"Baiklah, jika begitu. Besok paman akan menjemputmu dan Ikhsan. Fa, apakah kamu tidak ingin bertanya lagi tentang siapa mas Ian itu. Apalagi hari Senin kemarin, paklik kirimkan fotonya!"
"Nggak Paklik, ada apa?" tanya Fafa balik.
"Ini mengenai kondisi fisik mas Ian," jawab Rusdi.
"Oh ..., Fafa kira ada apa Paklik. Bagi Fafa, Paklik merestui pernikahan ini sudah cukup. Kalau untuk masalah fisik, Fafa menerimanya dan tidak ada masalah untuk itu," ucap Fafa yakin. Rusdi langsung terdiam mendengarkan perkataan Fafa.
"Halo ..., Paklik ...!" panggil Fafa.
"I-iya Nduk," jawab Rusdi tergagap.
"Kenapa Paklik diam! apakah ada masalah lain?" tanya Fafa.
"Nggak ada. Ya sudah, Paklik tutup ya. Assalamu'alaykum,"
"Wa alaykumusam, Paklik Di."
Rusdi memutuskan panggilannya kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Tini terus memperhatikan suaminya itu. 'Ada apa dengannya, setelah bicara dengan Fafa kenapa termenung begitu,' batin Tini.
"Bang Bang Rusdi," panggil Tini. Rusdi tetap asyik dengan lamunannya dan menghiraukan panggilan Tini.
"Bang!" panggil Tini menyentak lengan Rusdi.
"Eh iya, Dik! Ada apa?" Rusdi langsung menoleh ke arah Tini.
"Ada apa Bang? Habis bicara dengan Fafa, malah benggong begitu!" tegur Tini. Rusdi menghela napas dalam.
"Dik, tadi Mas Ian menyuruh abang buat cerita soal kondisinya ke Fafa,"
"Lalu!"
"Dia bilang tidak mempermasalahkannya,"
"Lalu masalahnya apa, Bang," tanya Tini gemas.
"Fafa tidak mempermasalahkan kondisi fisik Mas Ian. Bahkan sebelum abang memberinya penjelasan."
"Ya sudahlah Bang. Fafa tidak masalah, ya berarti memang tidak masalah bukan?" ujar Tini sembari mengelus lengan suaminya itu.
"Oiya, Dik. Apakah semua sudah siap?"
"Sudah Bang. Jangan lupa ya Bang, bawain Tini oleh-oleh biasanya itu!" ujar Tini dengan manja.
"Iya, Dik." jawab Rusdi singkat.
Semua pekerjaan Rusdi dan Tini telah usai. Seperti biasa, jika tidak ada tugas dari Ian, keduanya ngobrol di dapur hingga menjelang waktu makan siang. Menu makan siang Ian tidaklah terlalu ribet untuk mempersiapkannya. Apalagi beberapa hari terakhir, hanya minta soup kacang merah atau capcay. Menu yang sangat mudah dan cepat untuk membuatnya.
Sebenarnya, Rusdi dan Tini agak mencemaskan kondisi Ian yang menurun akhir-akhir ini. Apalagi melihat wajah Iaan yang sedikit pucat dan mengalami diare. Rusdi was-was, jika Iaan mengalami komplikasi lagi seperti dahulu. Apalagi sekarang mulai terapi FES lagi.
Sepertinya Rusdi harus bergegas. Waktu sudah semakin siang, harus segera ke kamar Ian untuk menanyakan menu makan siangnya sekaligus berpamitan berangkat menjemput Fafa.
Tok tok
Rusdi langsung masuk setelah mendengar jawaban dari dalam. Dilihat olehnya Ian sedang olah raga mengangkat barbel. Rusdi bernapas lega.
"Mas Ian, makan siangnya ada perubahan tidak?"
"Nggak, soup kacang merah saja!"
"Siap,"
"Kapan berangkat!"
"Setelah makan siang, Mas Ian,"
"Hhmm, jadi benar ke sini naik kereta api?"
"Iya, Mas Ian."
Ian langsung menyudahi olah raganya. Menyeka pelan keringat yang bercucuran. Entah kenapa Rusdi merasa keringat Ian sekarang berlebihan. Memperhatikan Ian nyaman dengan itu, Rusdi urung bertanya.
Akhir-akhir ini terlalu banyak perubahan pada Ian. Mulai dari mood yang naik turun, sering sekali batuk, keringat berlebihan, diare, kulitnya juga lebih pucat.
"Mas Ian bagaimana kondisinya sekarang?"
"Aku nggak papa. Akhir-akhir ini mudah lelah, lemas. Mungkin karena diare itu."
"Apa tidak sebaiknya ke rumah sakit?" tanya Rusdi hati-hati.
"Tidak. Nanti saja, setelah menikah. Buatkan janji sekalian, Paman!"
Rusdi mengangguk, mendengar ucapan Ian.
Senang, itulah yang dirasakan sekarang. Biasanya Ian menolak bila diajak ke rumah sakit untuk check up dan harus dipaksa dahulu. Sia-sia dan muak, kata kunci Ian menolaknya. Tapi lihatlah sekarang, dengan senang hati ke rumah sakit. Rusdi tersenyum lebar dan langsung keluar kamar Ian. Sungguh Rusdi belum mengetahui apa yang telah direncanakan oleh Ian.
Kurang lebih 30 menit kemudian, Rusdi membawa nampan makan siang dan langsung meletakkan di atas meja.
***
Kediaman Fafa di Kediri
Hari sudah mulai petang, Fafa bersiap menutup toko. Ikhsan yang duduk di teras bersama teman-temannya juga mulai bubar.
"Mbak Fa, pulang dulu, Assalamu'alaykum," pamit Hisyam.
"Iya, fii Amanillah."
Wa alaykumusalam," jawab Fafa.
"Kak, Paklik jadi datang?" tanya Ikhsan sembari bangkit dari duduknya.
"Iya, Dik. Mungkin nanti malam baru nyampe."
"San masuk dulu," pamitnya.
"Iya," jawab Fafa singkat.
Fafa langsung mengunci pintu toko dan beranjak masuk ke dalam rumah. Toko Loundry Amanah adalah toko peninggalan mendiang ayahnya. Penghasilan toko ini salah satu penopang kehidupan sehari-hari Fafa dan Ikhsan. Di rumah Fafa juga mengajar mengaji kitab dan pelajaran sekolah anak SD selepas pulang kuliah sampai sebelum mahgrib. Sedangkan Ikhsan menjadi salah satu marbot di Masjid Besar Kota Kediri. Selama kakinya masih sakit, aktifitas Ikhsan hanya ke sekolah. Untuk satu minggu ke depan Fafa sudah ijin tidak mengikuti perkuliahan. Begitu pula Ikhsan, Fafa sudah mengajukan ijin untuk tidak masuk sekolah.
Setelah menyelesaikan sholat mahgrib, barulah keduanya makan malam. Hari ini sengaja toko tidak buka malam hari karena pakliknya akan datang.
Tok Tok
"Assalamu'alaykum,"
"Wa alaykumusalam," jawab Fafa dan Ikhsan bersamaan.
Fafa langsung beranjak menuju pintu dan langsung membukanya.
"Paklik Di!" seru Fafa langsung meraih telapak tangan Rusdi dan mengecupnya.
"Masuk Paklik," ajak Fafa.
Rusdi langsung masuk menyeret kopernya. Ikhsan dengan tertatih berjalan mendekati Rusdi yang baru saja duduk di kursi yabg ada di ruang tamu. Memandang Rusdi dengan senyum lebar dan mata berbinar.
"Paklik!"
"San," ujar Rusdi langsung berdiri dan merangkul keponakannya itu.
"Gimana kabarnya, Le?"
"Alhamdulillah, baik, Paklik. Ayo duduk dulu Paklik," ajak Ikhsan.
Keduanya langsung duduk, sedangkan Fafa langsung ke dapur untuk membuatkan minuman hangat. Tak berapa lama, Fafa kembali dengan nampan yang di atasnya ada tiga gelas teh hangat dan kue bolu bikinannya tadi sore. Rusdi mengangguk.
"Paklik, mandi ya? Fa rebuskan air buat mandi dulu,"
"Iya, Nduk."
Fafa segera beranjak ke dapur. Tak lama kemudian bergabung lagi melanjutkan obrolan dengan Paklik dan Ikhsan.
Drett drett
Ponsel Rusdi berdering.
'Mas Ian?' batinnya, segera saja Rusdi menggeser tombol gagang telpon warna hijau.
"Assalamu'alaykum Mas Ian," sapa Rusdi.
"Hhmm,"
"Iya, ini paman sudah sampai," seru Rusdi.
"Hhmm, bagaimana dia?" tanya Ian. Rusdi tersenyum geli, mendengar pertanyaan Ian. Pura-puranya cuek ternyata perhatian juga.
"Fafa di dapur, ini paman dan adiknya ada di ruang tamu," jelas Rusdi.
"Hhmm," dehem Ian, setelah itu langsung memutuskan panggilannya. Rusdi menggeleng sembari terus tersenyum kecil.
"Kenapa Paklik!" selidik Ikhsan penasaran.
"Calon kakak iparmu!" jawab Rusdi dengan senyum yang terus tersungging di bibirnya.
"Oh, orangnya memang seperti itu ya?" tanya Ikhsan.
"Maksudnya, Le!"
"Menyeramkan begitu," jawab singkat Ikhsan.
"Apaan sih Dik," sahut Fafa.
"Lhoh benar Paklik, Kak Fa aja pertama kali liat fotonya langsung shock," jawab Ikhsan dengan cekikikan.
"Ya, begitulah. Tapi kalau kamu sudah mengenalnya, Mas Ian itu baik. Buktinya Paklikmu ini sampai sekarang tetap kerja di sana."
"Iya juga sih, Paklik." Ikhsan menjawabnya dengan cengiran.
***
Nun jauh di sana. Di sebuah ruang rahasia. Percakapan paman dan kedua keponakannya juga didengarnya dengan sangat jelas. Senyum tipis menghias wajah, turut mendengarkan obrolan itu. Menyeramkan katanya. Dia geleng-geleng mendengarnya. Dasar bocah.
Nun jauh di sana. Di sebuah ruang rahasia. Percakapan paman dan kedua keponakannya juga didengarnya dengan sangat jelas. Senyum tipis menghias wajahnya, turut mendengarkan obrolan itu. Menyeramkan katanya. Dia geleng-geleng mendengarnya. Dasar bocah.Segera laki-laki itu keluar dari ruang rahasia. Menutup kembali pintunya. Mengunci dengan menekan tombol yang ada di bawah terminal listrik yang ada di belakang meja rias. Perlahan dia bergerak mendekati jendela kaca. Menatap taman yang ada di samping kamarnya. Ada begitu banyak hal yang sedang coba ditelaahnya dalam diam, sekarang ini. Siapapun jelas tak bisa menebak bahwa akan banyak keputusan besar penuh kejutan yang dibuatnya beberapa hari ke depan. Malam semakin larut, tapi lihatlah dia, tetap diam ditempat semula. Dingin dan sepi adalah teman dalam diamnya hingga kini.***Keesokan harinyaAktifitas di rumah Fafa sudah dimulai menjelang subuh. Setelah menyelesaikan sholat subuh dan membaca
Tampak taman buatan mendiang ibunya. 'Ibu, ayah, Ian akan menikahi perempuan itu. Ian tidak tau, apakah benar atau salah. Ian hanya merasa saat itu harus menikahinya. Ian berharap langkah Ian ini tidak salah. Ian hanya tidak ingin keturunan Andrinof berhenti pada Ian. Ibu, ayah, tolong restui Ian,' kata Ian dalam hati.Kereta api Gajayana telah sampai di Jakarta. Rusdi segera menghubungi Anto-sesuai perintah Ian kemarin sore. Ternyata, Anto sudah ada di parkiran. Segera saja, ketiganya keluar dari area stasiun. Anto terus memperhatikan Fafa, sembari membantu memasukkan koper ke bagasi mobil. 'Jadi, gadis ini calon istrinya Mas Ian. Tidak kusangka ternyata masih sangat muda,' batin Anto.Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Andrian. Jarak tempuh selama 20 menit, karena kondisi jalan yang belum terlalu ramai. Setelah memasuki area kediaman Andrian. Ikhsan berdecak kagum."Kak, ini rumah apa istana?" tanya Ikhsan s
"Baiklah sekarang bulik akan bercerita sedikit tentang Mas Ian. Mungkin Fafa mau tanya apa?""Bulik cerita saja," jawab Fafa."Tuan Muda Aldric Andrian adalah putra tunggal mendiang Tuan Andrinof dan Nyonya Anya. Keluarga Tuan Andrinof mengalami kecelakaan saat Tuan Muda berusia 10 tahun. Tuan dan Nyonya tidak selamat dalam kecelakaan itu, hanya Tuan Muda yang selamat. Maaf, dengan kondisi cacat." Tini diam sejenak, sembari memperhatikan Fafa yang menyimak penjelasan Tini dengan seksama."Setelah kecelakaan itu, Tuan Muda- yang biasa dipanggil Tuan Muda Ian. Beliau menolak dipanggil Tuan Muda, dan menyuruh kami semua memanggilnya dengan Mas Ian. Sejak saat itu, Mas Ian sangat berubah sikap dan perilakunya. Paklik dan Bulikmu ini awalnya juga kaget. Akhirnya, kami memaklumi perubahan itu. Sungguh tidak mudah, menjadi yatim piatu di usia 10 tahun. Apalagi kondisinya saat itu kurang baik." Fafa mengangguk membenarkan perkataan Buliknya itu."Lalu bagaimana sa
Mami Rita yang lebih dulu menyadari bahwa Fafa tidak ikut duduk di sofa, langsung memanggilnya."Fa, duduk sini!" ujarnya.Reflek Ian menoleh mengikuti arah pandangan mata Mami Rita.Dua pasang mata sama-sama menjatuhkan pandangan. Terkunci untuk beberapa saat. Seketika ruang tengah hening. Ian menatap intens Fafa. Mendapatkan tatapan seperti ini, seketika Fafa beku, seolah-olah terpaku di tempat berdirinya sekarang.'Jadi, ini yang namanya Mas Ian. Benarkah dia calon suamiku?' batin Fafa. Sedangkan Ian sendiri merasa takjub dengan pemandangan di depannya. 'Benarkah dia calon istriku,' batin Ian.Deg degDetak jantung Ian berkerja lebih cepat dari biasanya. Apakah dia sekarang benar-benar terkena serangan jantung? Dadanya serasa mau meledak dan napasnya sesak, sangat tidak baik jika terus seperti ini. Ingatkan Ian untuk segera memanggil dokter Thomas setelah ini. Fafa, jangan ditanyakan lagi. Saat ini benar-benar pikirannya tidak menentu. Sungguh,
Dai langsung berdiri mengajak Fafa masuk ke rumah utama. Saat Fafa akan masuk ke dalam rumah, langkahnya langsung terhenti.Fafa gugup, seolah kakinya enggan diperintah melangkah. Masih terpaku di depan pintu. Dilihatnya Ian juga menuju ke meja makan. Merasa diperhatikan Ian lantas menghentikan laju otomatis kursi rodanya. Sedangkan yang lain langsung menuju meja makan. Fafa tetap terpaku di tempatnya. Perlahan Ian mendekati Fafa."Masuk!" perintah Ian.Tanpa menjawabnya, Fafa langsung berjalan dibelakang Ian.HuffFafa menghembuskan napas lega. Berada di dekat Ian, seakan mencekiknya. Bagaimana jika sudah menikah?BruggFafa menabrak kursi roda Ian yang berhenti mendadak."Maaf," cicit Fafa."Hhmm," Ian hanya berdehem.Keduanya telah sampai di meja makan. Ian tersenyum tipis, hatinya menghangat. Setelah 20 tahun, baru terjadi sekali ini. Rumah besar yang biasanya selalu sepi dan hari ini b
Aagghh"Apa-apaan ini! Fafa adalah milikku!" gumam Ian sembari terus menatap tab-nya, aktifitas berakhir saat Tini dan Rusdi membereskan meja makan.Ian langsung menutup aplikasi CCTV, kemudian membuka aplikasi privat miliknya. Sungguh, melihat pemandangan itu, dirinya langsung terdiam membeku.Dia melihat Fafa tidur meringkuk. Sebenarnya bukan itu yang membuat Ian membeku. Rambut panjang sepinggang Fafa yang terurailah penyebabnya. "Cantik," gumam Ian pelan.Dia seolah lupa jika tadi siang sudah membuat gadis itu terluka. Ian terus memperhatikan Fafa dalam diam. Ternyata gadis itu sama dengannya, memiliki rambut lurus dan panjang sepinggang. Tanpa sadar Ian tersenyum dan mengusap layar tab-nya. "Gadis itu, pulas sekali tidurnya," gumamnya pelan.Ian langsung menutup aplikasi privat miliknya. Sebelum pikirannya melayang kemana-mana. Bagaimanapun tampilan Fafa yang sedang tidur sangat menggoda untuk dilewatkan. Ian l
Tamu undangan tidak banyak, hanya 12 orang. Ian hanya mengundang adik dari mending ayahnya, keluarga sahabat, dan dokter Thomas. Ian langsung menuju meja-dimana akad akan dilangsungkan. Setelah pengecekan kembali beberapa dokumen, akhirnya acara segera dimulai.Waktu sudah menunjukkan pukul 09:00 WIB. Inilah saatnya prosesi akad nikah. Terdengar suara dari pembawa acara, untuk segera bersiap karena acara segera dimulai. Adapun urutan prosesinya adalah1. Sambutan2. Pembacaan ayat Alquran3. Khutbah pernikahan4. Akad nikah5. DoaRasanya waktu lambat berjalan. Ian begitu tegang, berdebar, dan sedikit panas dingin. Walaupun pernikahan ini bukan pernikahan karena cinta, tetap saja aura syahdu dan khidmat sekaligus.Tak berbeda jauh dari Ian, Fafa yang berada di kamar tamu juga merasakan demikian. Dia hanya bisa melantunkan doa di dalam hati, untuk mengurai kegugupannya. Meminta pada-Nya agar diberi kekuatan dan kesabar
Ian memperlakukan Fafa demikian bukanlah tanpa alasan.Fafa tidak menyadari, jika interaksi dirinya dan Ian sejak tadi terus diawasi oleh sepasang mata. Beda dengan Ian, dia sudah mengetahuinya sejak semua tamu undangan menuju ruang tengah.Ian tersenyum menanggapinya. Tatapan sepasang mata terluka. Katakanlah dia kejam, tapi memang itulah yang harus lakukan. Dia tidak suka jika Frans semakin menginginkan istrinya.Awalnya, semua pasti sudah memperkirakan bagaimana sikap Ian memperlakukan Fafa setelah menikah. Hal itu adalah wajar, seumur hidup Ian tidak pernah berdekatan dengan perempuan manapun, kecuali mami sahabatnya.Anggapan itu tidaklah benar. Ian sudah banyak merenung semalam. Mulai detik akad nikah dia ucapkan, sejak itulah dia berjanji akan memperlakukan Fafa seutuhnya sebagai istri. Secara materi, Fafa pasti mendapatkannya.Rumah tangga tidah hanya soal materi, tapi juga kesenangan. Ian sadar, janjinya tidaklah mudah u