Share

7. KEPUTUSAN SEPIHAK

“Ini upahmu selama bekerja di sini,” jawab Farhan.

Gladys menautkan alisnya. Dia mencoba mencerna kalimat yang terucap dari mulut atasannya itu.

“Mulai besok kamu tidak usah datang lagi ke sini,” jelas Farhan. Ucapannya itu seolah menegaskan bahwa apa yang baru saja dipikirkan oleh Gladys adalah benar. Dia sepertinya dipecat dari pekerjaannya.

“Maksud Bapak apa? Saya dipecat? Kenapa? Apa karena insiden kemarin di rumah Pak Keenan?” cecar Gladys merasa tidak terima dengan pemecatannya.

Farhan hanya mengangguk-anggukan kepalanya.

“Kok begitu, Pak? Saya rasa, saya tidak melakukan kesalahan. Kemarin saya melakukan sesuai instruksi Bapak. Kenapa saya malah dipecat?” keluhnya dengan nada bicara yang sedikit meninggi. Gladys sedang menuntut keadilan baginya. Hatinya kini merasa sangat kesal dan juga marah.

Laki-laki itu beranjak dari kursi kerjanya, lalu berdiri tepat di depan Gladys. Dia memegang kedua lengan Gladys dan meremasnya. “Bagaimana pun kamu tetap salah! Kemarin dari pihak yang bersangkutan mengajukan komplain pada Bos besar. Beliau marah besar dan … yah kamu harus dipecat,” jawab Farhan. Bos besar yang dimaksud oleh Farhan adalah pemilik perusahaan Go Clean, tempat Gladys bekerja.

“Tapi, Pak! Ini tidak masuk akal, saya tidak terima!” protes Gladys.

“Sstt! Jangan pernah membantah bos besar. Kamu tidak tahu siapa Keenan Setyawardhana, ya? Kalau tidak tahu lebih baik kamu diam saja. Jadi sekarang silakan keluar dari sini, dan ambil pesangonmu. Sudah untung kami memberikanmu pesangon, padahal kamu baru bekerja satu bulan lebih,” pungkas Farhan, lalu dia membalikan badannya dan duduk kembali di kursi kerjanya itu.

Bibir Gladys bergetar, rahangnya kini mengeras. Dia merasa kecewa dengan perlakuan atasannya ini. Gladys meremas kemeja yang sedang dia kenakan. Kesal! Kenapa dia harus dipecat, padahal dirinya tidak salah? Mata Gladys kini mulai berkaca-kaca. Hatinya terasa perih. Luka dari kejaidan kemarin saja belum sembuh. Kini sudah ada yang berani-beraninya menabur garam pada luka di hatinya.

“Kenapa kamu masih diam saja? Cepat keluar!” perintah Farhan sembari mengibas-ngibaskan tangan kanannya.

Gladys berdecak kesal dan kecewa. Tak ingin diusir lagi, dia langsung menyambar amplop berwarna cokelat itu dan pergi dari ruang kerja Farhan. Dia mempercepat langkahnya, gadis itu tak ingin terlihat menangis di sini.

Jika Gladys boleh egois, dia tak ingin menerima uang pesangon ini. Dia merasa kecewa pada atasannya itu. Seharusnya sebagai atasa yang baik harus bisa mendengar cerita dari dua sisi. Memang konsumen adalah raja, tapi bukannya perusahaan juga harus bisa melindungi karyawannya.

Kejadian kemarin juga bukan salah Gladys sepenuhnya.  Sudah jelas-jelas Farhan yang menyuruhnya membuka brankas, dan itu karena permintaan client. Tapi kenapa sekarang hanya Gladys yang disalahkan?

Tapi Gladys mencoba meredam egonya. Karena bagaimanapun dia harus menerima uang pesangon itu. Jika tidak, dia tidak bisa mengirimkan uang untuk ibunya. Miris memang. Kenapa dunia ini tidak pernah berpihak pada orang miskin seperti Gladys? Tanpa terasa ternyata Gladys menitikan air matanya, kini langkah kakinya menuntun sang gadis keluar dari gedung tempatnya bekerja sebagai cleaning service.

‘Ibu, maafkan Gladys.’

Malam hari Gladys berangkat menuju salah satu lounge mewah di Jakarta. Dia kesana bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk bekerja. Sebelum bekerja sebagai cleaning service, Gladys sudah bekerja sebagai waiters di salah satu lounge mewah di daerah Jakarta Pusat.

Pekerjaan tersebut memang agak berat bagi gadis berambut pendek itu. Karena bekerja di dunia malam secara sehat itu tidaklah mudah. Selama bekerja di sana, Gladys memang tidak pernah macam-macam dengan tamunya. Dia selalu menjaga kehormatannya sebagai seorang perempuan. Maka dari itu saat Keenan membuka bajunya secara paksa, Gladys sangat kesal, marah, dan juga kecewa.

“Gladys, kamu ikut aku sebentar,” ucap seorang laki-laki dengan stelan jas rapi memanggil Gladys yang baru saja selesai bekerja.

Gladys menghembuskan napas keras. Tumben sekali atasannya ini memanggil Gladys secara pribadi. Tiba-tiba saja dia merasa khawatir. Tapi tak lama kemudian dia langsung menepisnya. Mencoba berpikir positif.

“Dys, kamu tahu kan aku bukan tipe orang yang berbasa-basi?” tanya Zen, atasan Gladys di tempat kerja malamnya.

Gladys mengangguk. Dia sudah lama bekerja di sini, kurang lebih enam bulan. Jadi dia sudah tahu bagaimana sifat dari atasannya itu.

Zen menghela napas berat. “Mulai besok ada orang baru yang akan menggantikanmu di sini. Jadi ini adalah hari terakhirmu bekerja di tempatku ini,” ucap Zen tegas.

Lagi? Gladys lagi-lagi dipecat? Tapi kenapa? Sekarang apa alasannya? Oke … jika di Go Clean, dia tahu alasan dia dipecat. Tapi di sini? Mata Gladys membulat, mulutnya pun menganga, napasnya kini naik turun secara cepat. Gadis itu tidak bisa menerima dengan keputusan atasannya secara sepihak.

“Kenapa, Mas? Memangnya aku melakukan kesalahan apa, sampai-sampai ada yang mau menggantikanku?" tanya Gladys, dia mencoba sabar dan tidak terpancing emosi. Walau dalam hatinya sudah bergemuruh ingin menghujat.

“Ada konsumen yang complain tentang pelayanan yang kamu berikan,” jawab Zen lugas.

“Complain? Memangnya pelayanan aku bagaimana, Mas? Bukannya selama ini aku selalu melayani para tamu sesuai SOP.” 

“Memang. Tapi kamu tahu kan ini tempat apa? Beberapa dari mereka complain karena kamu tidak bisa melayani mereka dengan baik.” Zen memberikan tanda kutip oleh tangannya saat menyebutkan kata terakhir pada Gladys.

Gladys menghela napas pelan. Ya, memang selama dia menjadi pelayan di sini, dia tak pernah ingin disentuh oleh para tamu. Tapi bukannya Zen tidak pernah mempermasalahkan ini sebelumnya?

“Jadi dengan berat hati aku harus memberhentikanmu dari pekerjaan ini. Untuk gajimu akan aku transferkan ke rekening biasa,” pungkas Zen dan kemudian dia pergi meninggalkan Gladys yang masih berdiri mematung.

Tubuh Gladys bergetar. Kenapa? Kenapa dia harus dipecat lagi dari pekerjaannya? Terus sekarang dia harus mencari uang ke mana? Gladys merasa dadanya sangat sesak sekarang. Dia meremas bajunya dan kemudian memukul pelan dadanya. Mencoba menguatkan dirinya yang sudah rapuh dua hari ini.

Gladys memejamkan matanya, ada buliran air mata yang menetes dan membasahi pipinya. Dia langsung menghapusnya. Tak ingin berlama-lama, gadis itu membalikkan badannya dan segera pergi dari ruangan Zen.

Ternyata Zen sedang menunggu Gladys kelaur dari sana. Laki-laki itu sedari tadi menunggu di balik tembok dekat ruangannya. Lalu saat dia melihat Gladys keluar dari ruangannya, dia merogoh saku celananya. Laki-laki itu langsung menelepon seseorang.

“Sudah saya selesaikan. Tolong jangan sampai hubungan kerja sama kita berakhir, Mas Keenan,” ucap Zen.

BERSAMBUNG ….

***

Terima kasih sudah membaca sampai bab 7. Jangan lupa baca ceritaku yang sudah tamat juga. Jadi udah nggak usah nunggu-nunggu lagi. Judulnya "After The Heartbreak". 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status