Melihat kesibukan Lyra di dapur, Reksa berinisiatif ingin membantunya."Apa yang bisa kubantu, Nona?" tanyanya melangkah ke dapur.
"Bapak bisa me–"
"Reksa, " potong Reksa cepat.
"Okeh Rek–" sangat aneh. "Saya tidak biasa, Pak."
"Biasakan."
"Ini Ba–eh, kamu cuci saja sayuran ini, lalu potong-potong."
Lyra menggigit bibir bawahnya. Di pertemuan pertama padahal Lyra dengan mudahnya menyebut 'kamu-kamu' pada lelaki di sampingnya ini. Kenapa sekarang dirasa begitu sulit?"Oke."
"Saya akan menanak nasinya dulu." Ia lantas meninggalkan Reksa untuk mencuci beras.
*Beberapa menit kemudian.*
"Selesai," seru Reksa membuat Lyra menoleh. Sedetik ke
Herdy keluar dari sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari apartemen milik Reksa, diikuti seorang wanita di belakangnya."Itu mobil Reksa 'kan?" tanya wanita yang kini sedang berada di samping Herdy.Herdy kontan menoleh, mengikuti arah pandang wanita itu. Iya, itu betul mobil Reksa yang baru keluar dari tower apartemennya."Eh, sama cewek, siapa ya? Pacarnya? Wah, ada kemajuan si bos," celetuk wanita itu lagi. Mata Herdy kembali menajam ke arah mobil Reksa. Wanita yang ada di samping kemudi Reksa itu... Lyra. Refleks tangannya mengepal. Entah kenapa ia tidak suka melihatnya."Habis ngapain ya mereka di sana? Wah, Reksa sekali dapat cewek mainnya langsung ke apartemen." Wanita itu terus berkomentar dan tertawa.Mendengarnya membuat telinga Herdy memanas."Bisa diam nggak kamu, Syilla?!" bentak Herdy. Wanita yang dipanggil Syilla itu segera menghentikan tawanya."Cepat masuk mobil," perintah Herdy. yang lang
Lyra menatap sebuah tas bekal makanan yang kini sudah ia letakkan di atas meja. Menimang-nimang, apa yang sudah ia lakukan? Pagi tadi sebelum berangkat bekerja, ia menyibukkan diri membuat bekal makan siang juga sarapan pagi. Dan kali ini, ada mama yang membantu.Meskipun ia masih terus tidak habis pikir pada dirinya sendiri, tak ayal dirinya sangat menikmati mengingat wajah Reksa saat lelaki tampan itu dengan lahap memakan hasil masakannya.Hingga kini, dua kotak bekal makanan telah saling bertumpuk di meja kerjanya. Satu untuk dirinya, dan satu untuk GM berparas menawan itu.Bunyi interkom di meja kerja Lyra berdering, membangunkan lamunannya. Ia segera meraih gagang telepon."Ya, Pak," jawabnya."Ke ruangan saya sekarang." Herdy di sana memerintah."Baik."Ada apa lagi ini? Apa laporan tadi pagi yang ia serahkan salah? Laporannya kemarin yang mengerjakan GM-nya langsung, mana mungkin salah? Lyra mengetuk pintu r
Malam ini, gara-gara Alfa yang tidak bisa ikut makan malam, mood mama jadi kacau. Sepanjang jalan mengomel tak mau berhenti. Lyra sampai bingung karena mama juga selalu bilang ini acara penting. Mama mau bertemu sahabat lama mama katanya. Awalnya, Lyra pikir cuma makan malam bersama keluarganya saja, ternyata mama juga mengundang temannya.Mereka bertiga sudah berada di meja makan yang bisa menampung delapan orang. Meja itu sudah direservasi terlebih dahulu oleh orang bernama ... tadi mama bilang siapa? Ira kalau tak salah.Wajah mama kembali sumringah, saat tak berapa lama ada seseorang yang menyapanya. Lyra sendiri masih sibuk membuka buku menu bergambar makanan yang kelihatannya lezat-lezat, sambil berpikir bagaimana cara membuat masakan seperti itu? Huh, dasar tukang masak."Lyra bangun. Lihat! siapa yang datang. Tante Ira. Kamu masih ingat 'kan?" tanya mama meraih lengan Lyra. Gadis itu refleks berdiri menyambut kedatangan I
Di dalam kamarnya, Lyra masih tidak habis pikir dengan rencana orang tuanya. Masih bertanya-tanya, kenapa Herdy? Kenapa harus orang yang selalu mengintimidasinya tiap hari itu?Bagaimana mungkin orang sepertinya bisa menjadi suami yang baik bagi Lyra? Tiap harinya saja pasang muka jutek dan horor. Menuntut ini itu. Gimana Lyra kalau jadi istrinya? Habislah ia kena omelan tiap waktu. Apalagi kalo didapatinya kerjaan yang tidak beres.'Lyra ini debunya masih menempel di jariku!''Lyra kamu ini bagaimana? masak aja keasinan!''Hey kamu dengar tidak? anakmu nangis. Bisa urus anak tidak?!'"Tidaaaaaakkkkk...!"Ia redamkan kepala ke dalam bantal. Tak mau teriakannya mengganggu penghuni lain di rumah ini. Sepertinya, hari-hari akan menjadi tambah ruwet gara-gara perjodohan ini.Lyra bangkit dari tempat tidur. Membuka pintu kamar, lalu mengendap-endap keluar rumah. Tak ada sinyal kehidupan di rumah selai
Reksa diam menatap Lyra. Dirinya ingin bertanya mengapa. Tapi ia lebih memilih diam mengamati manik hitam wanita di depannya yang tadi sempat membuatnya sangat khawatir. Pelan ia menarik napas. Lalu tangan besarnya menarik Lyra, melangkah."Kita mau ke mana, Pak?" tanya Lyra."Ke apartemenku.""Tapi, Pak–" susah payah Lyra mengimbangi langkah Reksa yang lebar.Dengan gesit Reksa menyeberang jalanan menuju mobilnya. Lyra terkejut saat melihat pintu mobil terbuka."Pak, mobilnya–""Nggak apa-apa. Aku tadi buru-buru jadi nggak sempat menutup pintunya."Lyra merasa menyesal. Lagi-lagi ia merepotkan Reksa. Kali ini dengan tindakan teramat bodoh, sampai-sampai Reksa harus meninggalkan mobil dengan kondisi sembarang seperti ini.Reksa membuka pintu mobil sebelah kiri dan menyuruh Lyra masuk."Maafkan saya, Pak. Gara-gara saya Bapak jadi meninggalkan mobil sembarangan."Reksa ya
Yang pertama kali Lyra rasakan saat baru pertama kali masuk kamar yang luasnya bisa tiga kali lipat dari kamar rumahnya di kampung itu adalah ... kehangatan. Entahlah, wangi maskulin khas lelaki. Aromanya begitu menenangkan. Beda dari aroma kamar milik Alfa, abangnya.Meski abangnya juga wangi, tapi aromanya tidak semenenangkan ini. Lyra merasa nyaman.Lyra mendekat ke sebuah sofa putih di sudut kamar. Dekat dengan kaca besar yang memperlihatkan lanskap kota Jakarta dari atas sini. Luar biasa indah jika dipandang malam hari seperti sekarang.Sebuah tempat tidur king size dengan duvert cover berwarna putih yang terbentang rapi. Sangat empuk, hingga Lyra merasa tenggelam saat berbaring di atasnya. Aroma woody kembali menusuk indera penciumannya. Lyra beringsut masuk ke dalam duvert cover. Ia benar-benar merasa nyaman dengan aroma ini. Sama seperti aroma tubuh Reksa.Lyra menarik selimut menutupi tubuh. Matanya terpejam. Begit
"Pagi, Mbak," sapa Lyra mendekati seorang wanita muda yang menjaga kasir restoran di mana ia dan Reksa kini sedang sarapan.Tadi ia pamit ke toilet sebentar dan mampir ke meja kasir ketika melihat ada pesawat telepon di sana."Pagi, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya petugas kassa ramah."Boleh nggak, Mbak, saya pinjam teleponnya sebentar?"tanya Lyra menunjuk pesawat telepon."Oh iya, boleh, Mbak. Silahkan.""Wah, terima kasih, ya, Mbak."Lyra segera meraih gagang telepon dan menekan nomor ponsel Alfa. Sembari sesekali melirik meja di mana Reksa berada.Terdengar suara sambungan dari sana dan tak lama suara Alfa terdengar."Halo. Siapa nih?"Ih, galak banget, nih, orang. Dasar! pantas kalau jomlo akut."Abang, ini gue Lyra.""Ebuset bocah semprul! Di mana lu?! Ya ampun, nih anak bener-bener dah! Kabur nggak bilang-bilang. Lu bikin mama kejer tau
Pak Herdy?"Lyra agak sedikit kaget. Manajer sekaligus lelaki pilihan mamanya kini berdiri di hadapannya dengan gaya yang sangat menyebalkan.Kenapa dia ada di sini? Sedang apa?"Merasa hebat, ya, sudah membuat orang rumah cemas?" suara berat Herdy terdengar seperti membelah bumi.Lyra melirik sekilas mata dingin itu yang entah menyiratkan apa."Maksudnya apa, ya, Pak?" tanya Lyra menaikkan sebelah alisnya."Ada tiga kesalahan yang kamu buat. Pertama, kabur dari rumah saat malam hari. Kedua, menginap di tempat lelaki asing. Ketiga, tidak masuk kerja."Lyra terbeliak mendengarkan ucapan bosnya yang dirasa sangat berlebihan. Dan gadis itu sama sekali tidak mengerti mengapa manusia di hadapannya itu begitu sangat kepo dengan urusannya sekarang.Apa tadi? Menginap di tempat lelaki asing? Bagaimana ia bisa tahu itu?"Bapak Manajer yang terhormat, Anda sama sekali tidak tahu apa-apa. Jadi, lebih baik