Share

BAB 4. His Foolishness

Sagara mengusap wajahnya dengan kasar. Merutuki perkataan bodohnya. Kenapa dia berkata hal seperti itu kepada Gistara. Dia tidak bermaksud menyakiti gadis itu tapi entah kenapa perkataan kurang ajar itu keluar begitu saja.

Sagara mengambil ponselnya di atas meja. Mengirim pesan kepada kaka laki-lakinya.

‘Bang, aku udah buat Gita nangis. Maafin aku ya. Aku salah. Harusnya aku ngucapin selamat untuk dia bukan justru bikin dia nangis.’

Pria itu meletakkan ponselnya ketempat semula. Beberapa menit kemudian balasan dari abangnya masuk ke ponselnya. Dengan cepat dia membaca pesan itu.

‘Minta maaf sama Gita, bukan sama Abang. Btw hadiah kamu udah Abang kasih ke Gita.’

Sagara melempar ponselnya ke atas mejanya. Bagaimana dia meminta maaf kepada gadis itu. Lagi pula meminta maaf bukan lah gayanya.

Sagara jembali merutuki mulut pedasnya yang di warisi oleh mamanya.

***

Gistara berjalan menelusuri koridor sekolah masih dengan air mata yang mengalir deras dikedua pipinya. Siapapun yang melihatnya pasti merasa kasihan karena gadis itu memiliki masalah hidup yang besar sehingga dia menangis dengan sesegukan. Sukurlah koridor terlihat sepi karena kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung.

Kakinya melangkah dengan cepat, tujuan dia saat ini hanyalah kontrakannya yang disana terdapat dua sahabatnya yang menunggunya dan dia akan menceritakan kejadian ini. Dulu dia berjanji kepada keduanya kalau tidak akan ada lagi secret diantara mereka.

Gistara berhenti diujung tangga mencoba menghentikan tangisannya, dibawah dia bisa melihat Adit dan dua guru sedang mengobrol. Dia mengambil ponsel di tasnya, mengecek apakah taxi online yang dia pesan sudah sampai atau belum, kemudian meletakkan ponselnya di telinga, berpura-pura menerima telepon supaya ketiga guru itu tidak mengajaknya mengobrol.

Adit memperhatikan Gistara yang turun dengan perlahan, dari jarak lima meter dia bisa melihat mata sembab guru muda itu. Gistara menengok kearah Adit memberikan senyuman tipis, memberi kode minta maaf karena dia harus segera pergi. Pria paruh baya itu mengangguk kemudian terseyum tulus, semoga tidak terjadi sesuatu dengan gadis itu.

Gistara membuka pintu rumahnya dengan perlahan, mencari dimana keberadaan kedua sahabatnya. Kamar adalah tujuan pertama. Kedua sahabatnya terlihat sedang tertidur dengan pulas ketika dia membuka pintu kamarnya. Menutup pintunya kembali dengan hati-hati, pergi menuju kamar kedua. Melepaskan almamater yang sedari tadi masih dipakai.

Kejadian beberapa tahun yang lalu kembali berputar seperti film. Gistara menjambak rambutnya dengan kuat.

"Gadis miskin pastinya butuh banyak uang. Makanya dia mau menjadi simpenan pemilik yayasan!"

"Sayang banget padahal dia cantik bisa dapet yang lebih muda dan kaya!"

"Justru itu orang-orang cantik suka buta. Liat yang kaya pasti langsung mau, apa lagi kalau kaya dan ganteng."

BRAK!!

“Enggak!! Aku gak kaya gitu!!” teriak Gistara menjambak rambutnya.

Willi dan Kristina terbangun mendengar suara teriakan Gistara yang terdengar sampai kamar gadis itu. Kedua gadis itu melotot kemudian dengan cepat berlari menghampiri Gistara yang sudah menjambak rambutnya.

“Lo kenapa Beb? Udah ya jangan kaya gini, sakit nanti kepala lo.” Kristina mencoba melepaskan tangan Gistara dari rambut gadis itu.

Willi memeluk Gistara dengan erat. Air matanya juga ikut turun melihat sahabatnya benar-benar kacau. Ini hari bahagia tapi kenapa sahabatnya sekacau ini. Siapa yang berani membuat sahabatnya seperti ini.

Berbeda dengan Willi yang memeluk Gistara. Kristina menghapus air mata Gistara yang masih asik berjatuhan.

“Nanti kalau udah siap cerita. Lo cerita ya. Kita selalu siap dengerin lo.”

Beberapa menit kemudian tangis Gistara berhenti. Willi dan Kristina masih menunggu sahabatnya itu membuka suara. Dengan sabar keduanya mendekap tubuh Gistara.

Gistara menghembuskan nafasnya. Merasa sudah siap bercerita. Gadis itu mulai bercerita apa yang terjadi dengannya. Kristina mengepalkan tangannya mendengar cerita Gistara. Berbeda dengan Kristina, Willi mengumpat dalam hati dengan tingkah Sagara yang tidak jelas.

Pria itu benar-benar membuatnya jengah. Pria itu bilang kalau dia mencintai sahabatnya tapi apa yang dia lakukan sekarang bukan mencerminkan seorang pria yang mencintai wanitanya.

“Lo mau kita apain laki-laki itu? Bilang sama kita biar kita balas. Laki-laki mulutnya gak bisa di jaga,” cerocos Kristina merasa kesal dengan tingkah Kevlar yang sudah membuat sahabatnya menangis.

“Biar gue aja yang bales,” sahut Willi yang sukses membuat Kristina memincingkan matanya.

“Emang lo bisa?” tanya Kristina ragu dengan perkataan sahabatnya.

“Lo bakal kaget kalau gue bisa buat laki-laki itu minta maaf sama Gita.” Willi tersenyum misterius yang sukses membuat kedua sahabatnya merasa ada yang di sembunyikan dari gadis itu.

Sagara adalah sepupu Willi. Dan kedua sahabatnya itu tidak tahu karena dia sengaja menutupi itu bermaksud untuk membantu sepupunya dekat dengan Gistara. Tapi melihat Gistara menangis karena sepupunya itu, Willi ragu untuk melanjutkan ini — menolong sepupunya.

Dia ingat bagaimana omnya — papahnya Sagara meminta tolong Willi untuk menjadi sahabat Gistara. Karena ketika Gistara sekolah dulu tidak ada yang mau berteman dengan gadis itu. Gistara terlalu pendiam sehingga orang-orang malas berdekatan dengannya. Mereka selalu beranggapan kalau Gistara adalah gadis yang membosankan.

Anggapan teman-teman Gistara salah. Nyatanya Gistara adalah orang yang asik. Dia sengaja membuat dirinya terlihat membosankan karena dia ingin berteman dengan orang yang benar-benar ingin berteman dengannya tanpa memandang siapa dirinya. Orang yang benar-benar tulus, tanpa ada niatan sedikitpun.

“Gue ingin pindah kerja,” gumam Gistara tiba-tiba memecahkan keheningan.

“Kenapa? Lo gak kuat ya di sana? Kalau gak kuat gue sebagai sahabat lo hanya bisa setuju dengan apa yang lo pilih.” Kristina mengusap lengan Gistara perlahan. Sedangkan Willi terdiam, dia bingung apa yang harus dia lakukan.

“Tapi.. Lo ngerasa gimana gitu gak sih kalau pindah. Almarhum pak Antares pasti sedih liat siswa kesayangan dia pindah dari sekolahnya,” sahut Willi hati-hati takut menyinggung perasaan Gistara.

Gistara nampak berfikir. “Gue juga mikir gitu. Gue merasa de javu ketika pak Sagara dengan seenaknya merendahkan gue. Entah kenapa bukan dari dulu aja bapak itu ngehina gue kenapa baru sekarang. Dia membuka luka lama gue yang sangat sulit gue lupain.” Willi kembali memeluk Gistara dengan erat.

“Coba lo fikir lagi Sa. Kalau sampe satu minggu pak Sagara belum minta maaf sama lo. Lo bisa memutuskan keputusan lo,” usul Willi yang di angguki oleh Kristina.

“Bener sih kata Willi. Nyari kerjaan susah Gita. Jadi mending lo fikirin lagi niat lo itu.”

Gistara terdiam mencerna nasihat kedua sahabatnya. Bramantas’ School sudah banyak membantunya menjadi Gistara yang sekarang. Dia benar-benar tidak tahu diri jika dia meninggalkan Bimantaras’ School hanya karena pria itu. Pria yang tak lain adalah anak dari seseorang yang telah membuatnya menjadi seperti ini.

“Kalau gue gak pindah. Gue akan tetap disana dong pastinya. Tapi gue gak yakin bakal bisa seperti biasa sama orang yang telah nyakitin hati gue.”

Willi meringis mendengar perkataan Allisya. “Lo mau balas perbuatan pak Sagara? Gue setuju Beb.”

***

Adit berjalan menuju ruangan kepala sekolah. Sesampainya di depan ruangan kepala sekolah, dia mengetuk pintu ruangan bercat cokelat itu dengan perlahan. Tidak butuh waktu lama, Kevlar mempersilahkan pria paruh baya itu masuk.

“Pak Sagara ada masalah?” tanya Adit melihat Sagara yang sedang memijat pelipisnya.

Sagara menggelengkan kepalanya mencoba mereda pusing yang menderanya saat melihat Adit duduk di hadapannya.

Stop calling me Pak. Saya jauh lebih muda dari Bapak.” Sagara menatap Adit dengan kesal, “saya tidak sengaja membuat hati Gita sakit Pak,” lanjutnya.

Adit merupakan sahabat sekaligus orang kepercayaan mendiang papahnya. Jadi dia juga tahu tentang perjodohan antara Sagara dan Gistara. Pria paruh baya itu merupakan pengawas sekaligus Waka kurikulum di yayasan Bimantaras’ School.

Pria paruh baya itu tersenyum. “Apa ada masalah di perusahaan Bapak? Sehingga Bapak mengkambing hitamkan Gita?” tanya Adit yang sukses membuat Sagara meringis.

Pria paruh baya itu bisa membaca pikirannya.

“Sedikit Pak.”

Adit tersenyum tipis, memaklumi itu. Siapa yang tidak pusing, harus membagi waktu antara sekolah dan perusahaan. Semua orang pasti pusing memikirkannya.

“Sebentar lagi pak Kalan selesai menjadi dekan. Pak Sagara bisa fokus ke perusahaan.” Perkataan Adit sukses membuat Sagara terdiam.

Sanggupkah dia jauh dari Gistara. Kalau dia fokus hanya ke perusahaan, dia tidak bisa bertemu dengan gadis itu. Tapi jika dia terus di sekolah, perusahaan yang dia bangun akan terlantar.

Haruskah dia bertukar tugas kepada kakaknya. Kakaknya yang akan memimpin perusahaan dan dia yang akan memimpin yayasan.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status