"Please ...!" pinta Fafa. Melihat Ian tertawa, entah kenapa tiba-tiba Fafa menjadi sangat jengkel. Saat hendak turun dari pangkuan Ian, lengan Fafa di cengkram kuat.
"Siapa yang memberimu ijin turun!" tegas Ian. Dia langsung menjatuhkan Fafa di sampingnya.
"Jangan pergi dulu, di sini saja. Pagi ini, mungkin saja pelukan kita yang terakhir," ucap Ian pelan sembari menempelkan puncak hidungnya ke pipi Fafa. Entah kenapa perasaan Fafa menjadi tidak enak mendengar ucapan Ian.
"By," panggil Fafa. Ian memalingkan wajahnya.
Fafa langsung naik dan duduk di atas badan Ian. Entahlah, dia dapat keberanian dari mana. Saat ini yang terpenting adalah Ian harus memberi penjelasan atas ucapannya tadi. Ian terkejut saat Fafa naik ke atas tubuhnya. Dia secepat mungkin menormalkan ekspresi wajah terkejutnya. Fafa langsung menangkup rahang Ian dengan kedua telapak tangannya.
"By, lihat sini!" pinta Fafa. Ian mengabaikan, dia malah memejamkan mata. Fafa yan
"Batang punggung bawahku nyeri, belum lagi tulang ekorku. Ra-," adu Ian. Dia tidak habis pikir kenapa rasa nyeri ini kian menjalar ke mana-mana."Benarkah?" tanya Fafa tak percaya dan memotong ucapan Ian. Fafa langsung meletakkan piring di atas nakas. Dia teringat jika Ian lumpuh mulai pinggang ke bawah. 'Harusnya dia tidak merasakan nyeri, tapi kenapa sekarang merasa nyeri?' batinnya. Fafa langsung memeluk Ian dan mengelus punggungnya."Mana yang sakit? Apa di sini?" tanya Fafa mengelus punggung bawah Ian hingga daerah pantat. Bagaimana? Apa masih nyeri?" tanya Fafa. "Iya, sekarang sedikit nyaman," jawab Ian pelan saat merasakan elusan telapak tangan Fafa. Ian belum menyadari jika yang dielus Fafa adalah bagian punggung paling bawah hampir tulang ekor."Bukankah ini tulang ekor?" tanya Fafa dengan menekan lembut. "I-, hah!" Ian terkejut, lalu melepaskan pelukan dan menatap tak percaya kepada Fafa. Seketika Fafa tersenyum dan mengangguk, Ian tersenta
"Nyonya Aldric Andrian!" seru Ian penuh penekanan."Ba-baik By, jangan marah. Ini Fafa terima. Terima kasih," jawab Fafa gugup. Andrian tampak puas dengan sikap Fafa.Tak lama kemudian terdengar daun pintu di ketuk. Fafa langsung duduk di samping Andrian. Setelah pintu kamar terbuka otomatis, Rusdi dan Ikhsan masuk disertai mengucap salam. Keduanya menuju ke samping ranjang Andrian."Kak, San balik Kediri dulu," pamit Ikhsan sembari mengecup punggung telapak tangan Andrian."Hhmm, jaga istriku!" perintah Andrian."Siap Kak, in syaa Allah.""Mas Ian, paman berangkat dulu.""Hhmm."Keduanya langsung keluar kamar. Sekarang tinggallah Andrian dan Fafa."Berangkat sekarang, hhmm.""Iya, By." Fafa langsung menubruk Andrian. Andrian mengelus rambut panjang Fafa."Sana pake kerudungmu!" perintah
David mendekati Frans, kemudian menepuk bahu sahabatnya itu. "Nasib cinta lu, udah ...," ucap David menggantung. Dia merasakan bahu kanan di pukul. "Mami Dai!" seru David kaget. Dia tidak menyangka jika Daisy mendengar ucapannya tadi. Daisy setelah mendengarkan ucapan Fafa tadi berniat mendekati dan menenangkan Frans, akan tetapi dia mendengar David yang mulai berbicara soal Fafa. Daisy refleks memukul bahu David agar menghentikan ucapannya. David langsung menjauh dan memberikan ruang untuk Daisy menenangkan Frans. David kejam, memang benar itu. Dia hanya tidak ingin Frans masih mengharapkan Fafa. Dia tidak sedang membela siapa-siapa, Frans dan Ian adalah sahabatnya. Dia dan Reynan sangat paham sampai sekarang Frans masih menginginkan Fafa, walaupun di mulutnya Frans akan menghapus rasa suka. 'Rumit. Itulah kenapa aku tidak mau melibatkan diri dengan perempuan, menyusahkan saja,' bati
"Tidak. Aku tidak mau terlibat kesepakatan gila kalian." Pria paruh baya itu mengepalkan telapak tangan dan rahangnya menegang. Dia marah, bahkan sangat marah. Bagaimana bisa anak semata wayangnya ini menolak. Laki-laki paruh baya itu adalah Victor Timofey-ayah dari Mike. Victor memaksa Mike agar membawa istri Andrian pergi. Dengan kata lain menculiknya. "Apa katamu anak sialan!" teriak Victor terus melayangkan pukulan demi pukulan ke tubuh Mike. Apa yang dilakukan Mike? Dia membiarkan saja, seperti biasa berakhir di rumah sakit dan menginap beberapa hari. Victor merasa sangat lelah, akhirnya terduduk di samping tubuh Mike yang sudah babak belur. Sejurus kemudian tubuhnya bergetar, dia menangis. Setelah tangisnya mereda, dia tertawa terbahak. "Jika kamu menolak maka aku sendiri yang akan melakukannya!" ujar Victor sembari berjalan sempoyongan keluar mansion.
"Hah, tidak apa-apa. Bukannya kalau tidur itu ...," ucapan Fafa terputus karena diserobot Ian. "Bukannya apa? Sayang tidur di atasku begitu?" goda Ian dengan kerlingan mata nakal. Fafa langsung terdiam mendengar ucapan Ian, jangan ditanya lagi bagaimana warna wajahnya sekarang-merona menahan malu, Dokter Thomas tersenyum tipis. Untuk mengurangi kecanggungan Fafa, Dokter Thomas menyudahi kunjungannya. Setelah Dokter Thomas dan asistennya keluar, Ian menahan Fafa yang hendak bangkit dari duduk. "Apakah masih sakit?" tanya Fafa khawatir. "Nggak, di sini saja." Fafa hanya mengangguk. Ruangan hening kembali. Ian langsung meraih tab dari nakas. Dia mengernyitkan dahi, saat hendak membuka aplikasi pribadi, suara Fafa menginterupsi. "By, Fa keluar dulu ya! Lapar." "Hhmm." Ian hanya berdehem tanpa mengalihkan atensi
"It-itu tadi, Fa ...," perkataan Fafa terputus. Tok tok Pintu dibuka dengan kasar. Fafa terkejut, tapi tidak dengan Andrian. Dia sudah memperkirakan kedatangan Victor pagi ini. Ian melirik jam dinding, pukul 08:49 WIB. "Sayang, perkenalkan dia paman sahabatku, Paman Victor," ujar Ian kala melihat Victor masih mematung di tengah pintu. "Masuklah Paman," ucap Ian ringan. Victor memasukkan tangan di kedua saku celananya, berjalan dengan kecepatan terukur mendekati ranjang Ian. Aura dingin sangat jelas menguar. Pesona mematikan pria tua sialan ini luar biasa. Di daratan Eropa, siapa yang tidak kenal Victor Timofey. Laki-laki tua yang menjadi sahabat Andrinof-ayah Andrian. "Paman, perkenalkan saya Fathimah," ucap Fafa memandang wajah Victor tegang. Victor sendiri hanya mengangguk. Dia menatap tajam ke arah Fathimah, dengan tatapan menilai. Fafa merinding
Dret! dret! Ponsel Ian berbunyi. Dia segera menerimanya. "Hhmm." "Boss, nyonya muda sekarang di bawa ke rooftop Hotel Permata." "Amankan!" *** Dua Jam Sebelumnya. Ian meminta Fafa keluar dari paviliun karena ada hal penting yang akan dibicarakan dengan Paman Victor. Awalnya Fafa hendak ke masjid atau cafetaria rumah sakit, tapi saat melihat taman yang terletak di tengah-tengah Rumah Sakit Medika sedikit lenggang-dia mengurungkan niat itu. Suasana taman yang sejuk sangat menenangkan pikiran Fafa. Dia mulai mencari bangku kosong yang ada di bawah Pohon Akasia. "Alhamdulillah nyamannya," gumam Fafa sembari mendaratkan diri di atas bangku berbahan marmer tersebut. Fafa langsung menyandarkan punggung ke pohon yang ada di belakang bangku. Pikirannya terasa rileks sekarang. Kandungan oksigen di udara yang melimpah sepanjang area taman ini membuat toxic yang mencengkram pikiran dan hatinya perlahan terurai. Rileks, benar
Mike dan Rahman merangsek maju. Mike mengernyitkan dahi dan bergumam, "Man, bukankah tanda itu milik Sander?" Rahman mengikuti arah pandangan mata Mike. Dia bisa melihat dari kejauhan dengan bantuan kacamata Fath Glasses Virtual (FGV) yang dikenakannya. Logo pada heli yang dinaiki oleh Victor adalah milik perusahaan Sander yang ada di Indonesia. "Yes, Sir." Untuk sejenak perhatian Mike terarah pada kacamata yang dikenakan Rahman. "Sir, a-," perkataan Rahman terputus. "Apa itu buatan Ian?" tanya Mike terus menatap kaca mata Rahman. "Siap, Sir. Sir, kita harus segera bergerak." Mike mengangguk. Di Sisi Kanan pintu penghubung rooftop Hotel PermataFafa tampak mulai sadar. Dia mengerjapkan mata dan langsung terbelalak, setelah mendengar bunyi suara tembakan yang bersahutan. Fafa mendongakkan kepala dan dia baru sadar saat ini ada dalam dekapan Victor. Fafa mulai berontak. Mendengar kegaduhan yang ditimb