"Baiklah sekarang bulik akan bercerita sedikit tentang Mas Ian. Mungkin Fafa mau tanya apa?"
"Bulik cerita saja," jawab Fafa."Tuan Muda Aldric Andrian adalah putra tunggal mendiang Tuan Andrinof dan Nyonya Anya. Keluarga Tuan Andrinof mengalami kecelakaan saat Tuan Muda berusia 10 tahun. Tuan dan Nyonya tidak selamat dalam kecelakaan itu, hanya Tuan Muda yang selamat. Maaf, dengan kondisi cacat." Tini diam sejenak, sembari memperhatikan Fafa yang menyimak penjelasan Tini dengan seksama.
"Setelah kecelakaan itu, Tuan Muda- yang biasa dipanggil Tuan Muda Ian. Beliau menolak dipanggil Tuan Muda, dan menyuruh kami semua memanggilnya dengan Mas Ian. Sejak saat itu, Mas Ian sangat berubah sikap dan perilakunya. Paklik dan Bulikmu ini awalnya juga kaget. Akhirnya, kami memaklumi perubahan itu. Sungguh tidak mudah, menjadi yatim piatu di usia 10 tahun. Apalagi kondisinya saat itu kurang baik." Fafa mengangguk membenarkan perkataan Buliknya itu.
"Lalu bagaimana saudara yang lain?" tanya Fafa.
"Ada, tapi semua juga punya kesibukan sendiri, dan rumahnya luar kota semua."
"Jadi, dia hidup sendiri. Eh ..., maksud Fafa itu, tidak ada saudara yang tinggal di sini."
"Iya, Nduk. Makanya Tuan sebelum meninggal menitipkan Mas Ian pada Paklikmu agar terus menemaninya."
'Kasihan sekali,' batinnya. Fafa semakin bersyukur masih diberi kesempatan bersama orangtuanya hingga usia 18 tahun.
"Bulik, soal pekerjaan itu gimana!" tanya Fafa.
"Oh ..., Bulik lupa. Mas Ian itu ahli buat peralatan canggih kayak di film-film gitu, Fa."
"Wih .... Keren!" seru Fafa.
"Sudah, itu saja ya. Nanti bisa di tanyakan langsung pada Mas Ian. Oiya Fa, nanti siang ada orang dari butik!"
"Iya, Bulik."
Tini melihat jam di dinding, sudah pukul 07:30 WIB sebentar lagi suaminya pasti datang untuk mengambil nampan sarapan Ian.
"Nduk kalau mau sarapan, langsung saja ya. Ambil sendiri.""Iya Bulik."
Tini berjalan mendekati Ikhsan, kemudian mengelus rambutnya.
"Le, nggak sarapan dulu?""Bentar Bulik, masih asyik nih," jawab Ikhsan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
Tini langsung mengambil piring dan mengisinya dengan nasi merah, lauk dan sayur. Lalu duduk di sebelah Ikhsan dan mulai menyuapinya. Melihat itu Fafa hanya geleng-geleng.
"Ck, manja," cemooh Fafa. Mendengar itu, Ikhsan langsung menjulurkan lidahnya.
Sementara itu di kamar utama. Ian tersenyum mendengar semua pembicaraan Tini dan Fafa. Ada perasaan sedikit tidak nyaman padanya, saat mendengar Fafa bilang-wih keren. Entahlah, rasa apa itu. Tidak nyaman tapi menyenangkan.
Bagaimana Ian paham perasaan itu apa? Dia baru akhir-akhir ini merasakannya. Apakah sejenis penyakit baru? jelas jawabannya iya. Penyakit yang tanpa Ian sadari sudah mengubah sosok Ian yang jarang dan hampir tidak pernah tersenyum, menjadi sedikit sering tersenyum.
Ian langsung menutup aksesnya, lalu mematikan televisi. Menaruh kembali remote di atas laci. Setelah melihat Rusdi ada di dapur untuk mengambil nampan sarapannya. Ian langsung mengambil ponsel mengirim chat ke Frans, David, dan Reynan.
Tok tok
Pintu terbuka. Rusdi langsung masuk membawa nampan sarapan Ian."Di ranjang saja, Paman!" Rusdi langsung menaruh nampan di atas meja kaca. Mengambil meja kecil dan meletakkannya di depan Ian."Silahkan dinikmati!""Hhmm,"
Rusdi langsung duduk di sofa yang tidak jauh dari ranjang. Memperhatikan Ian yang sedang sarapan, sembari berhitung dalam hati.
SatuDuaTi-"Paman ini rasanya lain dari biasanya,""Bagaimana rasanya?"
"Lebih lezat,"
Nah, benar bukan. Rusdi langsung tersenyum, tanpa menjawabnya. Seperti biasa, selama menunggu Ian menghabiskan sarapannya. Rusdi menyiapkan semua peralatan kerja di atas laci dekat ranjang.
"Sarapan hari ini beda Mas Ian, yang memasak Fafa," ujar Rusdi sembari mengambil nampan di hadapan Ian.
"Oh, benarkah! Apa dia bisa memasak selezat ini menu yang lain?" tanya Ian penasaran.
"Iya, in syaa Allah. Tapi hanya menu masakan daerah saja, setahu Paman itu. Apakah Mas Ian mau dibuatkan masakan yang lain? Selain menu biasanya?" tanya Rusdi.
"Nggak usaha, biasanya aja cukup." Rusdi mengangguk mendengar ucapan Ian.
"Paman sebentar lagi Rey dan yang lain kesini, siapkan biasanya."
"Siap, Mas Ian." Rusdi langsung membawa nampan keluar kamar.
Tanpa merubah posisinya sekarang ini, Ian langsung mengambil dan memangku laptop yang letaknya di atas laci tak jauh dari ranjang. Tab, laptop, ponsel, semua sudah siap untuk dioperasikan seperti biasanya. Akan tetapi Ian masih nyaman dengan lamunannya.
Sedikitpun tidak terbersit dalam benak Ian, akan menikah dengan cara ini. Bahkan dia meyakinkan dirinya sendiri. Tidak akan ada perempuan yang mau menikah dengan laki-laki sepertinya. Jujur, dia masih belum puas dengan jawaban yang diberikan Fafa. Bagaimana gadis itu dengan rela melempar dirinya sendiri hidup dalam ketidaknormalan Ian. Jika bukan karena uang, apakah dia mau! Apalagi Fafa secara fisik sempurna di mata Ian, walaupun wajahnya standard saja-manis dan menyenangkan dipandang.
Ian merencanakan sesuatu. Itu sudah jelas terjadi. Tidak akan semudah itu percaya terhadap apapun yang mendatangi tanpa mengujinya. Jika sudah lolos, lihat saja Ian pasti menghujani dengan berbagai fasilitas. Hal itu berlaku buat siapa saja. Jangan sekali-kali mencoba berkhianat, lenyap taruhannya.
Seperti inilah kehidupan Ian. Badan terkungkung di dalam rumah besarnya, tapi sepak terjang di dunia maya, apalagi dibidang tehnologi tidak perlu diragukan lagi. Ian yang nota bene seorang keturunan lintas benua, ayah keturunan Jerman dan Rusia, sedangkan ibunya keturunan Jepang dan Indonesia. Tentu saja mewarisi bakat yang tidak biasa. Jenius, kata yang biasa melekat padanya. Bahkan tidak sedikit yang melabelinya tehnokrat gila. Bukan tanpa alasan, tapi memang karya yang dihasilkan Ian benar-benar menakjubkan.
Ian sengaja mengundang ketiga sahabatnya: Frans, Reynan, dan David, untuk datang siang ini. Saat seperti sekarang, Ian benar-benar tak ingin melewatkannya sendirian. Apalagi siang ini, Daisy-mamanya Frans, membawa gaun untuk Fafa akad nikah esok pagi.
'Di luar riuh sekali, ada apa?' batinnya. Cukup lama suara orang bicara maupun tawa terbahak terdengar. Namun masih diabaikan saja oleh Ian. Makin lama semakin kencang saja suaranya. Ian sedikit terganggu. Perlahan dia pindah ke atas kursi roda, kemudian mengayuhnya pelan keluar kamar. Ternyata semua berkumpul di ruang tengah.
Ternyata ketiga sahabatnya yang datang. Tapi kenapa tidak langsung masuk ke kamarnya seperti biasa. Reynan yang pertama kali menyadari kehadiran Ian, langsung memberi kode untuk berhenti tertawa.
"Hei, Bro!" ucap Reynan.
"Hhmm, kenapa tidak langsung masuk!" tanya Ian.
"Nih, masih nunggu mami Dai dan mami Jen," jawab David.
"Mami ke sini!" tanya Ian antusias. Frans mengangguk.
"Iya, semua. Anak kesayangannya mau menikah, masak sih nggak ke sini! " ledek Reynan.
"Terus di mana sekarang?" tanya Ian penasaran.
"Sama calon istrimu di kamar, fitting gaun, mungkin sebentar lagi keluar," ujar David. Mendengar hal itu Ian tiba-tiba menegang.
"Oh," respon Ian singkat.
Fafa dan para mami sejak tadi memang fitting gaun di kamar tamu. Daisy, maminya Frans adalah pemilik butik. Ternyata tidak datang sendiri, melainkan mengajak serta, Rita-maminya David, dan Jenny-maminya Reynan. Ian sendiri tidak mengetahui hal itu. Karena memang meminta mereka datang besok pagi.
Fafa dan para mami sudah selesai fitting gaun. Segera saja mengajak Fafa keluar kamar dan bergabung ngobrol di ruang tengah. Ian maupun Fafa sama-sama tidak menyadari jika untuk pertamakalinya mereka akan bertatap muka langsung.
Posisi Ian yang membelakangi pintu kamar tamu, membuatnya tidak mengetahui jika Fafa sudah berdiri tak jauh jarinya. Para mami langsung duduk di sofa dekat dengan putra mereka.
"Bro, sudah bertemu calon istrimu!" tanya Reynan. Ian menggeleng.
"Hah ..., belum!" ucap David tak percaya.
Mami Rita yang lebih dulu menyadari bahwa Fafa tidak ikut duduk di sofa, langsung memanggilnya.
"Fa, duduk sini!" ujarnya.
Reflek Ian menoleh mengikuti arah pandangan mata Mami Rita."Keduanya dalam keadaan baik, hanya sedikit shock. Sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit, Paman," anjur dr. Jessy. "Ada lagi yang bisa kubantu, Paman?"Anav mengibaskan telapak tangannya. Dr. Jessy memahami isyarat itu, dia berpamitan. "Dari dulu, Keluarga Milosevic tak tersentuh," gumamnya.Melalui ekor matanya, pria tua itu mengawasi setiap langkah dr. Jessy. Setelah memastikan dr. Jessy telah menjauh, Pria tua itu mulai mencerca sang anak."Kamu teledor, Lothar." Pria tua yang tak lain adalah Anav Milosevic menahan amarah. Disela-sela kemarahannyaAnav tersenyum menyeringai sangat tipis. Bahkan Lothar tidak menyadarinya.Lothar menunduk. Dia sadar akan kesalahannya. Anaknya hampir saja menodai adik ipar. "Maaf," ujar Lothar lemah.Anav membuang napas kasar. Di usia yang kian renta, kenapa masalah keluarga membuatnya semakin pusing. Dia juga harus bersiap menghada
Dr. Thomas menyerahkan tas berisi ponsel kepada Aldric Dia juga sudah mengatur brankar Aldric naik sedikit hingga seperti bersandar. Aldric mengeluarkan ponsel perlahan dan memasukkan security code. Dr. Thomas dan George geleng-geleng melihat hal itu. Dia sama sekali tidak tampak seperti orang yang baru saja bangun dari tidur panjang selama satu bulan."Pergilah," ucap Aldric dingin. George mengelus tengkuknya, dia merasa ada yang tidak beres tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dr. Thomas dan George berjalan keluar kapsul. Saat dr. Thomas hendak memutar handle pintu, keduanya terhenti karena mendengar suara Aldric, "Andrian. Just Andrian." George dan dr. Thomas mengangguk.Kapsul kembali hening. Andrian langsung mengganti dinding kapsul yang semula transparan menjadi berwarna hitam. Dia langsung membuka Ghost System pada Private Application miliknya. Andrian tersenyum, gurat bahagia dan penuh kerinduan saat menatap lekat layar tab. Bebe
Sander berdecak kesal. Fafa ternyata memakai baju dua lapis. Dia sedikit tidak sabar melepaskan pakaian yang melekat pada tubuh Fafa. Sander langsung merobek gamis tanpa lengan yang Fafa kenakan sebagai dalaman. Dia menatap lekat gadis hamil di hadapannya ini. Untuk sesaat, Sander takjub. Jadi seperti ini bagian yang terbungkus? Sander bersiul, dia tidak menyangka jika saat yang dinantikan telah tiba.Sander menyisir setiap inci tubuh Fafa dengan mata elangnya. Fafa membeku, dia tidak sanggup berkata-kata, pikirannya kosong dan akalnya hilang entah kemana bahkan tubuhnya sudah tidak memberontak seperti tadi. Fafa terhanyut oleh pesona netra biru Sander. Sejurus kemudian, Fafa memekik karena terkejut kala tubuh Sander tiba-tiba menimpanya.***London, InggrisTubuh Andrian bergetar hebat, seolah-olah tersengat aliran beratus volt. Kapsul mendadak riuh oleh suara peralatan dan tim dokter. Dr. Thoma
"Diam!" bentaknya. Suara pria itu membuat Fafa membeku dan berhenti meronta. Apakah dia tidak salah dengar! Dia familiar dengan suara ini. 'Ini seperti suara Kak Sander!' batin Fafa."Jalan!" perintahnya. Fafa perlahan melangkah dengan badan sedikit tegang. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria selain Andrian. Rasa takut mulai menyergap hatinya. Pikiran Fafa bercabang, antara menuruti pria ini ataukah berusaha melepaskan diri. Fafa sadar kondisi hamil muda sangat rawan untuk dia dan calon janinnya. Namun, bagaimana jika pria ini berbuat tidak senonoh. Apakah dia akan diam saja! Pria itu mendorong pelan Fafa menuju kamar Sander dengan sedikit sempoyongan. Fafa juga mencium aroma fruity dari telapak tangan pria yang membekapnya. Letak kamar Sander tidak jauh dari kamar tamu dan bersebelahan dengan ruang kerja Sander. 'Apakah benar ini Kak Sander. Kenapa membawaku ke kamarnya! Kenapa jalan Kak Sander seperti ini,' batin Fafa penuh pertanyaan. Fafa semakin merasa
"Nak ... Fa!" panggil Lothar. Jessy berinisiatif menyentuh lengan Fafa. "Eh ... iya." Fafa terkejut dan memutuskan lamunannya. Dia merasa tidak enak kepada Lothar dan Jessy, setelah melihat piring mereka berdua sudah terisi. "Maaf," ujarnya. "Makan dulu! Setelah itu kita berbincang. Ada hal yang ingin kutanyakan padamu!" Fafa mengangguk. Akhirnya, mereka bertiga makan, sesekali terdengar gurauan dan senyum mengembang dari ketiganya. "Hhmm. Menyenangkan!" gumam Sander. Dia melihat interaksi mereka bertiga dari layar ponsel. Entah apa yang ada dibenaknya sekarang. Dia seolah melihat gambaran keluarga kecil yang bahagia. Lihatlah pria lumpuh itu. Cih! Dia begitu bahagia, apa dia lupa jika gadis hamil itu istri keponakan bukan istri anaknya. Dasar pria tua tak tahu diri. "Sand, ayo!" ajak Becker, setelah kepalanya menyembul sedikit di sela pintu. Sander keluar dari aplikasi CCTV yang ada di ponselnya dan segera memasukkan ke saku cel
George mengembuskan napas kasar. Dia benar-benar dalam posisi sulit. Bagaimanapun kehidupan pribadi Aldric bukan urusannya. Kondisi rumah tangga sahabatnya ini tidak baik-baik saja, terlalu banyak rahasia yang Aldric sembunyikan dari sang istri. Dia harus mempersiapkan jawaban jika istri Aldric menanyakan dan itu adalah kebohongan. 'Aldric apakah ini maumu? Kamu di mana dan istrimu di mana! Kehidupan seperti inikah yang kamu sebut pernikahan!' batin George "Kita tunggu sampai masa trimester pertama lewat. Jika keadaan Aldric tetap belum ada perubahan kita beritahu istrinya," putus George. Rahman dan dr. Thomas menyetujuinya. Sebagai seorang istri, Fathimah adalah pihak yang paling berhak mengetahui keadaan suaminya. Akan tetapi hak itu sudah dicabut oleh suaminya sendiri. "Man, coba tanya istrinya. Dia ingin tetap di Berlin atau kita jemput!" lanjut George. "Yes, Sir." "Dok!" panggil George. Dr. Thomas tidak mengindahkan panggilan itu. Dr. Thomas asyi
"Nggak papa, terima saja. Ayo kuantar ke kamar tamu!" ajak Sander. Fafa menerima paper bag dari Sander dengan tidak enak hati. Keduanya berjalan beriringan menuju ke kamar tamu yang terletak tidak jauh dari ruang keluarga. Lothar mengembuskan napas lega. Untuk malam ini, istri Aldric selamat, tetapi bagaimana dengan malam di hari-hari berikutnya? Lothar memutar otak agar rencana Sander gagal. Dia harus memproteksi istri Aldric mulai malam ini. Setelah mengantar Fafa di kamar tamu, Sander kembali ke ruang keluarga. Dia sekilas melihat ayahnya. Sander harus segera pergi dari mansion, jika tidak maka akan terjadi adu mulut seperti biasanya. "Sand, duduk!" Nah, benar bukan. Pria cacat ini mulai cari gara-gara. Dengan malas, Sander duduk di sofa. "Apa maksudmu!" bentak Lothar "Ayah sudah tau, kenapa bertanya?" "Dia istri adikmu dan se
"Oh, iya. Aku Fathimah, panggil saja Fafa." Sander mengangguk, dia memang harus berakting sekarang. "Karena ini sudah malam. Kita makan malam dulu, baru bicara. Oke!" tawar Sander. Fafa mengangguk. "Apa tidak apa-apa, aku di sini?" "Tidak apa-apa. Nanti kujelaskan alasannya!" jawab Sander. Dia tersenyum tipis di sudut bibirnya. Wajah puas terpampang nyata, bagaikan Singa yang sudah mendapatkan mangsa. 'Istri Aldric benar-benar bodoh,' batinnya. Kedua orang itu makan malam dalam diam, hanya sesekali terdengan denting suara sendok beradu dengan piring. Fafa juga tidak paham kenapa dia tidak merasakan rasa mual berlebihan seperti tadi siang. Dia melirik pada Sander. 'Pria ini memang seperti By, hanya badannya lebih kekar dan manik matanya abu-abu," batin Fafa. Fafa lebih dahulu menyelesaikan makan malamnya. Saat dia hendak mencuci piring, dicegah oleh Sander, "
Rahman hanya mengangkat tangan kanan dan melambaikannya, isyarat dia mengucapkan selamat tinggal. Sony tahu, jika Rahman mulai bergerak dan tugasnya sekarang fokus menginterogasi dr. Chris dan pria di ruangan itu. Dia hendak mengonfrontasi keduanya untuk mendapatkan informasi langsung trrkait keberadaan pemilik The Hunter. ***Berlin, Jerman "Periksa dia Jess!" perintah Sander. Jesslyn adalah sepupu Sander dari pihak ibunya. Perempuan paruh baya yang berprofesi sebagai dokter ini sangat menyayangi Sander. Jesslyn segera mendekati ranjang Dia memandang lekat perempuan muda yang memakai penutup kepala, sedang terlelap di depannya ini. 'Siapa perempuan ini?' batinnya. Jesslyn langsung memeriksa denyut nadi, suhu, dan bagian perutnya, dia lantas tersenyum. Selesai melakukan pemeriksaan Jesslyn segera memasukkan peralatannya ke dalam tas kecil. Sander melalui isyarat kepala mengajak Jesslyn untuk keluar. Setelah mengunci pintu otomatis kamarny