Tampak taman buatan mendiang ibunya. 'Ibu, ayah, Ian akan menikahi perempuan itu. Ian tidak tau, apakah benar atau salah. Ian hanya merasa saat itu harus menikahinya. Ian berharap langkah Ian ini tidak salah. Ian hanya tidak ingin keturunan Andrinof berhenti pada Ian. Ibu, ayah, tolong restui Ian,' kata Ian dalam hati.
Kereta api Gajayana telah sampai di Jakarta. Rusdi segera menghubungi Anto-sesuai perintah Ian kemarin sore. Ternyata, Anto sudah ada di parkiran. Segera saja, ketiganya keluar dari area stasiun. Anto terus memperhatikan Fafa, sembari membantu memasukkan koper ke bagasi mobil. 'Jadi, gadis ini calon istrinya Mas Ian. Tidak kusangka ternyata masih sangat muda,' batin Anto.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Andrian. Jarak tempuh selama 20 menit, karena kondisi jalan yang belum terlalu ramai. Setelah memasuki area kediaman Andrian. Ikhsan berdecak kagum.
"Kak, ini rumah apa istana?" tanya Ikhsan setelah menyenggol kakaknya. Fafa hanya menggeleng tanpa menoleh ke arah Ikhsan.
Fafa sendiri sebenarnya juga gugup. Melihat rumah yang demikian megah. Bolehlah dia katakan sebagai istana. Bagaimana dengan sikap dari pemiliknya? Apakah semenyeramkan wajahnya! Fafa begidik memikirkannya. Rusdi dan Anto melihat ekspresi Fafa dari kaca spion mobil langsung tersenyum geli.
Mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Tini langsung menyambutnya di depan pintu yang telah terbuka lebar.
"Bulik!" seru Fafa langsung memeluk Tini. Sedangkan Ikhsan dengan jalan tertatih mendekati Tini dengan wajah cemberut. Melihat keponakan remajanya seperti itu, Tini langsung melepaskan pelukannya. Fafa yang paham kode dari Tini, langsung menoleh melihat belakangnya. Tawa langsung pecah.
"Iya-iya Dik, situ peluk Bulik kesayanganmu!" goda Fafa.
Tini langsung memeluk Ikhsan.
"Bulik, San kangen," ujarnya.Ikhsan merasakan Tini menepuk pelan punggungnya.
"Iya, Le. Bulik ya kangen. Bagaimana kakimu? Ayo masuk dulu."
"Alhamdulillah, baikan Bulik."
Ketiganya langsung masuk. Sesuai perintah Andrian, Fafa dan Ikhsan menempati kamar tamu. Koper Fafa dan Ikhsan sudah ada di depan kamar masing-masing.
"Le, ini kamarmu!" ujar Tini sembari mendorong pintu kamar tamu.
"Dan Fafa, kamarmu itu!" ujar Tini menunjuk kamar yang di depan pintu ada koper miliknya. Fafa mengangguk.
"Dik, jangan manja ke Bulik. Nggak malu apa? Sudah mau lulus SMA, sikapnya kayak gitu?" ujar Fafa yang langsung meninggalkan Ikhsan dan Tini. Fafa sudah hapal jika Tini dan Ikhsan ketemu, sejak kecil memang dia lebih manja kepada buliknya daripada ibunya.
"Heleh, Kak Fa ngiri." Tini langsung menggiring Ikhsan masuk ke kamarnya.
Fafa mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar. Kamar yang luas untuk ukuran kamar tamu. Minimalis dan terlihat modern. Bahkan fasilitasnya seperti di hotel. Sangat berbeda dengan bentuk rumah ini dari luar. Fafa segera membersihkan diri dan melaksanakan sholat subuh.
Semua interaksi tadi tidak lepas dari pengawasan seseorang. Dia adalah pemilik rumah ini-Ian. Sejak membaca chat dari Rusdi yang mengatakan sudah sampai di Stasiun Gambir. Ian langsung menyalakan tab-nya, memantau setiap pergerakan, mulai naik ke mobil hingga turun di depan pintu. Setelah itu mengubahnya menjadi mode CCTV . Dia terus mengamati setiap interaksi dan ekspresi yang ditunjukkan oleh Fafa. Tampak ekspresi kecewa Ian setelah melihat Fafa memasuki kamar tamu. Ian masih terus mengepulkan asap rokoknya, hingga habis beberapa batang.
Tok tok
Bunyi ketokan pintu membuyarkan lamunannya. Tanpa tahu jam berapa sekarang pun, Ian sudah paham saat ini sudah pukul 06:00 WIB. Ian segera mematikan akses CCTV dari tab-nya. Pintu kamar telah terbuka lebar."Assalamu'alaykum, Mas Ian," sapa Rusdi.
"Hhmm,"
Rusdi langsung membuka lebar semua jendela, membiarkan udara segar masuk. Kamar ini terlalu panas, penuh asap rokok Ian. Dilihatnya ranjang masih rapi, berarti semalaman Ian tidak tidur di ranjang. 'Kenapa jadi begini keadaannya, padahal baru dua hari ditinggalkan menjemput Fafa. Apakah ada yang mengganggu pikirannya?' batinnya.
Rusdi langsung membersihkan kamar Ian, mengepel, mengganti sprei, membuang putung rokok yang berserakan diatas meja kaca, dan beberapa gelas bekas kopi hitam Ian.
"Mas Ian, mau sekarang apa nanti?" tanya Rusdi.
"Sekarang saja Paman. Aku malas mandi!" Rusdi sudah paham, langsung menyiapkan popok, celana pendek dan kaos lengan pendek. Mendekati Ian dan langsung membantunya pindah ke ranjang. Seperti biasanya, langsung mengelap seluruh badan Ian dengan air hangat, mengganti popok, kaos, dan celana pendek yang dikenakannya dengan yang bersih.
"Apakah masih diare, Mas?"
"Enggak, sedikit lemas saja,"
"Kalau nyerinya bagaimana?"
"Sedikit, sudah enakan." Rusdi mengangguk.
Finish. Ian langsung bersandar di kepala ranjang. Rusdi menyerahkan parfume kepada Ian. Bayi besar sudah segar dan wangi.
Segera Rusdi menaruh keranjang semua pakaian kotor Ian. Saat Rusdi hendak beranjak ke dapur untuk mengambilkan sarapan, langsung terhenti karena pertanyaan Ian.
"Bagaimana dia? Apakah masih tetap mau menikah denganku?" tanya Ian.
Rusdi mengangguk, "Iya, Mas Ian."
Ian langsung mendesah lega."Apakah pagi ini Mas Ian mau bertemu Fafa?" tanya Rusdi.
"Tidak, besok saat nikah saja!" jawab Ian tegas.
"Baiklah Mas Ian, paman undur diri dahulu untuk menyiapkan sarapan."
"Hhmm."
Setelah memastikan Rusdi keluar kamar dan menutup pintunya. Ian langsung mengambil remote dan menyalakan televisi. Bukan untuk melihat acara di televisi, tapi untuk melihat aktifitas Fafa dari jauh.
'Kenapa aku harus begini! Stalker di rumahku sendiri! Ck, tidak masuk akal, aku bahkan hanya bicara sekali padanya, tapi apa-apaan ini!' batin Ian.
Di rumah ini setiap sudut sudah Ian pasang CCTV. Untuk area terbatas, seperti dalam kamar adalah pengecualiannya. Bukan Ian namanya, jika tidak memastikan setiap jengkal miliknya dia awasi. Hanya beda mode saja, jika area umum Ian menggunakan CCTV, untuk area terbatas Ian menggunakan aplikasi buatannya sendiri.
Ian terus melihat beberapa sudut rumah. 'Apa dia tidak keluar kamar?' batinnya. Ketika menekan tombol yang menunjukkan area dapur tiba-tiba Ian tersenyum. 'Ah, ternyata dia memasak. Hhmm, jadi ingin tahu hidangan apa yang dibuatnya, tapi aku tidak akan semurahan itu. Bertanya? Tidak! Aku harus memastikan dahulu, apakah dia seperti yang dikatakan Paman,' Ian terus bermonolog. Sungguh, hingga detik ini Ian benar-benar tidak menyadari. Bahwa sejak mengatakan akan menikahi Fafa, dirinya sangat sering tersenyum, ralat tertawa.
Jika Ian asyik dengan peran barunya sebagai stalker di rumahnya sendiri. Hal berbeda justru dirasakan Fafa. Untuk mengurai rasa groginya, Fafa membantu Tini memasak di dapur. Siapa juga yang tidak grogi? Belum pernah bertemu calon suami, hanya melihat melalui foto dan mendengar suara beratnya. Sedangkan Ikhsan, duduk dan asyik bermain game di kursi yang tak jauh darinya.
"Bulik, apa memang makannya dia hanya segini?" tanya Fafa penasaran. Menu sarapan yang sangat sederhana, nasi merah hanya lima sendok makan, ayam bakar madu tanpa tulang, sayur yang dikukus.
"Iya, Mas Ian tidak banyak porsi makannya. Apalagi kalau sudah mulai nge-lab, banyak merokok dan minum kopi hitam, semakin sedikit lagi porsinya," papar Tini.Fafa mengangguk. Ternyata calon suaminya ini seorang perokok berat."Nge-lab?" ulang Fafa dengan mengernyitkan dahinya.
"Iya. Apa Paklikmu tidak memberitahu jika Mas Ian itu pekerjaannya membuat peralatan canggih?" tanya Tini. Fafa menggeleng.
Setelah Tini menyelesaikan tugasnya, menata sarapan Ian di atas nampan. Dia langsung menggandeng Fafa dan mengajaknya duduk di kursi dekat Ikhsan.
"Baiklah sekarang bulik akan bercerita sedikit tentang Mas Ian. Mungkin Fafa mau tanya apa?"
"Bulik cerita saja," jawab Fafa.
"Baiklah sekarang bulik akan bercerita sedikit tentang Mas Ian. Mungkin Fafa mau tanya apa?""Bulik cerita saja," jawab Fafa."Tuan Muda Aldric Andrian adalah putra tunggal mendiang Tuan Andrinof dan Nyonya Anya. Keluarga Tuan Andrinof mengalami kecelakaan saat Tuan Muda berusia 10 tahun. Tuan dan Nyonya tidak selamat dalam kecelakaan itu, hanya Tuan Muda yang selamat. Maaf, dengan kondisi cacat." Tini diam sejenak, sembari memperhatikan Fafa yang menyimak penjelasan Tini dengan seksama."Setelah kecelakaan itu, Tuan Muda- yang biasa dipanggil Tuan Muda Ian. Beliau menolak dipanggil Tuan Muda, dan menyuruh kami semua memanggilnya dengan Mas Ian. Sejak saat itu, Mas Ian sangat berubah sikap dan perilakunya. Paklik dan Bulikmu ini awalnya juga kaget. Akhirnya, kami memaklumi perubahan itu. Sungguh tidak mudah, menjadi yatim piatu di usia 10 tahun. Apalagi kondisinya saat itu kurang baik." Fafa mengangguk membenarkan perkataan Buliknya itu."Lalu bagaimana sa
Mami Rita yang lebih dulu menyadari bahwa Fafa tidak ikut duduk di sofa, langsung memanggilnya."Fa, duduk sini!" ujarnya.Reflek Ian menoleh mengikuti arah pandangan mata Mami Rita.Dua pasang mata sama-sama menjatuhkan pandangan. Terkunci untuk beberapa saat. Seketika ruang tengah hening. Ian menatap intens Fafa. Mendapatkan tatapan seperti ini, seketika Fafa beku, seolah-olah terpaku di tempat berdirinya sekarang.'Jadi, ini yang namanya Mas Ian. Benarkah dia calon suamiku?' batin Fafa. Sedangkan Ian sendiri merasa takjub dengan pemandangan di depannya. 'Benarkah dia calon istriku,' batin Ian.Deg degDetak jantung Ian berkerja lebih cepat dari biasanya. Apakah dia sekarang benar-benar terkena serangan jantung? Dadanya serasa mau meledak dan napasnya sesak, sangat tidak baik jika terus seperti ini. Ingatkan Ian untuk segera memanggil dokter Thomas setelah ini. Fafa, jangan ditanyakan lagi. Saat ini benar-benar pikirannya tidak menentu. Sungguh,
Dai langsung berdiri mengajak Fafa masuk ke rumah utama. Saat Fafa akan masuk ke dalam rumah, langkahnya langsung terhenti.Fafa gugup, seolah kakinya enggan diperintah melangkah. Masih terpaku di depan pintu. Dilihatnya Ian juga menuju ke meja makan. Merasa diperhatikan Ian lantas menghentikan laju otomatis kursi rodanya. Sedangkan yang lain langsung menuju meja makan. Fafa tetap terpaku di tempatnya. Perlahan Ian mendekati Fafa."Masuk!" perintah Ian.Tanpa menjawabnya, Fafa langsung berjalan dibelakang Ian.HuffFafa menghembuskan napas lega. Berada di dekat Ian, seakan mencekiknya. Bagaimana jika sudah menikah?BruggFafa menabrak kursi roda Ian yang berhenti mendadak."Maaf," cicit Fafa."Hhmm," Ian hanya berdehem.Keduanya telah sampai di meja makan. Ian tersenyum tipis, hatinya menghangat. Setelah 20 tahun, baru terjadi sekali ini. Rumah besar yang biasanya selalu sepi dan hari ini b
Aagghh"Apa-apaan ini! Fafa adalah milikku!" gumam Ian sembari terus menatap tab-nya, aktifitas berakhir saat Tini dan Rusdi membereskan meja makan.Ian langsung menutup aplikasi CCTV, kemudian membuka aplikasi privat miliknya. Sungguh, melihat pemandangan itu, dirinya langsung terdiam membeku.Dia melihat Fafa tidur meringkuk. Sebenarnya bukan itu yang membuat Ian membeku. Rambut panjang sepinggang Fafa yang terurailah penyebabnya. "Cantik," gumam Ian pelan.Dia seolah lupa jika tadi siang sudah membuat gadis itu terluka. Ian terus memperhatikan Fafa dalam diam. Ternyata gadis itu sama dengannya, memiliki rambut lurus dan panjang sepinggang. Tanpa sadar Ian tersenyum dan mengusap layar tab-nya. "Gadis itu, pulas sekali tidurnya," gumamnya pelan.Ian langsung menutup aplikasi privat miliknya. Sebelum pikirannya melayang kemana-mana. Bagaimanapun tampilan Fafa yang sedang tidur sangat menggoda untuk dilewatkan. Ian l
Tamu undangan tidak banyak, hanya 12 orang. Ian hanya mengundang adik dari mending ayahnya, keluarga sahabat, dan dokter Thomas. Ian langsung menuju meja-dimana akad akan dilangsungkan. Setelah pengecekan kembali beberapa dokumen, akhirnya acara segera dimulai.Waktu sudah menunjukkan pukul 09:00 WIB. Inilah saatnya prosesi akad nikah. Terdengar suara dari pembawa acara, untuk segera bersiap karena acara segera dimulai. Adapun urutan prosesinya adalah1. Sambutan2. Pembacaan ayat Alquran3. Khutbah pernikahan4. Akad nikah5. DoaRasanya waktu lambat berjalan. Ian begitu tegang, berdebar, dan sedikit panas dingin. Walaupun pernikahan ini bukan pernikahan karena cinta, tetap saja aura syahdu dan khidmat sekaligus.Tak berbeda jauh dari Ian, Fafa yang berada di kamar tamu juga merasakan demikian. Dia hanya bisa melantunkan doa di dalam hati, untuk mengurai kegugupannya. Meminta pada-Nya agar diberi kekuatan dan kesabar
Ian memperlakukan Fafa demikian bukanlah tanpa alasan.Fafa tidak menyadari, jika interaksi dirinya dan Ian sejak tadi terus diawasi oleh sepasang mata. Beda dengan Ian, dia sudah mengetahuinya sejak semua tamu undangan menuju ruang tengah.Ian tersenyum menanggapinya. Tatapan sepasang mata terluka. Katakanlah dia kejam, tapi memang itulah yang harus lakukan. Dia tidak suka jika Frans semakin menginginkan istrinya.Awalnya, semua pasti sudah memperkirakan bagaimana sikap Ian memperlakukan Fafa setelah menikah. Hal itu adalah wajar, seumur hidup Ian tidak pernah berdekatan dengan perempuan manapun, kecuali mami sahabatnya.Anggapan itu tidaklah benar. Ian sudah banyak merenung semalam. Mulai detik akad nikah dia ucapkan, sejak itulah dia berjanji akan memperlakukan Fafa seutuhnya sebagai istri. Secara materi, Fafa pasti mendapatkannya.Rumah tangga tidah hanya soal materi, tapi juga kesenangan. Ian sadar, janjinya tidaklah mudah u
"Tidur denganku!" perintah Ian.Fafa langsung membeku ditempat. Dia gugup."A-aku ...," Fafa tidak sanggup berkata-kata lagi. Suaranya tercekat di tenggorokan."Aku apa!" sahut Ian."Aku hanya mau duduk di sini, bukan mau tidur," jawab Fafa sembari menunjuk ke arah ranjang dengan ekspresi sedikit ngeri melihat wajah Ian.Demi apapun, Ian sekarang malu. Bagaimana dia bisa berfikir kalau Fafa akan tidur. Sekarang ini masih siang, tengah hari saja belum! 'Ian otakmu jeniusmu di mana sekarang ini! Memalukan!' batin Ian.Diam-diam Fafa tersenyum tipis melihat Ian meringis. 'Kenapa dia! Ada-ada saja, mau tidur katanya! Apa memang dia ingin segera meniduriku!' batin Fafa, lalu mengusap-usap lengannya yang tiba-tiba merinding."Huh, kenapa merinding begini. Bukankah sekarang dia sudah sah menjadi suamiku! Wajar jika tidur bersama, tapi juga tidak siang-siang begini!" gumam Fafa pelan
Melihat kelakuan adik Fafa dari kaca spion, membuat Ian tersenyum geli.'Dasar bocah?" gumam Ian.Ikhsan tertawa lebar. Dia senang, tidak sia-sia tugas robotik di bawa serta ke Jakarta. Ternyata, kakak ipar bersedia membantu mengerjakan."Kenapa bocah itu? Tertawa nggak jelas!" rutuk Ian."Dia terlalu senang, Mas Ian bersedia membantu mengerjakan tugas robotik. Katanya sudah satu bulan ini, belum berhasil.""Hhmm."Ian menuju kamar tamu. Tanpa mengetuk pintu, langsung masuk. Dia melihat Fafa masih tidur. Perlahan Ian mendekat, mengagumi Fafa. Ian takjub, bagaimana bisa gadis secantik ini dengan mudah mengiyakan syarat yang dia ajukan. Ian geleng-geleng. Sejak kapan dia begitu mudah menerima kehadiran orang tidak dia kenal.Ian melirik jam tangan, pukul 16:00 WIB. Sudah satu jam dia masih duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Memperhatikan Fafa tidur, akan dia masukkan daftar aktifitas favorit hariannya."Bangun!"Ian me