Share

Cara Unik Eric Mengajari Ghea

            Eric sibuk menelfon Fin untuk datang kerumahnya lagi. Sebenarnya tempat tinggalnya berada disamping markas. Namun markasnya yang sangat besar dan rumahnya juga lumayan besar juga takkan mungkin untuk menyuruh orang memanggilnya. Lelaki itu barusan kembali ke markas karena ada anak buahnya yang menemukan sebuah petunjuk.

            “Eric, kamu bukan sedang sakit hati kan sampai memanggilku dua kali dalam satu jam?” cecar Fin dengan bersungut-sungut.

            Lelaki yang memanggilnya itu hanya diam tak memedulikannya. Ia ingin mengatakan sesuatu yang sangat krusial bagi kelompok eagle nya. Tetapi lagi-lagi keyakiannya diterkam keraguan yang membayanginya. Tatapannya tak menentu kesegala penjuru halaman taman. Di tempatnya ia memandang lurus ada Ghea yang berlarian mengejar Boush, anjing hitam besar miliknya. Keduanya dengan cepat akrab padahal Boush bukan anjing yang mudah bergaul dengan orang lain. Ini langka.

            Fin dapat melihat Eric yang sebenarnya tak memperhatikan pusat lurusnya. Pandangannya kosong menyimpan sebuah rahasia yang masih meragukan hatinya. Ia bukan tak mengerti jika Eric memiliki berbagai beban yang membuat hatinya membatu bertahun-tahun ini. Ingin melenyapkan orang yang disayanginya bukanlah hal mudah bagi hatinya walau telah membuat luka menganga bahkan bernanah disana.

            “Eric..” panggilnya dengan nada teguran.

            Visual masa lalunya buyar begitu saja. Jika, dan jika sesuatu itu sungguh berkaitan dengannya, jika. Ia hanya berharap kata’jika’itu  sungguhan ada di langkahnya selanjutnya. Sesuatu yang baginya amat berharga demi keselamatan kelompoknya, sesuatu yang baginya bernilai demi segenggam erat dendam yang lama menikam hatinya pelan-pelan.

            “Eric..” panggilan kedua ini lebih mengarah ke bentakan kecil.

            Sang objek panggilan itu menoleh. “Ya…”

            “Langsung saja, katakan ingin apa yang membuatmu gelisah kali ini?” bertahun-tahun bersahabat dengan Eric bukanlah hal sulit untuk memahami fikirannya. Ia tak bertanya mengapa memanggilnya, namun ke pusat fikiran Eric.

            Eric terpekur sejenak. Katakan? Tidak? Beberapa menit yang lalu ia ingin mengatakan sebenarnya. Tetapi dengan banyaknya pertimbangan lagi, ia menjadi ragu. Lebih baik ia menyimpan rahasia ini sendirian tanpa ada yang mengetahui walaupun sahabat setianya.

            “Katakan apa yang mereka temukan?” Tanya Eric yang malah membuat fin terheran-heran. Harusnya dia kan yang bertanya?

            “Di CCTV terlihat ada seorang lelaki serba hitam masuk ke ruang senjata. Dan saat dilihat di CCTV ruangan itu dalam 5 detik error tak memperlihatkan sesuatu. Detik selanjutnya seperti biasa. Lelaki itu tidak ada.”

            Eric berfikir keras. Jika berurusan dengan CCTV, sepertinya mereka bekerja sama dengan seorang heacker yang sangat ahli dan handal sampai bisa membobol CCTV ruangan itu. Tetapi siapa musuh yang memiliki heacker sehebat itu? Karena setahunya heacker kelompoknyalah yang paling handal disbanding lainnya.

            “Sudah Tanya Neil?” Eric menoleh pada Fin.

            “Sudah. Tapi masih belum ada kabar. Kemungkinan heacker yang disana juga sedang memblokir heacker kita,” Jawab Fin. “Apakah kita perlu heacker yang lebih ahli lagi?”

            Eric tertawa sumbang. “Semakin banyak orang semakin lebar peluang menyerang,” jelasnya.

            “Lelaki hitam itu sepertinya sangat mengenal markas kita. Apakah mungkin dia dari kelompok kita?” Eric tak bisa memprediksi itu. Namun, kemungkinan itu juga bisa saja benar. Siapa yang mengenal seluk beluk markas sendiri jika bukan penghuninya?

            Fikiran Eric buyar saat melihat sosok gadis yang sedang duduk kelelahan dibangku taman. Bibirnya melengkung keatas tanpa ia sadari. Boush bergerak manja mengajak Ghea untuk berlari-lari lagi. Namun gadis itu hanya mengelus kepala Boush. ‘Aku lelah,’ ucap gadis itu yang masuk ke telinganya. Balkon kamarnya memang tak jauh dari tempat Ghea duduk.

            “Nanti kita bahas lagi.”

            Eric pergi begitu saja meninggalkan Fin yang kebingungan dengan percakapannya kali ini. Ini adalah kali pertama Eric memotong pembahasan penting dan berkata seolah-olah bukan emergence.

            Eric berjalan menuju taman dengan tenang. Ditengah jalannya, ia berpapasan dengan salah satu pembantunya. “Mau kemana?” tanyanya yang tenang namun memberi aura dingin sedingin Everest bagi pembantunya.

            “Baru saja memperbaiki gagang spatula yang lepas.” Wanita paruh baya itu memperlihatkan lakban digenggamannya.

            Satu ide muncul dikepala Eric cemerlang. “Sudah selesai kan?” pembantu lama itu mengangguk. “Berikan lakbannya!”

            Usai lakban ditangan, Eric melanjutkan langkahnya yang tertunda. “Ghea…” panggilnya seolah-olah perintah sacral yang tak bisa di bantah.

            Ghea memang menoleh dengan cepat. Namun kecepatannya kalah dengan Eric yang langsung menarik kedua tangannya dan melakbannya. Sontak saja gadis itu terkejut dan memberontak. “Kenapa ini kok…” belum rampung sasalnya, lelaki itu menutup mulut Ghea dengan lakban kemudian menatap gadis itu dengan geli menahan tawa.

            Tampang kesal dan menahan marah Ghea terlihat menggemaskan dimata Eric.

            “Mmmmm…mmm…” Ghea berusaha mengutarakan komentar tak terima diperlakukan seperti itu pada Eric dengan bibir yang tertutup rapat laknban. Tetapi  lelaki itu dengan santainya mengangkat bahu ringan tak peduli.

            “Tugas pertama kamu adalah melepas lakban ini,” jelas Eric tak masuk akal di kepala Ghea. “Bagaimana caranya? Kamu cari tahu sendiri. Gunakan otak pintarmu untuk mencari sejuta ide, sejuta cara, sejuta metode demi lepas dari lakban ini.”

            Eric langsung melangkah pergi meninggalkan Ghea yang kebingungan itu dengan tawa yang hampir saja memuncrat. Ini konyol. Sangat konyol. Gadis itu sampai menendangnya, memuluk punggungnya demi mendapat jawaban. Tetapi ia tak akan lunak. Setidaknya dengan cara seperti ini, gadis mungil itu bisa belajar satu cara melepaskan diri jika suatu saat ia tak sengaja diculik.

            Tanpa diketahui Ghea, sejak berjam-jam yang lalu Eric terus memantaunya dari balkon kamarnya. Menahan tawanya berkali-kali tiap melihat cara-cara bodoh Ghea ingin melepas lakban itu. Tatapannya tak lepas demi hiburan yang lama tak ada hal yang membuatnya tertawa. Cara pertama Ghea adalah duduk dengan kaki kanan diletakkan diantara kedua tangannya yang dilakban dan mendorongya, gagal. Kedua, meletakkan ranting diantara kedua tangannya lalu digesekkan, gagal. Ketiga, mengangkat kedua tangannya diatas kepala lalu menggeseknya, jelas gagal. Dan beralih dengan ide-ide yang membuat para pembantu yang lewat itu hanya tersenyum menahan tawa. Mereka tak berani membantu karena mereka juga tahu itu pasti kelakuan tuannya.

            Sampai akhirnya gadis itu meluruskan kakinya di hamparan rerumputan dan meletakkan tubuhnya begitu saja. Ia merilekkan tubuhnya yang sudah bersusah payah tapi gagal sejak tadi. Ghea menatap langit biru yang seolah juga menertawakannya. Jika seandainya bibirnya tidak dilakban, mungkin sudah mencurut satu senti.

            “Eh, Ghea?” Fin berdiri didekat kepala Ghea. Eric yang melihat adegan pertemuan mereka itu menegang. Gadis berambut panjang itu sontak bangkit dengan tatapan penuh Tanya. Ingin bertanya, tapi bibir dilakban. “Aku sahabat sekaligus anak buah Eric.” Ia memperkenalkan diri. “Namaku Fin. Aku sudah tahu nama kamu dari Eric.” Ghea mengangguk.

            Fin menatap keadaan Ghea yang dilakban. Ia tersenyum menebak pasti ini kelakuan sahabatnya. Tetapi tanpa diberitahu, ia bisa memahami niat Eric itu. Ghea menyodorkan kedua tangannya yang dilakban berharap dapat bantuan. Tatapan gadis didepannya ini juga sudah merebak hampir menangis karena sejak tadi tak menemukan cara.

            Bibir Fin hanya tersenyum. “Aku tidak bisa membantumu melepaskannya.” Ucapan itu mebuat diri Ghea lesu. “Tapi aku bisa memberimu cara melepaskannya.” Mata Ghea berbinar menerima. “Dalam menyerang, kita perlu mengenali lawan kita. Cari tahu kelemahannya.” Kalimat itu sudah cukup membuat Ghea mengerti.

            “Coba kamu fikirkan, apa kelemahan dari perekat?”

            Ghea berfikir keras sampai memejamkan mata. Tanpa diketahui keduanya, Eric merutuk sahabatnya yang membocorkan pengetahuannya.”

            Tiba-tiba mata Ghea membulat bersinar. Ia langsung berlari menuju westafel, mengucurkan air disana. Walaupun cukup lama membasahi lakban itu, akhirnya bisa lepas juga. Kelegaan dengan cepat menyeruak kedadanya. “Akhirnya…” ia kembali ke tempat Fin berdiri. “Terima kasih.” Saat matanya tanpa sengaja melihat ke atas, ia menangkap Eric dibalkonsedang memandangnya dengan tersenyum meremehkan.

            Wajah malaikat Ghea berubah. “Saatnya pembalasan,” desisnya. Ia berlari memasuki rumah. Larinya gadis itu tak sedikitpun membuat Eric curiga. Hingga kemudian ia dikejutkan kedua pintu kamarnya bersuara ‘Brak..’ ditutup seseorang dengan keras. Sayangnya jaraknya dengan pintu cukup jauh berbanding dengan misi pmbalasan Ghea yang sangat singkat.

            “Ghea…” teriaknya.

            “Aku lakban disini. Semoga kamu betah dikamar,” sindir Ghea lembut tapi tajam. Ghea puas melihat hasil misinya. Lakban direkatkan memutar pada kedua pegangan pintu yang entah berapa putaran.

             

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status