Keesokan harinya, Alva kembali menyajikan makanan untuk Sang Kakak. Dia melangkah dengan penuh kekhawatiran, takut apa yang dia bawa tidak di sentuh sedikit pun oleh Kakaknya seperti waktu kemarin.
Tok tok...
"Kak, aku masuk," ucap Alva.
Di dalam sana Ira masih tertelungkup di balik selimut tebal. Setelah hari itu, dia tak memakan apa pun, di tambah lagi kondisinya saat ini sangat menghawatirkan, sekujur tubuh bercucuran keringat, hingga membasahi tempat tidurnya.
"Kak, makan dulu," ucap Alva berusaha membangunkan Ira.
Ira tak bergerak sedikit pun, Alva yang merasa heran, mulai menepuk pelan tubuh Sang Kakak.
"Kak," ucap Alva.
Karena tak mendapat tanggapan apa pun, Alva membuka selimut yang menyelimuti Ira hingga se bahu.
Stt...
Alva melihat kakaknya bergetar memeluk kedua lengannya.
"Kak!" ucap Alva panik.
Dia menyentuh kening Ira, ternyata panasnya semakin Tinggi, Alva segera lari keluar meminta pertolongan.
Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan seorang di belakangnya, dia meraba kening Ira dengan lembut.
"Bagaimana Pak?"
"Panasnya tinggi, kita harus bawa Ira secepatnya," ucap Pak Amar.
"Alva, beritahu Bu Nina," perintah Pak Amar.
"Baik Pak." Alva segera pergi secepat mungkin.
***
DI RUMAH SAKIT....
"Bagaimana keadaan Ira Dok?" tanya Bu Nina.
"Dia mengalami panas biasa, untuk sementara makan obatnya secara teratur agar panasnya cepat turun."
"Terima kasih dok."
Bu Nina menghampiri gadis yang tengah terbaring di ranjangnya. Dia lihat Alva yang setia di sampingnya menunggu Sang Kakak membuka mata.
"Pak, bagaimana kalau Ira tinggal di rumah kita untuk sementara?" saran Bu Nina.
"Baiklah, Bapak juga kasihan melihat mereka," ucap Pak Amar seraya menatap kedua anak di sana.
Bu Nina membatin "Kalian pasti kuat,"
***
Sesampainya di rumah, Ira berjalan menuju kamarnya dengan di papah Sang adik. Setelah menolak tawaran Bu Nina, Dia memutuskan untuk tetap tinggal di rumah dengan di temani Alva.
Setelah Ira duduk di kasurnya, Alva segera pamit untuk membuatkan makanan.
"Kak, aku buat bubur dulu, kakak tidur saja sebentar, nanti aku bangunkan," ucap Alva kemudian pergi.
Setelah tak terlihat punggung Alva dari pandangannya, Ira berjalan sempoyongan mendekati pintu kamar seraya mengambil kunci dari dalam laci.
Clek...
Selesai mengunci pintu, dia kembali ke ranjangnya, membaringkan tubuh yang sakit ini.
"Hiks...hiks...."
Dia menenggelamkan wajahnya di balik bantal seraya mengingat kembali kesedihan yang menyayat hatinya.
...
Beberapa saat berlalu, Alva membawa semangkuk bubur menuju kamar Kakaknya.
Clek...
"Di kunci?" Batin Alva.
Tok...tok....
"Kak!" ucap Alva.
Tak terdengar balasan apa pun dari dalam sana, dia menunggu sebentar, mungkin Kakaknya sedang berusaha membuka pintu.
Beberapa menit berlalu, Alva masih berdiri di depan pintu, dia mendengar samar suara rintihan dari dalam sana.
"Huh."
Alva menghela nafas berat sambil menatap bubur yang dia bawa dengan sepenuh hati. Tak terasa, keluar cairan dari pelupuk matanya, mengalir dengan sendirinya.
***
Hari mulai gelap, Alva terbaring di kursi tamu, dengan buku yang menutupi wajahnya.
Tok tok...
Dengan terpaksa, Alva segera bangun untuk membuka pintu.
"Va, Ira bagaimana?" tanya Bu Nina.
Alva tidak menjawab, dia malah kembali ke tempat duduknya tadi dengan kepala yang tertunduk.
Terlihat Alva menatap Bubur di hadapannya. Tanpa mengucap kata, Bu Nina langsung mengerti akan situasi yang terjadi. Dia langsung menuju kamar Ira, mengetuk pintu dengan pelan.
"Ira?"
"Ira, bangun nak," lanjutnya.
"Ira, Alva bawa bubur untuk kamu nak."
"Ira, buka pintunya, sebentar saja."
Setelah beberapa kali percobaan, Ira masih tidak membuka pintu kamarnya, membuat Alva sebagai adik merasa semakin khawatir.
Setelah Berkali-kali mencoba membujuk Ira, tak ada hasil yang dia dapat, kemudian Bu Nina melangkah mendekati Alva.
"Alva, makanlah bubur itu, kamu pasti belum makan, nanti Ibu buatkan yang baru untuk Ira," ucap Bu Nina.
Alva hanya diam, namun setelah itu, dia mengangkat kepalanya dan langsung berlari keluar.
"Alva!" panggil Bu Nina.
Alva berlari ke luar, tanpa menghiraukan ucapan Bu Nina.
***
"Hiks...hiks...kalian pernah bilang tidak akan meninggalkan aku, apa buktinya sekarang? Kalian ingkar janji, aku benci kalian, aku benci semuanya!" batin Ira.
Tok tok...
"Aku ingin sendiri, jangan ganggu aku," batin Ira.
Tok tok ...
"Pergi! Aku tak ingin mendengar apa pun!"
Tok tok...
"Ira, ini makanan untukmu, bukalah sebentar."
Ira mendongak mendengar suara itu.
"Suara Ini..."
***
Dalam malam yang sunyi Raymond duduk di meja kerja, dia membuka lembaran kertas lalu menulis pelan dengan tinta hitam. Tak akan ada orang yang tahu bagaimana perasannya, tak akan ada yang tahu bagaimana sulitnya membunuh rasa cinta, melalui tulisan ringan ini dia ungkapkan segala beban dalam hati yang tak mungkin bisa tercurahkan, kalimat demi kalimat yang indah hanya untuk seseorang yang tak akan mungkin bisa dia gapai.Untukmu malaikat kecilMenurutmu bagaimana cinta ituApakah menyenangkan atau tidak?Selama bertahun-tahun mulutku selalu ingin mengungkapkannya.Fiolyn atau Ayya, aku harus memanggilmu bagaimana?Tingkahmu yang tak jelas, bertindak bodoh dan berusaha kuat, aku tak menginginkan kau melakukan itu semua.Jika aku harus menuruti egoku aku ingin kau hidup sepeti wanita pada umumnya.Normal dan bahagia.Namun aku tahu semua penderitaanmu memang berasal dariku, jika kau ingin marah maka marahlah, aku selalu menunggu kau melakukan itu, agar aku bisa mengurangi sedikit bebanm
Ira wanita itu diam di ujung ranjang sambil meremas jari-jemarinya, rasa gugup sedang melandanya saat ini. Walaupun ini bukan yang pertama kali, akan tetapi jika malam ini di habiskan penuh hasrat seperti waktu itu, mereka benar-benar akan melakukannya dengan kesadaran penuh.Ira sebenarnya tidak tahu apa yang akan terjadi dimalam ini, pernikahan yang diawali dengan kesepakatan dan bukan cinta akankah memiliki alur yang sama?“Atau pura-pura tidur saja ya,” gumam Ira sambil menoleh menatap bantal.Perlahan dia mengambil selimut lalu merangkak menaiki ranjang, namun ketika Ira sedang merangkak tiba-tiba derap kaki terdengar mendekat dari balik pintu. Segera dia membenarkan posisi secepat mungkin, berbaring membelakangi menutup dirinya penuh dengan selimut.Cklek…Pintu terbuka, Pria yang sudah menjalin ikatan resmi dengan Ira itu memasuki ruangan kemudian mengunci pintu.Tak-tak…Suara itu semakin terdengar jelas, Ira berusaha tidak gugup dengan diam tak bergerak seperti tertidur pulas
Keesokan hari, Ira tengah duduk mematung. Sejak pagi dia telah diseret untuk melakukan persiapan pernikahan, tubuhnya terasa telah diobrak abrik oleh satu penata rias dan dua penata busana. Ira sekaan boneka yang bisa dimainkan sesuka hati mereka.Dengan wajah tak berekspresi sedikitpun, Ira malah harus menyaksikan kejutan lain lagi. Alfa adik satu-satunya itu datang menghampiri dengan setelan jas hitam datang bersama wanita yang terkenal dengan tingkah gilanya. Lisya, wanita itu membawa Alfa untuk menemui Ira."Kakak selamat atas pernikahannya," Alfa memberi selamat dengan malu-malu, ada rasa bersalah yang mendalam kala melihat sang kakak memakai kebaya untuk akad.Ira hanya bisa menatap nanar sang adik. Ingin rasanya dia terkejut namun semua kejutan itu datang terlalu cepat hingga Ira hanya bisa melamun tak percaya."Hai, Ibu mertua, aku membawa hadiah yang cocok kan untuk pernikahanmu," ucap Lisya dari belakang Alfa."Aku akan pergi, jelaskanlah pada kakakmu agar tak ada kesalahpah
Tak ada pengharapan yang lebih besar daripada ini. Ira memohon sekuat mungkin, berharap ada malaikat yang datang dalam situasi mencekam ini. CkckckckHendel toilet seperti dipaksa terbuka, bergerak tak tentu dengan bunyi besinya."BUKA!" Teriak dari luar sembari memukul-mukul pintu. Ira tak bisa bertahan lagi, kesadarannya hampir hilang seiring ketakutan menjalar. Nafasnya terengah kala desakan demi desakan terdengar dari luar."Hggg..." Nafas semakin sulit keluar, semakin sesak dan sesak.Di situasi menegangkan yang terjadi, suara dobrakan dari pintu kamar samar terdengar."Ra! Kamu di dalam?" Terdengar seperti itu samar-samar.Ira perlahan membuka matanya, ingin dia berteriak, ada dia di dalam sana, namun jangankan untuk berbicara, bernafas saja sudah teramat sulit. Kesadaran terasa hampir hilang, Ira memeluk dirinya di sudut, memasrahkan semua keadaan pada Tuhan....Di ranjang rumah sakit, Ira terbaring dengan kondisi buruk. Peristiwa percobaan pelecehan yang di rencanakan Bram d
Pembicaraan singkat telah selesai begitu saja meninggalkan rasa canggung di antara Ira dan juga Lingga. Sepanjang perjalanan, mata wanita cantik itu terus tertuju pada jendela. Seolah-olah ada pikiran yang membebani dirinya. Perjalanan terasa singkat hingga tak terasa Ira dan Zed telah tiba di hotel. Hari ini berjalan melelahkan, bukan tentang bagaimana Zed bahagia, namun tentang dirinya sendiri yang tak bisa melupakan masa lalu. Lingga, pria itu memanglah baik, kesalahpahaman dimasa lalu yang telah dijelaskan rinci dan pengorbanan saat ini telah menggoyahkan tekad Ira.Sambil melihat Zed disampingnya, Ira tersenyum."Sekarang bagaimana? Aku semakin takut untuk bertemu dengannya," batin Ira sembari melihat Zed. Wajah manis dan menggemaskan itu sangat mirip dengan Lingga. "Aku harus mulai menjauhinya."...Esok menjemput, Zed tampak lebih semangat memulai hari, dengan setelan kaos dan celana selutut, Zed telah siap bertemu sang ayah."Mama! Ayo kita berangkat!" Panggil Zed sembari m
Ira tersenyum dan mengambil bola dari tangan Zed. "Baiklah," ujarnya sambil melempar bola ke Zed. Zed tertawa dan menerima bola itu, kemudian melempar kembali ke Ira.Namun, Ira tidak pernah melempar bola ke arah Lingga. Meski Lingga mencoba untuk bergabung dalam permainan, Ira selalu melempar bola ke arah Zed atau menghindari Lingga dengan lemparan yang lebih jauh. Lingga cukup memahami sikap tersebut dan tidak memaksakan diri untuk ikut bermain.Setelah bermain sejenak, Ira mengajak Zed untuk pulang. Wanita itu merasa lega dan bersyukur bahwa dia masih bisa merasa dekat dengan Zed, dan bahwa Zed masih membutuhkan kehadirannya sebagai ibu. Meski masih ada kekhawatiran, Ira tahu bahwa dia akan selalu berusaha untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Zed....Di hotel HL&B Zed telah tertidur di pangkuan Ira. Disaat itu Arkana memberi saran."Nak, bagaimana kalau kamu menginap saja disini, Zed sudah kelelahan." Ira melihat wajah putranya yang nyenyak dalam pangkuan. Ya Zed pasti kelelahan,