Share

Perkara Bayaran

"Satu ciuman mungkin cukup."

Lyra terbelalak. Kakinya menegang. Otaknya langsung merespons dengan memerintahkan reaksi pada beberapa bagian tubuhnya, termasuk jantungnya yang kini berdebar. 

Saraf pendengarannya terlalu sensitif, hingga bagian otaknya yang disebut talamus, sangat cepat menerima sinyal, lalu diteruskan ke amigdala yang mengeluarkan senyawa glutamat, yaitu zat kimia yang digunakan sel saraf untuk mengirim sinyal rasa takut ke sel lain. Refleks mukanya memucat. Lyra merasa terjebak. Sekali singa tetap saja singa. 

"Bagaimana, Nona Lyra?" tanya Reksa mencondongkan badannya ke depan mendekati Lyra. 

"Maaf itu... Anda gila ya, Pak?" 

Di luar dugaan, Lyra malah membalas pertanyaan bosnya dengan pertanyaan yang membuat Reksa memicingkan mata. 

Reksa menarik kembali tubuhnya. Menempelkan punggung kesandaran kursi. Senyum jahilnya terukir melihat Lyra yang terus saja menunduk. Dalam keadaan seperti itu pun, Lyra masih bisa mengatainya gila. Gadis ini benar-benar....

"Aku lapar. Capcay sepertinya enak!" ujar Reksa.

Lyra mendongak. Lelaki itu sudah berdiri, meregangkan otot tubuhnya. Itu cukup membuat napas Lyra lega. Sepertinya Reksa  melupakan soal bayarannya itu. Bayaran yang sempat membuat sport jantung bertubi-tubi. 

"Kenapa diam saja?" 

"Ah, saya–"

"Aku tidak melupakan bayaran itu begitu saja, ya. Suatu saat akan aku tagih."

Apa? Lyra masih tidak percaya. Baru saja napasnya stabil, sekarang dibuat menderu lagi. Boleh tidak, sih marah-marah pada atasan? Tidak melanggar kode etik 'kan? Rasa-rasanya Lyra ingin menyemprotkan kata-kata tidak sopan yang sedari tadi ia tahan. 

"Setidaknya ajak aku makan malam, jangan malah melamun, Nona. Apa kamu tidak mendengar dari tadi perutku  berontak minta diisi?" protes Reksa yang melihat Lyra masih terbengong.

"Iya, Pak. Baik."

Cepat-cepat Lyra membereskan barang-barangnya bersiap meninggalkan meja kerja. 

Reksa  lebih dulu berjalan dengan Lyra yang mengekor di belakangnya. Tak apalah jika hanya mentraktir bosnya makan. Daripada harus menciumnya? Lyra mengedikkan bahu. Bibirnya masih suci. Harus kumur-kumur tujuh kali pakai sabun kalau itu terjadi.

Lyra berdiri canggung, agak sedikit mundur di belakang Reksa. Mereka sedang berdua saja di dalam lift. Lyra sama sekali tak berniat bergeser dari tempatnya berdiri. 

Reksa yang dari tadi melihat tingkah wanita itu, menoleh ke belakang. Lalu menarik tangan Lyra agar berdiri sejajar dengannya, dan itu cukup membuat wanita itu terkesiap.

"Kenapa harus di belakangku? Di sini 'kan masih luas. Dan satu lagi, kenapa sekarang bicaramu sangat irit? Kamu sariawan?" tanya Reksa heran.

"Itu saya–"

"Bersikaplah seperti biasanya. Dan jangan saya-saya terus." 

Ah, Lyra baru sadar kalau Reksa sudah membuang kata 'saya' dan berganti menjadi 'aku' yang terdengar begitu... akrab. Ah, bukan, tapi sok akrab. 

Bagaimana bisa? Sejak tadi Lyra menahan agar mulutnya tidak mengeluarkan umpatan. Di balik sikap baiknya, lelaki itu bisa juga bertingkah menyebalkan. Andai saja orang di sampingnya bukan atasan, ia akan memaki habis-habisan, jujur mulutnya sudah sangat gatal. 

Suara lift berdenting. Pintu terbuka. Lyra mengikuti langkah lebar Reksa sampai ke depan mobilnya. 

***

Lyra pikir mobil ini akan berhenti di sebuah restoran atau kafe. Namun, malah berhenti di sebuah supermarket. Ini sebenarnya mau makan atau mau belanja? 

Dan sekarang, Lyra di sini. Bersama Reksa sedang memilih sayuran segar yang terpampang meriah di display supermarket besar yang dekat dengan kantornya. 

"Apa yang kita perlukan?" tanya Reksa. 

"Memangnya Bapak mau masak?" tanya Reksa balik.

"Me? No, but you," jawab Reksa santai.

"Saya?"

"Yes. You can cook capcay, right? Kamu yang pilih bahan-bahannya."

Lyra menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia harus memasak untuk si bos? Yang benar saja. Walaupun ia sangat suka memasak. Tapi... Ih! Kenapa sih tidak pilih cara praktis aja? Geramnya dalam hati. 

Dengan sangat terpaksa, Lyra mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan secukupnya. Jamur, bunga kol, wortel, brokoli, baso ikan, dan lain-lain. 

"Cukup segini aja," katanya setelah memilih sayur dan bumbunya.

"Yakin, cuma segini?" tanya Reksa memastikan.

Lyra mengangguk, tetapi Reksa malah mengambil sayur-sayuran lebih banyak lagi masuk ke trolinya. 

"Loh, Pak. Ini kebanyakan, " protes Lyra. 

"Nanti aku bagi denganmu."

Reksa mendorong troli tanpa peduli dengan Lyra yang masih bengong. 

Tak hanya sayur, ikan segar pun tak luput dari mata Reksa. 

***

Setelah selesai berbelanja, Reksa melajukan land cruisernya menuju sebuah kawasan apartement mewah di bilangan Jakarta Selatan. Lyra tahu sekali tempat ini. Karena ia sering melewatinya jika ingin jalan-jalan ke Pasar Minggu. 

Kawasan yang terdiri atas tiga tower. Satu tower perkantoran, dan dua tower apartemen yang memiliki fasilitas lux ala kalangan jet set. 

Tanpa Lyra sadari, mobil Reksa memasuki tempat parkir di basement gedung ini. Untuk pertama kalinya, Lyra akan menginjak tempat ini. Matanya mengedar. Untuk lahan parkirnya saja ada tiga basement. Wow.

"Pak, kenapa ke sini?" tanya Lyra bersamaan dengan matinya mesin mobil.

"Untuk mengeksekusi belanjaan kita."  Reksa membuka seat belt.

"Bapak tinggal di sini?" 

Tanpa bertanya harusnya Lyra tahu dong. Ya, kali Reksa membawanya ke tempat orang. Reksa tak menjawab. Ia hanya tersenyum singkat, lalu membuka pintu mobil. Lyra pun mengikuti. Mereka berdua melangkah menuju lift yang akan menghubungkan langsung ke unit milik Reksa. 

Reksa menekan deretan angka kombinasi akses masuk, begitu sampai di depan pintu unitnya. 

"Jadi, Bapak beneran tinggal di sini? Lalu kenapa tadi kita repot-repot belanja di luar? Bukannya di sini ada farmer market?"

Reksa menoleh. Sedikit tersenyum, karena ia merasa sudah mendapati Lyra yang sebenarnya. Wanita cerewet yang menggemaskan. 

"Emang nggak boleh? Ayo masuk," ajak Reksa membuka pintu.

Lyra malah diam mematung tak bergerak.

"Kenapa kamu nggak masuk?" 

"Saya nggak pernah ke tempat tinggal lelaki asing sebelumnya. Saya pulang saja ya, Pak," jawab Lyra jujur. Memang ini yang pertama. 

Reksa menghela napas. "Kita hanya akan memasak, itu nggak masalah. Dan aku bukan lelaki asing."

Lyra masih bergeming. Bukan lelaki asing? Kalau bukan karena Reksa atasan di tempatnya bekerja sekarang, Reksa tetaplah orang asing. 

"Oke, lupakan soal bayaran itu. Ayo, sekarang masuk. Kamu nggak perlu takut." 

Lyra menatap mata hazel Reksa. Mencari kebenaran atas ucapannya barusan di sana. 

"Kenapa lagi? Apa kamu benar-benar ingin aku cium?" Reksa menaikkan alisnya.

Lyra menggeleng cepat. "Tidak, tidak."

"Kalo begitu, ayo masuk," perintahnya lagi.

Akhirnya, Lyra mau juga masuk ke unit mewah ini. Aroma musk menguar begitu kaki Lyra menginjakkan kaki di ruangan ini. Aroma khas laki-laki. 

Dilihatnya Reksa membuka jas, dan menaruhnya sembarang. Sebenarnya Lyra takut masuk ke sini. Namun ia berusaha yakin bahwa Reksa tak mungkin menerkamnya. Tapi jika Reksa macam-macam, Lyra bersumpah akan memukul kepala bosnya itu dengan panci hingga amnesia.

Mata Lyra mengedar ke seluruh penjuru interior design yang lebih mirip hotel bintang tujuh ini. Pantas saja jika setiap unitnya dibandrol dengan harga yang fantastis, 5M. 

Lyra bergidik, entah harus berapa puluh tahun ia perlu menabung hanya untuk bisa membeli satu unitnya. Bahkan untuk menyewanya saja rasa-rasanya tidak mungkin. 30 juta per bulan, hmm mending buat nabung untuk masa depannya kelak. 

"Kamu suka tempat ini? Kalo kamu mau masih ada, tuh kamar yang kosong," ujar Reksa membuat Lyra melotot. Kurang waras.

Reksa terkekeh melihat reaksi Lyra. 

"Ini milik Bapak atau hanya menyewa?" tanya Lyra ingin tahu.

"Apa itu penting?"

"Tidak, sih, cuma nanya. Bapak sendirian aja di sini?"

"Tidak, kalo kamu mau menemani," goda Reksa lagi.

Lyra mendengus. Ia melangkah ke dapur dengan bersungut-sungut. Dari tadi Reksa terus saja menggodanya. 

"Kenapa Bapak memilih tinggal di sini?" Lagi Lyra tidak bisa menahan keingintahuannya. 

"Karena letaknya tidak jauh dari kantorku. Kantorku di tower depan."

Lyra mengernyit. Aneh, jelas-jelas kantor mereka berdua sama. Dan letaknya bukan di gedung itu. 

"Kantor yang lain maksudnya. Sudah cukup. Sekarang kamu harus memasak untukku."

"Ah!" pekik Lyra. Tiba-tiba saja Reksa menarik pinggangnya mendekat. Tentu saja itu membuat Lyra terkejut. 

Dengan cepat  Reksa mengalungkan selembar apron. Lalu tangannya merambat ke pinggul wanita itu untuk menyimpulkan tali di bagian belakang pinggang Lyra yang ramping. Posisinya sekarang seperti sedang memeluk wanita itu. 

Reksa bisa mencium aroma bunga lily dari tubuh Lyra. Membuat getaran yang teramat halus menyelinap di dalam sana.

Lyra yang masih terkejut, tanpa sadar mencengkram lengan Reksa. Indera penciumannya juga tak bisa mengelak aroma pinus yang menguar dari tubuh lelaki itu. Sangat menenangkan. 

"Jika sedang berdua denganku jangan panggil aku bapak. Panggil namaku, Reksa," bisik Reksa membuat kuduk di leher Lyra merinding. 

"Ba-baik."

Reksa sukses membuat jantung Lyra berdetak begitu cepat. Segera Lyra mendorong tubuh liat di hadapannya. Lalu, dengan gerakan gugup berusaha menyibukkan diri dengan berbagai olahan makanan yang akan ia masak.

 

Reksa tersenyum senang memandang wajah merona Lyra. Terlihat begitu manis. 


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status