Share

BAB 7. Apology

Sagara menatap kakak laki-lakinya yang yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu ruangannya. Pria itu berjalan menghampiri Sagara. Melihat apa yang sedang adik laki-lakinya itu kerjakan.

"Bener-bener kaya penguntit ya kamu. Abang merinding liat kamu kaya gini," ucap Kalan — kaka laki-laki Sagara, bergidik ngeri melihat adiknya.

Sagara mendengus. "Kalau nguntit calon istri gak papa Bang," sahutnya membuat Kalan memutar matanya, malas mendengar perkataan adiknya.

"Masalahnya adalah, emang Gita mau sama kamu. Cowok dingin dan gengsi gede." Kalan berjalan menuju sofa di ruangan itu, mendudukkan bokongnya di sana.

Sagara mendengus sebal mendengar perkataan Kalan. "Susah Bang. Aku mau minta maaf sama Gita, tapi berat banget," keluh Sagara menyugar rambutnya.

Kalan terdiam mendengar perkataan adiknya. Dia tahu bagaimana Sagara. Adiknya itu akan sangat susah jika meminta maaf. Gengsinya terlalu tinggi, pria itu beranggapan orang yang meminta maaf adalah orang lemah. Padahal 'kan tidak.

"Setidaknya, kamu belajar mengurangi gengsi kamu itu kalau kamu mau dengan Gita." Sagara terdiam mendengar perkataan Kalan. Berusaha memikirkan cara menghilangkan gengsinya yang besar itu.

"Abang cuma ngasih saran aja. Itu terserah kamu kalau kamu mau make gak papa. Kalau enggak, Abang tonjok kamu."

"Kok gitu sih." Sagara tidak terima mendengar perkataan terakhir kaka laki-lakinya itu.

"Ya terus gimana? Masa iya Abang diemin aja kamu kaya gini. Kapan mau maju kalau kaya gini terus. Cuma bisa menatap dari jauh, gak bisa sentuh. Gak asik."

"Gak usah omes Bang." Sagara berjalan menuju sofa dimana abangnya duduk.

"Gak usah munafik kamu. Abang tau ya fikiran kamu kalau lagi ada Gita. Kemana-mana tu otak kamu." Sagara mendengus mendengar perkataan Kalan.

"Makanya buruan di nikahin. Kamu gak tau 'kan rasanya Skidipapap. Enak hahaha." Kalan tertawa puas menggoda adik laki-lakinya itu. Sedangkan Sagara mendengus sebal, melempar Kalan dengan bantal sofa.

"Abang gak ada adab!"

***

Senin ini sekolah Baramantas' School sedang mengadakan ujian akhir semester. Gistara berjalan memasuki ruangan bersama Valen, salah satu guru muda. Guru itu tergolong muda, meskipun predikat guru termuda masih di pegang oleh Gistara.

"Selamat pagi anak-anak!"

"Selamat pagi Bu!"

Setelah mengucapkan salam dan memberikan aturan-aturan apa saja yang boleh dan tidak boleh di lakukan saat berlangsungnya ujian. Keduanya memberikan soal dan lembar jawaban kepada siswa dan siswi yang berada di ruangan itu.

Setelah selesai membagikan lembar jawaban dan soal para siswa mulai mengerjakan soal dengan tenang. Gistara berjalan kebelakang kelas. Duduk di kursi belakang yang telah di sediakan.

Lima belas menit berlalu. Valen izin untuk keluar karena pak Adit memanggilnya. Gadis itu berkata kalau dia tidak datang lagi dalam waktu sepuluh menit, akan ada guru yang menggantikannya.

Sepuluh menit berlalu, Valen belum kembali. Suara pintu diketuk dari luar membuat Gistara beranjak dari duduknya. Gadis itu berjalan kearah pintu untuk melihat siapa gerangan yang mengetuk pintu itu.

Gistara menatap datar pelaku yang mengetuk pintu. Sedangkan yang ditatap seperti itu hanya mengangkat satu alisnya. Pria itu menahan senyum melihat wajah super bete milik Gistara.

Berbeda dengan Gistara yang tidak senang dengan kehadiran pria itu. Siswi-siswi di ruangan itu justru memekik senang melihat pria itu.

"Maaf ada apa ya Pak?" tanya Gistara mencoba bersikap ramah di depan anak didiknya.

"Saya yang akan menggantikan bu Valen disini," jawab pria itu, Sagara.

Siswi-siswi di ruangan itu bersorak mendengar perkataan Sagara. Membuat pria itu tersenyum puas. Gistara mendengus sebal memberikan jalan untuk Sagara masuk ke dalam ruangan.

"Oke tenang, lanjutin mengerjakan soalnya!"

Sagara berjalan menuju kursi yang tadi di tempati oleh Gistara. Gadis itu mendengus sebal, entah sudah berapa kali dia mendengus karena pria itu. Seharusnya dia yang berada di belakang. Biarkan pria itu di depan.

Kelas menjadi hening seperti sebelum Sagara datang. Gistara masih pada mode marahnya. Dia tidak akan menjadi gadis baik jika bersama pria egois seperti Sagara.

Sagara terus menatap Gistara dari kursinya. Dia selalu memperhatikan gerak gerik gadis itu. Tersenyum jika melihat Gistara yang tiba-tiba cemberut melihat ponselnya. Sagara mengambil ponselnya, dengan cepat mengabadikan momen Gistara yang sedang terdiam membaca lembar soal yang ada di meja itu.

Gistara menatap sekilas Sagara. Pria itu tersenyum miring dengan satu alis yang mengangkat membuat Gistara memutar bola matanya, kesal dengan tingkah pria itu. Gistara risih dengan Sagara yang selalu menatapnya. Tatapan pria itu seolah ingin menelanjanginya.

Sagara memalingkan wajahnya dari Gistara. Memperhatikan siswa-siswi yang tenang mengerjakan lembar soal. Pria itu berjalan kearah meja pojok, di mana seorang siswa sedang memainkan ponselnya.

"Kemarikan ponsel kamu." Perkataan Sagara sukses membuat seluruh pasang mata di ruangan itu menoleh kearahnya.

Siswa bernama Reno itu terdiam. "Keluar dari kelas ini atau berikan ponsel kamu." Sagara menatap siswa itu dengan tajam.

Gistara berjalan kearah keduanya. Reno diam saja saat Sagara berbicara seperti itu. Wajah laki-laki itu seperti tidak melakukan hal yang salah. Sagara mengepalkan kedua tangannya di kedua sisi tubuhnya. Gistara yang melihat itu segera angkat bicara.

"Reno, berikan ponsel kamu kepada Ibu," pinta Gistara, Reno hanya diam, meletakkan ponselnya di dalam laci mejanya.

"Anak ini benar-benar—"

Sagara mengambil secara paksa ponsel Reno. "Kalau kamu mau ponsel kamu kembali. Setelah ini, temui saya diruangan saya."

Setelah berkata seperti itu Sagara kembali ketempat duduknya. Siswa-siswi yang lain kembali mengerjakan soal ujian mereka. Gistara kembali ketempat duduknya. Gadis itu memperhatikan Sagara yang menundukkan wajahnya dengan tangan yang menggenggam ponsel ditangannya dengan erat.

Gistara bergidik ngeri melihat wajah Sagara yang seperti itu. Ini pertama kalinya Gistara melihat wajah marah milik pria itu. Sagara menatap Gistara, membuat gadis itu gelagapan dengan cepat dia membuang pandangannya. Sagara tersenyum geli melihat Gistara salah tingkah. Hanya melihat tingkah gadis itu saja mampu membuat mood Sagara kembali.

Sagara melihat jam di pergelangannya saat para siswa maju ke depan untuk mengumpulkan lembar soal dan jawaban mereka. Pria itu berjalan ke depan saat dirasa ruangan mulai sepi. Semua siswa sudah keluar untuk istirahat.

Sagara membantu Gistara membereskan soal dan lembar jawaban sesuai kelas mereka. Sesekali matanya melirik wajah datar Gistara.

"Terimakasih." Gistara berjalan lebih dulu meninggalkan Sagara seorang diri di dalam ruangan itu.

Pria itu mengusap wajahnya. Mengutuk dirinya yang hanya diam. Tidak berani berbicara lebih dulu. Lidahnya seakan kelu saat ingin memulai pembicaraan terkait permasalahan mereka.

***

Gistara berdiri bersama Reno di depan pintu ruangan Sagara. Setelah selesai ujian Reno meminta tolong kepada Gistara untuk menemaninya menemui Sagara. Gistara menyetujuinya asalkan siswanya itu mau mengakui kesalahannya nanti di depan Sagara.

Gistara menghembuskan nafasnya perlahan. Tangannya terulur untuk mengetuk pintu kayu itu. Keduanya masuk saat mendengar suara Sagara yang menyuruhnya untuk masuk.

"Duduk!"

Keduanya duduk di sofa yang berada di ruangan itu. Sagara beranjak dari tempat duduk kebesarannya, berjalan menuju single sofa.

"Jadi?" tanya Sagara, tangannya terulur kebelakang kepala Gistara. Mengambil kain di kepala sofa yang bertepatan di belakang gadis itu.

Sagara memberikan kain itu kepada Gistara membuat gadis itu speechless. Gistara tidak menyangka kalau dia akan diperlakukan oleh seorang laki-laki seperti di drama Korea yang sering dia tonton.

"Terimakasih." Gistara tersenyum tipis. Hatinya mendadak goyah mendapat perlakuan hangat dari Sagara.

"Reno kamu sudah tahu kesalahan kamu apa?" tanya Sagara menatap Reno yang menundukkan kepalanya.

"Saya tahu pak. Maaf, saya tidak akan mengulanginya lagi." Sagara menganggukkan kepalanya. Dia sebenarnya tidak akan marah jika laki-laki itu memberikan ponselnya dan meminta maaf secara langsung. Tapi, siswanya itu tadi hanya diam dan memasang wajah tanpa dosa membuatnya geram dan marah.

"Jangan di ulangi lagi. Kalau sampai kejadian ini terulang kembali. Ponsel kamu saya banting di hadapan teman-teman kamu. Kamu mau?" Reno menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Kalau kamu tidak tahu jawabannya lebih baik tidak usah kamu isi daripada kamu menyontek seperti itu." Sagara memberikan ponsel Reno kepada pemiliknya.

"Iya Pak. Maaf."

"Ya sudah kamu boleh pulang. Bu Gistara tetap di sini ada sesuatu yang mau saya sampaikan." Reno menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu bersaliman kepada Sagara dan Gistara.

"Saya permisi Pak, Bu."

Hening

Gistara menghembuskan nafasnya. Melirik Sagara yang menatap ke depan dengan tatapan yang sulit diartikan. Tenggorokan gadis itu mendadak susah di gerakkan, suara yang dia ingin keluarkan tertahan.

"Bu Gistara," panggil Sagara membuat Gistara menoleh dengan cepat ke arahnya.

"Ya Pak?"

"Sa.. Saya mau minta maaf masalah waktu itu," ucap Sagara dengan cepat. Membuat Gistara terdiam. Tidak menyangka dengan permintaan maaf pria di hadapannya itu.

"Saya sudah memaafkan Bapak jauh-jauh hari," sahut Gistara yang sukses membuat Sagara menoleh ke arahnya dengan cepat.

"Kenapa gak bilang?"

"Ha??"

"Ibu kenapa gak bilang kalau udah maafin saya. Kalau tahu gini saya gak usah minta maaf."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status