Pergi ke mall di hari senin siang merupakan waktu yang pas menurut Gistara. Gadis itu tiba-tiba ingin pergi ke mall sendiri setelah mengawasi anak-anak ujian semester. Alih-alih membeli barang seperti baju, tas dan sepatu, Gistara lebih memilih membeli makanan.
Kaki jenjangnya melangkah memasuki pusat perbelanjaan itu, tujuannya adalah tempat dimana dia bisa makan dengan harga yang tidak terlalu membuat dompetnya meronta-ronta, foodcourt.
Tangannya mengetuk-ngetuk meja, menunggu pesanannya datang. Setelah sampai ditempat tujuan gadis itu langsung saja memesan makanan kesukaannya, untuk saat ini dia tidak mau makan makanan berat jadi dia hanya memesan seblak, cireng, dan pem-pek khas palembang. Untuk minumannya dia memesan jeruk hangat. Nasihat ibunya selalu dia ingat kalau setelah makan tidak boleh minum es, karena tidak baik untuk tubuh terutama jantung. Benar-benar gadis yang sehat.
Gistara tersenyum cerah ketika pesanannya datang. Setelah berdo’a diapun mulai memakan makanannya dengan lahap. Matanya berbinar takjub ketika pedasnya kuah seblak menyentuh indra perasanya. Seblak adalah makanan ringan versi Gistara yang paling dia sukai, kalau pergi ketempat ini dia selalu memesan seblak dengan level dua, karena perut Gistara tidak bisa menerima makanan yang terlalu pedas.
Hari ini dia ingin menaikkan level pedasnya menjadi tiga, mari kita berdoa semoga perut gadis itu tidak apa-apa, semoga penyakit saat dia sekolah menengah pertama tidak kambuh.
Pada saat siswi menengah pertama, Gistara pernah sakit karena dia terus menerus makan makanan pedas dan kecut sehingga ususnya luka. Dia dibawa kedokter, dokter berkata kalau dia harus meninggalkan makanan pedas untuk sementara waktu. Gistara yang bandel tidak mendengarkan dokter. Gadis itu kembali memakan makanan pedas tiga bulan setelah dia sembuh. Beberapa minggu kemudian gadis itu kembali di larikan ke dokter yang sama. Dokter itu kecewa dan menakuti Gistara, jika gadis itu masih memakan makanan pedas dan asam dia akan di operasi. Setelah perkataan dokter itu, Gistara tidak pernah berani memakan makanan pedas.
Gistara mendongakkan kepalanya ketika kursi didepannya ditarik kebelakang, menandakan ada seseorang yang akan duduk. Matanya membola sempurna.
“Pak.... Uhuuk!”
Gistara terbatuk, membuat tenggorokannya sakit dan matanya berair, pria didepannya dengan khawatir berdiri disamping kursi Gistara, memberikan jeruk hangat yang tadi dia pesan seraya mengelus tengkuk gadis itu. Mata pria itu menatap Gistara khawatir ketika batuk gadis itu belum juga selesai.
Gistara menatap dengan sendu pria itu. “A..air putih,” pintanya pelan.
Pria itu pun langsung membeli air putih, tak butuh waktu lama pria itu telah kembali dengan membawa sebotol air mineral. Dia memberikan sebotol air mineral yang telah dibuka tutupnya. Gistara pun langsung menerimanya dan meneguknya dengan rakus.
“Pelan-pelan gak ada yang minta,” katanya.
Pria itu terduduk disamping Gistara, menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah gadis itu, memperhatikan Gistara yang masih berusaha menghilangkan rasa perih dan panas ditenggorokannya.
Gistara mengelap sudut bibirnya dengan tisu menoleh kesamping kiri menatap kesal kepala sekolahnya.
“Pak Sagara ngapain sih kesini?” tanyanya jutek.
Sagara tersenyum miring. “Suka-suka saya, ini kan bukan mall kamu,” jawabnya.
Gistara mendengus sebal. “Bapak tau gak, mood makan saya hancur karena liat wajah Bapak.”
Gistara melotot horor menyadari omongan yang tidak seharusnya dia keluarkan kepada kepala sekolah Baramantas’ School. Tapi detik berikutnya, dia tidak peduli. Toh kepala sekolahnya ini juga tadi sempat merajuk saat di ruang kepala sekolah.
Bukannya marah mendengar omongan Gistara, Sagara justru terkekeh, guru biologi itu terlihat menggemaskan merenggut seperti itu, ingin rasanya dia.. menciumnya.
Sagara menggelengkan kepalanya, setan difikirannya benar-benar kurang ajar memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya dia fikirkan sekarang.
Gistara mengernyit bingung ketika melihat Sagara menggeleng. “Dasar aneh,” gumamnya.
Sagara mendengus sebal. “Yasudah sana makan, saya tidak akan minta makanan Bu Gistara,” ucapnya.
Gistara memutar matanya malas. Dia tahu pria didepannya ini mana pernah makan makanan ditempat seperti ini, pasti dia makan ditempat mahal, tidak level pria kaya sepertinya makan ditempat orang-orang sederhana sepertinya.
Gistara melanjutkan makannya. “Iya tahu, Bapak mana level makan makanan murah kaya gini,” gumamnya.
Gistara kembali merutuki perkataannya. Kenapa sekarang dia bisa berbicara kurang ajar kepada kepala sekolahnya fikirnya.
Gumaman Gistara terdengar oleh Sagara, membuat pria itu melotot tidak suka dengan omongan gadis itu. Dia bukannya tidak berselera makan di tempat ini tapi dia ingin Gistara nyaman dan melanjutkan makannya tapi ternyata omongannya itu disalah artikan oleh gadis itu.
Tapi tanpa Sagara sadari keberadaannya sejak tadi adalah hal yang membuat Gistara tidak nyaman.
Sagara mengambil cireng yang belum disentuh oleh Gistara, memakannya dengan lahap. Gistara meneguk air liurnya dengan kuat memperhatikan tingkah Kevlar, ternyata pria didepannya itu tidak seperti pria-pria kaya yang sering dia baca di cerita-cerita di salah satu aplikasi novel, makan makanan dengan harus dibuat oleh chef handal.
“Bapak laper?” tanyanya polos.
“Iyaa, saya ingin makan kamu,” sahutnya cepat.
Haa??
Gistara mengerjapkan matanya bingung. Apa tadi yang dibilang pria didepannya, memakan dirinya, dia tidak salah dengarkan? Gistara melotot. Melihat ekspresi gadis itu Sagara segera merutuki kebodohannya.
“I mean, saya ingin makanan Bu Gistara,” ucapnya cepat.
Gistara mengangguk kemudian melanjutkan makannya. “Yaudah Bapak pesen aja sendiri,” katanya acuh.
Sagara melotot mendengar perkataan gadis itu, dengan malas dia memanggil pelayan kemudian menyebutkan menu apa saja yang dia mau.
Gistara mengernyitkan dahinya. “Bapak yakin beli sebanyak itu?” tanyanya bingung.
“Yakin, saya laper,” jawabnya cepat.
Selang beberapa menit pesanan Sagara datang, Gistara syok melihat betapa banyaknya pesanan pria itu, bagaimana tidak syok kalau pria itu membeli semua menu yang ada di tempat itu, ada soto ayam, bakso mercon, mie ayam, seblak, sate obong, cireng, ketoprak, pecel, dan masih banyak lagi.
“Tutup, nanti ada lalat.” Gistara mencebikkan bibirnya.
Gistara cekikikan melihat Sagara yang tidak sanggup lagi menghabiskan makanan-makanan yang dia pesan. Entah apa yang difikirkan pria itu ketika memesan makanan sebanyak itu, Gistara yakin pria sepertinya tidak mungkin menghabiskan makanan sebanyak itu, bahkan pria itu hanya memakan soto dan cireng, yang lain belum disentuh olehnya.
“Makanya jangan pesen banyak-banyak Pak, sayang kalo dibuang.” Gistara menatap makanan yang masih utuh.
“Yasudah Bu Gistara yang habisin,” sahutnya cepat.
Gistara memutar matanya malas. “Bapak kira saya kudanil apa makan sebanyak itu,” ucapnya kesal.
“Mungkin Bu Gis—“
“Loh Sagara kamu di sini ternyata?”
Gistara menatap Nesa dengan bingung. Guru itu tidak sopan memanggil kepala sekolah dengan nama saja tanpa embel-embel ‘Pak’. Sagara mendengus tidak suka saat mendengar suara Nesa.
“Mama nyariin kamu. Katanya kamu meeting, tapi kamu kok bisa sama dia?” Nesa menunjuk Gistara. Gistara menggelengkan kepalanya. Dia ingin membuka suara tapi segera di sela oleh Sagara.
“Iya nanti meetingnya kalau saya mau,” sahut Sagara mengambil ponselnya di saku celananya. Ada satu panggilan masuk dari mamanya.
Gistara menatap keduanya bingung. Ada hubungan apa sebenarnya keduanya. Kenapa keduanya terlihat dekat. Apa mereka sepasang kekasih. Banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepala gadis itu tentang Sagara dan Nesa.
“Iya nanti Gara pulang.”
“...”
“Iya.”
Sagara menutup panggilan dari Kirana — mamanya. Pria itu beranjak pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Wajah pria itu telihat datar, membuat Gistara membatalkan niatnya yang ingin bertanya kepada pria itu.
Nesa, gadis itu menatap Gistara dengan tidak suka. Setelah itu dia berlari mengejar Sagara yang berjalan dengan langkah lebar. Gistara mengernyitkan keningnya melihat ekspresi Nesa, gadis itu kenapa terlihat berbeda saat terakhir dia bertemu di sekolah. Nesa terlihat baik saat di sekolah, kenapa sekarang gadis itu terlihat seperti seorang antagonis di sebuah sinetron.
Gistara menatap makanannya dengan sedih. Siapa yang akan menghabiskannya. Gadis itu menatap sedih dompetnya. Besok jika dia bertemu lagi dengan Sagara dia tidak akan mau makan bersama pria itu.
Lihat, pria itu memesan sangat banyak tapi dia tidak menghabisi dan membayar makanannya.
“Dasar menyebalkan, baru di maafkan berulah lagi, huaa bundaaa!!”
Sagara memasuki rumah dengan wajah yang tidak bersahabat. Langkah kakinya terhenti saat mendengar intrupsi dari mamanya.“Darimana saja kamu?” tanya Kirana menatap tajam putra keduanya.“Sagara dari makan.”Karina tersenyum miring. “Makan sama gadis miskin itu ‘kan?”Sagara mengepalkan tangannya mendengar penghinaan mamanya terhadap Gistara. Wanita paruh baya itu membenci Gistara. Sejak awal, saat papanya masih ada mamanya itu tidak setuju dengan rencana perjodohan yang di lakukan papanya dan orang tua Gistara, karena mamanya sudah memiliki seseorang yang juga akan dijodohkan kepada Sagara. Tapi dengan bujukan dan rayuan papanya akhirnya mamanya setuju.Sagara tidak tahu kalau ternyata persetujuan mamanya ternyata hanya di mulut. Nyatanya setelah papanya meninggal, mama kembali ingin menjodohkan Sagara dengan anak dari sahabatnya, Nesa.“Mama bisa gak, gak usah bawa-bawa materi. Gistara gak sem
Ruangan VIP di restauran itu tampak sunyi padahal terdapat empat orang di dalamnya. Salah satu wanita paruh baya itu tersenyum canggung kepada calon besannya. Hatinya bergemuruh marah, karena putranya tidak kunjung datang.“Mbak, ini Sagara jadi dateng kan?” tanya Dina — ibunya Nesa, memastikan kembali apakah anak sahabatnya itu jadi datang atau tidak. Sudah hampir satu jam mereka datang tapi pria itu belum juga datang.“Eumm.. ““Maaf telat Om, Tante.”Sagara berjalan ke arah meja yang berada di ruangan itu. Memberi salam kepada Dina dan suaminya. Setelah itu dia duduk di samping mamanya. Pria itu melirik sekilas Nesa yang terus menatapnya sejak dia datang.“Sekali lagi maaf Om dan Tante karena keterlambatan saya, anda berdua harus memundurkan jam makan malam anda,” ucap Sagara tersenyum tipis.Doni — papanya Nesa tersenyum hangat. “Tidak perlu meminta maaf, kami sangat tahu
‘Beb, lo sidang jam 1 'kan? Nanti gue langsung ke kampus aja ya. Sorry gue gak bisa bantuin bawa barang-barang lo’Gistara mengirim pesan kepada sahabatnya. Hari ini Kristina akhirnya sidang setelah di beri semangat oleh Gistara dan Willi. Sahabatnya itu sedikit malas, dia selalu banyak alasan jika Gistara dan Willi menyuruhnya untuk mengerjakan skripsinya. Hingga entah dorongan darimana gadis itu akhirnya mau menyelesaikan skripsinya.“Pagi Bu Gita.”Suara Leon membuat Gistara mengalihkan atensinya dari ponselnya. Senyum manis terbit di bibir gadis itu dengan eyes-smile khas miliknya.“Pagi Pak Leon.” Leon meletakkan tasnya di mejanya setelah mendapat jawaban dari Gistara.“Bu Gita doang ya Pak yang di sapa. Iya kita gak keliatan. Udah bener emang,” sahut Vallen melirik Leon sekilas.“Loh ada Bu Vallen? Selamat pagi Bu Valen,” sapa Leon dengan heboh.“Telat Bapak!&rdqu
Semester genap sudah selesai. Para guru dan wali kelas sibuk mengisi nilai dan rapot para siswa. Gistara dan beberapa guru yang lain tengah menginput nilai-nilai rapot ke aplikasi yang disediakan oleh sekolah seraya diselangi canda tawa. Gadis itu terkekeh ketika mendengar cerita dari guru pria yang terkenal dengan selera humornya yang baik itu.“Bu Gita ini beneran si Devano dapet nilai segini? Dia anaknya rajin loh,” tanya Berta, guru bahasa Indonesia yang kebetulan berada disamping meja Gistara.Gistara tersenyum maklum dengan pertanyaan yang dilontarkan wanita paruh baya itu. Entah sebuah pertanyaan atau kritik yang pasti wali kelas dari siswa yang bernama Devano itu tidak terima kalau siswanya mendapat nilai kecil.“Devano memang agak sedikit kurang kalau di pelajaran saya Bu dan dia juga jarang masuk,” jelasnya.Berta mencebikkan bibirnya. “Emang gak bisa ditambahin ya Bu?” tanya Berta mencoba menegosiasikan nilai
Gistara membereskan rumah yang akan dia tinggal untuk satu bulan ke depan. Mulai hari ini bebas dari urusan rapot dan nilai. Tugasnya sebagai guru selesai untuk sementara waktu.Besok Gistara berencana pulang ke kampung halamannya. Dia rindu dengan keluarganya. Sejak lima bulan yang lalu dia tidak pulang membuat rasa rindunya mengakar. Sebenarnya dia bisa saja pulang jika dia mau tapi banyaknya pekerjaan membuat dia menahan keinginannya untuk pulang.Gistara merebahkan tubuhnya di sofa setelah selesai membersihkan rumah. Gadis itu mengambil ponselnya yang berada di meja kaca depan sofa. Dia membuka aplikasi WhatsApp. Membaca pesan di grupnya bersama ketiga sahabatnya.Kristina dan Willi menanyakan kapan Gistara akan pulang dan dengan menggunakan apa. Gistara pun membalas pesan dari kedua sahabatnya itu.‘Kalau nih ya. Kalau ada yang nganterin lo ke rumah lo. Lo mau gak?’Gistara terkekeh membaca pesan dari Kristina. Jika ada yang mengan
Sagara menghembuskan nafasnya perlahan menatap kedua orangtua Gistara. Beberapa menit yang lalu Gistara izin untuk menemani Gian ke rumah temannya mengembalikan novel yang dia pinjam. Sejak saat itu Sagara masih berusaha untuk menyusun kata yang baik untuk memberitahu orangtua Gistara.Kedatangan Sagara ke rumah Gistara bukan tidak disengaja. Pria itu berencana ke rumah Gistara untuk membicarakan perihal perjodohan dia dan Gistara.“Jadi gimana Nak Gara?” tanya Singgih mencoba memecahkan keheningan yang terjadi di antara mereka.“Papi waktu itu sudah bilang ‘kan ke Om dan Tante kalau saya akan melaksanakan pertunangan dengan Gistara setelah Gistara selesai kuliah,” kata Sagara dengan sedikit ragu menatap wajah Singgih dan Novi bergantian.“Iyaa. Kenapa Nak? Kamu sudah tidak mencintai putri Om lagi?” tanya Singgih melihat wajah Sagara yang sejak tadi tidak tenang.Sagara menggeleng dengan cepat. “Bukan
Gistara, Gian dan Singgih sedang berada di kebun milik keluarga mereka yang berada tak jauh dari rumahnya. Kebun dengan seratus meter persegi itu di tanami berbagai sayuran, seperti kangkung, bayam dan sawi.Sayuran itu tidak dijual. Ayah Gistara sengaja menanam itu untuk kebutuhan keluarganya. Tak jarang orang ingin membeli sayuran yang di tanam Singgih tapi pria paruh baya itu tidak mengizinkan, beliau justru memberikan dengan percuma sayuran itu kepada orang yang membutuhkan.Gistara duduk di karpet yang di gelar di bawah pohon rambutan menyaksikan ayah dan adiknya mengambil sawi. Dia merindukan suasana seperti ini, suasana asri khas pedesaan.“Teteh!” Panggil Novi berjalan menuju putrinya dengan bawaan di tangannya.Senyum Gistara terbit. “Ayah, Adek sini buruan, Bunda bawa makanan!” teriak Allisya saat melihat tempat makan yang dibawa Novi.“Iya ini bentar lagi selesai!”Gian dan Singgih berjalan menu
Sagara mengetuk pintu rumah Gistara. Dia memenuhi janjinya kepada Novi kalau dia akan menginap di kediaman keluarganya satu minggu yang lalu."Bang Gara!" panggil Gian membuat pria itu menoleh.Senyum Sagara terbit melihat Gian yang berjalan kearahnya. "Ayah sama bunda mana Yan?" tanyanya saat Gian sudah berada dihadapannya.Gian mencium punggung tangan Sagara. "Ayah sama bunda lagi ke rumah pak RT Bang. Anaknya pak RT mau nikah jadi bantu-bantu gitu deh." Jawabnya.Gian mempersilahkan Sagara untuk masuk. Anak laki-laki itu segera pergi ke dapur, membuatkan minum untuk Sagara. Sagara memperhatikan rumah itu yang tampak sederhana, sepi dan nyaman membuatnya betah."Ke rumah Nenek kamu jam berapa Yan?" tanya Sagara saat anak laki-laki itu sudah kembali dengan membawakan minuman untuknya."Siang kayaknya Bang. Jam tigaan. Mungkin hehe." Sagara tersenyum mendengar jawaban dari Gian."Abang mau istirahat dulu gak?" tanya Gian memperhatikan