Share

BAB 3. Old Wounds

Gistara menggigit kukunya, perasaan gugup melingkupinya ketika sekarang waktu menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit, padahal ketika membaca pesan dari teman-temannya subuh tadi gadis itu tidak merasa gugup.

Gadis bermata monolid itu berjalan untuk membukakan pintu kontrakannya yang diketuk. Willi dan Kristina mungkin sudah sampai karena kedua sahabatnya itu mengatakan kalau mereka akan sampai pukul enam lewat tiga puluh.

“Lama banget kalian dat-” perkataannya terpotong ketika bukan kedua sahabatnya yang mengetuk pintu itu. Melainkan seorang pria paruh baya yang merupakan tukang kebersihan dikompleknya.

“Ini Neng, ada buket bunga dari akang ganteng.” Pria paruh baya itu memberikan sebuket bunga kepada Gistara.

Dengan bingung gadis itu menerima buket bunga itu, “siapa namanya Pak?” Tanya Gistara memperhatikan buket bunga yang sangat cantik itu.

“Gak tau Neng, Bapak teh cuma disuruh ngasihin aja ke Eneng.” Pria paruh baya itu meringis karena pasalnya pria tadi tidak memberitahu namanya, dia hanya meminta tolong untuk memberikan buket bunga kepada gadis di depannya itu kemudian dia diberi uang.

“Yasudah, makasih banyak ya Pak.”

Gistara tersenyum tipis memperhatikan pria paruh baya itu yang berjalan menjauhi kontrakannya.

Perhatiannya teralihkan ketika dia melihat note yang berada di selipan bunga-bunga itu.

Selamat sidang cantik~

We wiil meet asap

Gistara bergidik ngeri membuang buket bunga itu ketempat sampah, siapa gerangan yang mengirim buket bunga dengan pesan menjijikan itu. Pasalnya Gistara tidak pernah dekat dengan pria dan berpacaran jadi ini pasti ulah orang iseng.

***

Gistara menggenggam kedua tangan sahabatnya dengan erat keringat dingin membanjiri pelipis dan kedua tangannya. Sidangnya sudah selesai dia bersyukur dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan dari para penguji, sekarang dia sedang menunggu keputusan mereka. Mengenai kejadian beberapa jam yang lalu, dia belum menceritakan kepada kedua sahabatnya itu. Pasalnya beberapa menit setelah dia membuang buket bunga itu, kadua sahabatnya itu dengan heboh menggedor pintu kontrakannya, membawa barang-barang yang dia perlu dan menyuruhnya untuk cepat masuk kedalam mobil.

“Kenapa gue yang ikutan deg-degan sih,” rutuk Kristina, menggenggam tangan sahabatnya itu. Dia jadi ngebayangin gimana jika dia yang sidang pasti lebih deg-degan, sahabatnya yang pintar aja deg-degannya sampe ngeluarin keringet dingin apa lagi dia yang punya otak biasa saja. Bukan keringet doang mungkin yang keluar, air mata, urine dan sebagainya mungkin ikut keluar.

“Nanti lo pasti ngerasain Kris, tunggu aja,” sahut Willi dengan mengusap-usap punggung Gistara.

“Gistara masuk!”

Suara dosennya itu membuat ketiganya menoleh dengan cepat. Kedua sahabatnya itu memberikan semangat dan menyuruhnya untuk cepat masuk, takutnya kalau kelamaan Gistara yang lulus jadi gak lulus karena dosennya yang menunggu gadis itu menenangkan diri terlalu lama. Idiiiih amit-amit.

Kristina mencoba mengintip sahabatnya itu tapi nihil gak bisa, kenapa lama banget, ini sudah sepuluh menit sejak Gistara masuk, kenapa sampe sekarang belum keluar.

Bibirnya melengkung indah ketika Gistara keluar dengan wajah cerahnya dan matanya yang berkaca-kaca, dengan cepat keduanya memeluk sahabatnya itu, memberikan selamat.

Congratulation Beb!” Kristina menghapus air mata sahabatnya, dia paham betul bagaimana perasaan sahabatnya, mereka bertiga sudah tujuh tahun bersahabat sejak awal masuk sekolah menengah atas jadi dia tahu bagaimana perjuangan seorang Gistara berjuang hingga bisa dititik ini.

“Jangan nangis, udah dong nangisnya.” Willi ikutan menangis melihat sahabatnya menangis haru.

Setelah acara tangis-tangisan, teman-teman Gistara yang lainpun ikut mengucapkan selamat kepadanya dan memberikan buket bunga, buket cokelat, buket uang, buket ciki, dan sebagainya.

“Gi foto yuk!” ajak seorang pria berwajah sedikit barat, kemudian mengajak teman-teman sekelas Gistara untuk berfoto bersama.

“Gila banyak banget sih hadiah lo Gi, jadi pengen buka toko kalo liat barang banyak kek gini,” keluh Kristina seraya membantu sahabatnya itu membawa hadiah-hadiah dan meletakkannya di dalam bagasi mobilnya.

“Gini nih kalo mahasiswa aktif, adek-adek di organisasi dan kating di organisasinya pada ngasih,” seru Willi mentata hadiah-hadiah agar bisa masuk semua ke bagasi mobilnya.

“Gita!” panggil seorang pria tampan berjalan mendekat, membuat ketiganya menoleh serempak.

Kristina mencubit tangan Wendi, pasalnya pria tampan yang memanggil Allisya merupakan salah satu the hottest lecturer di universitas mereka, Kalan Ray Bimantara.

Bukan hanya seorang dosen. Kalan Ray Bimantara atau biasa dikenal dengan Pak Kalan merupakan dekan fakultas pendidikan. Beliau sudah menjabat sebagai dekan sejak empat tahun yang lalu.

“Ada apa ya Pak?” tanya Gistara bingung, dosen tampan itu tumben sekali menegur dia, padahal beliau bukan dosen di jurusannya dan bertemu dengannya saja sebulan bisa dihitung dengan jari.

“Ini untuk kamu, selamat atas sidangnya.” Kalan memberikan dua paper bag kepada Gistara.

“Itu bener dari bapak?” tanya Gistara bingung, enggan mengambil dua paper bag itu.

Kalan terkekeh, “iya, siapa lagi. Terima ini.” Menarik tangan Gistara, meletakkan dua paper bagnya ditangan gadis itu.

“Emmm.. itu Bapak gak perlu repot-repot,” cicit Gistara merasa tidak pantas mendapatkan hadiah dari dosen tampan itu. Dia tidak mau di bully oleh fans dosen itu karena menerima hadiah darinya.

“Kalau saya bilang dari istri saya kamu terima gak?” tanya Kalan menatap Gistara.

Gistara menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “mari kita anggap ini dari istri saya.”

Setelah mengatakan itu Kalan pergi meninggalkan Gistara dan kedua sahabatnya yang memandang cengo dengan tingkah dosen itu. Gistara mengerjap dan memperhatikan sekelilingnya, banyak mahasiswa dan mahasiswi yang berada di parkiran menatapnya dengan pandangan menyelidik.

“Pak Kalan ganteng banget sialan,” gumam Kristina masih memperhatikan kemana arah perginya Kalan.

“Lo jangan cuci tangan Beb, ya ampun tangan lo dipegang sama tu dosen.” Kristina mengelus tangan Gistara yang dipegang oleh dosen tampan itu.

“Bentar-bentar? Jadi Pak dosen udah nikah?!” tanya Kristina heboh karena otaknya baru mencerna omongan dosen tampan itu.

“Iya, jadi berhenti manjadi fans Pak Kalan, jangan jadi plakor gak baik,” sahut Gistara santai, meninggalkan Kristina diluar mobil dengan segala pertanyan-pertanyaan yang bersarang di otaknya.

"Sakit hati dedek A’."

***

Gistara berjalan melusuri koridor sekolah, setelah selesai dengan sidangnya, gadis itu meminta teman-temannya mengantarnya ke sekolahannya karena dia mendapat pesan dari guru piket kalau dia dipanggil oleh kepala sekolah. Mau tidak mau Gistara harus kesekolah menyuruh kedua sahabatnya untuk pergi ke kontrakannya tanpa dirinya.

Gistara mencoba menetralkan kerja jantungnya ketika dia sudah berada di depan ruangan kepala sekolah. Mengetuk pintu itu, beberapa detik kemudian terdengar sahutan dari dalam yang memerintahkan dia untuk masuk.

Aroma kopi bercampur parfume maskulin langsung menggelitik indra penciuman Gistara ketika dia masuk kedalam ruangan itu.

“Selamat siang Pak.” Gistara berjalan mendekati meja kepala sekolah yang bertuliskan Sagara Kin Bimantara.

Pria yang berada di kursi kebesarannya itu masih fokus dengan apa yang dia kerjakan, tidak berniat menjawab sapaan guru biologi itu ataupun menyuruhnya untuk duduk.

Sepuluh menit

Masih sama-sama bungkam, pria itu masih asik dengan pekerjaannya sedangkan Gistara berdiri dengan kaki yang kesemutan, pakai high heels tujuh centi meter dan tidak diberi izin untuk duduk ingin rasanya Gistara berteriak, tapi dia masih memikirkan masa depannya, entah apa yang terjadi jika gadis itu berteriak didepan kepala sekolah itu, dikeluarkan? Ya itu adalah kemungkinan terbesar yang akan terjadi.

“Ada apa Bapak mencari saya?” tanya Gistara mencoba untuk tetap sabar menghadapi sikap kurang ajar kepala sekolah itu.

“Duduk.”

Gistara menggeser kursi didepan meja kepala sekolah, “saya tidak menyuruh kamu duduk disitu.” Perkataan Sagara sukses membuat Gistara mengurungkan niatnya untuk duduk. Sialan.

“Duduk di sofa,” lanjut pria itu menatap Gistara tajam.

Dengan sedikit menghentakkan kakinya Gistara berjalan menuju sofa yang berada diruangan itu.

Sagara berjalan menuju single sofa mendudukan tubuhnya disana dengan angkuh, “kamu tahu kesalahan kamu?” tanya pria itu menatap Gistara tajam.

Gistara mengerutkan keningnya bingung. “Kesalahan saya apa Pak?” cicitnya menatap pria itu dengan takut ketika mata pria itu semakin tajam menatapnya.

“Kamu menganggap saya apa?” tanya Sagara memperhatikan penampilan Gistara dari atas kebawah, pria itu baru sadar kalau guru biologi itu masih mengenakan almamater khas universitas negeri favorite di Bandung.

“Kepala sekolah Pak,” sahut Gistara cepat.

“Kenapa kamu tidak izin kepada saya kalau hari ini kamu tidak mengajar?”

Gistara menahan nafasnya. “Biasanya kalau izin ke guru piket saja Pak, jadi saya tidak izin ke Bapak.” Gistara menggigit bibirnya masih mencoba menahan kegugupannya.

“Biasanya itu kapan? Dulu waktu papah saya? Kamu dulu mungkin bisa seenaknya izin ke guru piket tanpa kepala sekolah, tapi sekarang saya adalah kepala sekolah dan anak dari pemilik yayasan ini, jadi kamu harus izin juga dengan saya.”

Gistara menunduk takut dengan perkataan Sagara ditambah dengan tatapannya yang semakin tajam. Dia tidak tahu kalau tata tertib sudah berganti karena kemaren ketika dia izin dengan bu Lia yang tak lain adalah guru piket di Bimantaras’ School, beliau tidak menyuruh Allisya untuk izin kepada kepala sekolah.

Allisya medongak, menatap wajah tampan pria itu. “Maaf Pak, saya tidak tahu kalau harus izin ke Bapak, saya janji tidak akan mengulanginya lagi,” ucapnya.

Sagara tersenyum sinis. “Perempuan kaya kamu emang punya beribu alesan untuk mengelak,” sahutnya.

Allisya menoleh dengan cepat. “Mak.. maksud Bapak?” tanyanya terbata.

Pria itu menatap Gistara dengan remeh. “Pelakor, itu ‘kan yang mereka sematkan ke kamu,” ucapnya sinis.

Gistara menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca. Perkataannya sukses membuat Gistara mengingat kejadian-kejadian buruk beberapa tahun yang lalu, kejadian yang sangat sulit dia lupakan. Kejadian yang membuat dia menjadi sosok pendiam, tapi kedua sahabatnya dengan sabarnya membantunya melewati masa itu.

Gistara tersenyum tipis, sangking tipisnya pria itu bahkan tidak dapat melihat.

“Kalau Bapak sudah selesai, saya izin pamit,” ucapnya mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh.

“Kalau kamu bisa bermain dengan orang yang sudah beristri, seharusnya kamu juga bisa dengan saya yang belum memiliki istri,” sahutnya dengan smirk andalannya.

Gistara bangkit dari duduknya. Hatinya sakit harga dirinya diinjak-injak membabi buta oleh pria itu. Kepala sekolah yang seharusnya netral tapi ternyata berpihak pada rumor palsu.

“Saya permisi Pak.”

Pertahanan Gistara runtuh, bertepatan dengan izinnya dia dari ruangan itu. Air matanya tumpah membasahi pipinya.

Gistara berjalan memasuki lift. Memori dua tahun lalu berputar dikepalanya seperti kaset, membuatnya meraung, memukul dadanya dengan keras, sesak.

Siapa pria itu, dia hanya seorang pria yang dia tahu sebagai anak pemilik Bimantaras’ School. Mereka tidak pernah bertemu secara resmi, mereka hanya bertemu sesekali tanpa sengaja, itupun diruangan pemilik yayasan. Kenapa dengan tega pria itu membuka luka lamanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status