"Heh, lo mau sampe kapan tidur di sini?"
Seperti mendengar suara seseorang, Irin perlahan membuka matanya.
Irin terpekik saat melihat Dante sedang berjongkok di hadapannya.
Menatapnya tajam,
"Gue pikir lo bunuh diri nyebur ke laut,"
Deggg
Irin hanya menahan napasnya saat Dante mengatakan hal itu, dia pun bangkit dari duduknya.
Ya, sejak sore Irin masih berada di bawah pohon kelapa, Irin tertidur di sana.
Irin merasakan kedamaian yang menyejukkan ya sesaat.
Dante merasa geram karena tanpa terimakasih, Irin justru meninggalkannya.
Dante melihat Irin berjalan sambil memeluk tubuhnya sendiri, Irin terlihat rapuh.
"Kenapa kamu jadi kurus," gumam Dante lirih, namun terbesit pikiran yang membuatnya merasa benci dengan Irin.
Dia kembali menatap geram padanya, Dante berjalan tergesa mengejar Irin.
"Ah, Dante!" Pekik dan ringis Irin saat Dante menarik tangannya kasar.
"Lo emang orang nggak tau terimakasih, lo malah pergi aja ninggalin gue. Lo harus gue beri pelajaran,"
"Dante, sa..kit," Irin mencoba untuk memberontak namun tak bisa.
Dante menariknya dengan kuat, hingga ia pun pasrah.
Irin pun mulai menangis.
Hingga sampailah mereka di dalam kamar hotelnya.
Dante melempar tubuh Irin ke atas ranjang.
"Dante, hiks… hiks.. ,"
Irin menatap takut pada Dante, ia tak mengerti mengapa Dante sangat membencinya.
"Gara-gara lo, gue gagal seneng-seneng sama Veve. Dan lo, buat gue takut. Takut karena nanti orang tua gue hancur karena ancaman orang tua lo," Irin menggelengkan kepalanya tak mengerti, Dante mencengkram erat rahangnya.
"M-maksud kamu apa, Dante. Aku nggak ngerti,"
Dante tertawa sinis,
"Gue yakin, orang tua gue maksa gue buat nerima perjodohan ini pasti karena ancaman orang tua lo, kan?"
"Aku nggak ngerti apa yang kamu maksud, Dante…"
"Gue muak sama omong kosong lo, dan Lo jangan berharap indah di pernikahan ini, gue nggak sudi punya anak dari lo,"
Deggg
Irin merasakan sesak, ia benar-benar tak mengerti apa maksud yang di ucapkan Dante.
Dante mendorong kasar tubuh Irin dan berlalu keluar dari kamar hotel yang seharusnya untuk mereka memadu kasih.
"Demi Tuhan, aku nggak tau apa maksud kamu, Dante." Lirih Irin yang kini mulai menangis.
Irin pun mengambil sesuatu di dalam tasnya, dan dia kembali lagi seperti hari-hari biasanya.
Sudah sekian lama Irin hidup seperti ini, hidup dalam rasa penyesalan.
Ia ingin lari sejauh mungkin, tapi ia tak mungkin membuat kedua orangtuanya hancur jika ia pergi.
***
Berbeda di tempat lain, Darius dan Emy sedang di interogasi oleh Arman ayah Irin.
"Kalian tidak lupa, bukan? Kalian harus terus mengawasi putra kalian," Arman berdiri di ruang kerjanya sembari menghadap ke luar jendela kaca besar.
Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Sedangkan sang istri, ia duduk manis di kursi kerja miliknya.
Bukan hal aneh jika Arman memperlakukan istrinya bak seorang ratu. Meskipun usia mereka sudah tak muda lagi, tapi kemesraan dan keharmonisan mereka sudah diketahui oleh publik.
"I-itu, kami sudah mengaturnya dan menyuruh seseorang untuk berangkat hari ini menyusul mereka di Bali," jawab Darius dengan gugup.
"Apa, kau mengatakan hari ini?" Arman yang sedari tadi fokus melihat pada keramaian kota di bawah sana, kini membalikkan badannya dan menatap tajam pada Arman.
"M-maaf, itu karena ___ "
"Aku tidak akan memaafkan siapapun yang melukai putriku lebih jauh lagi, terlebih jika itu putramu. Manusia bodoh yang telah berani meracuni bahkan menghancurkan hidup putriku, tidakkah kalian sadar, sedang berhadapan dengan siapa?" Jelas Arman dan memperjelas seperti apa kekuasaannya di negara ini.
Darius dan Emy hanya terdiam dan menunduk,
"Aku bersumpah putramu akan menyesal seumur hidupnya, aku tak akan membiarkannya hidup tenang jika dia bertindak lebih jauh,"
"Dan aku tau, jika kemarin putriku sudah mendapatkan perlakuan kasar dari putramu, maka dari itu, aku akan mengubah waktu, memberi kesempatan pada kalian hanya dua bulan,"
"D-dua bulan, mas?" Pekik Emy mengulang ucapan Arman.
"Yah, karena aku tak ingin putriku sakit lebih jauh lagi jika putramu masih saja belum sadar apa kesalahannya,"
"Tapi, apa itu tidak terlalu cepat?"
"Bahkan itu terlalu lama untuk putriku, kalian bodoh atau bagaimana? Baru sehari menikah saja putriku sudah di perlakukan kasar, bagaimana jika sampai tiga bulan, enam bulan, setahun? Mungkin putriku sudah menjadi mayat karena putramu, beruntunglah kalian karena aku masih memberikan kesempatan, karena aku tahu jika putriku masih menyimpan rasa pada putramu,"
"B-baiklah, kami akan mencoba untuk membujuk Dante agar dia mengerti, agar dia sadar." Jawab Darius meyakinkan pada Arman.
"Ya, dan harus kalian tau, aku pun mengutus seseorang yang penting untuk selalu mengawasi putriku,"
"Dan sangat menjijikan, putramu membawa j*lang murahan di sana, aku ingin sekali membunuh putra kalian, namun masih ku tahan," ucap Arman panjang dengan mengepalkan kedua tangannya.
"Secara tidak langsung aku membuat putriku jauh semakin terluka jika putra kalian masih tidak mengerti situasinya,"
Mereka pun terdiam, Arman memandang Rosmi dengan raut kesedihan.
"Irin adalah putri kita yang kuat, bunda yakin, dia bisa bertahan."
Arman pun mengangguk tipis pada sang istri,
"Kalian harus tetap rahasiakan hal ini, aku tak ingin putriku menggagalkan misiku untuk memberi hukuman pada putra kalian,"
***
Pukul dua pagi, Dante baru saja masuk ke dalam kamar hotelnya dengan Irin.
Ia dalam keadaan sedikit mabuk, namun ia masih sadar dengan keadaan.
"Apa ini?"
Dante berjongkok saat melihat setetes darah disana,
"Darah apa?" Gumam Dante lirih, lalu kamar mandi terbuka, terlihat Irin keluar dan dengan wajah yang sedikit pucat.
Entah itu perasaan Dante saja atau memang seperti itu adanya?
"Belum tidur, huh?"
Irin diam tak menjawab, ia hanya berlalu menuju ranjang.
Dibawah pengaruh obat-obatan miliknya, Irin pun langsung memejamkan matanya.
Dante mengernyit bingung, seingatnya dulu, Irin adalah gadis yang susah untuk tidur jika ada orang lain di kamarnya.
Lalu, mengapa sekarang? Ah, bukankah itu tidak penting.
Dante mendekati ranjang dan menatap Irin yang kini bernapas dengan teratur.
"Secepat itu?" Gumam Dante, lalu ia mengusap lembut pipi Irin.
"Andai aja lo nggak begitu, gue nggak mungkin sebenci ini sama lo,"
"Karena sikap lo, gue bener-bener kecewa, ini adalah takdir sialan yang buat gue nikah sama lo, gue benci situasi ini,"
"Dan gue, nggak akan nyentuh lo ataupun nges*x sama lo, gue nggak sudi punya anak dari lo, karena lo udah berlaku kejam, lo udah kecewain gue."
"Lo wanita terkejam, murahan dan menjijikan. Lo bakal hidup di neraka sejak lo menikah sama gue,"
…
Tbc
"Bunda, ayah, Irin minta maaf. Irin minta maaf sama kalian, Irin sudah kecewakan kalian.""Irin sayang kalian, Irin harus pergi, Irin harus pergi dengan Alya. Makamkan Irin di samping makam Alya, maafkan Irin…"Dante terduduk saat mendengar racauan Irin saat tidur. Dante benar-benar tak mengerti, mengapa Irin meracau seperti itu?Dan lagi, siapa Alya?Apakah adik Irin?Seingat Dante, Irin tak memiliki saudara, ia hanya anak tunggal di keluarganya.Dante menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, lalu terkejut saat ia baru menyadari jika di ranjang mereka sudah ada darah."Menjijikan, udah tau pms masih aja nggak pake pembalut,"Dante pun berdiri tepat di samping Irin tidur, ia pun dengan sengaja meraih air minum di atas nakas dan menyiramkan ke wajah Irin.Byurrr"Ahhh,
Irin berteriak sekencang-kencangnya, ia sudah berada di batu karang dekat pantai.Ia berdiri dan menangis terisak, sesak sekali rasanya."Kamu yang br*ngsek, kamu yang buat aku kecewa, bukan aku hiks...hiks…""Aku juga tidak tau, kenapa ayah mau aku dijodohkan sama kamu, aku juga tidak mau, tapi itu sudah keputusan dari ayah,""Sulit untukku membantah keinginannya, karena selama ini aku banyak meminta padanya, ya Tuhan… kenapa rasanya sakit sekali, hiks… hiks..""Kamu kejam, Dante…""Menangislah sepuasmu, Irin.."Irin pun menoleh saat mendengar seseorang menyebut namanya,Irin langsung menghambur peluk padanya dan langsung dibalas pelukan hangat."A-alex, hiks… kenapa hidup aku begini hiks, kenapa aku nggak mati aja?""Ssst, kamu nggak boleh
Tiga minggu kemudian, Dante sudah menjalani hari-hari seperti sebelumnya, ia harus pergi ke kantor untuk melakukan tugasnya.Irin pun berniat untuk pergi, namun sebelum itu, ia menghubungi Dante dan meminta izin padanya.Sebelum Dante membalas chat Irin, Irin sudah di jemput oleh Alex.Alex adalah orang kepercayaan ayah Irin, Alex pun adalah sahabat kecil Irin.Hanya saja, Alex adalah anak dari keluarga biasa saja."Aku nggak peduli kamu nggak balas, aku harus pergi." Gumam Irin sambil menatap ponselnya.Irin pun berjalan keluar, dan mendapati Alex sudah berdiri dan bersandar di mobilnya."Alex,""Hai, Nona manis… silahkan masuk," ucap Alex yang kini mulai membukakan pintu mobil untuk Irin."Terimakasih, pengawal…""Ck, pangeran gitu kek, masa dunia akting sama d
Dante mencium aroma masakan dari dapur, ia pun mengikuti aroma wangi bumbu, dan ia terdiam saat melihat ibunya dan istrinya sedang masak berdua.Penuh dengan canda tawa, Dante menatap mereka dengan tatapan senang."Andai aja lo nggak buat gue benci, gue bakal sayang banget sama lo," gumam Dante melihat Irin yang sedang tertawa."Dante?" Panggil ibunya membuat Dante tersadar."Ibu?""Sejak kapan kamu di situ?""Ah, baru… ibu kapan datang?""Sejak tengah hari ibu udah di sini,""Oh ya? Ibu sendirian di sini sejak siang?""Kan ada menantu ibu yang cantik ini, masa kamu lupa?" Irin tersipu mendengar pujian dari ibu mertuanya."Bukannya Irin pergi?""Aku pergi cuma sebentar aja kok," jawab Irin membuat Dante sedikit bingung."Ya udah
"Dante, aku nggak bisa tidur…" lirih Irin saat ia sudah di ranjang bersama Dante."Tinggal tidur aja, pejamin mata lo. Nggak usah ganggu gue, gue ngantuk.."Irin menahan tangisnya, ia benar-benar merasa sangat lelah.Ia sudah mencoba untuk tidur, namun tak bisa.Irin menatap jam di ponselnya, dan sudah menunjukkan pukul setengah satu malam.Irin pun memilih bangkit, ia berjalan keluar dari kamar Dante.Ia merasa gelisah, ia akan sulit tidur jika tak meminum obat tidurnya."A-alya.." lirih Irin, ia pun tersentak saat tangan besar menepuk bahunya.Irin mengatur napasnya agar stabil,"It's okay, Rin.. semua baik-baik aja, hm?" Ucapnya dan perlahan Irin pun merasa rileks."Kak Darren," Darren pun tersenyum."Kenapa belum tidur?""A-
Mobil yang mereka tumpangi pun terhenti di area parkiran rumah Irin.Dante baru tahu jelas jika rumah Irin jauh lebih mewah dan besar dari rumah kedua orang tuanya.Dante memarkirkan mobilnya di parkiran rumah milik kedua orang tua Irin.Untuk pergi dari gerbang ke parkiran saja harus menggunakan mobil atau motor jika tak ingin kelelahan.Dante menepuk pelan pipi Irin, hingga Irin pun menggeliat.Dante pun terkekeh, ia melihat Irin seperti kucing yang baru bangun tidur."Kamu kok ketawa sih?""Kamu kaya kucing baru bangun tidur,""Ish," Irin mencebikkan bibirnya."Turun, udah sampe nih,"Irin pun mengedarkan pandangannya, dan benar saja, mereka telah sampai di rumah orang tua Irin."Ayo, Dante… kita masuk, aku udah kangen sama bunda." Ucap Irin gira
Dante mencium aroma masakan gosong dari dapur, ia mulai membuka matanya dan berjalan ke arah dapur."Irin?""D-dante,""Kenapa?""M-maaf, tadi aku niatnya mau bikin sarapan buat kamu, tapi aku lupa,""Lupa?""Lupa kalo aku nggak bisa masak," cicit Irin pelan yang membuat Dante terbahak."Udah, udah. Nanti makan di kantor aja,""Eh, terus aku gimana?""Kamu ya urus sendiri,""Eh?" Irin menatap Dante, memerjapkan matanya pelan.Dante pun terkekeh dan mencubit hidung Irin,"Aw, sakit…""Bercanda,""Ah, kirain kamu sengaja mau bikin aku mati kelaparan,""Ya, kalo bisa.""Huh?"Dante tersenyum miring,"Mendingan kamu siap-siap, ikut aku ke kantor.""Eh, beneran?"
Dante membawa Irin ke sebuah mall."Dante, kenapa kita kesini?""Ya, kamu harus ikut aku nanti malam,""Eh, kemana?""Aku mendapatkan undangan pernikahan dari kolega ku,""Ho, baiklah.""Kamu cari dress sesuai keinginan mu dan setelah itu kita ke salon,""Kenapa ke salon?""Kamu nggak ada make up, selama ini aku cuma liat parfum, dan polesan bibir aja,"Irin tersenyum tipis,"Aku nggak suka make up sekarang,""Kenapa? Ada apa?""Udah deh, nggak usah banyak tanya. Ayo, cepat cari dress buat aku.""Kamu cari yang gimana?""Hm, lengan panjang dan terusan panjang.""Ini?"Irin menoleh dan menatap Dante yang sudah menegang dress terusan panjang berwarna peach, yang di hiasi oleh berlian-berlian kecil dibagika