Eric, seorang mafia yang dipenuhi rasa balas dendam berkali-kali hampir mati dibunuh oleh keluarganya sendiri. benih-benih dendam berangsur membesar atas segala kesakitannya selama 4 tahun terakhir. hingga akhirnya ia dapat menduduki pangkat sebagai pemimpin para kelompok mafianya dan dinamai 'Elang'.Kemudian, ditengah pencariannya, ia bertemu dengan Ghea, gadis cantik lemah lembut. Ayah gadis itu merupakan orang yang sangat berjasa padanya dan ia meminta Eric untuk menjaganya saat ia meninggal.Seiring berjalannya waktu, keduanya saling mencintai. Namun dendam Eric membuat banyak kesulitan dalam hubungan mereka. Musuh saling menyerang, hingga terjadi banyak kejadian yang memilukan.Lalu apakah dendam Eric akan terus berlanjut demi Ghea? bagaimana Eric memecahkan kasus dan dendamnya tanpa melibatkan orang yang dicintainya? Atau berhenti meninggalkan hatinya yang suram demi gadis itu? Dan bagaimana Ghea menghentikan segala tindakan Eric yang menurutnya itu salah?
もっと見る“Tuan, kita harus secepatnya menemukan orang ini,” kata asistennya dengan serius.
Eric menatap selembar foto di tangannya. Fikirannya melayang 4 tahun lalu saat ia melihat lelaki di foto itu tersenyum menyapanya dengan sangat ramah. Bagaimana mungkin ia percaya jika lelaki itu adalah mafia yang menjebak teman-temannya sendiri?. Ia dulu dapat merasakan kesetiakawanan lelaki itu dan rasa cintanya kepada anak buahnya. Ia juga tak terlihat seperti seorang pengkhianat.
“Aku tidak percaya lelaki ini melakukan hal semacam itu. Terus selidiki!” perintah Eric dengan otoriter. Perintahnya bak titah raja yang tak mampu dibantah walau berkali-kali mendapat hasil yang sama.
“Baik,” jawab An, anak buahnya. “Tuan, seperti yang anda yakini, baru saja ada sedikit bukti kejanggalan dari kasus ini. Tapi belum begitu jelas. Sepertinya kasus ini benar-benar disusun rapi dan rapat sampai polisi juga tak bisa berbuat banyak.
“Kita harus menemukan laki-laki ini secepat mungkin sebelum ditemukan polisi.”
“Ada satu tempat terpencil dikota ini yang belum kita selidiki, Tuan.”
-v-
“Tuan, kita diikuti.” Mobil Eric yang melesat cepat masih saja dapat terkejar oleh mobil hitam yang sangat taka sing olehnya.
“Melaju sampai dekat komplek rumahnya dan berhenti di keramaian,” ucap eric dengan nada dingin.
Sampai beberapa menit masih saja terkejar, hingga di dekat kerumunan, mobil Eric berhenti.
“An, kamu ke jalan kanan, harus membuat mereka mengikutimu. Aku akan pergi ke kiri.” Eric memberikan perintah.
“Tuan, anda…”
“Jangan fikirkan aku! Lakukan apa yang aku perintahkan.” Mereka mengangguk.
Eric melangkah tenang menuju sebuah toko pakaian. 20 menit kemudian ia keluar dengan tenang dan masuk ke komplek perumahan. Sennarnya jika dikatakan perumahan, disini lebih rapat dan berada di kalangan menengah kebawah dalam penghasilannya. Terlihat sekali ada banyak jajanan pinggiran, jalanan yang sempit hanya bisa dilalui dengan jalan kaki atau sepeda motor saja, dan tidak ada rumah mewah didalamnya.
Jika seandainya orang yang dicarinya itu masih dalam kota, mungkin disekitar sini adalah tempatnya. Ia sendiri juga tidak yakin, karena ia tak melihat sesuatu yang mencolok ditempat itu. Tetapi mencari satu orang dalam keramaian yang seperti ini juga bukan hal yang mudah. Dan jika ia bertanya dengan menyodorkan foto pada orang-orang, itu malah membuatnya menarik perhatian.
Belum sampai 10 menit, ia menyadari ada beberapa orang yang mengikutinya dengan jarak aman. Gelagat mencurigakan itu dengan cepat ia cerna dan ia segera melangkah dan cari cara untuk hilang dipandangan mereka. Namun, hal itu malah membuatnbya dikejar. 30 menit berlari, dan akhirnya dikepung, dipukul, bahkan ia juga ditusuk. Ia memang pandai beladiri, namun ia kalah jumlah. Mereka juga membawa senjata tajam, selain karena ia dalam keadaan lelah, lengannya terkena beberapa sayatan pisau mereka serta ada tusukan di perutnya.
Sejak 4 tahun lalu, ia tak pernah tahu mengapa keluarganya sendiri ingin membunuhnya. Jika bukan karena ditolong lelaki yang difoto itu, mungkin ia sejak awal sudah mati. Lelaki itu memberikan markasnya yang telah kosong untuknya. Lalu memberikan separuh dari hartanya juga. Kemudian lelaki itu pergi begitu saja beserta keluarganya tanpa ada sedikitpun tanda keberadaannya.
Disetengah kesadarannya, ia melihat seorang gadis mendekatinya. Memangku kepalanya dengan lembut, dan berkata “Tuan, anda tidak-apa-apa?” ia tak bisa menjawabnya karena ia tak bisa mempertahankan kesadarannya.
-v-
“Ayah, sepertinya dia masih kesakitan. Kita harus membawanya ke rumah sakit.” Suara itu terdengar ditelinga Eric yang masih terpejam.
“Jangan, Sayang. Dia tidak boleh dibawa ke rumah sakit,“ jawab seorang lagi yang mungkin ayahnya dengan suara agak serah dan lemah.
Siapa seseorang yang begitu mengerti akan dirinya yang jangan sampai dibawa kesana? Perdebatan antara ayah dan gadis remaja itu terhenti saat matanya terbuka. Gadis itu mendekat menatap matanya lekat-lekat. Lalu menggoyangkan tangannya untuk memastikan terbukanya mata itu juga membuka kesadaran eric. “Dia sudah sadar, Yah,” kata gadis itu.
Eric mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang luas. Ruang tamu. Entah kini ia berada dirumah siapa. Ia segera bangkit untuk memastikan kalau ia tidak berada di tempat musuh. Namun, gadis itu mencegahnya. “Jangan duduk dulu. Berbaring saja.” Suara gadis terdengar lembut tanpa dibuat-buat, seolah itu memang karakter aslinya memang sangat lembut. Eric menurutinya. Setidaknya ia kini berada di tempat aman.
Ia menoleh ke kanan. Didekatnya ada seorang gadis yang membuat tatapannya terkunci seketika. Bola matanya biru safir di hiasi lentik bulu matanya, serta parasnya yang terkesan lembut anggun dan alami hingga membuat hatinya sejuk seketika. Kemudian, dalam jarak beberapa meter ada seorang lelaki mengenakan kursi roda yang berjalan mendekatinya. Lelaki itu tersenyum.
“Apa kabar, Eric?” sapa lelaki itu dengan senyuman di wajahnya yang menua.
Eric terkejut dengan pandangannya kali ini. Ia sangat senang sekaligus lega melihat lelaki yang dicarinya. “Tuan Allen….” Beonya dengan penuh haru. Ia tak menyangka akan bertemu orang yang berjasa besar padanya dengan cara seperti ini.
“Tuan, …” Ingin rasanya Eric menceritakan semua yang telah terjadi, segala perubahan diluar sana, dan apa saja yang kini menimpa dunia keduanya pasca perpisahan dulu. Bahkan ia reflek akan bangkit dari pembaringannya. Namun, luka tusukan diperutnya tak bisa menerima paksaan itu. Ia memekik kesakitan.
“Pulihkan kesehatanmu dulu. Kamu bisa tinggal disini sampai kapanpun kamu mau … aku tahu kamu mencariku. Kamu bisa menceritakan nanti atau besok saat keadaanmu membaik,” ucap Allen dengan sangat bijaksana.
“Saya ingin menceritakan sekarang, Tuan. Karena saya tidak tahu, seberapa lama saya aman disini.”
Allen memahami maksud perkataan pemuda di hadapannya itu. Iapun menyuruh anaknya untuk menyiapkan makan malam sekaligus memberi ruang bersama Eric untuk bicara berdua. Keduanya saling menatap tanpa ada yang bersuara. Tidak dengan Allen yang sejak tadi menebak banyak hal, juga tidak dengan Eric yang sejak tadi bibirnya gatal ingin menumpahkan banyak cerita dan meminta ide namun ia tak tahu harus memulai dari mana.
“Katakan saja mulai dari kenapa kamu bisa sampai disini.” Perkataan Allen langsung tepat sasaran dengan apa yang dibingungkan Eric.
Eric mulai bercerita.
“Kita jalan-jalan saja,” saran ghea sekaligus keinginannya keluar rumah untuk refreshing ketika Eric mengeluh bosan. Selama ini ia tak pernah keluar rumah karena Eric melarang dan rumah dijaga ketat. Eric hanya memutar bola mata. Sebenarnya ia juga ingin mengajak Ghea jalan-jalan. Tetapi keberadaan Tuan Allen yang masih belum diketahui, dan keluarganya sendiri yang baru-baru ini gencar ingin membunuhnya membuat keadaan masih belum sepenuhnya aman.ia khawatir Ghea akan diculik dan dijadikan Sandera. “Belum bisa.” Ghea membuang nafas pasrah. “Aku ingin jalan-jalan. Kenapa masih belum boleh? Kalau kamu khawatir, kamu yang ajak aku pergi.” Ia kembali membujuk.
Ghea masih tertidur pulas dibalik selimut yang meutupi tubuhnya. Eric tersenyum mengingat beberapa jam yang panas diantara ia dan gadis yang dicintainya. Ia sangat menyayanginya. Tetapi ia masih memiliki misi tuk menjadikan Ghea kuat. Ia tak ingin Ghea selalu mengandalkannya dalam segala sesuatu. Ia ingin gadis itu juga menguasai beladiri dan senjata agar bisa menjaga dirinya sendiri. Sampai saat ini gadis itu masih saja taka da niatan ingin bisa dan slalu mengandalkannya. Tidakkan ia tahu banyak musuh yang mengincarnya? Eric bangkit mengambil pakaian cdan celananya yang berserekan, kemudian menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit kemudian ia sudah siap dengan pakaian serba hitam. Malam ini ia akan kembali ke markas. “Bik …” panggilny
Ghea dikejutkan dengan datangnya seseorang yang mengatakan akan meriasnya. Katanya, ia mendapat perintah dari Eric untuk meriasnya. Bahkan Ghea sendiri tidak diberitahu apa-apa tentang itu. Dan sekarang beginilah keadaannya, usai berdebat dengan perias tentang polesan yang jangan tebal dan lain-lain, ia disuruh mengenakan gaun panjang nan indah warna cream berpadu pernak-pernik yang membuatnya sangat memukau. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan hiasan butiran permata yang berkilau. Ia sendiri sampai tertegun melihat bayangannya di cermin yang sangat cantik. “Anda sangat cantik,” puji perias yang berada di belakangnya. Ditengah terpesonanya ia terhadap dirinya sendiri, pintu kamar berderit
Ghea duduk termenung di balkon kamarnya, menatap bintang yang sebenarnya sudah ia lihat setiap malam. Ia selalu merasa bosan, beberapa hari ini Eric sibuk di markasnya dan tidak pulang. Ada perasaan bahagia karena taka da oaring yang terus menyiksanya, juga merasa ada sesuatu yang hilang. Saat ia membalikkan badan, ia terkejut mendapati Eric berdiri di pintu dengan keadaan kacau. Tubuhnya penuh lebam, wajahnya juga ada bagian-bagian yang sudah mengungu. Ghea mendekat dengan takut. Bagaimanapun Eric suaminya, meilhatnya seperti ini jelas membuat perasaannya khawatir. Wajah Eric yang masih menyisakan beringas-beringas terus menghantui bayangan-bayangan dikepala Ghea. “Kamu tidak apa-apa?” Tanya Ghea mendekat. Ia menyentuh bibir itu yang tengah mengeluarkan darah. Ia perna
Fin menatap sahabatnya yang kini terbaring tak sadarkan diri lagi. Baru saja lelaki itu siuman sehari, kini ia harus menjahit lukanya karena terbuka. Ghea, istrinya kini juga dirawat ditempat yang sama, sama-sama masih terpejam posisi jatuhnya Ghea kemarin jelas sesuatu yang tak bisa dihindari. Kepala bagian bawahnya membentur laci dengan keras hingga mengeluarkan banyak darah, nyaris tak tertolong jika ia tak segera masuk ke ruangan dan mendapati mereka. “Kita harus balas dendam,” ujar George geram. “Kita harus menunggunya sadar. Eric takkan bisa lega jika bukan dia sendiri yang meringkus pemimpin mereka sendiri.” Suara Fin terdengar tenang namun tak pernah memberi kesan santai, pandangannya tajam tak melewatkan sedetikpun menunggu Eric sadar. Beb
Mata Ghea terbuka usai 12 jam pingsan. Pemandangan pertamanya adalah perempuan yang mengenakan jas hitam sedang menatapnya. Ia merasa kepalanya sangat pusing dan dan matanya masih ingin terpejam. Namun, ketika ingatan sebelum ia pingsan, ia tak mau memejamkan mata. ‘Bagaimana keadaan Eric?’ batinnya yang merampal sebagai doa. Ia tetap diam tak berkutik dalam kesadarannya itu. Tubuhnya merasa sangat lemas, kepalanya berat, dan tenggorokannya kering keronta. Ia tak mau menguras energy untuk menyerang sedang ia sedang tak berdaya. Lebih baik tenang dulu, dan mencari ide untuk kabur segera. Perempuan disampingnya itu menggerakkan tangannya guna mengetes pandangan Ghea yang kosong dan tak merespon. Karena Ghea seperti mayat hidup, ia memanggil dokter.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
コメント