Share

Kembali ke Markas

            Markas kelompok mafia ‘Eagle’ ini memiliki tempat steril. Bukan tanpa alasan disana juga ada rumah sakit kecil yang digunakan anggotanya untuk berobat dan menyembuhkan luka. Disana juga ada doter yang biasa menangani mereka. Namun hari ini doter Al tidak ada ditempat. Jadi ruangan itu sedang kosong.

            Anak buah Eric tak berani membantah saat pemimpinnya menyuruhnya menyiapkan segala yang diperlukannya.

            “Eric, kamu terluka. Gadis ini biar aku yang menangani,” ucap Fin yang melihat darah mengucur dari punggung Eric. Ia merupakan anak buah Eric, juga teman akrabnya. Jadi wajar jika ia menggunakan bahasa santai pada Eric.

            “Jangan urus aku dulu,” jawab Eric cepat. Ia mulai merobek pakaian Ghea bagian bahu. Jika bukan karena gadis ini adalah anak dari orang yang berjasa besar padanya ia takkan melakukan hal seperti ini. Terlebih kini perasaannya tak bisa terbendung saat melihat bahu gadis itu yang putih lembut walau ada bagian berdarah.

            “Eric…” panggil Fin yang sontak membuatnya menoleh. “Ambil pelurunya!” perintahnya. Hanya dia yang dengan terang-terangan memerintah lelaki kaku itu.

            Eric mengangguk dan melaksanakan apa yang dikatakan sahabatnya. Fin merasa agak heran, mengapa sejak Eric merobek pakaian gadis itu ia terus berusaha agar dirinya tak melihat prosesnya. Bukankah aneh jika Eric meminta bantuannya tetapi tak mengijinkannya andil? Padahal saat ia memerintah tadi ia hanya menerka-nerka dari mana tahap pembedahan Eric itu.

            Usai Eric menjahit akhir, ia menyadari sesuatu. Ada sebuah tato kecil didekat luka bahu itu. Walau tempatnya agak bawah, ia bisa melihatnya saat ia menyibak kaos yang dikenakan Ghea. Tato berbentuk elang kecil yang meramaikan sebuah nomor.Eric hanya menemukan satu nomor yang jelas disana.  Tidak mungkin jika password itu hanya terdiri dari satu nomor.

            “Eric … “ panggilan Fin kembali terdengar.

            Eric sontak menoleh dan menatapnya tajam waspada. “Apa kamu melihatnya tadi?”

            Alis Fin mengerut tak mengerti. “Melihat apa?” Eric bernafas lega. Setidaknya pertanyaan itu menandakan sahabatnya tak melihat tato yang ada di bahu Ghea.

            Eric merilekkan tubuhnya sejenak. Ambil nafas, membuanya dan itu diulangnya berkali-kali. Tubuhnya juga disandarkan ke dinding dengan sangat santai. Beberapa kali juga ia merilekkan ototnya dengan menggerakkan tangannya. Namun kemudian ia merintih. Bagaimana mungkin ia melupakan lukanya sendiri.

            “Ric, gantian kamu yang aku obati,” ucap Fin dengan tegas.

            Eric menyentuh punggunya yang terasa perih. Ia juga bisa merasakan hawa panas yang dibawa peluru itu didagingnya. Ia mendesis kesakitan. “Bawa dia ke sebelah kamar utama!” masih sempat-sempatnya ia mempedulikan gadis itu disaat terluka yang seperti ni.

            “Ah, iya-iya. Aku akan menyuruh Shen kemari untuk membawanya ke sebelah kamarmu,” kata Fin dengan menggoda. Tidak biasanya Eric peduli dengan seorang wanita. Bahkan ia juga mengganti kata ‘sebelah kamar utama’ dengan ‘sebelah kamarmu’ ia memahami kalau sahabatnya sejak dulu memiliki gengsi yang tinggi terhadap perasaannya sendiri.

            “Persiapkan juga infusnya!”

            “Iya. Sudah.” Bahkan kini brangkar Ghea sudah didorong menuju kamar yang dipersiapkan Eric.

            Eric melepas hem putihnya dengan pelan dan dibantu sahabatnya.

            “Istimewa ya?” Tanya Fin dengan nada menggoda. Memberi pertanyaan seperti ini membuatnya tertawa. Karena memang ini adalah kali pertama Eric memperlakukan seorang gadis dengan sangat hati-hati dan mengorbankan diri sendiri.

            “Maksudmu apa?”

            Fin cikikikan sendiri mendengar jawaban Eric yang seolah tak mengerti objek pertanyaannya.”Aku.” ia tertawa, begitupun dengan Eric.

            “Kamu jatuh ke jurangpun, aku biarkan dan aku akan rayakan pesta.” Guraunya yang diiringi dengan desisan perih. Mengeluarkan peluru kali ini memang diinfus sebagian, tetapi masih saja agak terasa.

            Fin tertawa. “Sebelum itu terjadi, aku akan menarikmu ikut jatuh.”

            Eric tertawa sejenak. Kemudian berkata dengan serius. “Dia putri Tuan Allen.”

            Sahabatnya terkejut bukan main. “Putri tuan Allen?” ia membeo keras.

            “Sssst… rahasiakan ini dari yang lainnya sebelum kita menemukan penyusup kemarin lusa” Fin mengerti siapa yang dimaksud Eric. Tetapi ia masih tak menyangka kalau gadis itu adalah putri dari pimpinan mafia yang legendaris.

            Ia mengangguk. Semakin banyak yang tahu hanya akan semakin banyak peluang bocor. “Kalau ketua-ketua lain menanyakan siapa gadis itu?” satu pertanyaan tercetus dibenaknya.

            Di kelompok ‘Eagle’ ini terdiri dari satu pemimpin dan dibawahi oleh ketua-ketua dari tiap bagian. Eric sebagai pemimpin dari beberapa ketua karena walaupun ia masih sangat muda, ia memiliki ketelitian yang tinggi, strategi yang sangat baik dan pengetahuan yang luas baik dari dunia mafia itu sendiri, maupun kemasyarakatan. Ia juga memiliki kemampuan dan teknik beladiri yang tak terkalahkan dari lainnya.

            Namun, ia juga bukan orang yang tak beretika. Ia sangat menghormati para ketua walaupun mereka bawahannya. Selain karena mereka lebih tua darinya, mereka juga selalu dianggap seperti ayah sendiri yang sangat ia hargai dan disayanginya. Eric juga menganggap seluruh anggota kelompoknya seperti saudaranya yanag harus dilindunginya juga. Maka tak heran jika ia juga sangat dilindungi oleh semua kelompoknya.

            Eric diam memikirkan solusi yang baginya pelik ini. Dalam hal ucapan, Erec tak pernah berbohong pada kelompoknya apalagi pada ketuanya. Jika ia mengatakan hal yang membuat kepercayaan mereka hancur, itu akan menghancurkan seluruh isi kelompok ’Eagle’nya. Kepercayaan bukanlah hal yang bisa bdibuat mainan baginya.

            “Katakan saja,…” ia kembali berfikir. “Dia gadis yang aku suka. Aku menyukai gadis itu, tetapi gadis itu masih belum menyukaiku. Jadi masih proses perjuangan.” Eric merasa kata-kata itu setengah sungguhan. Dalam hal perasaan, apakah ia benar-benar menyukai gadis itu? Ia sendiri tak pernah merasakan hal roman seperti itu. Bagaimana mungkin ia paham?

            Mata Fin berkedip pelan. Tertegun cukup lama. Kemudian tertawa keras, sangat keras hingga ia menghentikan gerakan tangannya yang baru selesai jahitan terakhir di punggung Eric.

            “Aku merasa ucapanmu itu mewakili perasaanmu sebenarnya.” Tatap Fin terus menggodanya.

            “Bagaimana mungkin?” ia terkekeh sumbang. “Aku Eric seorang pemimpin kelompok ‘Eagle’ mafia didunia ini menyukai seorang gadis?” ia terkekeh garing.”Tidak akan.”

            Fin hanya tersenyum.”Pemimpin eagle juga manusia, lelaki sejati yang bisa kapan saja tertarik pada lawan jenisnya.” Ia meralat.

            “Tidak ada gunanya mengatakan ini.” Eric menghentikan topic pembahasan. “Kita focus saja pada misi kita kemarin-kemarin yang tertunda.”

            Sahabatnya mendengus tak peduli. “Penyusup kali ini sangat sulit ditemukan beberapa hari ini. Beberapa kali ketua membuat jebakan, tetapi masih belum berhasil. Apakah kita harus memulai jebakan paling ekstrim?” ide itu membuat Eric terkekeh.

            “Untuk apa menggunakan jebakan ekstrim? Kita buat jebakan halus saja. Tak terlihat tetapi bisa membuatnya pelan-pelan menciut.” Fin termangut-mangut setuju. Eric pantas menjadi pemimpin kelompoknya. “Fin, apakah ia harus hidup di markas kita ini?” tanyanya ragu.

            “Kenapa tidak?”

            “Tempat kita terlalu bahaya untuknya.”

            “Tapi ini juga tempat teramannya. Apalagi kemarin musuh-musuh melihat kamu dengannya.”

            Ia kembali memikirkan sesuatu. Benar juga. Disisinya adalah tempat paling aman untuknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status