Share

BAB III [ Erasmus University Rotterdam ]

Pagi dan awal yang indah bagi seorang Natasha hari ini.

Dengan langkah pasti setelah keluar dari basement apartemen tempat tinggalnya, penampilan khasnya yang tak pernah berubah dan entah kapan akan berubah itu justru tidak mengurangi rasa percaya dirinya, menurutnya penampilan itu hanyalah nomor sekian yang paling penting itu adalah isi kepala.

Beda halnya kalau dibandingkan dengan Ibra, penampilan dan inteligent dua-duanya harus balance agar tercipta sebuah citra dan kharismatik seseorang. Tentu saja Ibra mengutamakan hal itu, secara dia memang seorang pemimpin dan pengusaha terkenal tepatnya adalah menggantikan posisi sang ayah di dunia bisnis. Dan diapun baru saja dipromosikan untuk itu.

Wajar saja seorang Ibra akan menyombongkan dirinya apalagi jika sudah mengingat dirinya harus dibandingkan dengan Nata.

Nata sudah sampai di kawasan Erasmus University Rotterdam, "Amazing", satu kata yang terucap saat menginjakkan kakinya disana, gedung kampus yang menjulang memiliki 18 lantai tersebut, dengan taman yang indah seakan mampu menampung semua warga Rotterdam, bukan para mahasiswa nya saja bahkan semua orang akan dengan senang hati untuk singgah disana. 

Kampus Erasmus memang berada dikawasan maritim melihat dari geografis Rotterdam, pepohonan yang rimbun dan air mancur yang sejuk di tiap kolam yang berjejer indah di sepanjang taman. Siapapun akan terpukau dan enggan untuk beranjak. "This is fantastis, bak surga dunia, dan ini baru sebagian fasilitas yang ada di Erasmus.

Nata terus melangkah sesuai geogle map sebagai pandunya, tak ada satupun yang ia kenal disini, untuk bertanya dan menyapa biarlah urusan nanti. Saat ini yang menjadi misi untuk langkah pertamanya adalah menuju ruang Rektor untuk memenuhi undangan beliau tempo hari lewat email nya.

Nata tampak antusias walau tak bisa dipungkiri rasa gugup yang ia punya, terus dengan seksama memperhatikan dan mencerna tiap kata dari sang Rektor, beruntungnya sang Rektor hanya menggunakan bahasa Inggris, setidaknya Natasha belum diberi kesempatan untuk berkomunikasi dalam bahasa Belanda saat ini.

"Lumayan, itung-itung untuk stok bahasa besok." Pikir Nata.

Hampir satu jam perbincangan antara Nata dan sang Rektor, kemudian Nata undur diri. Nata belum ingin kembali ke apartemennya, dia masih ingin melihat-lihat sekitar Kampus. Namun dia lelah sendiri, "kampus ini terlalu luas." Batinnya.

Nata pun kembali ke taman sambil mengambil beberapa gambar beserta Selfi dirinya, kemudian mengirimnya ke Maya dan Tita. Tak lama panggilan video call terhubung ke ponselnya.

"Hai cupu, mau pamer ni yee, gua jadi pengen nyusul lo ke situ." Rengek Maya dari seberang.

Belum sempat dijawab Nata, panggilan vc berikutnya masuk lagi, tentu saja dari kak Tita. Percakapan sambung tiga pun dimulai.

"Laa, si Maya udah nimbrung, apa kabar may nggak pernah ke tempat kakak?"

"Alhamdulillah baik kak, kakak gimana?"

"Alhamdulillah, gimana kabar ayah may, udah sembuh belum?"

"Udah kak, semenjak pemasangan ring di jantung ayah nggak perlu bolak-balik rumah sakit lagi, cukup rutin kontrol aja."

"Ooh, syukurlah. Nata, kamu gimana dek, lancarkan semuanya nggak ada kendala?"

"Nggak kak, semua baik-baik aja, kakak gimana, masih sendirian, oh iya may, bantuin kakak gue dong cariin calon suami biar dia punya teman dan gue pun disini juga tenang."

"Assiaap bos." Keduanya pun sambil terpingkal, sementara Tita hanya manyun.

"Kalian ya, dua-duanya sama, selalu ngeledekin kakak, durhaka tahu."

"Siapa yang ngeledekin, kan memang iya kan may, emang kakak mau sampai kapan, aku juga pengen punya kakak ipar, emang lu gimana may?"

"Gua juga, iya lo kak, buruan gih."

"Dasar bocah, gue sentil nih, kalian selalu berani ngomong gitu ya kalau lewat telepon, kalau ngomong itu langsung dihadapan kakak Napa hah?"

" Yeee, palingan belum selesai ngomong aja udah keburu di jitak."

"Ho oh betul itu." Sambung Maya.

"Hah, nggak abis-abis nih bahas yang nggak-nggak, ehh ngomong-ngomong ini kamu lagi dimana Nat, kok kakak liat tempat nya kayak taman rekreasi."

"Di kampus kak, di tamannya." Sambil mengedarkan kameranya ke sekeliling dan mengarahkan ponselnya ke langit.

"Gila, lu serius Nat, itu kampus lo, kok kayak bukan kampus ya, kalau diliat kayak wahana wisata terus itu kampusnya kayak gedung perkantoran elit, lo nggak salah tempat kan?"

"Ya enggaklah, ini beneran, noh lo baca." Sambil memperlihatkan nama kampus yang terpampang di gerbang menjelang masuk area kampus Erasmus.

" Wah keren ya may."

"Iya kak, nggak nyangka aku kampus nya keren gini, apalagi kampus-kampus lainnya kan kak?"

"Hm mm, Nat, belajar yang bener ya dek, jangan lupa jaga diri dan hati-hati bergaul, Sebenarnya kakak nggak perlu ngingetin kamu, wong kamu udah dewasa dan bukan anak kecil lagi yang harus kakak wanti-wanti."

"Iya kak, pasti, tapi aku jadi sedih kalau liat kakak sendirian terus, dan aku selalu berdoa agar kakak ketemu jodoh kakak yang sebenarnya, biar aku pun disini nggak kepikiran terus soal kakak hidup sendirian, apalagi sekarang kita jauhan."

Ketiga nya pun saling meneteskan air mata.

"Lo tenang aja Nat, kan ada gue dekat kak Tita, walau kita nggak serumah."

"Iya deh may, gua titip kakak gua ke e lo ya?"

" Heh bocah, kalian pikir gue anak kecil hah?"

"Tuh kan, ibu ratu ngamuk lagi  Nat."

"Ampiuuuun." Teriak Nata dan Maya sambil cekikikan.

Tita semakin jengkel dengan tingkah kedua nya yang menjadi-jadi.

"Ehh, stop, Nat coba lo liat deh, itu dibelakang kak Tita bukannya mas Hengki yang pernah kerumah lo waktu kita bolos kuliah dulu?" Tiba-tiba Maya melihat seorang pria duduk sambil makan sesuatu persis dibelakang Tita sekitar 50 meter dari Tita.

Tita pun menoleh ke belakang, ternyata benar itu adalah Hengki teman sekantor Tita, yang di lihat pun melambaikan tangannya saat ini, mau tak mau Tita pun membalas. Tanpa aba-aba Hengki pun membawa makanan nya ke meja Tita.

" Boleh duduk disini Ya, oh iya udah pesan makanan belum, kalau nggak biar sekalian?"

"Makasih mas, itu bentar lagi datang." Jawab Tita.

Tanpa disangka Hengki dan Tita akan bertemu di mall sore ini.

"Cie ciee yang janjian, ini kita jadi obat nyamuk atau gimana nih?" Ledek Maya dan Nata di telepon.

"Hai, adek-adek kamu Ta?" Hengki pun menyapa Maya dan Nata sambil bertanya pada Tita.

"Iya mas."

"Hai juga mas Hengki." Jawab kedua gadis itu.

"Kak, Nata mau pamit dulu mau balik ke apartemen,udah lapar juga ni kak."

"Maya juga kak, mau ke tanah Abang dulu jeput ibuk."

"Ya udah hati-hati ya."

"Ya kak, bye." Jawab Maya dan Tita serempak.

Setelah menutup panggilan di teleponnya, Nata pun beranjak dengan berjalan kaki menuju apartemennya yang kebetulan berjarak sekitar dua ratus meter dari kampusnya.

Tiba-tiba saat hendak menyeberang, Nata dikagetkan dengan suara ban mobil yang meledak, mobil itu pun oleng ke arah Nata, belum sempat mobil tersebut mengenai tubuhnya seseorang dengan sigap menyambar tubuh Nata hingga kacamatanya pun terlepas entah kemana.

"Aaauuuuu." Nata menjerit sejadi-jadinya dan burrkk.

Tubuh mereka berguling di tepi trotoar, Nata dengan jelas melihat pemuda yang tengah memeluk erat tubuhnya saat ini dengan posisi pria itu dibawah tubuhnya, begitu juga pria itu yang tak lain adalah Ibra sedang menatap intens kedua mata cantik gadis itu dengan beberapa pertanyaan di benaknya.

"Mijn bril, mijn bril, waar?" Nata kelabakan dan panik saat sadar kacamata nya terlepas, bukannya berterima kasih terhadap pria yang menyelamatkan nyawanya, dia justru lebih memikirkan terlebih dahulu kacamatanya.

"Wanita ini lagi, oh Tuhan apa dunia ini begitu sempit, hingga tak ada lagi perempuan lain yang kujumpai?" Ibra mengeluh dalam hatinya.

"Apa kau lebih mementingkan kacamata tak berguna mu itu dari pada tubuhku yang kau siksa ini?"

Tegas Ibra, yang sebenarnya dia rela kalau Nata terus berlama-lama menghimpitnya, konyolnya lagi dengan posisi Nata yang duduk tepat di atas juniornya.

"Oh God." Lagi-lagi Ibra bergumam.

Kesadaran Nata pun kembali, tanpa aba-aba dia langsung berdiri, dia melihat kesekeliling, semua orang menatap lekat ke mereka seakan sedang menonton adegan panas layar tancap, sungguh Nata sangat malu dan segera melenyapkan diri dari kerumunan tersebut.

"Hei girl, jangan kabur dulu kau belum berterima kasih pada tuan ini, dasar tidak tahu berterima kasih." Umpat orang-orang di kerumunan itu.

Orang-orang pun bubar, begitu juga dengan Ibra, dia pun segera beranjak dari posisinya, kemudian beberapa anak buahnya datang untuk membantunya.

"Kau tidak apa-apa tuan, apakah ada yang luka?"

"Tidak, aku baik-baik saja.

"Tuan, saya menemukan ini." Sambil menyerahkan sebuah kacamata besar ke tuannya. Ibra pun mengambil kacamata tersebut dan membawanya berlalu dari tempat kejadian itu. Untung saja tidak ada korban jiwa disana setelah insiden ban mobil yang pecah tadi.

Setibanya di apartemen setelah mengunci pintu, Nata melepas semua pakaian nya dan mengguyur seluruh tubuhnya.

"Bagaimana ini, apa aku tak perlu menggunakan kacamata ku lagi ya?" Pikirnya. Nata pun berpikir apakah terus menggunakan kacamata itu atau tidak, mengingat matanya yang sebenarnya sudah tidak tergantung lagi pada kacamata. Malu campur aduk, itulah yang dia pikirkan saat ini, Nata pun terus mengguyur tubuhnya, posisinya yang tengah duduk di atas milik Ibra membuatnya sangat malu.

Betapa malu dirinya mengingat kejadian tadi,  setelah mandi Nata pun bergegas hendak sholat namun sebelumnya dia menyempatkan diri untuk memesan makanan khas muslim di aplikasi gofoodnya.

Selang beberapa menit kemudian usai melaksanakan empat raka'at, bel pun berbunyi, ternyata benar makanan yang ia pesan pun datang.

Di lain tempat, disalah satu ruangan pribadi yang ada di mansion miliknya, Ibra tengah asyik memperhatikan kacamata besar Nata.

"Kalau dia bisa melihat lalu untuk apa kacamata tak berguna ini, dasar gadis culun." Gumamnya.

Tok tok tok.

"Ya masuk."

Seorang anak buah Ibra pun masuk.

"Maaf tuan, ada berita buruk."

"Berita apa, hingga membuatku harus mengetahuinya?"

"Nona Brenda tuan, saat ini dia sedang mengamuk di kantor cabang anda di Denhag."

"Lalu menurutmu apa aku harus kesana?"

"Maaf tuan, bukan begitu maksud saya tuan, ini menyangkut reputasi anda disana tuan."

"Betul juga." Pikir Ibra

"Dan kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan?" Pertanyaan dan tatapan tajam Ibra seakan memberi perintah kepada anak buah tersebut.

"Baik tuan saya mengerti."

"Pergilah."

Setelah anak buahnya pergi, Ibra kembali memungut kacamata tak berguna milik Nata.

Ibra berusaha menepis pesona Brenda dari benaknya, namun sesaat kemudian pikirannya melayang membayangkan kecantikan Nata apabila di suguhkan semua fashion yang melekat di tubuh Brenda yang ia nikmati selama ini.

"Oh God, pikiran konyol apa lagi ini?" Gumamnya saat memikirkan tubuh Nata.

"Sebenarnya dia cantik, lalu kenapa dia bodoh sekali?"

Lagi-lagi Ibra tak habis pikir dengan penampilan konyol gadis itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status