Share

9. Mengamatimu

Tampak taman buatan mendiang ibunya. 'Ibu, ayah, Ian akan menikahi perempuan itu. Ian tidak tau, apakah benar atau salah. Ian hanya merasa saat itu harus menikahinya. Ian berharap langkah Ian ini tidak salah. Ian hanya tidak ingin keturunan Andrinof berhenti pada Ian. Ibu, ayah, tolong restui Ian,' kata Ian dalam hati.

Kereta api Gajayana telah sampai di Jakarta. Rusdi segera menghubungi Anto-sesuai perintah Ian kemarin sore. Ternyata, Anto sudah ada di parkiran. Segera saja, ketiganya keluar dari area stasiun. Anto terus memperhatikan Fafa, sembari membantu memasukkan koper ke bagasi mobil. 'Jadi, gadis ini calon istrinya Mas Ian. Tidak kusangka ternyata masih sangat muda,' batin Anto.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Andrian. Jarak tempuh selama 20 menit, karena kondisi jalan yang belum terlalu ramai. Setelah memasuki area kediaman Andrian. Ikhsan berdecak kagum.

"Kak, ini rumah apa istana?" tanya Ikhsan setelah menyenggol kakaknya. Fafa hanya menggeleng tanpa menoleh ke arah Ikhsan.

Fafa sendiri sebenarnya juga gugup. Melihat rumah yang demikian megah. Bolehlah dia katakan sebagai istana. Bagaimana dengan sikap dari pemiliknya? Apakah semenyeramkan wajahnya! Fafa begidik memikirkannya. Rusdi dan Anto melihat ekspresi Fafa dari kaca spion mobil langsung tersenyum geli.

Mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Tini langsung menyambutnya di depan pintu yang telah terbuka lebar.

"Bulik!" seru Fafa langsung memeluk Tini. Sedangkan Ikhsan dengan jalan tertatih mendekati Tini dengan wajah cemberut. Melihat keponakan remajanya seperti itu, Tini langsung melepaskan pelukannya. Fafa yang paham kode dari Tini, langsung menoleh melihat belakangnya. Tawa langsung pecah.

"Iya-iya Dik, situ peluk Bulik kesayanganmu!" goda Fafa.

Tini langsung memeluk Ikhsan.

"Bulik, San kangen," ujarnya.

Ikhsan merasakan Tini menepuk pelan punggungnya.

"Iya, Le. Bulik ya kangen. Bagaimana kakimu? Ayo masuk dulu."

"Alhamdulillah, baikan Bulik."

Ketiganya langsung masuk. Sesuai perintah Andrian, Fafa dan Ikhsan menempati kamar tamu. Koper Fafa dan Ikhsan sudah ada di depan kamar masing-masing.

"Le, ini kamarmu!" ujar Tini sembari mendorong pintu kamar tamu.

"Dan Fafa, kamarmu itu!" ujar Tini menunjuk kamar yang di depan pintu ada koper miliknya. Fafa mengangguk.

"Dik, jangan manja ke Bulik. Nggak malu apa? Sudah mau lulus SMA, sikapnya kayak gitu?" ujar Fafa yang langsung meninggalkan Ikhsan dan Tini. Fafa sudah hapal jika Tini dan Ikhsan ketemu, sejak kecil memang dia lebih manja kepada buliknya daripada ibunya.

"Heleh, Kak Fa ngiri." Tini langsung menggiring Ikhsan masuk ke kamarnya.

Fafa mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar. Kamar yang luas untuk ukuran kamar tamu. Minimalis dan terlihat modern. Bahkan fasilitasnya seperti di hotel. Sangat berbeda dengan bentuk rumah ini dari luar. Fafa segera membersihkan diri dan melaksanakan sholat subuh.

Semua interaksi tadi tidak lepas dari pengawasan seseorang. Dia adalah pemilik rumah ini-Ian. Sejak membaca chat dari Rusdi yang mengatakan sudah sampai di Stasiun Gambir. Ian langsung menyalakan tab-nya, memantau setiap pergerakan, mulai naik ke mobil hingga turun di depan pintu. Setelah itu mengubahnya menjadi mode CCTV . Dia terus mengamati setiap interaksi dan ekspresi yang ditunjukkan oleh Fafa. Tampak ekspresi kecewa Ian setelah melihat Fafa memasuki kamar tamu. Ian masih terus mengepulkan asap rokoknya, hingga habis beberapa batang.

Tok tok

Bunyi ketokan pintu membuyarkan lamunannya. Tanpa tahu jam berapa sekarang pun, Ian sudah paham saat ini sudah pukul 06:00 WIB. Ian segera mematikan akses CCTV dari tab-nya. Pintu kamar telah terbuka lebar.

"Assalamu'alaykum, Mas Ian," sapa Rusdi.

"Hhmm,"

Rusdi langsung membuka lebar semua jendela, membiarkan udara segar masuk. Kamar ini terlalu panas, penuh asap rokok Ian. Dilihatnya ranjang masih rapi, berarti semalaman Ian tidak tidur di ranjang. 'Kenapa jadi begini keadaannya, padahal baru dua hari ditinggalkan menjemput Fafa. Apakah ada yang mengganggu pikirannya?' batinnya.

Rusdi langsung membersihkan kamar Ian, mengepel, mengganti sprei, membuang putung rokok yang berserakan diatas meja kaca, dan beberapa gelas bekas kopi hitam Ian.

"Mas Ian, mau sekarang apa nanti?" tanya Rusdi.

"Sekarang saja Paman. Aku malas mandi!" Rusdi sudah paham, langsung menyiapkan popok, celana pendek dan kaos lengan pendek. Mendekati Ian dan langsung membantunya pindah ke ranjang. Seperti biasanya, langsung mengelap seluruh badan Ian dengan air hangat, mengganti popok, kaos, dan celana pendek yang dikenakannya dengan yang bersih.

"Apakah masih diare, Mas?"

"Enggak, sedikit lemas saja,"

"Kalau nyerinya bagaimana?"

"Sedikit, sudah enakan." Rusdi mengangguk.

Finish. Ian langsung bersandar di kepala ranjang. Rusdi menyerahkan parfume kepada Ian. Bayi besar sudah segar dan wangi.

Segera Rusdi menaruh keranjang semua pakaian kotor Ian. Saat Rusdi hendak beranjak ke dapur untuk mengambilkan sarapan, langsung terhenti karena pertanyaan Ian.

"Bagaimana dia? Apakah masih tetap mau menikah denganku?" tanya Ian.

Rusdi mengangguk, "Iya, Mas Ian."

Ian langsung mendesah lega.

"Apakah pagi ini Mas Ian mau bertemu Fafa?" tanya Rusdi.

"Tidak, besok saat nikah saja!" jawab Ian tegas.

"Baiklah Mas Ian, paman undur diri dahulu untuk menyiapkan sarapan."

"Hhmm."

Setelah memastikan Rusdi keluar kamar dan menutup pintunya. Ian langsung mengambil remote dan menyalakan televisi. Bukan untuk melihat acara di televisi, tapi untuk melihat aktifitas Fafa dari jauh.

'Kenapa aku harus begini! Stalker di rumahku sendiri! Ck, tidak masuk akal, aku bahkan hanya bicara sekali padanya, tapi apa-apaan ini!' batin Ian.

Di rumah ini setiap sudut sudah Ian pasang CCTV. Untuk area terbatas, seperti dalam kamar adalah pengecualiannya. Bukan Ian namanya, jika tidak memastikan setiap jengkal miliknya dia awasi. Hanya beda mode saja, jika area umum Ian menggunakan CCTV, untuk area terbatas Ian menggunakan aplikasi buatannya sendiri.

Ian terus melihat beberapa sudut rumah. 'Apa dia tidak keluar kamar?' batinnya. Ketika menekan tombol yang menunjukkan area dapur tiba-tiba Ian tersenyum. 'Ah, ternyata dia memasak. Hhmm, jadi ingin tahu hidangan apa yang dibuatnya, tapi aku tidak akan semurahan itu. Bertanya? Tidak! Aku harus memastikan dahulu, apakah dia seperti yang dikatakan Paman,' Ian terus bermonolog. Sungguh, hingga detik ini Ian benar-benar tidak menyadari. Bahwa sejak mengatakan akan menikahi Fafa, dirinya sangat sering tersenyum, ralat tertawa.

Jika Ian asyik dengan peran barunya sebagai stalker di rumahnya sendiri. Hal berbeda justru dirasakan Fafa. Untuk mengurai rasa groginya, Fafa membantu Tini memasak di dapur. Siapa juga yang tidak grogi? Belum pernah bertemu calon suami, hanya melihat melalui foto dan mendengar suara beratnya. Sedangkan Ikhsan, duduk dan asyik bermain game di kursi yang tak jauh darinya.

"Bulik, apa memang makannya dia hanya segini?" tanya Fafa penasaran. Menu sarapan yang sangat sederhana, nasi merah hanya lima sendok makan, ayam bakar madu tanpa tulang, sayur yang dikukus.

"Iya, Mas Ian tidak banyak porsi makannya. Apalagi kalau sudah mulai nge-lab, banyak merokok dan minum kopi hitam, semakin sedikit lagi porsinya," papar Tini.

Fafa mengangguk. Ternyata calon suaminya ini seorang perokok berat.

"Nge-lab?" ulang Fafa dengan mengernyitkan dahinya.

"Iya. Apa Paklikmu tidak memberitahu jika Mas Ian itu pekerjaannya membuat peralatan canggih?" tanya Tini. Fafa menggeleng.

Setelah Tini menyelesaikan tugasnya, menata sarapan Ian di atas nampan. Dia langsung menggandeng Fafa dan mengajaknya duduk di kursi dekat Ikhsan.

"Baiklah sekarang bulik akan bercerita sedikit tentang Mas Ian. Mungkin Fafa mau tanya apa?"

"Bulik cerita saja," jawab Fafa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status