Share

Lembur

Pukul setengah enam sore,  Herdy keluar dari ruangannya. Kantor tampak lengang. Para karyawan sudah pulang lebih dulu. Ia melihat ke arah meja di mana Lyra berada. Wanita itu masih ada di sana. Ia melangkah mendekatinya. Lyra terlihat sibuk dengan keyboard dan layar komputernya. 

"Apa belum selesai juga?" tanya Herdy. Wanita itu  bergeming, tak peduli dengan kehadiran Herdy. Lelaki  itu menghela napas. 

"Apa kamu lembur?" tanya Herdy lagi.

Lyra menatap sekilas. "Iya, Pak,"  jawabnya lalu kembali ke layar di hadapannya. 

"Apa perlu bantuan?"

Tangan Lyra berhenti mengetik sejenak. Ada apa? Tidak biasanya bos kampret itu menawarkan bantuan. 

"Tidak perlu, Pak."

"Kamu tak perlu lembur kalau capek."

"Lalu keesokan paginya Bapak akan memarahi saya begitu?"

Herdy menelan saliva. Sebegitu horornya ia di mata wanita itu? Tapi kinerja staf satu ini memang jauh dari kata puas menurutnya. 

"Baik, aku akan membantumu."

"Tidak perlu repot, Pak. Saya bisa mengerjakan sendiri. Lebih baik Bapak pulang saja."

Et dah. Diusir. Padahal dalam hati, ia ingin sekali membantu Lyra. Setidaknya biar bisa lebih dekat dengan gadis itu. Eh?

"Ya, sudah kalo begitu. Saya pulang dulu."

Tidak banyak yang bisa Herdy lakukan, dia pasrah saja ketika Lyra menyuruhnya pulang.

"Ya."

Wajah Lyra terlihat suram. Dia benar-benar menyimpan kesal yang menggunung dengan si bos. 

"Dasar bos kampret!  Speak doang bilang mau bantu," umpatnya begitu Herdy hilang dari pandangan. 

Kembali ia menatap monitor kesal. Jujur, ia merasa masih kesulitan mengerjakan laporan. Terlalu banyak data yang menurutnya njelimet. Ia yang terlalu bodoh,  atau pekerjaannya yang terlalu rumit? Lyra mendesah. Sepertinya, menjadi staff finance memang bukan keahliannya.

***

Sementara di lantai bawah, Herdy berpapasan dengan Reksa yang baru keluar dari lift. Dia juga hendak pulang. 

"Sore Her," sapa Reksa lebih dulu. 

"Sore, Bang. Pulang juga? Tumben." 

Semua yang ada di kantor juga tahu kalau Reksa gila kerja.

"Iya, Her. Kamu kenapa? lesu amat." 

"Aku nggak apa-apa, Bang."

"Malam minggu main futsal di tempat biasa, ya."

Et dah. Masa kelas petinggi mainannya futsal? Golf kek, tennis kek. Reksa itu penggemar sepak bola dari dulu. Futsal adalah olahraga alternatif yang ia gemari.

"Apa harus malam minggu?" Herdy garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.

"Kenapa? Kamu mau berkencan ya?" Reksa terkekeh. "Sorry,  biar aku suruh Syilla menemanimu nanti. Ayolah, sekali-kali malam mingguan di lapangan futsal nggak masalah 'kan? Syilla pasti suka melihat betapa kerennya dirimu menggiring bola." 

Reksa kembali terkekeh. Tidak tahu apa? Kalau muka Herdy sudah seperti kepiting rebus. Reksa masih saja menjodohkannya dengan Syilla, Assisten Reksa di perusahaan retailnya. 

"Huft, okelah, Bang." Daripada mendapat gasakan yang lebih parah, dia  setuju saja.

"Eh, kamu sendirian?"

Herdy mengangkat alis. Seolah bertanya 'lalu sama siapa lagi?' 

Melihat muka Herdy,  Reksa nyengir. "Lyra Mana?"

Raut Herdy seketika berubah saat nama Lyra itu disebut. Reksa jelas-jelas mencarinya. Tanpa malu. Seperti sudah terang-terangan menunjukkan rasa tertarik dengan staf itu.

"Lembur dia," jawab Herdy singkat.

"WoW, kamu benar-benar  ya..." Reksa menggerakkan telunjuknya.

Sumpah, kalau Syilla tidak memintanya untuk bertemu, sudah dipastikan Herdy akan lembur juga menemani Lyra. Ya, walaupun ia sendiri harus berada di jarak yang cukup jauh. Dengan memperhatikan wanita itu duduk tenang saja di atas kursinya, itu sudah membuatnya cukup senang. Aneh. 

"Oke, hati-hati di jalan ya, Her." Reksa berbalik badan dan kembali menuju lift. 

"Loh Bang!  Mau ke mana? Katanya mau pulang juga?" tanya Herdy yang terheran-heran melihat bosnya masuk ke lift kembali.

"Ada lembur!" seru Reksa dengan senyum mengembang. Pintu lift pun tertutup. 

Tanpa peduli dengan kelakuan bosnya, Herdy kembali melangkah menuju parkiran. 

***

Lyra menajamkan telinga. Ada suara ketukan sepatu mendekat. Paling bos kampret itu lagi. Mau apa lagi tuh orang kembali?  Merusuhi pekerjaannya? Atau mungkin mau pura-pura berbaik hati lagi menawarkan bantuan? Ah, basa basi,  Lyra sama sekali tidak peduli. 

Saat dirasa ada seseorang yang tengah berdiri di depannya, Lyra berujar dengan sangat ketus. "Sudah saya bilang,  saya bisa selesaikan sendiri,  Bapak tidak perlu me–"

Ucapan Lyra menggantung, matanya menangkap sosok lain yang tak kalah menyeramkan dibandingkan dengan Herdy. Ya, bagi Lyra Reksa dan Herdy sama-sama menyeramkan, meskipun keduanya memiliki paras yang kata para karyawan tamvan. 

"P-Pak GM?"

Reksa menyunggingkan senyum terbaiknya di hadapan Lyra. "Kaget ya?"

"Sedikit," jawab Lyra meringis, alias senyum dipaksa. 'Ngapain nih bule ke sini?' pikirnya dalam hati. 

"Tapi, Pak Herdynya sudah pulang barusan." Lyra berkata seakan tahu maksud kedatangan Reksa. Tentu saja untuk mencari manajernya. 

"No problem, saya tidak mencari Herdy Tadi sudah bertemu dengannya di bawah."

Lyra bingung?  Lalu apa yang orang ini lakukan? Kantornya sudah sangat sepi. Bahkan hanya tinggal dirinya satu-satunya staf yang masih tinggal.

'Apa si GM ini mau mengganggu pekerjaanku dengan menampakkan diri seperti ini?' gumam Lyra dalam hati.

"Apa kamu kesulitan? Saya akan membantu," ucap Reksa.

Lyra menganga. Namun, tak berlangsung lama ia segera menutup kembali mulutnya. 

"Tidak, Pak. Tidak usah. Saya bisa sendiri," tolak Lyra enggan. Serius, Lyra tidak butuh bantuan siapa pun.

Tanpa menghiraukan penolakan Lyra, Reksa menarik salah satu kursi yang ada di meja belakang, dan meletakkannya persis di sebelah tempat duduk Lyra, lalu dengan santainya ia duduki kursi itu. 

God! Gimana  kerjaannya bisa cepat  kelar kalau diperhatikan GM-nya secara langsung begini? Lyra menggeser kursinya agar tidak terlalu berdekatan dengan Reksa. 

"Bapak tidak perlu repot-repot. Lebih baik bapak pulang saja. Saya bisa–"

Lagi Reksa tak menghiraukan wanita itu. Ia malah mengambil tumpukan nota yang berada di meja Lyra. Lalu dengan gerakan cekatan, ia menarikan jari jemarinya di atas papan keyboard komputer Lyra dengan begitu lincah. 

"Diam,  dan perhatikan. Kamu bisa membantu saya dengan membuatkan secangkir kopi,  gulanya satu sendok teh saja."

Serius. Lyra dibuat cengo oleh pimpinan yang satu ini. Dari awal bertemu saja, Reksa sudah berbaik hati menolongnya. Di pertemuan berikutnya, juga sama. Dan sekarang? Seandainya saja di dunia ini semua bos seperti Reksa. 

Tak bisa banyak berkata lagi, Lyra memutuskan pergi ke pantry membuatkan kopi untuk lelaki yang tiba-tiba muncul dan memberinya bantuan itu. Meskipun dengan perasaan yang masih diliputi tanda tanya besar.

Kenapa lelaki bertampang dewa yunani itu bertingkah bak dewa penolong baginya? Apa yang ia mau? 

Lyra meletakkan kopi panas ke meja kerjanya. Lantas duduk di kursinya kembali. Sambil sesekali melihat apa yang Reksa kerjakan. 

Lyra heran, seheran-herannya. Orang sibuk seperti Reksa malah berada di sini, mengerjakan laporannya. Ah, tidak. Garis bawahi kalimat ini –laporan bawahan yang tidak tau diri· Bukankah Reksa sendiri memiliki pekerjaan segunung? 

Lyra diam-diam mengamati lekuk wajah Reksa. Lelaki itu memiliki sepasang alis yang tebal, rahang yang tegas, lekuk antara dahi dan hidungnya begitu jelas. Dan mata itu,  ia memiliki sepasang mata hazel yang tajam laksana elang. Mata hazel, itu daya tarik tersendiri. Yang membuat lelaki itu beda dari lelaki lainnya. Bodohnya Lyra, kalau di awal pertemuan tidak menyadari itu. Ya, dia memang sebodoh itu.

Tiba-tiba dada Lyra menghangat, perlahan mendesir saat dalam hatinya tak bisa lagi memungkiri ketampanan lelaki di sampingnya itu. 

"Jangan lama-lama memandangi saya seperti itu. Nanti  kamu bisa jatuh cinta," ucap Reksa tiba-tiba tanpa menoleh sedikit pun dari layar di depannya. 

Kontan Lyra tersentak. Pandangannya segera ia alihkan ke mana saja yang bisa matanya jangkau. Tak disangka, Reksa memergokinya. Malu sekali. 

*Tiga puluh menit berlalu*

"Selesai," ucap Reksa setelah menekan tombol save.

"Benarkah? Secepat itu?" Mata Lyra melebar.

Lyra mengecek pekerjaannya yang berupa lajur dan baris itu. Ia tertegun, pantas saja perusahaan ini memilihnya menjadi GM. Selain tampan, lelaki itu pandai meng-handle pekerjaan yang bukan job desk-nya. 

"Ini tidak terlalu sulit bukan? Aku sudah menyimpannya dan mencopy di flashdisk ini. Besok pagi, kamu tinggal meng-print-nya saja," kata Reksa menyerahkan sebuah flashdisk yang baru ia cabut dari CPU.

"Terima kasih, Pak," ucap Lyra senang.

"Jadi?"

Lyra mengernyit. Apa maksudnya 'jadi?' 

"Berapa kamu akan membayarku untuk pekerjaanku ini, Nona?"

"Hah?"

Membayar? Bosnya tidak sedang mengajaknya bercanda kan? Baru saja Lyra memujinya bagaikan dewa penolong. Dan sekarang?

Lyra pikir, Reksa tulus membantunya. Tapi kenapa sekarang malah minta bayaran? 

Oke, baikah. Lyra baru sadar, orang sibuk macam Reksa itu waktunya adalah uang,  tetapi Lyra sama sekali tidak menginginkan bantuan itu. Bukankah Reksa sendiri yang memaksa ingin membantu? Ini beneran menyebalkan.

"Kamu tidak berpikir bahwa aku  melakukan ini secara gratis kan?" tanya Reksa lagi.

Lyra menahan kesal mendengar penuturan Reksa. Dilihatnya lelaki itu menyilangkan kedua tangan ke dada. Dengan senyum yang agak sedikit terangkat di salah satu sudut bibirnya. Benar-benar menyebalkan. 

"Saya, umm, oke, berapa yang harus saya bayar?" 

Dengan polosnya, Lyra meraih tas hendak mengambil sebuah dompet di sana. 

"Saya tidak mau dibayar dengan uang," ujar Reksa menatap wanita itu.

Otomatis Lyra menghentikan tangannya, yang sedang akan membuka dompet, dan menatap lelaki itu tak mengerti. 

Ya, orang seperti Reksa memang sudah tidak membutuhkan uang lagi. Apa lagi dari seorang bawahan sepertinya, yang bahkan gajinya pun harus melewati tanda tangan lelaki itu terlebih dahulu. 

"Jadi, saya harus membayar pakai apa?" tanya Lyra agak sedikit gemas.

"Satu ciuman mungkin cukup."


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status