Share

Kena Semprot

Tubuh Lyra menggeliat di atas tempat tidur. Rasa-rasanya puas sekali ia tidur malam ini. Pelan ia memicingkan mata, mengangkat badan, lalu merenggangkan otot-otot yang terasa pegal. 

"Lyra! Bangun!"

Teriakan ciri khas Alfa, abangnya dari dapur terdengar. 

Lyra langsung menengok jam dinding. Tahu artinya apa jika abangnya sudah berteriak sekeras itu. 

"Gawat."

Buru-buru ia turun dari tempat tidur, menyambar handuk, dan masuk kamar mandi. Bisa dipastikan hari ini ia akan terlambat. 

Lima belas menit kemudian, Lyra sudah bersiap pergi bekerja. Namun sialnya, ia sudah ditinggal  Alfa. Ia semakin telat.

Lyra buru-buru keluar rumah,  bersamaan dengan itu ponselnya berbunyi. 

"Udah bangun belum sih?" Suara Alfa di sana bertanya.

"Kenapa  lu ninggalin gue sih bang ?!" Lyra bergegas menuju jalan besar.

"Sorry, gue juga telat."

"Nggak usah telpon! Bikin kesal aja!"

Lyra mematikan ponselnya. Lalu setengah berlari, ia menuju halte bus. Napasnya tersengal begitu sampai di jalanan kota. Ia harus menunggu bus  kota karena bus jemputan karyawan jam segini pasti sudah lewat.

Sesekali ia menengok jam di pergelangan tangan. Lyra tidak mau telat. Bisa-bisa ia kena semprot lagi sama bosnya. Padahal ia telat juga gara-gara bosnya itu. Kampret memang. 

Lyra hampir frustrasi karena bus arah kantor belum juga datang. Ia tidak bisa membayangkan jika Herdy akan mengomelinya habis-habisan nanti. Bagaimana ini? Lyra gusar. 

"Taksi online. Uh! kenapa nggak kepikiran dari tadi."

Dengan kesal Lyra menekan-nekan ponselnya. 

Tin! Tin! Tin! 

Baru saja Lyra mau menekan tombol pesan, saat dirinya dikagetkan oleh suara mobil yang tahu-tahu sudah berada di dekat tempatnya berdiri. Jika saja ia tidak tahu pemilik mobil itu,  pasti ia akan memaki orang di balik kemudi. Yup,  itu mobil milik GM-nya, Reksa. 

"Lyra! Masuk!" seru Reksa dari dalam mobil. 

Well,  pucuk dicinta ulam tiba 'kan? Tanpa pikir panjang lagi Lyra segera masuk. Bodo amat dengan rasa tidak enak pada bos besarnya beberapa hari ini. Yang penting ia selamat dari amukan singa macam Herdy terlebih dulu.

Land Cruiser milik Reksa pun merambat meninggalkan halte bus. 

"Kamu lembur lagi?" tanya Reksa ketika mobil sudah berjalan.

"Iya, Pak."

Herdy ternyata benar-benar menatarnya tanpa ampun. 

"Kalau boleh tahu di kerjaan yang dulu kamu bagian apa?"

"Saya cuma admin gudang, Pak."

"Saya rasa pekerjaanmu sekarang tidak jauh beda dengan yang kamu kerjakan dulu. Apa kamu benar-benar mengalami kesulitan? Rekanmu apa tidak mau membantu?" Reksa benar-benar ingin tahu kesulitan yang dialami wanita ini.

"Saya tidak mau merepotkan mereka. Karena saya tahu mereka juga repot dengan deadline-nya."

"Apa perlu saya langsung yang men-training kamu?" goda Reksa.

"Ah, tidak, Pak. Tidak usah. Terima kasih."

"Tidak apa-apa kalau kamu mau." Reksa tersenyum manis. Yang sialnya, senyum itu membuat dada Lyra seketika berdebar.

"Tidak usah, Pak. Makasih."

Lyra tahu lelaki di sampingnya sedang menggoda. Seorang super sibuk macam Reksa mana mungkin punya waktu luang men-training bawahannya. Kurang kerjaan sekali. 

Tak lama kemudian mereka sampai. 

"Pak saya duluan, ya. Tidak enak kalau diliat karyawan lain."

"Oke."

"Sekali lagi terima kasih, Pak. Maaf selalu merepotkan."

"No problem."

Lyra turun dari mobil dengan tergesa. Berharap tidak ada yang melihatnya keluar dari mobil Reksa. Apa kata orang nanti? 

Kalau tidak karena kepepet,  sumpah Lyra tidak mau naik mobil itu lagi. Malunya masih berasa sampai sekarang jika ingat malam itu. 

Lyra sangat lega sampai ke mejanya tepat waktu. Semoga saja Herdy belum datang. Dan baru saja Lyra akan duduk di kursinya, dehaman ciri khas Herdy terdengar. Biarpun Lyra harus menahan lapar karena belum sarapan, setidaknya ia tidak akan dapat bonus ocehan dari manajer Herdy. 

Herdy melangkah pasti menuju ruangannya. Ekor matanya melirik kubikel di mana Lyra bersemayam. Ia tahu stafnya itu barusan berangkat bersama Reksa. Tadi itu dirinya yang hendak masuk ke lobi urung, saat melihat Lyra keluar dari mobil Reksa. Dibiarkannya Lyra berlari mendahuluinya masuk. Paginya tidak ingin dibuat berantakan hanya karena memarahi wanita itu lagi. Ia sangat yakin,  jika tidak berangkat bersama Reksa tadi, stafnya itu pasti datang terlambat.

Namun, yang Herdy tidak habis pikir, kenapa Lyra bisa berangkat bersama Reksa? 

Ah, itu tidak penting. Ia kembali memusatkan perhatian pada dokumen yang sudah menumpuk di meja kerja. Memeriksa satu persatu, tapi lagi-lagi pikirannya kembali pada wanita itu. 

"Shit," umpatnya kesal. Kenapa dengannya? Perasaannya jadi tidak jelas begini. Ada yang iseng mengusik dadanya di dalam sana. Apa ini? 

***

BRAKKK!

Dua tumpuk dokumen terhempas begitu saja di atas meja. Herdy meradang lagi. Dua orang di depannya menunduk tak berkutik. Salah satunya adalah Lyra dan yang lain, Dony. 

Ya,  Lyra kena semprot lagi. Ia merasakan kakinya sudah tidak menapak di lantai, tapi amblas jauh ke dasar bumi. Sedang di sampingnya Dony, merasa nyawanya sudah tercabut. Dibawa entah ke mana bersama malaikat maut yang menyeramkan. 

"Kalian tahukan? Saya bukan tipe orang yang menganut deadline pasti? Lalu apa ini? Cuma oret-oretan begini?! Dan kamu Dony!" 

Mata tajam Herdy menembus, menukik, hingga ke tulang sumsum milik Dony,  sampai lelaki itu sama sekali tak berani membantah arogansi sang manajer. 

"Kamu sudah lama di sini. Harusnya kamu paling tahu, beberapa hari sebelum deadline, laporan harus sudah rapi di meja saya. Apa yang akan kalian lakukan jika ternyata rapat dewan direksi dimajukan? Apa yang harus saya tunjukan pada mereka? Mau ditaruh di mana muka saya jika laporan saja masih setengah matang seperti ini?! Dan kamu Lyra!" 

Herdy kembali melotot ke arah Lyra. Wanita itu menunduk. "Apa sesulit itu pekerjaanmu? Saya tidak habis pikir cabang Sunter bisa merekomendasikan kamu ke sini? Kerjaan tidak pernah becus!

Ambil semua ini. Saya tidak mau tahu, besok pagi-pagi sekali harus sudah ada di meja saya. Keluar kalian."

"Baik, Pak," jawab Lyra dan Dony serempak  dengan nada  lirih. 

Herdy mengusap wajah begitu Lyra dan Dony keluar dari ruangannya. 

Lagi-lagi ia memarahi wanita itu. Emosinya semakin tak terkendali jika melihat Lyra.  Namun di sisi lain,  ia juga kasihan dengan wanita pemilik dagu runcing itu. 

Hari ini padahal ia tak berniat untuk memarahinya,  tetapi ada saja alasan yang ia sendiri tak mengerti.  Lebih-lebih saat ia mengingat  pipi merona alami Lyra saat sedang berbincang dengan Reksa. Bawaannya ingin berteriak, "woi! Biasa aja kali!"

Sejak kedatangan Lyra di divisi yang ia naungi, terus terang wanita itu sering menyita perhatiannya. Mungkin ia sendiri tak menyadari. Namun, kadang tingkahnya yang tidak jelas itu ia luapkan dengan emosi dan emosi. 

Ponsel Herdy yang tergeletak di atas meja bergetar. Layarnya berkedip sesaat. Notif pesan masuk. Ia raih benda pipih itu, membaca pesan yang tertulis di sana. 

'Nanti malam jam 7 aku tunggu ditempat biasa'

Herdy menghela napas  setelah ia membaca pesan singkat itu. Mirip sebuah perintah, namun ada emotico love di penghujung tulisannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status