-You will always be the girl that fills my heart, my soul, my everything-
Astrophile Kaivan.Tubuh keduanya terkulai lemas. Terengah, saling berebut pasokan udara untuk masuk ke dalam paru. Saling memeluk, dan tersenyum puas menikmati sisa-sisa pelepasan dalam kerinduan yang mendera.
“I love you.” Ujar sang pria memecah kebisuan.
“I love you too.”
“I love you more.”
“I love you most.”
“I love you infinity.”
“Ya, ya. I know that you love me to the moon and back, to infinity and beyond, forever and ever.” Decak gadis itu sambil menyerukkan wajah pada leher sang pria. “Dasar pak pengacara, gak pernah mau ngalah!”
Keduanya terkekeh bersamaan. Lantas dering ponsel menyela kekehan keduanya.
“Hapemu!”
Seru mereka bersamaan saat mendengar dering nada I’m Yours yang ditembangkan oleh Jason Mraz. Detik selanjutnya mereka kembali terkekeh. Membiarkan dering yang entah dari ponsel siapa, berhenti dengan sendiriannya. Ya, keduanya memiliki nada dering ponsel yang sama.
“Kamu ada wawancara dengan Aya, hari ini?”
“Hmm, sekalian makan siang, bukan wawancara formal sih.” Zetta, yang sedari tadi memeluk Astro bangkit, menjauhkan diri tanpa melepas penyatuan mereka.
“Batalin.”
Tubuh Astro bagaikan magnet yang tertarik, dan tidak bisa terpisahkan dengan tubuh Zetta. Pria itu ikut bangkit dan menegakkan sandaran joknya. Lalu kembali memeluk sang kekasih, yang sudah dipacarinya dalam diam, selama hampir satu dekade.
Mereka masih berada di garasi. Selepas menjemput Zetta di bandara beberapa saat yang lalu, pria itu hanya keluar untuk membuka dan menutup pagar. Bahkan, pintu garasi masih terbuka lebar, saat keduanya menyelesaikan satu pergulatan panas untuk melepas kerinduan.
Keduanya dipertemukan saat sama-sama memulai karir di kantor Firma Hukum Sagara milik Pras. Astro kala itu, baru menapakkan rekam jejaknya agar bisa menjadi pengacara seperti Pras. Sedangkan Zetta, masih sebagai pekerja paruh waktu, di bagian keuangan.
“Aku sudah kosongin jadwal hari ini, khusus buat kamu. Jadi, kamu juga harus kosongin jadwalmu.”
“Umm …” Kedua tangan Zetta mengalung pada leher Astro sembari menggumam panjang dengan menggulirkan maniknya ke kiri dan ke kanan.
Karena tidak sabar menunggu, Astro menekan tubuh Zetta kearahnya. Hal itu membuat gadis itu memekik nikmat.
“Kamu mau lagi, hem.”
“Dammit! Kenapa cepet banget bangunnya!”
“Wajar …” Kilatan hasrat kembali terlihat pada manik pria itu. “Kamu gak ngasih aku jatah … selama satu minggu, waktu kamu di Surabaya.”
Apalagi, saat sang kekasih yang masih berada di pangkuan, sudah menggerakkan kembali tubuhnya. Seirama dengan desahan pelan, yang akan selalu menjadi alunan nada terindah bagi Astro. Hingga keduanya lagi-lagi menjeritkan nama masing-masing saat mencapai pelepasannya.
Zetta mundur, menarik diri dari penyatuannya dengan pejaman nikmat namun merasa hampa setelahnya. Ia menarik kedua tali spagetthi dressnya yang terjatuh di sisi pinggang, kembali ke pundak. Zetta mengulurkan tangan, untuk mengambil tas yang berada di kursi samping pengemudi beserta sweaternya. Kemudian, ia mengecup sebentar bibir Astro yang masih terpejam, menikmati pelepasannya.
“Aku ke kamar dulu. Jangan lupa cariin dalemanku. Dari pada entar nyelip terus ketahuan Tante Aster, kan gawat!” Kelakar Zetta itu, disambut kekehan olah Astro, dan hanya menjawab kekasihnya dengan gumaman.
Gadis itu masuk ke dalam rumah pemberian Pras. Rumah yang dijanjikan pria itu, ketika Melati berhasil menjegal Zevan, agar tidak meneruskan penyelidikan tentang kasus Milliar Paper kala itu. Rumah itu, kini sudah sah menjadi milik Zetta. Dan, sejak ia menjalin hubungan dengan Astro, gadis itu lebih memilih tinggal di rumahnya sendiri, agar lebih bebas melepas rindu dengan sang kekasih kapanpun mereka mau.
Zetta menghempas tas plus sweater, serta tubuh lelahnya pada ranjang queen sizenya. Ia lalu mengambil ponsel yang terdapat di dalam tas. Menghubungi Aya untuk membatalkan janji temu untuk wawancara, sesuai permintaan Astro beberapa saat yang lalu.
Setelah urusan Aya selesai. Kini giliran sang mama yang harus dihubunginya, agar wanita paruh baya itu tidak terlalu mengkhawatirkannya.
Tidak lama kemudian, Astro bergabung bersamanya. Menghempas tubuh yang juga sama lelahnya di samping Zetta.
“Garasi sudah di kunci?” Zetta melempar ponselnya di atas ranjang begitu saja. Menarik napas dalam-dalam, sembari menatap langit-langit kamar yang sudah ditinggalkan selama satu minggu.
“Sudah.”
“Pakaian dalamku?”
Astro meletakkan strapless bra dan lace thong berwarna merah menyala tepat di atas wajah Zetta. Lalu pria itu terkekeh saat Zetta menghardiknya.
“Gak sopan!” Ketusnya menyingkirkan pakaian dalamnya dari wajah.
Astro membalik tubuhnya, menyangga kepala dengan satu tangan menatap Zetta. Telunjuk Astro berjalan pelan, menyusuri bekas jahitan yang berada di sepanjang bagian tengah dada Zetta. Setelah lulus SMA, gadis itu melakukan operasi transplantasi jantung, dan harus menjalani hari selama setahun lebih di rumah sakit. Saat itu, Zetta mendapat perawatan intensif, karena sistem kekebalan tubuhnya yang melemah.
Namun setelahnya, kondisi Zetta berangsur membaik. Meskipun begitu, gadis itu harus tetap melakukan kontrol rutin dan menjalani gaya hidup dengan baik. Menjaga asupan gizi pada makanannya, olahraga, dan semua gaya hidup sehat yang dapat menunjang kesehatannya.
“Kalau kita nikah nanti, aku pengen kamu jadi ibu rumah tangga seutuhnya. Aku gak pengen kamu stress, sama kecapekan.”
“Bukannya kalau di rumah aja, aku malah tambah stress?” tolak Zetta dengan alibi yang tidak mencolok.
“Kamu bisa kerja dari rumah,” bibir Astro sedikit mencebik, satu bahunya terangkat samar. “Kamu itu financial planner, kamu bisa kerja independen. Bikin konten kreatif di sosmed tentang pengelolaan uang, bagi perempuan di luar sana. Terutama para ibu rumah tangga. Mereka pasti tertarik.”
“Tapi itu gak gampang.” Zetta juga membalik tubuhnya menatap Astro. “Bersaing dengan para senior yang sudah punya nama di bidangnya itu … ck, susah!”
“Mereka yang saat ini sudah menjadi senior, dulunya juga junior seperti kamu.” Wajah Astro maju untuk memagut bibir tipis milik Zetta sebentar. “Everything starts from zero, sweetheart. I know it’s not easy, but I do believe in you. So jangan pesimis!”
Zetta mencubit gemas pipi Astro, dengan ringisan di wajahnya. “Pinter banget kalau ngomong, selalu bisa jadi penyemangat! Apa jadinya aku, kalau gak ketemu kamu ya?”
“Sudah pasti masih perawan.”
“Ih kan, pak pengacara kalau ngomong suka bener deh. Padahal kamu juga gitu, bakalan masih perjaka kalau gak ketemu aku.”
Keduanya lalu melepas tawa sambil berpelukan. Mengingat bagaimana mereka masih sama-sama amatir, saat pertama kali menyatukan diri beberapa tahun silam.
“So …” Astro mengurai pelukan keduanya. Bertelentang, sambil mengambil sesuatu dari kantung celana bahannya. Sebuah kotak merah berbentuk hati, yang kemudian ia buka tepat di depan wajah Zetta yang juga berbaring dengan posisi menatap langit-langit kamarnya. “Will you marry me, Zettania Yasmeen.”
“Seriously? Kamu ngelamar aku pas kita lagi berantakan gini?”
Astro bangkit, duduk bersila. Meraih tangan kiri Zetta. Dan, tanpa menunggu jawaban dari sang kekasih, Astro memasangkan cincin berlian itu ke jari manis Zetta.
“From now on, you’re completely mine! Zettania Yasmeen! Kamu gak punya alasan nolak lagi karena semua mimpimu sudah tercapai.”
Zetta ikut bangkit, lalu duduk di atas pangkuan Astro. Kedua tangan dan kaki gadis itu kompak mengalung pada tubuh lelakinya. “How come? Kita bahkan belum nikah, so, I’m still not completely yours!”
Kedua tangan besar Astro menyangga wajah Zetta. “B’coz I licked you, like this!” detik itu juga lidah Astro sudah bermain, membasahi leher jenjang wanitanya. “So, you’re completely mine!”
Yasa meraup separuh wajahnya, menatap bocah lima tahun yang kini tengah merengek untuk ikut pergi dengannya, ke dokter kandungan. “Papi sama mami gak lama, mainlah sama Aga. Nanti, Papi beliin burger.” “NO BURGER.” Aya yang baru muncul dari dalam dan mendengar percakapan suaminya dan putra sulungnya itu sontak memasang wajah galak. Berhenti diantara kedua lelakinya itu lalu melipat tangan di atas perut yang sudah membuncit. Kehamilan ketiganya saat ini memasuki usia 5 bulan, dan hari ini, adalah jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Mereka juga tidak sabar dan sangat penasaran untuk mengetahui jenis kelaminnya. Karena anak kedua mereka lagi-lagi berjenis kelamin laki-laki, dan diberi nama Telaga Dananjaya. Maka, keduanya berharap kalau yang ketiga ini, akan berjenis kelamin perempuan. “Why not?” protes Gara ikut melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibir mungil yang mengerucut kecil. Mengikuti sikap sang mami yang ditunjukkan kepadanya.
Yasa terhenyak dan bangkit seketika. Terduduk sebentar lalu berlari ke kamar mandi. Terlihat sang istri yang tengah berlutut, menunduk seraya membuang semua isi perutnya ke dalam kloset duduk. Yasa yakin sekali kalau hari masih subuh, meskipun ia belum melihat jarum jam sama sekali.Bergegas menghampir Aya dan membantu untuk menyingkap rambut lalu memijat tengkuk sang istri. “Ke dokter ajalah, Mi. Udah dua hari begini terus.”Aya hanya bisa mengangguk pasrah kali ini. Menurut pada saran sang suami. Padahal dari kemarin, Aya sudah berencana akan mengunjungi Pras, tapi karena tubuhnya tiba-tiba drop, maka Aya membatalkannya.“Coba diinget-inget lagi, dua hari yang lalu habis makan apaan bisa sampai begini.”Tubuh Aya menegak, menyudahi kegiatan yang membuat tubuhnya lemas selama dua hari ini. Lalu bersandar pada sisi dinding kamar mandi untuk menetralkan napasnya. Seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. Merasa tidak sanggup, un
Kedua orang yang dulunya pernah saling menyayangi dan berbagi segalanya itu, kini masih terdiam. Bintang memilih untuk masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. Memutuskan untuk memberi kedua anaknya itu kebebasan, untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala. Dan, ia hanya mengawasi jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun tetap berharap semua akan baik-baik saja.Bintang sudah percaya penuh dengan keduanya. Mereka sudah tahu batasan mereka. Dan untuk Astro, Bintang tahu pasti, kalau pada dasarnya, pria itu sangat baik. Aster hanya salah dalam mendoktrin otaknya sedari kecil, hingga rasa benci itu tumbuh tanpa mengetahui semua alasan yang ada di baliknya.“Kata papa, Kak Astro mau jual rumah?” Akhirnya, Aya jugalah yang membuka topik pembicaraan. Tidak nyaman dengan perasaan canggung, yang kali ini mendera keduanya.Aya tidak mau mengungkit tentang kepindahan Astro ke Surabaya. Karena yang telah direncanakan kakak sepupunya itu, sud
Hanya senyum datar dan kekehan garing yang sedari tadi dilontarkan oleh Yasa, sepanjang ia menanggapi ocehan Lex serta Elo. Setelah diberi waktu untuk berpikir selama 24 jam oleh Sinar, dan juga demi Gara, akhirnya Yasa menandatangani surat perjanjian yang telah disodorkan kepadanya. Ada tiga buah salinan asli yang harus ditandatangani. Yang nantinya, surat tersebut akan pegang oleh Yasa, Sinar dan juga Lex, orang kepercayaan Pras. Entah kenapa Yasa tiba-tiba yakin, kalau keseluruhan ini, adalah rencana pria yang masih saat ini masih mendekam di penjara. Setelah semua selesai, Sinar menyunggingkan senyum kecilnya. Memandang puas pada berkas yang sudah berada di tangan. Untung saja, kan, ia menceritakan semuanya kepada Pras, hingga terciptalah sebuah perjanjian yang jika dipikirkan lagi, secara keseluruhan semua terlihat hanya menguntungkan pihak Sinar. Dengan adanya perjanjian tersebut, Pras bisa menilai, sejauh mana kesungguhan Yasa terhadap pernikahannya de
Pump heel setinggi 3 senti itu, berjalan mundur beberapa langkah dengan pelan. Menoleh, pada pria yang asik duduk di sofa lobi sembari menunduk. Ibu jari pria itu sibuk bergerak pada ponsel yang dipegang secara horisontal. Fix! Lagi-lagi pria itu pasti tengah sibuk dengan gamenya.“Nando!” panggil Sinar yang berdiri tidak jauh dari ponakannya itu. Tadinya, setelah keluar dari ruangan Elo, Sinar hendak pergi ruangannya. Namun diurungkan, hatinya yang memanas karana bertemu Yasa, membuat Sinar ingin pergi ke rooftop bar yang berada di gedung perkantoran. Menyesap sesuatu yang dingin, untuk mendamaikan kepala sekaligus hatinya.“Eh, Bunda di sini?” tanya Nando terlihat salah tingkah. Pria itu mengusap tengkuknya sebentar sembari menghampiri Sinar. Meraih tangan wanita dan mencium punggung tangannya. “Lagi ngapain, Bund? Asa mana?”“Ya kerja, lah kamu ngapain di sini?”“Aku … aku mau ketemu Asa.&rdq
Aya tersenyum canggung. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada selama ini ketika bertemu dengan Tara, kini muncul. Rasa tidak nyaman karena mungkin, yang akan dikatakannya bisa menyakiti hati Tara. Selama ini, pria itu sudah terlalu baik untuknya. Meskipun terkadang sedikit sarkas, tapi Aya tahu, kalau di dalam sudut hati Tara, pria itu sangat menyayangi Aya juga Gara.“Tara …” Aya menggantung kalimatnya sejenak untuk menarik napas. Di kamar, ia sudah mengemasi pakaian yang selama ini diperolehnya dari Tara. Juga ada box bayi, pakaian Gara, dan segala keperluan Aya yang kesemuanya disediakan oleh pria itu ketika masih tinggal di vila. Sungguh, Aya berutang banyak pada Tara, dan pada akhirnya, ia belum mampu membalasnya. Justru malah hanya meninggalkan luka.Selama ini, Aya belum menyadari sepenuhnya kalau hatinya sudah tertambat pada Yasa. Aya pikir, kehidupan cintanya masih berpusat pada Astro, namun ia salah. Rasa sakit yang begitu menusuk ketika be
Yasa meneguk ludah hingga berulang kali. Melihat putranya menyesap ASI langsung dari tempatnya, membuat Yasa hanya bisa menggigit jari. Berbulan-bulan tidak melihat dan menikmati tubuh sang istri, membuat pusat dirinya memberontak. Dan, Yasa tidak mau tahu, setelah Gara selesai, maka dirinya juga harus mendapatkan giliran. “Apa, Gara kalau minum ASI …” Yasa kembali menelan ludah, maniknya sedari tadi hanya terfokus pada bibir sang putra yang bergerak lahap menyesap penuh puncak dada istrinya. “Gara kenapa?” tanya Aya memecah lamunan Yasa dalam sekejab. “Oh, itu, kalau minum ASI, apa selalu lama seperti ini?” “Tergantung, gak tentu juga sih. Suka-suka dia aja.” Wajah Yasa terlihat semringah ketika melihat Gara melepaskan bibirnya mungilnya. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali tertekuk ketika Aya hanya memindahkan posisi tubuh Gara untuk menyesap di tempat satunya. “Apa harus dua-duanya gitu dia minum?” decak Yasa sedikit sewot. Bel
Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s
Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &