“Ini upahmu selama bekerja di sini,” jawab Farhan.
Gladys menautkan alisnya. Dia mencoba mencerna kalimat yang terucap dari mulut atasannya itu.
“Mulai besok kamu tidak usah datang lagi ke sini,” jelas Farhan. Ucapannya itu seolah menegaskan bahwa apa yang baru saja dipikirkan oleh Gladys adalah benar. Dia sepertinya dipecat dari pekerjaannya.
“Maksud Bapak apa? Saya dipecat? Kenapa? Apa karena insiden kemarin di rumah Pak Keenan?” cecar Gladys merasa tidak terima dengan pemecatannya.
Farhan hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
“Kok begitu, Pak? Saya rasa, saya tidak melakukan kesalahan. Kemarin saya melakukan sesuai instruksi Bapak. Kenapa saya malah dipecat?” keluhnya dengan nada bicara yang sedikit meninggi. Gladys sedang menuntut keadilan baginya. Hatinya kini merasa sangat kesal dan juga marah.
Laki-laki itu beranjak dari kursi kerjanya, lalu berdiri tepat di depan Gladys. Dia memegang kedua lengan Gladys dan meremasnya. “Bagaimana pun kamu tetap salah! Kemarin dari pihak yang bersangkutan mengajukan komplain pada Bos besar. Beliau marah besar dan … yah kamu harus dipecat,” jawab Farhan. Bos besar yang dimaksud oleh Farhan adalah pemilik perusahaan Go Clean, tempat Gladys bekerja.
“Tapi, Pak! Ini tidak masuk akal, saya tidak terima!” protes Gladys.
“Sstt! Jangan pernah membantah bos besar. Kamu tidak tahu siapa Keenan Setyawardhana, ya? Kalau tidak tahu lebih baik kamu diam saja. Jadi sekarang silakan keluar dari sini, dan ambil pesangonmu. Sudah untung kami memberikanmu pesangon, padahal kamu baru bekerja satu bulan lebih,” pungkas Farhan, lalu dia membalikan badannya dan duduk kembali di kursi kerjanya itu.
Bibir Gladys bergetar, rahangnya kini mengeras. Dia merasa kecewa dengan perlakuan atasannya ini. Gladys meremas kemeja yang sedang dia kenakan. Kesal! Kenapa dia harus dipecat, padahal dirinya tidak salah? Mata Gladys kini mulai berkaca-kaca. Hatinya terasa perih. Luka dari kejaidan kemarin saja belum sembuh. Kini sudah ada yang berani-beraninya menabur garam pada luka di hatinya.
“Kenapa kamu masih diam saja? Cepat keluar!” perintah Farhan sembari mengibas-ngibaskan tangan kanannya.
Gladys berdecak kesal dan kecewa. Tak ingin diusir lagi, dia langsung menyambar amplop berwarna cokelat itu dan pergi dari ruang kerja Farhan. Dia mempercepat langkahnya, gadis itu tak ingin terlihat menangis di sini.
Jika Gladys boleh egois, dia tak ingin menerima uang pesangon ini. Dia merasa kecewa pada atasannya itu. Seharusnya sebagai atasa yang baik harus bisa mendengar cerita dari dua sisi. Memang konsumen adalah raja, tapi bukannya perusahaan juga harus bisa melindungi karyawannya.
Kejadian kemarin juga bukan salah Gladys sepenuhnya. Sudah jelas-jelas Farhan yang menyuruhnya membuka brankas, dan itu karena permintaan client. Tapi kenapa sekarang hanya Gladys yang disalahkan?
Tapi Gladys mencoba meredam egonya. Karena bagaimanapun dia harus menerima uang pesangon itu. Jika tidak, dia tidak bisa mengirimkan uang untuk ibunya. Miris memang. Kenapa dunia ini tidak pernah berpihak pada orang miskin seperti Gladys? Tanpa terasa ternyata Gladys menitikan air matanya, kini langkah kakinya menuntun sang gadis keluar dari gedung tempatnya bekerja sebagai cleaning service.
‘Ibu, maafkan Gladys.’
Malam hari Gladys berangkat menuju salah satu lounge mewah di Jakarta. Dia kesana bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk bekerja. Sebelum bekerja sebagai cleaning service, Gladys sudah bekerja sebagai waiters di salah satu lounge mewah di daerah Jakarta Pusat.
Pekerjaan tersebut memang agak berat bagi gadis berambut pendek itu. Karena bekerja di dunia malam secara sehat itu tidaklah mudah. Selama bekerja di sana, Gladys memang tidak pernah macam-macam dengan tamunya. Dia selalu menjaga kehormatannya sebagai seorang perempuan. Maka dari itu saat Keenan membuka bajunya secara paksa, Gladys sangat kesal, marah, dan juga kecewa.
“Gladys, kamu ikut aku sebentar,” ucap seorang laki-laki dengan stelan jas rapi memanggil Gladys yang baru saja selesai bekerja.
Gladys menghembuskan napas keras. Tumben sekali atasannya ini memanggil Gladys secara pribadi. Tiba-tiba saja dia merasa khawatir. Tapi tak lama kemudian dia langsung menepisnya. Mencoba berpikir positif.
“Dys, kamu tahu kan aku bukan tipe orang yang berbasa-basi?” tanya Zen, atasan Gladys di tempat kerja malamnya.
Gladys mengangguk. Dia sudah lama bekerja di sini, kurang lebih enam bulan. Jadi dia sudah tahu bagaimana sifat dari atasannya itu.
Zen menghela napas berat. “Mulai besok ada orang baru yang akan menggantikanmu di sini. Jadi ini adalah hari terakhirmu bekerja di tempatku ini,” ucap Zen tegas.
Lagi? Gladys lagi-lagi dipecat? Tapi kenapa? Sekarang apa alasannya? Oke … jika di Go Clean, dia tahu alasan dia dipecat. Tapi di sini? Mata Gladys membulat, mulutnya pun menganga, napasnya kini naik turun secara cepat. Gadis itu tidak bisa menerima dengan keputusan atasannya secara sepihak.
“Kenapa, Mas? Memangnya aku melakukan kesalahan apa, sampai-sampai ada yang mau menggantikanku?" tanya Gladys, dia mencoba sabar dan tidak terpancing emosi. Walau dalam hatinya sudah bergemuruh ingin menghujat.
“Ada konsumen yang complain tentang pelayanan yang kamu berikan,” jawab Zen lugas.
“Complain? Memangnya pelayanan aku bagaimana, Mas? Bukannya selama ini aku selalu melayani para tamu sesuai SOP.”
“Memang. Tapi kamu tahu kan ini tempat apa? Beberapa dari mereka complain karena kamu tidak bisa melayani mereka dengan baik.” Zen memberikan tanda kutip oleh tangannya saat menyebutkan kata terakhir pada Gladys.
Gladys menghela napas pelan. Ya, memang selama dia menjadi pelayan di sini, dia tak pernah ingin disentuh oleh para tamu. Tapi bukannya Zen tidak pernah mempermasalahkan ini sebelumnya?
“Jadi dengan berat hati aku harus memberhentikanmu dari pekerjaan ini. Untuk gajimu akan aku transferkan ke rekening biasa,” pungkas Zen dan kemudian dia pergi meninggalkan Gladys yang masih berdiri mematung.
Tubuh Gladys bergetar. Kenapa? Kenapa dia harus dipecat lagi dari pekerjaannya? Terus sekarang dia harus mencari uang ke mana? Gladys merasa dadanya sangat sesak sekarang. Dia meremas bajunya dan kemudian memukul pelan dadanya. Mencoba menguatkan dirinya yang sudah rapuh dua hari ini.
Gladys memejamkan matanya, ada buliran air mata yang menetes dan membasahi pipinya. Dia langsung menghapusnya. Tak ingin berlama-lama, gadis itu membalikkan badannya dan segera pergi dari ruangan Zen.
Ternyata Zen sedang menunggu Gladys kelaur dari sana. Laki-laki itu sedari tadi menunggu di balik tembok dekat ruangannya. Lalu saat dia melihat Gladys keluar dari ruangannya, dia merogoh saku celananya. Laki-laki itu langsung menelepon seseorang.
“Sudah saya selesaikan. Tolong jangan sampai hubungan kerja sama kita berakhir, Mas Keenan,” ucap Zen.
BERSAMBUNG ….
***Terima kasih sudah membaca sampai bab 7. Jangan lupa baca ceritaku yang sudah tamat juga. Jadi udah nggak usah nunggu-nunggu lagi. Judulnya "After The Heartbreak".Tidak usah ditanya bagaimana perasaan Gladys saat ini. Tentu dia sedang merasa sangat amat terpuruk. Bagaimana tidak? Dalam satu hari dia kehilangan dua pekerjaannya sekaligus. Kali ini dia tidak tahu harus mencari pekerjaan ke mana lagi. “Aku harus bagaimana?” lirih Gladys sambil menyeka air matanya. Entah sudah berapa banyak air mata yang dia keluarkan beberapa hari terakhir ini. Ini semua gara-gara Keenan! Tiba-tiba hati Gladys bergejolak ketika mengingat wajah laki-laki bengis itu. Ingin rasanya melakukan balas dendam, tapi siapa Gladys? Dia mungkin hanya sebatas plankton, jika dibandinngkan dengan Keenan yang kaya dan memiliki kekuasaan. Mata Gladys terasa berat. Perlahan dia memejamkan matanya. Gladys harus tidur, sejenak melupakan masalah yang sedang dia hadapi saat ini. Walau saat terbangun, masalah ini tidak dengan tiba-tiba selesai begitu saja. Setidaknya dia beristirahat sejenak dari kejadian yang sudah dia alami dua hari ini.
Gladys membelalakan mata, tatkala melihat laki-laki yang sedang duduk dengan wajah angkuh di depannya. Sudah hampir dua pekan pasca kejadian sial itu, sampai akhirnya dia harus kehilangan pekerjannya. Rekam kejadian pada malam itu masih membekas di otak bahkan hatinya. Tiba-tiba saja Gladys merasa kesal dengan kedatangan laki-laki itu. Apalagi mulutnya yang seolah tak memiliki fitur filter itu, berucap hal yang membuat hati Gladys bagai ditetesi perasan lemon. ‘Apa? Calon gelandangan, katanya?’ Walau dalam hati Gladys kesal, tapi entah kenapa dia tak berani untuk bersuara. Tiba-tiba saja dia mengingat bagaimana ekspresi wajah bengis Keenan, ketika kala itu mengikat dirinya. “Maaf saya harus pergi,” ucap Gladys sambil beranjak. Dia tak ingin berduaan bersama Keenan. Lagi pula, sedang apa dia di sini? Ini bukan tempat yang cocok untuk seorang CEO seperti Keenan. “Memangnya kamu punya tempat tujuan?” tanya Keenan dengan nada mencibir. Tidak! Tent
Harap bijak dalam membaca bab ini.Happy Reading~***Gladys bergeming dengan pupil mata yang bergetar. Oh, tidak! Dia tak ingin diikat lagi oleh Keenan, sama seperti hari itu. Tapi dia juga tak ingin melepaskan baju yang sedang dikenakannya. Seketika Gladys merasa bimbang, tetapi dia harus segera memilih. Jika tidak … Keenan pasti akan menghukumnya. “Ba-baik, akan sa-saya lakukan,” ucap Gladys gagap. Untuk seketika Keenan melepaskan cengkraman pada tangan Gladys, dan gadis itu mencoba membuka bajunya dengan tangan gemetar.Gladys menelan saliva, dia memejamkan matanya untuk menahan rasa malu. Akhirnya baju itu terlepas dari tubuh Gladys dan langsung memperlihatkan kulit putih dan mulus miliknya. Dia enggan untuk bertatapan dengan Keenan. Alhasil dia langsung berjongkok, mengelap lantai yang berceceran dengan kopi yang tumpah.“Berdiri!” perintah Keenan lagi saat Gladys
Harap bijak dalam membaca, ya, kak. Happy Reading~ *** “Berengsek!” umpat Gladys. “Apa katamu? Berengsek? Siapa yang berengsek, hah?” geram Keenan. Berani-beraninya perempuan itu mengumpat pada Keenan. Dia menunjukkan wajah bengis pada Gladys, Keenan tak suka pada perempuan kasar seperti Gladys. “Kamu! Kamu berengsek!” jerit Gladys frustrasi. Plak! Hilang sudah kesabaran Keenan. Dua kali Gladys meneriakinya dengan kata berengsek. Sungguh gadis ini memiliki nyali yang besar. “Oh, aku berengsek? Oke, aku akan membuat kamu menarik kembali umpatanmu padaku. Aku akan membuat kamu merasakan sebuah kenikmatan yang tidak ada duanya,” ucap Keenan sambil menatap intens manik kecokelatan milik Gladys. Sejurus kemudian Keenan membuat sebuah pergerakan. Dia menggerakan pinggulnya maju mundur, terus menerobos milik Gladys yang terasa sangat sempit. Sungguh, Keenan baru merasakan milik wanita sese
‘Apa sih? Bisa-bisanya memuji ketampanan laki-laki berengsek itu!’Gladys merutuki dirinya sendiri dalam hati. Matanya pasti terhalangi kotoran gajah, sampai-sampai terpesona dengan visual yang dimiliki Keenan. Memang benar laki-laki itu sangat tampan. Tapi kalau mengingat kembali bagaimana dia memperlakukan Gladys kemarin dan saat itu, wajah tampannya itu hanya topeng belaka.Ah, sial! Dia mengingat kejadian kemarin di ruang tv. Rasa kesal dan senang tiba-tiba muncul secara bersamaan. Sungguh Gladys tak bisa memahami perasaannya saat ini. Biarlah, Gladys tak ingin memedulikannya. Dia harus fokus dengan apa yang saat ini ada di depan matanya.“Mbak Gladys,” panggil Firman. Pasalnya sedari tadi Gladys hanya diam mematung di tempat.“Eh?” Gladys tersadar dari lamunannya. Dia langsung menoleh ke arah Firman sambil tersenyum canggung.“Mari ikut saya,” ucap Firman lagi. Akhirnya mereka masuk ke sebuah rua
Kesempatan emas ini tentu tak akan Keenan sia-siakan. Pasca tragedi malam itu Keenan tertarik pada Gladys. Apalagi dia selalu membayangkan momen ketika menyiksa Gladys dan momen terakhir yang mereka bedua lewati. Selain itu, karena sebuah fakta bahwa Gladys memiliki hubungan dengan Aidan, menuntut Keenan untuk bisa mengontrol gadis polos ini. “Sudah selesai membacanya?” tanya Keenan dingin. Gladys mengigit kuku ibu jarinya saat membaca tulisan pada kertas perjanjian tersebut. Ini adalah sebuah peraturan dan juga perjanjian yang harus dipatuhi oleh Gladys. Dia membaca tiap poinnya; Pertama, Gladys harus selalu patuh kepada perintah Keenan. Kedua, Gladys harus selalu melapor kemana dia akan pergi. Ketiga, Gladys tak boleh masuk ke ruang kerja Keenan tanpa izin. Keempat, Gladys tidak boleh dekat dengan lelaki mana pun, kecuali Keenan. Kelima, Gladys harus bersedia menjadi boneka yang manis untuk Keenan. Sebentar … masih ada kelanjutannya dari peraturan it
“Mas, ini kopinya,” ucap Gladys sambil memberikan kopi Americano kepada Keenan. Kemudian dia memundurkan langkahnya sambil masih melihat ke arah Keenan. Laki-laki itu sedang membaca lembaran kertas, yang tadi pagi Erza berikan padanya. Wajahnya terlihat sangat serius sekali saat membaca lembar demi lembar kertas tersebut. Entah kenapa dengan tanpa sadar, Gladys menarik sudut bibirnya. Dia tersenyum kecil ketika melihat wajah Keenan yang sedang duduk di kursi kerjanya. Tampan. Keenan benar-benar tampan. Jika dilihat dari sudut Gladys saat ini, laki-laki itu tidak terlihat seperti orang yang jahat juga bengis. Dia seperti orang yang hangat namun keras kepala. Ternyata atasannya ini memiliki sisi seperti ini, ya. Gladys langsung menggeleng cepat. Ah, ada apa dengan matanya ini? Bisa-bisanya dia terpesona dengan visual Keenan. Dia mencoba menyadarkan dirinya sendiri. “Kamu ngapain masih di sini?” tanya Keenan yang menoleh ke arah Gladys. “Eh?” Gla
Gladys mendongak perlahan ketika mengenali aroma yang melekat pada tubuh laki-laki itu. Betapa terkejutnya dia ketika melihat sosok laki-laki yang sudah dia kenal dari beberapa tahun yang lalu. Laki-laki itu tersenyum dan memperlihatkan lesung pipi miliknya.“Hai,” sapanya dengan suara tenang.“Ha-hai,” balas Gladys gugup. Untuk beberapa detik mereka tetap di posisi seperti itu. Namun akhirnya mereka tersadar dan Gladys langsung menjauh darinya.“Kita baru ketemu lagi, ya,” ucap laki-laki itu. Kini di dalam lift hanya ada mereka berdua.Gladys mengatupkan bibirnya. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri.“Ah, iya,” timpal Gladys gugup.‘Kenapa dia ada di sini?’ batin Gladys sambil menjilat bibirnya.Ting!Lift tiba-tiba berhenti di lantai tujuh, kemudian pintunya terbuka.“Next time kita ngobrol lagi, ya. Aku harus ba