"Paklik, By ...!" seru Fafa.
Rusdi setengah berlari mengambil tas kecil di dalam nakas. Dia segera mengambil alat injeksi yang sudah terisi obat penenang dan langsung mengarahkan di lengan Ian. Fafa terus memeluk tubuh Ian dan terus mengelus punggungnya. Fafa merasakan tremor badan Ian perlahan menghilang hingga tubuh Ian total lunglai. Fafa di bantu Rusdi segera membaringkan tubuh Ian.
"Sudah, Nduk. Mas Ian sudah tenang."
"Apa sering seperti ini, Paklik?" tanya Fafa.
"Sudah tidak pernah beberapa tahun terakhir ini. Entah kenapa sekarang seperti ini lagi."
Fafa terus berada di samping Ian. Dia memandang lekat suaminya. Apa yang membuat Mas Ian seperti ini.
"Nduk, paklik keluar dulu ya," ujar Rusdi.
"Iya makasih Paklik."
Fafa segera merebahkan diri di samping Ian, lalu menggeser tubuhnya merapat dan menghadap ke tubuh Ian yang tidur dalam posisi terlentang. "Sebenarnya apa yang terjadi padamu, By. Penderitaan seperti apa yan
Pintu perlahan terbuka. Seorang perempuan langsung menerobos masuk. "Rusdi .... Mana bocah nakal itu, hah!" seru perempuan itu. Rusdi terkejut. "Nyonya Hi-Hinata!" ujar Rusdi. "Iya, mana keponakanku itu?" tanyanya. "Maaf, Nyonya Nata sekarang ini Tuan Muda sedang kurang sehat," jawab Rusdi. Ian memejamkan mata, kala mendengar suara perempuan masuk. Dia bersiap untuk menerima amarah dari Nata. Perempuan itu adalah Hinata. Dia adik satu-satunya mendiang Anya. Saat pernikahan Ian, dia batal datang karena bandara Tokyo di tutup ada badai. "Heh, Ric. Mana istrimu!" teriak Nata-Andrian biasa dia panggil Ric. "Bi, sudahlah. Dia ada di dapur, jangan marahi aku sekarang." Nata memperhatikan seksama keponakannya ini. Wajah lelah Andrian tidak dipungkiri membuatnya sedikit takut. Andrian adalah satu-satunya kerabatnya. Tiba-tiba rasa takut kehilangan menyeruak di hati Nata. Dia perlahan mendekati Andrian dengan eks
"Please ...!" pinta Fafa. Melihat Ian tertawa, entah kenapa tiba-tiba Fafa menjadi sangat jengkel. Saat hendak turun dari pangkuan Ian, lengan Fafa di cengkram kuat."Siapa yang memberimu ijin turun!" tegas Ian. Dia langsung menjatuhkan Fafa di sampingnya."Jangan pergi dulu, di sini saja. Pagi ini, mungkin saja pelukan kita yang terakhir," ucap Ian pelan sembari menempelkan puncak hidungnya ke pipi Fafa. Entah kenapa perasaan Fafa menjadi tidak enak mendengar ucapan Ian."By," panggil Fafa. Ian memalingkan wajahnya.Fafa langsung naik dan duduk di atas badan Ian. Entahlah, dia dapat keberanian dari mana. Saat ini yang terpenting adalah Ian harus memberi penjelasan atas ucapannya tadi. Ian terkejut saat Fafa naik ke atas tubuhnya. Dia secepat mungkin menormalkan ekspresi wajah terkejutnya. Fafa langsung menangkup rahang Ian dengan kedua telapak tangannya."By, lihat sini!" pinta Fafa. Ian mengabaikan, dia malah memejamkan mata. Fafa yan
"Batang punggung bawahku nyeri, belum lagi tulang ekorku. Ra-," adu Ian. Dia tidak habis pikir kenapa rasa nyeri ini kian menjalar ke mana-mana."Benarkah?" tanya Fafa tak percaya dan memotong ucapan Ian. Fafa langsung meletakkan piring di atas nakas. Dia teringat jika Ian lumpuh mulai pinggang ke bawah. 'Harusnya dia tidak merasakan nyeri, tapi kenapa sekarang merasa nyeri?' batinnya. Fafa langsung memeluk Ian dan mengelus punggungnya."Mana yang sakit? Apa di sini?" tanya Fafa mengelus punggung bawah Ian hingga daerah pantat. Bagaimana? Apa masih nyeri?" tanya Fafa. "Iya, sekarang sedikit nyaman," jawab Ian pelan saat merasakan elusan telapak tangan Fafa. Ian belum menyadari jika yang dielus Fafa adalah bagian punggung paling bawah hampir tulang ekor."Bukankah ini tulang ekor?" tanya Fafa dengan menekan lembut. "I-, hah!" Ian terkejut, lalu melepaskan pelukan dan menatap tak percaya kepada Fafa. Seketika Fafa tersenyum dan mengangguk, Ian tersenta
"Nyonya Aldric Andrian!" seru Ian penuh penekanan."Ba-baik By, jangan marah. Ini Fafa terima. Terima kasih," jawab Fafa gugup. Andrian tampak puas dengan sikap Fafa.Tak lama kemudian terdengar daun pintu di ketuk. Fafa langsung duduk di samping Andrian. Setelah pintu kamar terbuka otomatis, Rusdi dan Ikhsan masuk disertai mengucap salam. Keduanya menuju ke samping ranjang Andrian."Kak, San balik Kediri dulu," pamit Ikhsan sembari mengecup punggung telapak tangan Andrian."Hhmm, jaga istriku!" perintah Andrian."Siap Kak, in syaa Allah.""Mas Ian, paman berangkat dulu.""Hhmm."Keduanya langsung keluar kamar. Sekarang tinggallah Andrian dan Fafa."Berangkat sekarang, hhmm.""Iya, By." Fafa langsung menubruk Andrian. Andrian mengelus rambut panjang Fafa."Sana pake kerudungmu!" perintah
David mendekati Frans, kemudian menepuk bahu sahabatnya itu. "Nasib cinta lu, udah ...," ucap David menggantung. Dia merasakan bahu kanan di pukul. "Mami Dai!" seru David kaget. Dia tidak menyangka jika Daisy mendengar ucapannya tadi. Daisy setelah mendengarkan ucapan Fafa tadi berniat mendekati dan menenangkan Frans, akan tetapi dia mendengar David yang mulai berbicara soal Fafa. Daisy refleks memukul bahu David agar menghentikan ucapannya. David langsung menjauh dan memberikan ruang untuk Daisy menenangkan Frans. David kejam, memang benar itu. Dia hanya tidak ingin Frans masih mengharapkan Fafa. Dia tidak sedang membela siapa-siapa, Frans dan Ian adalah sahabatnya. Dia dan Reynan sangat paham sampai sekarang Frans masih menginginkan Fafa, walaupun di mulutnya Frans akan menghapus rasa suka. 'Rumit. Itulah kenapa aku tidak mau melibatkan diri dengan perempuan, menyusahkan saja,' bati
"Tidak. Aku tidak mau terlibat kesepakatan gila kalian." Pria paruh baya itu mengepalkan telapak tangan dan rahangnya menegang. Dia marah, bahkan sangat marah. Bagaimana bisa anak semata wayangnya ini menolak. Laki-laki paruh baya itu adalah Victor Timofey-ayah dari Mike. Victor memaksa Mike agar membawa istri Andrian pergi. Dengan kata lain menculiknya. "Apa katamu anak sialan!" teriak Victor terus melayangkan pukulan demi pukulan ke tubuh Mike. Apa yang dilakukan Mike? Dia membiarkan saja, seperti biasa berakhir di rumah sakit dan menginap beberapa hari. Victor merasa sangat lelah, akhirnya terduduk di samping tubuh Mike yang sudah babak belur. Sejurus kemudian tubuhnya bergetar, dia menangis. Setelah tangisnya mereda, dia tertawa terbahak. "Jika kamu menolak maka aku sendiri yang akan melakukannya!" ujar Victor sembari berjalan sempoyongan keluar mansion.
"Hah, tidak apa-apa. Bukannya kalau tidur itu ...," ucapan Fafa terputus karena diserobot Ian. "Bukannya apa? Sayang tidur di atasku begitu?" goda Ian dengan kerlingan mata nakal. Fafa langsung terdiam mendengar ucapan Ian, jangan ditanya lagi bagaimana warna wajahnya sekarang-merona menahan malu, Dokter Thomas tersenyum tipis. Untuk mengurangi kecanggungan Fafa, Dokter Thomas menyudahi kunjungannya. Setelah Dokter Thomas dan asistennya keluar, Ian menahan Fafa yang hendak bangkit dari duduk. "Apakah masih sakit?" tanya Fafa khawatir. "Nggak, di sini saja." Fafa hanya mengangguk. Ruangan hening kembali. Ian langsung meraih tab dari nakas. Dia mengernyitkan dahi, saat hendak membuka aplikasi pribadi, suara Fafa menginterupsi. "By, Fa keluar dulu ya! Lapar." "Hhmm." Ian hanya berdehem tanpa mengalihkan atensi
"It-itu tadi, Fa ...," perkataan Fafa terputus. Tok tok Pintu dibuka dengan kasar. Fafa terkejut, tapi tidak dengan Andrian. Dia sudah memperkirakan kedatangan Victor pagi ini. Ian melirik jam dinding, pukul 08:49 WIB. "Sayang, perkenalkan dia paman sahabatku, Paman Victor," ujar Ian kala melihat Victor masih mematung di tengah pintu. "Masuklah Paman," ucap Ian ringan. Victor memasukkan tangan di kedua saku celananya, berjalan dengan kecepatan terukur mendekati ranjang Ian. Aura dingin sangat jelas menguar. Pesona mematikan pria tua sialan ini luar biasa. Di daratan Eropa, siapa yang tidak kenal Victor Timofey. Laki-laki tua yang menjadi sahabat Andrinof-ayah Andrian. "Paman, perkenalkan saya Fathimah," ucap Fafa memandang wajah Victor tegang. Victor sendiri hanya mengangguk. Dia menatap tajam ke arah Fathimah, dengan tatapan menilai. Fafa merinding