Sagara mengusap wajahnya dengan kasar. Merutuki perkataan bodohnya. Kenapa dia berkata hal seperti itu kepada Gistara. Dia tidak bermaksud menyakiti gadis itu tapi entah kenapa perkataan kurang ajar itu keluar begitu saja.
Sagara mengambil ponselnya di atas meja. Mengirim pesan kepada kaka laki-lakinya.
‘Bang, aku udah buat Gita nangis. Maafin aku ya. Aku salah. Harusnya aku ngucapin selamat untuk dia bukan justru bikin dia nangis.’
Pria itu meletakkan ponselnya ketempat semula. Beberapa menit kemudian balasan dari abangnya masuk ke ponselnya. Dengan cepat dia membaca pesan itu.
‘Minta maaf sama Gita, bukan sama Abang. Btw hadiah kamu udah Abang kasih ke Gita.’
Sagara melempar ponselnya ke atas mejanya. Bagaimana dia meminta maaf kepada gadis itu. Lagi pula meminta maaf bukan lah gayanya.
Sagara jembali merutuki mulut pedasnya yang di warisi oleh mamanya.
***
Gistara berjalan menelusuri koridor sekolah masih dengan air mata yang mengalir deras dikedua pipinya. Siapapun yang melihatnya pasti merasa kasihan karena gadis itu memiliki masalah hidup yang besar sehingga dia menangis dengan sesegukan. Sukurlah koridor terlihat sepi karena kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung.
Kakinya melangkah dengan cepat, tujuan dia saat ini hanyalah kontrakannya yang disana terdapat dua sahabatnya yang menunggunya dan dia akan menceritakan kejadian ini. Dulu dia berjanji kepada keduanya kalau tidak akan ada lagi secret diantara mereka.
Gistara berhenti diujung tangga mencoba menghentikan tangisannya, dibawah dia bisa melihat Adit dan dua guru sedang mengobrol. Dia mengambil ponsel di tasnya, mengecek apakah taxi online yang dia pesan sudah sampai atau belum, kemudian meletakkan ponselnya di telinga, berpura-pura menerima telepon supaya ketiga guru itu tidak mengajaknya mengobrol.
Adit memperhatikan Gistara yang turun dengan perlahan, dari jarak lima meter dia bisa melihat mata sembab guru muda itu. Gistara menengok kearah Adit memberikan senyuman tipis, memberi kode minta maaf karena dia harus segera pergi. Pria paruh baya itu mengangguk kemudian terseyum tulus, semoga tidak terjadi sesuatu dengan gadis itu.
Gistara membuka pintu rumahnya dengan perlahan, mencari dimana keberadaan kedua sahabatnya. Kamar adalah tujuan pertama. Kedua sahabatnya terlihat sedang tertidur dengan pulas ketika dia membuka pintu kamarnya. Menutup pintunya kembali dengan hati-hati, pergi menuju kamar kedua. Melepaskan almamater yang sedari tadi masih dipakai.
Kejadian beberapa tahun yang lalu kembali berputar seperti film. Gistara menjambak rambutnya dengan kuat.
"Gadis miskin pastinya butuh banyak uang. Makanya dia mau menjadi simpenan pemilik yayasan!"
"Sayang banget padahal dia cantik bisa dapet yang lebih muda dan kaya!"
"Justru itu orang-orang cantik suka buta. Liat yang kaya pasti langsung mau, apa lagi kalau kaya dan ganteng."
BRAK!!
“Enggak!! Aku gak kaya gitu!!” teriak Gistara menjambak rambutnya.
Willi dan Kristina terbangun mendengar suara teriakan Gistara yang terdengar sampai kamar gadis itu. Kedua gadis itu melotot kemudian dengan cepat berlari menghampiri Gistara yang sudah menjambak rambutnya.
“Lo kenapa Beb? Udah ya jangan kaya gini, sakit nanti kepala lo.” Kristina mencoba melepaskan tangan Gistara dari rambut gadis itu.
Willi memeluk Gistara dengan erat. Air matanya juga ikut turun melihat sahabatnya benar-benar kacau. Ini hari bahagia tapi kenapa sahabatnya sekacau ini. Siapa yang berani membuat sahabatnya seperti ini.
Berbeda dengan Willi yang memeluk Gistara. Kristina menghapus air mata Gistara yang masih asik berjatuhan.
“Nanti kalau udah siap cerita. Lo cerita ya. Kita selalu siap dengerin lo.”
Beberapa menit kemudian tangis Gistara berhenti. Willi dan Kristina masih menunggu sahabatnya itu membuka suara. Dengan sabar keduanya mendekap tubuh Gistara.
Gistara menghembuskan nafasnya. Merasa sudah siap bercerita. Gadis itu mulai bercerita apa yang terjadi dengannya. Kristina mengepalkan tangannya mendengar cerita Gistara. Berbeda dengan Kristina, Willi mengumpat dalam hati dengan tingkah Sagara yang tidak jelas.
Pria itu benar-benar membuatnya jengah. Pria itu bilang kalau dia mencintai sahabatnya tapi apa yang dia lakukan sekarang bukan mencerminkan seorang pria yang mencintai wanitanya.
“Lo mau kita apain laki-laki itu? Bilang sama kita biar kita balas. Laki-laki mulutnya gak bisa di jaga,” cerocos Kristina merasa kesal dengan tingkah Kevlar yang sudah membuat sahabatnya menangis.
“Biar gue aja yang bales,” sahut Willi yang sukses membuat Kristina memincingkan matanya.
“Emang lo bisa?” tanya Kristina ragu dengan perkataan sahabatnya.
“Lo bakal kaget kalau gue bisa buat laki-laki itu minta maaf sama Gita.” Willi tersenyum misterius yang sukses membuat kedua sahabatnya merasa ada yang di sembunyikan dari gadis itu.
Sagara adalah sepupu Willi. Dan kedua sahabatnya itu tidak tahu karena dia sengaja menutupi itu bermaksud untuk membantu sepupunya dekat dengan Gistara. Tapi melihat Gistara menangis karena sepupunya itu, Willi ragu untuk melanjutkan ini — menolong sepupunya.
Dia ingat bagaimana omnya — papahnya Sagara meminta tolong Willi untuk menjadi sahabat Gistara. Karena ketika Gistara sekolah dulu tidak ada yang mau berteman dengan gadis itu. Gistara terlalu pendiam sehingga orang-orang malas berdekatan dengannya. Mereka selalu beranggapan kalau Gistara adalah gadis yang membosankan.
Anggapan teman-teman Gistara salah. Nyatanya Gistara adalah orang yang asik. Dia sengaja membuat dirinya terlihat membosankan karena dia ingin berteman dengan orang yang benar-benar ingin berteman dengannya tanpa memandang siapa dirinya. Orang yang benar-benar tulus, tanpa ada niatan sedikitpun.
“Gue ingin pindah kerja,” gumam Gistara tiba-tiba memecahkan keheningan.
“Kenapa? Lo gak kuat ya di sana? Kalau gak kuat gue sebagai sahabat lo hanya bisa setuju dengan apa yang lo pilih.” Kristina mengusap lengan Gistara perlahan. Sedangkan Willi terdiam, dia bingung apa yang harus dia lakukan.
“Tapi.. Lo ngerasa gimana gitu gak sih kalau pindah. Almarhum pak Antares pasti sedih liat siswa kesayangan dia pindah dari sekolahnya,” sahut Willi hati-hati takut menyinggung perasaan Gistara.
Gistara nampak berfikir. “Gue juga mikir gitu. Gue merasa de javu ketika pak Sagara dengan seenaknya merendahkan gue. Entah kenapa bukan dari dulu aja bapak itu ngehina gue kenapa baru sekarang. Dia membuka luka lama gue yang sangat sulit gue lupain.” Willi kembali memeluk Gistara dengan erat.
“Coba lo fikir lagi Sa. Kalau sampe satu minggu pak Sagara belum minta maaf sama lo. Lo bisa memutuskan keputusan lo,” usul Willi yang di angguki oleh Kristina.
“Bener sih kata Willi. Nyari kerjaan susah Gita. Jadi mending lo fikirin lagi niat lo itu.”
Gistara terdiam mencerna nasihat kedua sahabatnya. Bramantas’ School sudah banyak membantunya menjadi Gistara yang sekarang. Dia benar-benar tidak tahu diri jika dia meninggalkan Bimantaras’ School hanya karena pria itu. Pria yang tak lain adalah anak dari seseorang yang telah membuatnya menjadi seperti ini.
“Kalau gue gak pindah. Gue akan tetap disana dong pastinya. Tapi gue gak yakin bakal bisa seperti biasa sama orang yang telah nyakitin hati gue.”
Willi meringis mendengar perkataan Allisya. “Lo mau balas perbuatan pak Sagara? Gue setuju Beb.”
***
Adit berjalan menuju ruangan kepala sekolah. Sesampainya di depan ruangan kepala sekolah, dia mengetuk pintu ruangan bercat cokelat itu dengan perlahan. Tidak butuh waktu lama, Kevlar mempersilahkan pria paruh baya itu masuk.
“Pak Sagara ada masalah?” tanya Adit melihat Sagara yang sedang memijat pelipisnya.
Sagara menggelengkan kepalanya mencoba mereda pusing yang menderanya saat melihat Adit duduk di hadapannya.
“Stop calling me Pak. Saya jauh lebih muda dari Bapak.” Sagara menatap Adit dengan kesal, “saya tidak sengaja membuat hati Gita sakit Pak,” lanjutnya.
Adit merupakan sahabat sekaligus orang kepercayaan mendiang papahnya. Jadi dia juga tahu tentang perjodohan antara Sagara dan Gistara. Pria paruh baya itu merupakan pengawas sekaligus Waka kurikulum di yayasan Bimantaras’ School.
Pria paruh baya itu tersenyum. “Apa ada masalah di perusahaan Bapak? Sehingga Bapak mengkambing hitamkan Gita?” tanya Adit yang sukses membuat Sagara meringis.
Pria paruh baya itu bisa membaca pikirannya.
“Sedikit Pak.”
Adit tersenyum tipis, memaklumi itu. Siapa yang tidak pusing, harus membagi waktu antara sekolah dan perusahaan. Semua orang pasti pusing memikirkannya.
“Sebentar lagi pak Kalan selesai menjadi dekan. Pak Sagara bisa fokus ke perusahaan.” Perkataan Adit sukses membuat Sagara terdiam.
Sanggupkah dia jauh dari Gistara. Kalau dia fokus hanya ke perusahaan, dia tidak bisa bertemu dengan gadis itu. Tapi jika dia terus di sekolah, perusahaan yang dia bangun akan terlantar.
Haruskah dia bertukar tugas kepada kakaknya. Kakaknya yang akan memimpin perusahaan dan dia yang akan memimpin yayasan.
Sagara terkejut dengan kedatangan sepupunya di ruang kerjanya. Gadis itu dengan tiba-tiba melemparnya dengan buku yang dia pegang. Membuat buku itu mendarat dengan mulus di kepalanya. “Apaan sih lo Wiliii!” Sagara menatap dengan kesal Willi yang bertolak pinggang di depan meja kerjanya. “Lo itu yang apa-apaan. Lo mikir gak sih kalau ngomong. Lo itu udah nyakitin hati Gita. Hari ini harusnya jadi hari bahagia dia. Tapi lo ngerusak nya dengan kata-kata lo itu. Lo ngebuka luka lama dia. Kalau lo gak mau minta maaf sama Gita. Gue gak akan bantuin lo lagi!” Setelah berkata panjang lebar Willi pergi begitu saja meninggalkan Sagara yang terdiam dengan tatapan kosong. Memikirkan semua perkataan gadis itu. Dia ingin meminta maaf. Tapi itu terlalu aneh. Mereka tidak pernah mengobrol sebelumnya. Bukankah terlihat aneh jika dia tiba-tiba meminta maaf kepada gadis itu. Dia memang bersalah, tapi bukannya itu terlalu konyol. Meminta maaf kepada orang yang baru beber
Pagi ini seperti apa yang di katakan oleh Gistara. Gistara berusaha menjadi Gistara yang tidak peduli dengan orang-orang yang telah menyakiti hatinya. Seperti saat ini, gadis itu terus berjalan saat berpapasan oleh Sagara di koridor sekolah. Biasanya dia akan menyapa sebagai bentuk kesopanan. Tapi hari ini dia tidak peduli dengan itu semua.Sagara menatap Gistara dengan tatapan yang sulit di artikan. Pria itu tidak mengenali Gistara yang seperti itu. Gistara yang dia tahu selalu peduli dengan sekitarya, dia akan memberikan senyuman dan menyapa kepada orang-orang yang dia kenal. Tapi tadi Gistara tidak melakukan keduanya.Sedangkan Gistara, gadis itu menghembuskan nafasnya setelah melewati Sagara, jantung gadis itu berdegup dengan cepat. Dia merasa sangat berdosa karena tidak menyapa pria itu. Tapi kesadarannya kembali, mengingat pria itu yang sudah merendahkannya.Gistara memasuki ruang guru. Menduduki pantatnya di kursi miliknya. Tangannya mengambil ponselnya d
Sagara menatap kakak laki-lakinya yang yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu ruangannya. Pria itu berjalan menghampiri Sagara. Melihat apa yang sedang adik laki-lakinya itu kerjakan."Bener-bener kaya penguntit ya kamu. Abang merinding liat kamu kaya gini," ucap Kalan — kaka laki-laki Sagara, bergidik ngeri melihat adiknya.Sagara mendengus. "Kalau nguntit calon istri gak papa Bang," sahutnya membuat Kalan memutar matanya, malas mendengar perkataan adiknya."Masalahnya adalah, emang Gita mau sama kamu. Cowok dingin dan gengsi gede." Kalan berjalan menuju sofa di ruangan itu, mendudukkan bokongnya di sana.Sagara mendengus sebal mendengar perkataan Kalan. "Susah Bang. Aku mau minta maaf sama Gita, tapi berat banget," keluh Sagara menyugar rambutnya.Kalan terdiam mendengar perkataan adiknya. Dia tahu bagaimana Sagara. Adiknya itu akan sangat susah jika meminta maaf. Gengsinya terlalu tinggi, pria itu beranggapan orang yang meminta maa
Pergi ke mall di hari senin siang merupakan waktu yang pas menurut Gistara. Gadis itu tiba-tiba ingin pergi ke mall sendiri setelah mengawasi anak-anak ujian semester. Alih-alih membeli barang seperti baju, tas dan sepatu, Gistara lebih memilih membeli makanan.Kaki jenjangnya melangkah memasuki pusat perbelanjaan itu, tujuannya adalah tempat dimana dia bisa makan dengan harga yang tidak terlalu membuat dompetnya meronta-ronta, foodcourt.Tangannya mengetuk-ngetuk meja, menunggu pesanannya datang. Setelah sampai ditempat tujuan gadis itu langsung saja memesan makanan kesukaannya, untuk saat ini dia tidak mau makan makanan berat jadi dia hanya memesan seblak, cireng, dan pem-pek khas palembang. Untuk minumannya dia memesan jeruk hangat. Nasihat ibunya selalu dia ingat kalau setelah makan tidak boleh minum es, karena tidak baik untuk tubuh terutama jantung. Benar-benar gadis yang sehat.Gistara tersenyum cerah ketika pesanannya datang. Setelah berdo’a diapun
Sagara memasuki rumah dengan wajah yang tidak bersahabat. Langkah kakinya terhenti saat mendengar intrupsi dari mamanya.“Darimana saja kamu?” tanya Kirana menatap tajam putra keduanya.“Sagara dari makan.”Karina tersenyum miring. “Makan sama gadis miskin itu ‘kan?”Sagara mengepalkan tangannya mendengar penghinaan mamanya terhadap Gistara. Wanita paruh baya itu membenci Gistara. Sejak awal, saat papanya masih ada mamanya itu tidak setuju dengan rencana perjodohan yang di lakukan papanya dan orang tua Gistara, karena mamanya sudah memiliki seseorang yang juga akan dijodohkan kepada Sagara. Tapi dengan bujukan dan rayuan papanya akhirnya mamanya setuju.Sagara tidak tahu kalau ternyata persetujuan mamanya ternyata hanya di mulut. Nyatanya setelah papanya meninggal, mama kembali ingin menjodohkan Sagara dengan anak dari sahabatnya, Nesa.“Mama bisa gak, gak usah bawa-bawa materi. Gistara gak sem
Ruangan VIP di restauran itu tampak sunyi padahal terdapat empat orang di dalamnya. Salah satu wanita paruh baya itu tersenyum canggung kepada calon besannya. Hatinya bergemuruh marah, karena putranya tidak kunjung datang.“Mbak, ini Sagara jadi dateng kan?” tanya Dina — ibunya Nesa, memastikan kembali apakah anak sahabatnya itu jadi datang atau tidak. Sudah hampir satu jam mereka datang tapi pria itu belum juga datang.“Eumm.. ““Maaf telat Om, Tante.”Sagara berjalan ke arah meja yang berada di ruangan itu. Memberi salam kepada Dina dan suaminya. Setelah itu dia duduk di samping mamanya. Pria itu melirik sekilas Nesa yang terus menatapnya sejak dia datang.“Sekali lagi maaf Om dan Tante karena keterlambatan saya, anda berdua harus memundurkan jam makan malam anda,” ucap Sagara tersenyum tipis.Doni — papanya Nesa tersenyum hangat. “Tidak perlu meminta maaf, kami sangat tahu
‘Beb, lo sidang jam 1 'kan? Nanti gue langsung ke kampus aja ya. Sorry gue gak bisa bantuin bawa barang-barang lo’Gistara mengirim pesan kepada sahabatnya. Hari ini Kristina akhirnya sidang setelah di beri semangat oleh Gistara dan Willi. Sahabatnya itu sedikit malas, dia selalu banyak alasan jika Gistara dan Willi menyuruhnya untuk mengerjakan skripsinya. Hingga entah dorongan darimana gadis itu akhirnya mau menyelesaikan skripsinya.“Pagi Bu Gita.”Suara Leon membuat Gistara mengalihkan atensinya dari ponselnya. Senyum manis terbit di bibir gadis itu dengan eyes-smile khas miliknya.“Pagi Pak Leon.” Leon meletakkan tasnya di mejanya setelah mendapat jawaban dari Gistara.“Bu Gita doang ya Pak yang di sapa. Iya kita gak keliatan. Udah bener emang,” sahut Vallen melirik Leon sekilas.“Loh ada Bu Vallen? Selamat pagi Bu Valen,” sapa Leon dengan heboh.“Telat Bapak!&rdqu
Semester genap sudah selesai. Para guru dan wali kelas sibuk mengisi nilai dan rapot para siswa. Gistara dan beberapa guru yang lain tengah menginput nilai-nilai rapot ke aplikasi yang disediakan oleh sekolah seraya diselangi canda tawa. Gadis itu terkekeh ketika mendengar cerita dari guru pria yang terkenal dengan selera humornya yang baik itu.“Bu Gita ini beneran si Devano dapet nilai segini? Dia anaknya rajin loh,” tanya Berta, guru bahasa Indonesia yang kebetulan berada disamping meja Gistara.Gistara tersenyum maklum dengan pertanyaan yang dilontarkan wanita paruh baya itu. Entah sebuah pertanyaan atau kritik yang pasti wali kelas dari siswa yang bernama Devano itu tidak terima kalau siswanya mendapat nilai kecil.“Devano memang agak sedikit kurang kalau di pelajaran saya Bu dan dia juga jarang masuk,” jelasnya.Berta mencebikkan bibirnya. “Emang gak bisa ditambahin ya Bu?” tanya Berta mencoba menegosiasikan nilai