagunya.

            Tatapan Eric beralih pada pemandangan didepannya. Fin semakin tertawa melihat tindakan Eric yang masih saja mengelak. Padahal, ia sebagai sahabat bertahun-tahun ini tak pernah salah dalam menilai sahabatnya.

            Rupa Eric yang tampan, menjadi idaman banyak gadis sejak sekolah sampai kuliah, setiakawan, namun memiliki kisah yang kelam. Dan saat sekarang menyukai seorang gadis, ia tak pandai menilai perasaannya sendiri. Yang Eric kenal hanya bagaimana cara balas dendam, bagaimana mengungkap kebenaran, dan bagaimana melindungi kelompok eagle yang baginya adalah sayap hidupnya.

            “Aku belum bertemu dengannya sejak kemarin,” curhatnya datar tanpa ekpresi

            Mulut Fin terbuka lebar. “Kamu belum bertemu dengannya? Ternyata kamu bisa menjadi bodoh hanya karena menyukai seseorang.”

            “Siapa bilang? Aku adalah Eric Bramasta, seorang pemimpin mafia terkuat dan bengis pada lawan, tidak akan berubah hanya karena bertemu dengan seorang gadis,” katanya dengan bau-bau kesombongan.

            Fin yang mendengar itu hanya termangut-mangut. Memangnya siapa yang bisa meremehkan Eric? Bahkan ia tak pernah bisa meremehkan sahabatnya dalam hal itu. Eric tetaplah Eric.

            “Setelah ia benar-benar sembuh, ia harus latihan.”

            Kepala Fin menoleh seketika, “Latihan apa?”

            “Menjaga diri,” jawabnya dengan nada berbahaya.

            “Aku rasa kamu jangan sampai membuatnya  berlatih sekeras yang lain,” sarannya.

            Tak ada kata lagi yang muncul dari bibir Eric. Lelaki itu diam memangdang lurus dan tak focus. “Aku sudah tidak tahu bagaimana kabar Tuan Allen. Dia ingin aku membuat anaknya lebih kuat, melatihnya dan melindunginya. Apa yang aku bisa jika aku tidak melatihnya? Bergantung denganku? Itu juga bukan sesuatu yang tepat,” ucapnya dengan visual Tuan Allen yang meminta ia mengabulkan permintaannya kemarin di kepalanya dengan jelas.

            “Kalau seperti itu, aku angkat tangan.” Fin mengangkat kedua tangannya membentuk siku menyerah. “Tapi, dia perempuan. Aku harap kamu jangan terlalu keras dengannya.”

            Kepala Eric mengangguk pelan. “Mungkin iya, mungkin tidak.” Jawaban ini tak diharapkan Fin. Walau bagaimanapun, ia masih sangat percaya dengan didikan sahabatnya.

-v-

            “Pagi…” sapa Ghea dengan tersenyum ramah saat ia memasuki ruang makan.

            Ghea berdiri menyambut Eric yang datang. Melihat Ghea yang baik-baik saja membuatnya lega dan moodnya meningkat semakin baik. Tanpa senyum dan wajah datar ditampilkannya seperti hari-hari biasa. “Pagi…” balasnya garing.

            “Sepertinya kamu sudah membaik. Syukurlah.” Ghea menatap Eric dengan wajah bahagia.

            Eric hanya mengangguk-angguk pelan tanpa ekpresi, bukan tidak suka dengan Ghea, tetapi ini memang karakternya yang asli. Sejak ia dirumah gadis itu, ia juga tak berubah. Hanya saja, Tuan Allen dan Ghea yang memang ramah terhadapnya dan mengajaknya bicara hal yang menyenangkan, kehangatan yang lama tak pernah ia dapatnya muncul bersama Tuan Allen dann Ghea.

            “Kamu bisa tinggal dirumahku asalkan kamu mengikuti aturanku,” kata Eric spontan. Mempertahankan kehadiran dan menjaganya juga harus dengan trik dan cara.

            Alis Ghea bertautan. “Aku tahu kok. Tapi kamu mengatakan seperti ini seperti tidak menyambutku dengan baik,” jawabnya kalem. Ia tersenyum. “Tapi terima kasih sudah menolongku. Suatu saat kalau aku sudah punya uang, aku akan cari rumah sendiri.”

            “Tidak ada orang yang bisa keluar dari rumahku setelah memasukinya.”

            “Kenapa?” tanyanya penasaran.

            Eric tak ingin menjawab pertanyaan ini. “ Kita bahas peraturan diruan ini saja.”

            Ghea memiringkan kepalanya sedikit mendengarkan.

            “Aku tidak punya banyak kata untuk bicara panjang lebar. Tapi yang jelas kamu harus mengikuti apa yang memang menjadi aturan dirumah ini,” kata Eric sarkas sejuta rius.

            “Dulu saat kamu tinggal dirumahku, ayahku tidak memberimu aturan-aturan seperti ini. Yang ada adalah berkata ‘anggaplah seperti rumah sendiri’ iya kan?”

            “Jangan membandingkan itu.” Eric agak kesal.

            “Baiklah. Katakana saja!”

            “Pertama, kamu dilarang keras keluar dari rumahku, kecuali pergi denganku.”

            “Kenapa?”

            “Kedua…” Eric tak menghiraukan pertanyaan Ghea. “Dilarang membuka gudang belakang kamar mandi bawah.”

            Walau Ghea penuh dengan pertanyaan dikepalanya, ia memilih mendengarkan.

            “Ketiga, kamu dilarang bekerja diluar. Intinya kamu dilarang keras keluar masuk rumah ini sembarangan. Apalagi membawa seseorang siapapun itu. Kalau kamu memasukkan seseorang kerumah ini…” Eric mendekatkan kepalanya hingga berjarah beberapa senti hingga Ghea memundurkan tubuhnya. “Jangan salahkan aku membunuhnya…”mata Ghea membulat lebar.

            “Kamu tidak akan melakukan itu,” sanggah Ghea.

            “Kata siapa? Aku seorang pemimpin mafia. Membunuh bukanlah hal yang sulit.”

            Bibir Ghea mengatup rapat tak bisa berkata-kata lagi lalu menghembus nafas pasrah. “ya, akan aku lakukan semuanya.” Ia merunduk lesu. Eric menarik wajahnya kembali semula. “Tapi bagaimana kau bisa mendapatkan uang jika tidak bekerja?”

            “Menjadi asistenku.”

            “APA?” dahi Ghea berlipat kerut. “Mungkinkah didunia ini seorang mafia membutuhkan asisten? Ia tidak memiliki pengetahuan itu.

            “Kamu tidak perlu pergi bersamaku saat aku rapat dengan yang lain. Kamu hanya akan bekerja jika aku memanggilmu, menyiapkan sarapanku, pakaian, dan apapun saat aku dirumah ini,”

            Inikah tugas sebagai asisten? Bukankah ini tugas pembantu?

            “Dan juga, mungkin kamu akan pergi denganku jika diperlukan. Jadi kamu harus stay setiap aku panggil,” imbuhnya.

            Inikah yang namanya asisten? Kenapa serasa pembantu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status