Share

10. Tentang Dia

"Baiklah sekarang bulik akan bercerita sedikit tentang Mas Ian. Mungkin Fafa mau tanya apa?" 

"Bulik cerita saja," jawab Fafa.

"Tuan Muda Aldric Andrian adalah putra tunggal mendiang Tuan Andrinof dan Nyonya Anya. Keluarga Tuan Andrinof mengalami kecelakaan saat Tuan Muda berusia 10 tahun. Tuan dan Nyonya tidak selamat dalam kecelakaan itu, hanya Tuan Muda yang selamat. Maaf, dengan kondisi cacat." Tini diam sejenak, sembari memperhatikan Fafa yang menyimak penjelasan Tini dengan seksama.

"Setelah kecelakaan itu, Tuan Muda- yang biasa dipanggil Tuan Muda Ian. Beliau menolak dipanggil Tuan Muda, dan menyuruh kami semua memanggilnya dengan Mas Ian. Sejak saat itu, Mas Ian sangat berubah sikap dan perilakunya. Paklik dan Bulikmu ini awalnya juga kaget. Akhirnya, kami memaklumi perubahan itu. Sungguh tidak mudah, menjadi yatim piatu di usia 10 tahun. Apalagi kondisinya saat itu kurang baik." Fafa mengangguk membenarkan perkataan Buliknya itu.

"Lalu bagaimana saudara yang lain?" tanya Fafa.

"Ada, tapi semua juga punya kesibukan sendiri, dan rumahnya luar kota semua."

"Jadi, dia hidup sendiri. Eh ..., maksud Fafa itu, tidak ada saudara yang tinggal di sini."

"Iya, Nduk. Makanya Tuan sebelum meninggal menitipkan Mas Ian pada Paklikmu agar terus menemaninya."

'Kasihan sekali,' batinnya. Fafa semakin bersyukur masih diberi kesempatan bersama orangtuanya hingga usia 18 tahun. 

"Bulik, soal pekerjaan itu gimana!" tanya Fafa.

"Oh ..., Bulik lupa. Mas Ian itu ahli buat peralatan canggih kayak di film-film gitu, Fa."

"Wih .... Keren!" seru Fafa.

"Sudah, itu saja ya. Nanti bisa di tanyakan langsung pada Mas Ian. Oiya Fa, nanti siang ada orang dari butik!" 

"Iya, Bulik."

Tini melihat jam di dinding, sudah pukul 07:30 WIB sebentar lagi suaminya pasti datang untuk mengambil nampan sarapan Ian.

"Nduk kalau mau sarapan, langsung saja ya. Ambil sendiri." 

"Iya Bulik." 

Tini berjalan mendekati Ikhsan, kemudian mengelus rambutnya.

"Le, nggak sarapan dulu?"

"Bentar Bulik, masih asyik nih," jawab Ikhsan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

Tini langsung mengambil piring dan mengisinya dengan nasi merah, lauk dan sayur. Lalu duduk di sebelah Ikhsan dan mulai menyuapinya. Melihat itu Fafa hanya geleng-geleng. 

"Ck, manja," cemooh Fafa. Mendengar itu, Ikhsan langsung menjulurkan lidahnya.

Sementara itu di kamar utama. Ian tersenyum mendengar semua pembicaraan Tini dan Fafa. Ada perasaan sedikit tidak nyaman padanya, saat mendengar Fafa bilang-wih keren. Entahlah, rasa apa itu. Tidak nyaman tapi menyenangkan.

Bagaimana Ian paham perasaan itu apa? Dia baru akhir-akhir ini merasakannya. Apakah sejenis penyakit baru? jelas jawabannya iya. Penyakit yang tanpa Ian sadari sudah mengubah sosok Ian yang jarang dan hampir tidak pernah tersenyum, menjadi sedikit sering tersenyum.

Ian langsung menutup aksesnya, lalu mematikan televisi. Menaruh kembali remote di atas laci. Setelah melihat Rusdi ada di dapur untuk mengambil nampan sarapannya. Ian langsung mengambil ponsel mengirim chat ke Frans, David, dan Reynan.

Tok tok

Pintu terbuka. Rusdi langsung masuk  membawa nampan sarapan Ian.

"Di ranjang saja, Paman!" Rusdi langsung menaruh nampan di atas meja kaca. Mengambil meja kecil dan meletakkannya di depan Ian.

"Silahkan dinikmati!"

"Hhmm,"

Rusdi langsung duduk di sofa yang tidak jauh dari ranjang. Memperhatikan Ian yang sedang sarapan, sembari berhitung dalam hati.

Satu

Dua

Ti-

"Paman ini rasanya lain dari biasanya,"

"Bagaimana rasanya?"

"Lebih lezat," 

Nah, benar bukan. Rusdi langsung tersenyum, tanpa menjawabnya. Seperti biasa, selama menunggu Ian menghabiskan sarapannya. Rusdi menyiapkan semua peralatan kerja di atas laci dekat ranjang.

"Sarapan hari ini beda Mas Ian, yang memasak Fafa," ujar Rusdi sembari mengambil nampan di hadapan Ian.

"Oh, benarkah! Apa dia bisa memasak selezat ini menu yang lain?" tanya Ian penasaran.

"Iya, in syaa Allah. Tapi hanya menu masakan daerah saja, setahu Paman itu. Apakah Mas Ian mau dibuatkan masakan yang lain? Selain menu biasanya?" tanya Rusdi.

"Nggak usaha, biasanya aja cukup." Rusdi mengangguk mendengar ucapan Ian.

"Paman sebentar lagi Rey dan yang lain kesini, siapkan biasanya."

"Siap, Mas Ian." Rusdi langsung membawa nampan keluar kamar. 

Tanpa merubah posisinya sekarang ini, Ian langsung mengambil dan memangku laptop yang letaknya di atas laci tak jauh dari ranjang. Tab, laptop, ponsel, semua sudah siap untuk dioperasikan seperti biasanya. Akan tetapi Ian masih nyaman dengan lamunannya. 

Sedikitpun tidak terbersit dalam benak Ian, akan menikah dengan cara ini. Bahkan dia meyakinkan dirinya sendiri. Tidak akan ada perempuan yang mau menikah dengan laki-laki sepertinya. Jujur, dia masih belum puas dengan jawaban yang diberikan Fafa. Bagaimana gadis itu dengan rela melempar dirinya sendiri hidup dalam ketidaknormalan Ian. Jika bukan karena uang, apakah dia mau! Apalagi Fafa secara fisik sempurna di mata Ian, walaupun wajahnya standard saja-manis dan menyenangkan dipandang.

Ian merencanakan sesuatu. Itu sudah jelas terjadi. Tidak akan semudah itu percaya terhadap apapun yang mendatangi tanpa mengujinya. Jika sudah lolos, lihat saja Ian pasti menghujani dengan berbagai fasilitas. Hal itu berlaku buat siapa saja. Jangan sekali-kali mencoba berkhianat, lenyap taruhannya.

Seperti inilah kehidupan Ian. Badan terkungkung di dalam rumah besarnya, tapi sepak terjang di dunia maya, apalagi dibidang tehnologi tidak perlu diragukan lagi. Ian yang nota bene seorang keturunan lintas benua, ayah keturunan Jerman dan Rusia, sedangkan ibunya keturunan Jepang dan Indonesia. Tentu saja mewarisi bakat yang tidak biasa. Jenius, kata yang biasa melekat padanya. Bahkan tidak sedikit yang  melabelinya tehnokrat gila. Bukan tanpa alasan, tapi memang karya yang dihasilkan Ian benar-benar menakjubkan.

Ian sengaja mengundang ketiga sahabatnya: Frans, Reynan, dan David, untuk datang siang ini. Saat seperti sekarang, Ian benar-benar tak ingin melewatkannya sendirian. Apalagi siang ini, Daisy-mamanya Frans, membawa gaun untuk Fafa akad nikah esok pagi.

'Di luar riuh sekali, ada apa?' batinnya. Cukup lama suara orang bicara maupun tawa terbahak terdengar. Namun masih diabaikan saja oleh Ian. Makin lama semakin kencang saja suaranya. Ian sedikit terganggu. Perlahan dia pindah ke atas kursi roda, kemudian mengayuhnya pelan keluar kamar. Ternyata semua berkumpul di ruang tengah. 

Ternyata ketiga sahabatnya yang datang. Tapi kenapa tidak langsung masuk ke kamarnya seperti biasa. Reynan yang pertama kali menyadari kehadiran Ian, langsung memberi kode untuk berhenti tertawa.

"Hei, Bro!" ucap Reynan.

"Hhmm, kenapa tidak langsung masuk!" tanya Ian.

"Nih, masih nunggu mami Dai dan mami Jen," jawab David.

"Mami ke sini!" tanya Ian antusias. Frans mengangguk.

"Iya, semua. Anak kesayangannya mau menikah, masak sih nggak ke sini! " ledek Reynan.

"Terus di mana sekarang?" tanya Ian penasaran.

"Sama calon istrimu di kamar, fitting gaun, mungkin sebentar lagi keluar," ujar David. Mendengar hal itu Ian tiba-tiba menegang. 

"Oh," respon Ian singkat.

Fafa dan para mami sejak tadi memang fitting gaun di kamar tamu. Daisy, maminya Frans adalah pemilik butik. Ternyata tidak datang sendiri, melainkan mengajak serta, Rita-maminya David, dan Jenny-maminya Reynan. Ian sendiri tidak mengetahui hal itu. Karena memang meminta mereka datang besok pagi. 

Fafa dan para mami sudah selesai fitting gaun. Segera saja mengajak Fafa keluar kamar dan bergabung ngobrol di ruang tengah. Ian maupun Fafa sama-sama tidak menyadari jika untuk pertamakalinya mereka akan bertatap muka langsung.

Posisi Ian yang membelakangi pintu kamar tamu, membuatnya tidak mengetahui jika Fafa sudah berdiri tak jauh jarinya. Para mami langsung duduk di sofa dekat dengan putra mereka.

"Bro, sudah bertemu calon istrimu!" tanya Reynan. Ian menggeleng.

"Hah ..., belum!" ucap David tak percaya.

Mami Rita yang lebih dulu menyadari bahwa Fafa tidak ikut duduk di sofa, langsung memanggilnya.

"Fa, duduk sini!" ujarnya.

Reflek Ian menoleh mengikuti arah pandangan mata Mami Rita.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status