Share

7. Menjemputmu

"Baiklah, jika begitu. Besok paman akan menjemputmu dan Ikhsan. Fa, apakah kamu tidak ingin bertanya lagi tentang siapa mas Ian itu. Apalagi hari Senin kemarin, paklik kirimkan fotonya!"

"Nggak Paklik, ada apa?" tanya Fafa balik.

"Ini mengenai kondisi fisik mas Ian," jawab Rusdi.

"Oh ..., Fafa kira ada apa Paklik. Bagi Fafa, Paklik merestui pernikahan ini sudah cukup. Kalau untuk masalah fisik, Fafa menerimanya dan tidak ada masalah untuk itu," ucap Fafa yakin. Rusdi langsung terdiam mendengarkan perkataan Fafa. 

"Halo ..., Paklik ...!" panggil Fafa.

"I-iya Nduk," jawab Rusdi tergagap.

"Kenapa Paklik diam! apakah ada masalah lain?" tanya Fafa.

"Nggak ada. Ya sudah, Paklik tutup ya. Assalamu'alaykum,"

"Wa alaykumusam, Paklik Di."

Rusdi memutuskan panggilannya kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Tini terus memperhatikan suaminya itu. 'Ada apa dengannya, setelah bicara dengan Fafa kenapa termenung begitu,' batin Tini.

"Bang Bang Rusdi," panggil Tini. Rusdi tetap asyik dengan lamunannya dan menghiraukan panggilan Tini. 

"Bang!" panggil Tini menyentak lengan Rusdi.

"Eh iya, Dik! Ada apa?" Rusdi langsung menoleh ke arah Tini.

"Ada apa Bang? Habis bicara dengan Fafa, malah benggong begitu!" tegur Tini. Rusdi menghela napas dalam. 

"Dik, tadi Mas Ian menyuruh abang buat cerita soal kondisinya ke Fafa,"

"Lalu!" 

"Dia bilang tidak mempermasalahkannya,"

"Lalu masalahnya apa, Bang," tanya Tini gemas.

"Fafa tidak mempermasalahkan kondisi fisik Mas Ian. Bahkan sebelum abang memberinya penjelasan." 

"Ya sudahlah Bang. Fafa tidak masalah, ya berarti memang tidak masalah bukan?" ujar Tini sembari mengelus lengan suaminya itu.

"Oiya, Dik. Apakah semua sudah siap?"

"Sudah Bang. Jangan lupa ya Bang, bawain Tini oleh-oleh biasanya itu!" ujar Tini dengan manja.

"Iya, Dik." jawab Rusdi singkat.

Semua pekerjaan Rusdi dan Tini telah usai. Seperti biasa, jika tidak ada tugas dari Ian, keduanya ngobrol di dapur hingga menjelang waktu makan siang. Menu makan siang Ian tidaklah terlalu ribet untuk mempersiapkannya. Apalagi beberapa hari terakhir, hanya minta soup kacang merah atau capcay. Menu yang sangat mudah dan cepat untuk membuatnya.

Sebenarnya, Rusdi dan Tini agak mencemaskan kondisi Ian yang menurun akhir-akhir ini. Apalagi melihat wajah Iaan yang sedikit pucat dan mengalami diare. Rusdi was-was, jika Iaan mengalami komplikasi lagi seperti dahulu. Apalagi sekarang mulai terapi FES lagi. 

Sepertinya Rusdi harus bergegas. Waktu sudah semakin siang, harus segera ke kamar Ian untuk menanyakan menu makan siangnya sekaligus berpamitan berangkat menjemput Fafa.

Tok tok

Rusdi langsung masuk setelah mendengar jawaban dari dalam. Dilihat olehnya Ian sedang olah raga mengangkat barbel. Rusdi bernapas lega.

"Mas Ian, makan siangnya ada perubahan tidak?"

"Nggak, soup kacang merah saja!"

"Siap,"

"Kapan berangkat!"

"Setelah makan siang, Mas Ian,"

"Hhmm, jadi benar ke sini naik kereta api?"

"Iya, Mas Ian."

Ian langsung menyudahi olah raganya. Menyeka pelan keringat yang bercucuran. Entah kenapa Rusdi merasa keringat Ian sekarang berlebihan. Memperhatikan Ian nyaman dengan itu, Rusdi urung bertanya.

Akhir-akhir ini terlalu banyak perubahan pada Ian. Mulai dari mood yang naik turun, sering sekali batuk, keringat berlebihan, diare, kulitnya juga lebih pucat. 

"Mas Ian bagaimana kondisinya sekarang?"

"Aku nggak papa. Akhir-akhir ini mudah lelah, lemas. Mungkin karena diare itu."

"Apa tidak sebaiknya ke rumah sakit?" tanya Rusdi hati-hati.

"Tidak. Nanti saja, setelah menikah. Buatkan janji sekalian, Paman!"

Rusdi mengangguk, mendengar ucapan Ian. 

Senang, itulah yang dirasakan sekarang. Biasanya Ian menolak bila diajak ke rumah sakit untuk check up dan harus dipaksa dahulu. Sia-sia dan muak, kata kunci Ian menolaknya. Tapi lihatlah sekarang, dengan senang hati ke rumah sakit. Rusdi tersenyum lebar dan langsung keluar kamar Ian. Sungguh Rusdi belum mengetahui apa yang telah direncanakan oleh Ian.

Kurang lebih 30 menit kemudian, Rusdi membawa nampan makan siang dan langsung meletakkan di atas meja.

***

Kediaman Fafa di Kediri

Hari sudah mulai petang, Fafa bersiap menutup toko. Ikhsan yang duduk di teras bersama teman-temannya juga mulai bubar.

"Mbak Fa, pulang dulu, Assalamu'alaykum," pamit Hisyam.

"Iya, fii Amanillah."

Wa alaykumusalam," jawab Fafa.

"Kak, Paklik jadi datang?" tanya Ikhsan sembari bangkit dari duduknya.

"Iya, Dik. Mungkin nanti malam baru nyampe."

"San masuk dulu," pamitnya.

"Iya," jawab Fafa singkat.

Fafa langsung mengunci pintu toko dan beranjak masuk ke dalam rumah. Toko Loundry Amanah adalah toko peninggalan mendiang ayahnya. Penghasilan toko ini salah satu penopang kehidupan sehari-hari Fafa dan Ikhsan. Di rumah Fafa juga mengajar mengaji kitab dan pelajaran sekolah anak SD selepas pulang kuliah sampai sebelum mahgrib. Sedangkan Ikhsan menjadi salah satu marbot di Masjid Besar Kota Kediri. Selama kakinya masih sakit, aktifitas Ikhsan hanya ke sekolah. Untuk satu minggu ke depan Fafa sudah ijin tidak mengikuti perkuliahan. Begitu pula Ikhsan, Fafa sudah mengajukan ijin untuk tidak masuk sekolah.

Setelah menyelesaikan sholat mahgrib, barulah keduanya makan malam. Hari ini sengaja toko tidak buka malam hari karena pakliknya akan datang.

Tok Tok

"Assalamu'alaykum,"

"Wa alaykumusalam," jawab Fafa dan Ikhsan bersamaan.

Fafa langsung beranjak menuju pintu dan langsung membukanya.

"Paklik Di!" seru Fafa langsung meraih telapak tangan Rusdi dan mengecupnya.

"Masuk Paklik," ajak Fafa.

Rusdi langsung masuk menyeret kopernya. Ikhsan dengan tertatih berjalan mendekati Rusdi yang baru saja duduk di kursi yabg ada di ruang tamu. Memandang Rusdi dengan senyum lebar dan mata berbinar.

"Paklik!" 

"San," ujar Rusdi langsung berdiri dan merangkul keponakannya itu.

"Gimana kabarnya, Le?" 

"Alhamdulillah, baik, Paklik. Ayo duduk dulu Paklik," ajak Ikhsan.

Keduanya langsung duduk, sedangkan Fafa langsung ke dapur untuk membuatkan minuman hangat. Tak berapa lama, Fafa kembali dengan nampan yang di atasnya ada tiga gelas teh hangat dan kue bolu bikinannya tadi sore. Rusdi mengangguk.

"Paklik, mandi ya? Fa rebuskan air buat mandi dulu,"

"Iya, Nduk." 

Fafa segera beranjak ke dapur. Tak lama kemudian bergabung lagi melanjutkan obrolan dengan Paklik dan Ikhsan. 

Drett drett

Ponsel Rusdi berdering.

'Mas Ian?' batinnya, segera saja Rusdi menggeser tombol gagang telpon warna hijau.

"Assalamu'alaykum Mas Ian," sapa Rusdi.

"Hhmm,"

"Iya, ini paman sudah sampai," seru Rusdi.

"Hhmm, bagaimana dia?" tanya Ian. Rusdi tersenyum geli, mendengar pertanyaan Ian. Pura-puranya cuek ternyata perhatian juga.

"Fafa di dapur, ini paman dan adiknya ada di ruang tamu," jelas Rusdi.

"Hhmm," dehem Ian, setelah itu langsung memutuskan panggilannya. Rusdi menggeleng sembari terus tersenyum kecil.

"Kenapa Paklik!" selidik Ikhsan penasaran.

"Calon kakak iparmu!" jawab Rusdi dengan senyum yang terus tersungging di bibirnya.

"Oh, orangnya memang seperti itu ya?" tanya Ikhsan.

"Maksudnya, Le!"

"Menyeramkan begitu," jawab singkat Ikhsan.

"Apaan sih Dik," sahut Fafa.

"Lhoh benar Paklik, Kak Fa aja pertama kali liat fotonya langsung shock," jawab Ikhsan dengan cekikikan.

"Ya, begitulah. Tapi kalau kamu sudah mengenalnya, Mas Ian itu baik. Buktinya Paklikmu ini sampai sekarang tetap kerja di sana." 

"Iya juga sih, Paklik." Ikhsan menjawabnya dengan cengiran.

***

Nun jauh di sana. Di sebuah ruang rahasia. Percakapan paman dan kedua keponakannya juga didengarnya dengan sangat jelas. Senyum tipis menghias wajah, turut mendengarkan obrolan itu. Menyeramkan katanya. Dia geleng-geleng mendengarnya. Dasar bocah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status