Sagara terkejut dengan kedatangan sepupunya di ruang kerjanya. Gadis itu dengan tiba-tiba melemparnya dengan buku yang dia pegang. Membuat buku itu mendarat dengan mulus di kepalanya.
“Apaan sih lo Wiliii!” Sagara menatap dengan kesal Willi yang bertolak pinggang di depan meja kerjanya.
“Lo itu yang apa-apaan. Lo mikir gak sih kalau ngomong. Lo itu udah nyakitin hati Gita. Hari ini harusnya jadi hari bahagia dia. Tapi lo ngerusak nya dengan kata-kata lo itu. Lo ngebuka luka lama dia. Kalau lo gak mau minta maaf sama Gita. Gue gak akan bantuin lo lagi!”
Setelah berkata panjang lebar Willi pergi begitu saja meninggalkan Sagara yang terdiam dengan tatapan kosong. Memikirkan semua perkataan gadis itu.
Dia ingin meminta maaf. Tapi itu terlalu aneh. Mereka tidak pernah mengobrol sebelumnya. Bukankah terlihat aneh jika dia tiba-tiba meminta maaf kepada gadis itu. Dia memang bersalah, tapi bukannya itu terlalu konyol. Meminta maaf kepada orang yang baru beberapa kali berbicara kepadanya. Meskipun orang itu adalah orang yang dia sukai.
Sagara mengusap wajahnya. Entah apa yang difikirannya. Hanya melakukan permintaan maaf sangat sulit baginya. Dia menghembuskan nafasnya. Mencoba untuk melawan rasa aneh dalam dirinya.
***
Malam ini Gistara dan teman-teman sekelasnya mengadakan makan besar karena Gistara sudah berhasil menyelesaikan sidang akhir. Di belakang rumah tampak ramai dengan lima laki-laki yang sedang sibuk menyiapkan arang untuk memanggang daging. Sedangkan perempuan membuat bumbu, memasak nasi dan membuat minuman.
“Ini kita mau makan bareng-bareng atau sendiri-sendiri?” tanya Raka selaku kosma di kelas Gistara.
“Makan bareng aja yuk biar seru. Kaya waktu di rumah lo Ka,” jawab Ayu, yang di setujui oleh yang lain.
“Gi, disini ada yang punya pohon pisang gak?” tanya Raka mendekati Gistara yang sedang membuat minuman.
“Tiga rumah dari sini kayaknya ada deh.” Gistara mencuci tangannya kemudian mengajak Raka untuk ikut bersamanya menuju tetangganya.
Keduanya berjalan menuju rumah salah satu guru di Baramantas’ School. Bagas, guru itu tinggal di perumahan itu juga. Karena perumahan itu memang di bentuk khusus untuk Guru Baramantas’ School. Tapi ada juga beberapa rumah untuk di kontrakkan oleh orang lain. Bagas itu seperti Gistara, dia masuk dalam jajaran guru muda di Bimantaras’ School. Umur mereka hanya berbeda dua tahun.
Gistara memencet bel rumah Bagas. Beberapa menit kemudian pintu rumah terbuka, menampilkan sosok pria tampan dengan kulit khas Indonesia. Gistara segera memberitahu maksud kedatangannya.
“Saya gak punya daun pisang Bu,” ucap Bagas yang sukses membuat Gistara meringis. Dia fikir tetangganya mempunyai daun pisang.
“Yasudah kalau begitu. Saya permisi dulu ya Pak. Terimakasih,” pamit Gistara. Keduanya pergi meninggalkan rumah itu.
“Gue sempet heran tadi ketika lo bilang ada daun pisang di rumah tetangga lo. Gue fikir disini beda dari perumahan-perumahan lain yang gak ada daun pisang, jadi ya gue setuju aja untuk minta,” ucap Raka yang sukses membuat Gistara nyengir memperlihatkan giginya yang tertata rapi.
“Gue sebenarnya ragu tapi ya gimana, gue mau coba aja sapa tau ada,” sahut Gistara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Bu Gita!” panggil seseorang.
Gistara dan Raka berhenti saat seseorang memanggil nama gadis itu. Pria itu berdiri di depan gerbang rumah Gistara dengan kaos polos yang di pasukan dengan jaket kulit.
Gistara menatap pria itu dengan datar. Raka yang melihat ada sesuatu di antara kedua orang itu akhirnya izin masuk terlebih dulu.
“Ada apa ya pak malem-malem ke rumah saya?” tanya Gistara ketika sudah berada di hadapan pria itu, Sagara.
“Saya—“
Gistara memperhatikan Sagara yang diam. Pria itu tidak melanjutkan perkataannya. Membuat Gistara bingung.
“Iya, Bapak kenapa?” tanya Gistara lagi
“Saya mau—“
Gistara menghela nafasnya dengan kasar. Kepala sekolahnya itu terlalu bertele-tele, tidak mau terus terang membuatnya bertambah kesal. Jangan lupakan masalah tadi siang. Gadis itu masih kesal dengan kepala sekolahnya.
“Iya, Bapak mau apa?” Gistara masih berusaha untuk sabar menghadapi tingkah tidak jelas milik pria itu.
“Saya—“
“Gita!!”
Perkataan Sagara terpotong oleh seseorang yang memanggil Gistara dari dalam rumahnya. Pria itu mengutuk mulutnya yang tidak bisa melanjutkan perkataannya. Kenapa sangat sulit mengucapkan kata maaf.
“Kalau tidak ada yang penting, saya tinggal ya Pak. Selamat malam.” Gistara pergi begitu saja tanpa mendengar perkataan pria itu.
Sagara mengusap wajahnya kasar. Rencananya benar-benar gagal. Dia berencana untuk meminta maaf kepada Gistara tapi lidahnya kelu saat ingin mengucapkan kata maaf.
“Maaf Gita.”
Kevlar memukul bibirnya yang berbicara dengan lancar di saat gadis itu telah pergi memasuki rumahnya.
Sedangkan Gistara, gadis itu mendengus dengan sebal dengan tingkah tidak jelas kepala sekolahnya. Melihat wajah pria itu membuat moodnya buruk kembali, mengingat saat pria itu merendahkannya.
“Kenapa lo Beb?” Tanya Willi melihat Gistara yang masuk kedalam rumah dengan wajah ditekuk.
“Nyebelin banget gak sih Pak Sagara. Dia tiba-tiba dateng, terus Cuma bilang saya mau, saya mau doang. Bikin kesel aja tu laki. Muka tembok gak jelas!” Gistara mendengus sebal.
“Mungkin dia mau minta maaf karena masalah tadi siang,” celetuk Willi yang sukses membuat Gistara semakin sebal.
“Minta maaf tu ya minta maaf aja. Gak usah banyak jeda. Males gue sama cowok kaya gitu. Gak mau mengakui kesalahannya,” kata Gistara dengan menggebu-gebu membuat Willi deg-degan.
“Mungkin dia tidak terbiasa untuk minta maaf,” ucap Willi dengan hati-hati seraya memperhatikan perubahan wajah Gistara.
“Kok lo jadi belaiin dia. Jangan bilang lo naksir sama cowok tembok itu,” selidik Gistara. Wendi dengan cepat menggelengkan kepalanya.
“Enggak. Gila aja lo, dia bukan tipe gue!”
“Basing, mau sama lo juga gak papa,” sahut Gistara membuat Willi bergidik ngeri. Mana mungkin dia berpacaran dengan sepupunya sendiri.
Memikirkannya membuat dia enek. Amit-amit memiliki kekasih seperti sepupunya. Pria itu terlalu kaku dan dingin.
“Makan-makan!!”
“Ayook buruan sini!”
Gistara dan teman-temannya berkumpul di taman belakang yang cukup luas dengan karpet yang terbentang dan makanan yang sudah siap.
“Gita, sini samping gue!” panggil Raka membuat Gistara bingung. Wanita itu menatap wajah Willi dan Kristina secara bergantian.
Kristina memberikan isarat kepada Gistara untuk menerima tawaran Raka. Berbeda dengan Willi yang ingin melarang Gistara.
“Oke sebelum makan kita berdoa terlebih dulu!” Semua orang yang berada di sana berdoa sebelum makan.
“Saatnya makan!!”
“Jangan lupa berterimakasih kepada bos kita malam ini,” ucap Danu yang sukses membuat semua orang disana berterima kasih kepada Gistara.
“Terimakasih Bu guru!”
“Terimakasih anaknya pak Singgih!”
“Thank you Gita!”
Gistara tersenyum menganggukkan kepalanya menjawab semua ucapan teman-temannya. Setelah itu mereka semua menikmati makan malam yang mereka buat.
“Makan yang banyak. Biar cepet gede.” Raka memberikan ayam bakar kepada Gistara.
“Udah gede ya gue. Lagian ayam gue masih ada loh ini.” Gistara menunjuk ayamnya yang hanya berkurang sedikit.
“Iya paham bu guru udah gede.” Raka terkekeh yang sukses membuat Gistara juga terkekeh.
“Pak kosma gas aja terus. Jangan kasih kendor!” teriak Danu yang sukses membuat teman-teman Gistara meledek keduanya.
“Bacot banget lo Danu. Gue keluarin lo dari kelas ini!”
“Mana sempat, keburu wisuda!”
Tawa semua orang pecah ketika mendengar perkataan Danu. Pria itu merupakan pelawak di kelasnya, sehingga sering kali mereka tertawa karena pria itu. Kelas terasa sangat sepi jika tidak ada Danu.
“Uhukk”
“Mampuss lo!!” Raka tertawa dengan puas ketika melihat Danu tersedak daging yang sedang dia makan.
“Kosma anjir lah!”
***
Sagara masih memikirkan Gistara dan pembicaraannya dengan pak Adit tadi siang. Dia benar-benar bingung apa yang harus dia pilih. Perusahaan atau sekolah.
Padahal mau seberat apapun Sagara berfikir dan membujuk kakaknya. Kaka laki-lakinya akan menyuruhnya untuk kembali ke perusahaan karena passion pria itu di sana.
“Bang, berapa lama lagi Abang selesai jadi dekan?” tanya Sagara yang sedang terduduk di ruang kerja pria itu.
“Awal semester depan. Kenapa sih? Mikirin apa kamu?” Kalan melirik sekilas adik laki-lakinya yang terlihat kusut sejak pulang menemui Gistara.
“Kalau Abang selesai jadi dekan otomatis Abang pegang yayasan dong,” kata Sagara.
“Terus? Coba kalo ngomong jangan setengah-setengah. Abang lagi males mikir,” sahutnya cepat.
“Berarti aku kembali ke perusahaan. Aku jadi gak bisa ketemu dengan Gita lagi,” ucapnya lirih.
Kalan tersenyum mengejek. “Gak usah pura-pura sedih gitu, kalau minta maaf aja gak berani,” sahutnya.
“Iya nanti aku minta maaf. Tapi gak bisa hari ini Bang,” seru Sagara merebahkan tubuhnya di sofa ruang kerja Kalana.
“Iya nanti-nanti aja, nunggu Gita diambil yang lain!” Kalan melepas kacamatanya, “minta maaf gak susah, ini karena sering di manja sama papah dan mamah. Kalau salah malah di bela, jadinya susah buat minta maaf,” cerocos Kalan.
Sagara terdiam mendengar perkataan kaka laki-lakinya itu. Memang benar, jarak dia dan adik perempuannya yang jauh membuat dia sangat dimanja. Bahkan saat dia bersalah dia selalu dibela oleh mamahnya, karena anak bungsu.
“Jadi gimana dong Bang?” tanya Kevlar dengan wajah memelas yang hanya dia tunjukkan kepada orang yang dia sayang.
“Nikmatin aja waktu yang tersisa,” jawab Kalan santai membuat Sagara kesal.
“Abang juga kenapa sih ngasih aku izin pegang yayasan saat masa jabatan Abang sebagai dekan mau abis,” gerutunya membuat tawa Kalan pecah.
“Karena saat itu Gita udah mau lulus. Lihat, sekarang dia luluskan. Kamu bisa bebas deketin dia. Tidak seperti tahun-tahun yang lalu, kamu cuma bisa jadi penguntit,” jelas Kalan membuat Sagara mengingat masa-masa dimana dia sering mengikuti Gistara dengan diam-diam kemanapun gadis itu pergi.
“Ini mah nyicip doang Bang. Mana kerasa cuma satu semester,” lirihnya.
“Abang kasih kamu dua semester ya, tapi kamu baru berani muncul saat test untuk calon siswa baru kemarin. Makanya jadi laki tu gercep,” cerocos Kalan yang sukses membuat Sagara terdiam.
“Udah sana pulang. Abang mau kelonan dulu sama istri Abang,” usir Kalan.
“Sombong banget yang udah nikah. Awas ya aku juga bisa begituan.” Kalan melotot mendengar perkataan Sagara.
“Jangan macem-macem ya. Awas sampe main sama cewek bayaran!”
Sagara memutar matanya, malas. “Cari penyakit aja. Enggak lah, aku mau sama Gita aja,” ucapnya dengan smirk di bibirnya.
“Abang potong itu kamu, kalau berani begituan sebelum nikah!” hardiknya.
“Enggak Bang. Deket aja belum, masa iya langsung ngajak ena-ena,” keluhnya.
Nesa menahan tangisnya. Dia sudah menjadi istri Beni. Seorang pria yang selalu dia jadikan alat untuk melukai Gistara. Seorang pria yang diperintahkan papanya untuk menikah dengannya.Sejak kejadian di desa dua minggu yang lalu. Doni membawa Nesa pulang. Pria paruh baya itu memberikan tamparan kepada Nesa. Nesa gemetar melihat papanya yang terlihat murka. Pria itu menampar Nesa sampai pipi gadis itu biru.Beni menghentikan amarah Doni. Perkataan Beni membuat Nesa terkejut. Pria itu berkhianat.“Jangan sakiti Nesa, Om janji tidak menyakiti Nesa jika saya memberitahu keberadaan putri Om.”Doni menatap Beni dengan mata melotot. Nafas pria itu tidak teratur. Dia ingin membuat pelajaran kepada putrinya tapi janjinya kepada Beni membuat dia membatalkannya.Doni mendengus berjalan meninggalkan Nesa dan Beni. Sebelum menghilang di balik pintu perkataan Beni sukses membuat takdir Nesa berubah seperti sekarang.“Jangan lupa janji yan
Sagara terbangun saat merasakan istrinya tidur dengan gelisah. Sejak keluar dari rumah sakit istrinya selalu mengigau memanggil putrinya. Gistara bilang dia bisa mengikhlaskan putrinya tapi kenyataannya tidak. Istrinya masih sering memanggil putrinya dalam tidurnya.Gistara sudah keluar dari rumah sakit dan sehat total dua minggu yang lalu. Gistara melakukan sedikit terapi berjalan karena komanya. Kurang lebih dua minggu melakukan terapi, Gistara sudah mulai berjalan dengan nyaman.Dokter menyarankan Sagara untuk membawa istrinya ke psikolog. Gistara menolak dengan keras saat Sagara memberitahu saran dari dokter. Gistara merasa dia baik-baik saja. Dia merasa sudah ikhlas dengan kepergian putrinya. Tapi tanpa sadar istrinya itu sering memanggil putrinya di dalam tidurnya.Sagara membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Istrinya akan berhenti memanggil putrinya jika Sagara membawa tubuhnya ke dalam pelukannya.“Huss
Wanita dengan gaun pink itu berjalan menyusuri taman bunga yang sangat indah. Senyumnya terbit saat melihat banyak anak-anak yang sedang bermain di taman itu.Bunga-bunga di taman itu terlihat sangat terawat. Dia belum pernah melihat taman secantik ini. Melihat bunga-bunga dengan berbagai warna membuat pikirannya damai. Semua bebannya seperti ditarik pergi.Anak-anak itu menggunakan dress berwarna putih. Semua terlihat cantik mengenakan dress itu. Wanita itu bisa melihat wajah anak-anak yang begitu bahagia. Mereka seperti tidak merasakan beban kehidupan.Senyumnya pudar saat melihat seorang anak duduk seorang diri di bawah pohon. Anak itu terlihat sedih menatap teman-temannya.Wanita itu berjalan menghampiri anak itu. Anak berusia lima tahun itu terlihat cantik. Wajahnya seperti tidak asing. Dia seperti melihat wajah anak itu.“Kamu kenapa?” tanyanya. Duduk di samping anak itu dengan perlahan.“Mama!” panggil anak itu
Hujan turun dengan derasnya seperti air mata Sagara yang berlomba-lomba untuk keluar. Dia tidak menyangka kalau makan siang kemarin adalah makan siang terakhirnya bersama calon putrinya.Sagara mengusap tangan Gistara dengan lembut. Istrinya masih kritis. Dokter bilang Gistara koma karena kecelakaan yang menimpanya. Alat-alat penunjang hidupnya terpasang di tubuhnya.“Bangun, Sayang.” Sagara berkata lirih.Keluarga Sagara dan Gistara menatap sedih keduanya dari luar ruang rawat Gistara. Novi pingsan saat mendengar putrinya kecelakaan.Kecelakaan satu hari yang lalu membuat semua orang terkejut. Willi dan Kristina yang sedang membeli keperluan untuk bayi Gistara menangis membuat pengunjung lain bingung. Keduanya berlari menuju rumah sakit dimana Gistara dibawa.Sagara yang tengah meeting, membatalkan meetingnya begitu saja. Tubuhnya hampir jatuh ke lantai kalau saja Tama tidak datang menemuinya yang sedang mengangkat telpon.Sagar
Willi dan Kristina sedang berada di baby shop dekat dengan perusahaan. Keduanya sedang memilih kado untuk bayi Gistara. Keduanya sengaja memberikan kado lebih dulu agar kado mereka tidak tertumpuk dengan kado yang lain.Gistara menginginkan stoller seperti milik Nagita Slavina. Willi dan Kristina meringis mendengar permintaan Gistara.“Makanya jangan nanya gue. Gue pengen stoller itu. Tapi apapun yang kalian kasih, pasti gue terima.”Kristina menghembuskan nafasnya lega saat mendengar jawaban sahabatnya saat itu.“Ini lucu gak sih? Bayangin bayinya Gita pake kayak gini. Gue ngebayanginnya pasti lucu banget. Apa lagi dengan pipi gembul.”Kristina menunjuk baju bayi dengan motif hewan dan berbentuk romper. Ada berbagai jenis hewan tapi Kristina jatuh cinta dengan bentuk bird-bees berwarna pink.“Iyaa, ambil deh yang ini. Sama yang lain dong motifnya.” Willi memberikan berbagai motif kepada Kristina.B
Sagara menatap Gistara dengan bingung. Sejak dia pulang dari kantor. Istrinya itu lebih banyak diam. Gistara memintanya untuk pulang cepat, Sagara melakukannya tapi jalanan kota Bandung sangat macet karena adanya perbaikan jalan. Sehingga Sagara sampai rumah lebih lama.Sagara sudah meminta maaf. Dia juga sudah memberikan alasan, istrinya bilang kalau tidak apa-apa tapi Sagara merasa istrinya belum sepenuhnya memaafkannya.“Masih marah ya?” tanya Sagara. Membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya.Gistara tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya. Wanita itu mematikan ponselnya. Meletakkan di nakas samping kasurnya.“Gak marah. Aku lagi kepikiran pesan bunda.”Sagara mengecup pelipis istrinya. “Pesan apa? Tell me, Baby.”“Jovanka dan om Beno, mereka ada hubungan.” Gistara melirik Sagara sekilas.“Something like Affair?” tanya Sagara ragu. Melihat gelagat istrinya yang terlihat