Arinda celingak-celinguk ke sana sini demi mencari keberadaan Riza. Dia sudah di sana selama lima belas menit, tapi sosok Riza yang meninggalkannya demi mengantar sang Tuan Muda sampai saat ini belum muncul.
"Mana sih Kak Riza? Kok tidak muncul juga?" Arinda bergumam, tangannya terangkat memijat pelipis yang terasa pusing.
"Arin!"
Saat tengah memejamkan mata karena menahan pusing, seseorang memanggil nama dan sempat menyentuh pundaknya karena melihat tubuh Arinda yang sedikit terhuyung. Arinda membuka matanya, lalu tersenyum melihat siapa yang ada di hadapannya.
"Kok lama? Kakak darimana saja?" tanya Arinda, menatap wajah Riza yang berubah tak secerah tadi.
"Aku tadi...."
Riza menghela napasnya, ragu dan juga takut untuk mengatakannya. Pasalnya baru kali ini dia di tantang oleh sang Tuan Muda. Entah apa kesalahannya Riza pun tak tahu.
"Tidak ada," jawab Deondra dingin, dia masih menatap Arinda sejenak sebelum tatapannya beralih ke arah Alrix.Deondra menatapnya sedikit kesal, kenapa sih Alrix suka sekali mengurusi urusannya? Menyebalkan sekali!"Aku hanya teringat sesuatu." Deondra berkata, sedikit bingung untuk melanjutkan."Ada yang tertinggal, Tuan?"Sementara Alrix bertanya, kedua pelayan itu memberanikan diri untuk permisi. Sepeninggal mereka, tatapan Deondra semakin terlihat datar."Kenapa dia biasa-biasa saja saat bertemu denganku?" tanya Deondra, dapat dilihat dengan jelas bahwa dia tengah kesal.Alrix mengernyit. "Arinda, maksud Anda?""Siapa lagi? Tidak mungkin wanita tua yangbersamanya tadi, 'kan!"Alrix meringis kecil, dia menoleh kearah yang di lalui oleh dua pelayan itu. "Dia belum tua, Tuan Muda. Usianya saja ma
Alrix mengangguk. "Ibunya sudah meninggal dua bulan lalu, ayahnya koma di rumah sakit. Hal itu yang membuat Arinda memutuskan untuk menunda kuliahnya dan menjadi seorang pelayan di rumah Anda."Deondra menatap Alrix dengan tatapan kosong. Pikirannya berlarian ke sana kemari, teringat tentang kesedihan yang menimpanya dulu. Bahkan sudut hatinya kembali berdenyut, dia amat ingat bagaimana rasanya mengalami kesedihan seperti itu."Aku sudah salah dengan menodainya. Pasti perasaannya semakin hancur atas perlakukanku. Tapi, sepertinya semua itu belum ada apa-apanya di bandingkan perasaan sakit yang kurasakan dulu," ucapnya dalam hati, berusaha menepis semua kenyataan tentang perasaan hati Arinda."Aku saja masih bisa bertahan hidup sampai saat ini, terlepas dari semua yang terjadi padaku dulu. Aku yakin, dia akan baik-baik saja," ungkapnya membandingkan.Suara dentingan pelan terdengar, Deondra se
"Memangnya Anda ingin, apa saja yang saya katakan?" Alrix bertanya, membuat Deondra diam berpikir."Memang apa yang akan mereka tanyakan?" Deondra balik bertanya, kedua tangannya menopang dagunya sembari menatap Alrix.Sekretarisnya itu terdiam sejenak, menggabungkan beberapa kejadian yang menimpa Tuan Mudanya akhir-akhir ini. Hingga, bibirnya terbit sebuah senyuman."Mungkin hal-hal yang berkaitan dengan sumpah Anda. Juga tentang club dan juga kisah masa lalu," ucap Alrix santai.Deondra menatapnya malas, sekaligus merasa kesal. Kisah masa lalu adalah hal tabu untuknya, apakah tidak ada bahasan lain?"Mereka benar-benar tak bisa membuatku hidup dengan tenang. Apa hubungannya club dengan kisah masa lalu?" Deondra mencibir dalam hati, suasana hatinya sudah berubah hanya dengan mendengar dan memikirkan kata 'Masa lalu'."Kalau begitu, kau saja yang menjadi juru bicara. Bawa wartawan itu ke ruanganmu. Aku mal
Deondra beranjak dari kursinya setelah memeriksa beberapa berkas. Jam masih menunjukkan pukul sebelas siang, saat dia berjalan menuju sofa panjang yang ada di ruangannya. Membaringkan tubuhnya di sana, Deondra melamun, menatap lurus kearah langit-langit."Apa yang akan terjadi padaku di masa depan?" Pertanyaan konyol keluar dari mulutnya, lalu dia tertawa sesaat."Alrix sialan, dia sama sekali tidak datang ke ruanganku. Hah, dia mungkin lelah melihatku," ujarnya pelan, menyedekapkan tangannya di dada.Bayangan Anne timbul di atas langit-langit, seakan tersenyum padanya. Juga di susul potongan-potongan kejadian masa lalu yang silih berganti. Tentang Anne yang memintanya untuk segera melamar, kecelakaan yang menimpa orang tuanya, kematian, hingga saat dia mengiring pemakaman dengan air mata yang tak bisa di hapusnya dari wajah.Deondra menghela napas, membiarkan air matanya mengalir membasahi pipi. Dia memang seorang lelaki, tapi di ting
Arinda mendorong troli, memasuki bagian yang berisi sesak kebutuhan rumah tangga. Di belakangnya Jenika ikut berjalan, memegang kertas panjang yang di berikan oleh kepala pelayan. kertas itu bertuliskan bahan-bahan dapur yang mereka butuhkan. Sudah satu jam lebih mereka belanja, memastikan lagi tak ada yang tertinggal ataupun terselip hingga rela berputar-putar mengelilingi area perbelanjaan."Nah, ini sudah." Jenika meraih satu botol bahan makanan kualitas terbaik, memasukkannya ke dalam keranjang dan mencoret kertas yang di pegangnya."Lagi?" Arinda bertanya yang langsung di balas anggukan oleh Jenika."Bagian daging, aku lupa mengambil daging cincang dan juga udang. Ayo, Beb."Arinda tertawa kecil mendengar panggilan dari Jenika. Sesaat dia melupakan kesedihan yang menimpanya, asyik mendorong dan membawa troli itu berputar-putar, mengikuti kemanapun Jenika berkata.Sebenarnya kakinya yang memakai high heels itu sudah ter
Masih memperhatikan gerak-gerik pelayan cantik itu, Deondra mencoba berdamai dengan hatinya yang bergemuruh. Dia tak boleh terlihat cemburu, pasalnya dia memang belum tentu cemburu. Dia hanya merasa kesal dan itu entah apa penyebabnya. Deondra berdecih saat Alrix berjalan mendekati mobil. Di lihatnya lagi Arinda yang sudah tak ada di sana, sudah pergi menaiki mobil saat Deondra mengalihkan pandangannya sesaat. "Sedang apa gadis sialan itu? Apa dia baru saja menggoda seorang pria?" Deondra bertanya datar, sesaat Alrix memasuki mobil. "Tidak Tuan." Alrix memakai seatbelt, lalu menyalakan mobil. "Dia bertemu dengan teman seperkuliahannya. Temannya itu heran kenapa Arinda tidak pernah ada di kampus lagi selama dua bulan ini." Alrix melihat Deondra dari kaca, melihat raut malas Deondra yang sudah kembali normal. "Tadi dia sedang belanja, sewaktu berdiri tadi Arinda sedang menunggu Jenika mencari mobil. Jadi pertemuan itu tak di seng
Deondra bangkit bersama dengan insinyur pertanian yang baru saja bertukar pendapat dengannya. Melangkahkan kaki, sepatu pantofel crocodile miliknya sudah mulai terkena tanah yang di pihaknya, tapi Deondra tak terlalu mempedulikan hal itu dan tetap melangkah.Dihadapannya ratusan hektare lahan perkebunan teh mulai berproduksi. Hembusan angin yang turun dari lereng bukit di sebelah timur terasa menyejukkan. Saat Deondra menghirupnya, dia seakan menemukan separuh jiwanya yang sempat terbenam."Cih, aku benar-benar bisa melupakan kemarahanku setelah sampai di desa ini." Deondra bergumam, masih berdiri di dataran yang lebih tinggi, menatap kearah bawah untuk memperhatikan para pekerja yang mulai mengolah tanah.Saat sampai tadi, dirinya langsung merasakan aura kesejukan yang tak pernah di rasakannya di kota. Saat pertama kali menginjakkan kaki, keteduhan tempat ini sama seperti dia melihat pancaran mata dari Arinda.Ah, Arinda. Rasanya
Sepeninggal Arinda mulut Deondra masih terkatup rapat. Sama sekali dirinya tak menyangka, bahwa gadis yang lemah lembut dan juga anggun seperti Arinda, bisa bicara seperti itu padanya.Menatap mangkuk yang disiapkan Arinda untuknya, asap tipis masih mengepul di atasnya. Tangannya mulai meraih sumpit dan menjepit satu potong daging yang ada di sana."Apa dia bilang tadi? Karma?" Deondra berkata santai, menatap potongan iga yang di angkatnya dari mangkuk. "Aku tidak akan terkena karma, siapa yang berani melakukannya padaku?"Senyum miring tercetak di wajahnya, sebelum akhirnya Deondra menyantap potongan daging yang di pegangnya itu. Empuk, rasa daging yang sudah di kunyahnya terasa enak. Tak pernah Deondra menyantap makanan seenak ini, walaupun hati dan egonya menyangkal ucapan pujian yang akan di keluarkannya."Lagipula soal ketampanan dan juga kekayaanku, kita lihat saja sampai kapan dia mampu bertahan jika aku terus menerus membua