Share

8. Perjalanan

Author: HENY PU
last update Last Updated: 2021-04-14 04:50:40

Nun jauh di sana. Di sebuah ruang rahasia. Percakapan paman dan kedua keponakannya juga didengarnya dengan sangat jelas. Senyum tipis menghias wajahnya, turut mendengarkan obrolan itu. Menyeramkan katanya. Dia geleng-geleng mendengarnya. Dasar bocah.

Segera laki-laki itu keluar dari ruang rahasia. Menutup kembali pintunya. Mengunci dengan menekan tombol yang ada di bawah terminal listrik yang ada di belakang meja rias. Perlahan dia bergerak mendekati jendela kaca. Menatap taman yang ada di samping kamarnya. Ada begitu banyak hal yang sedang coba ditelaahnya dalam diam, sekarang ini. Siapapun jelas tak bisa menebak bahwa akan banyak keputusan besar penuh kejutan yang dibuatnya beberapa hari ke depan. Malam semakin larut, tapi lihatlah dia, tetap diam ditempat semula. Dingin dan sepi adalah teman dalam diamnya hingga kini.

***

Keesokan harinya 

Aktifitas di rumah Fafa sudah dimulai menjelang subuh. Setelah menyelesaikan sholat subuh dan membaca Alquran, Fafa mulai berkutat di dapur. Menyiapkan minuman hangat dan menu sarapan. 

Sepulangnya dari masjid, Rusdi segera menuju ke dapur. Tidak ada yang berubah dengan rumah ini, rumah warisan orang tuanya dan sudah diserahkan kepada Fafa dan Ikhsan. Rusdi tersenyum melihat kedekatan Ikhsan dan Fafa. Fafa dengan masakannya di depan kompor. Sedangkan Ikhsan belajar di meja makan yang tak jauh dari Fafa. Ikhsan sesekali menikmati singkong rebus dan kopi. Persis seperti mending mas Ruslan dan dirinya dahulu. Rusdi tersenyum mengingat kenangan dengan mendiang kakaknya.

Ehhem Ehhem

Dehem Rusdi, membuat Fafa dan Ikhsan menoleh.

"Assalamu'alaykum," sapa Rusdi.

"Wa alaykumusalam," jawab Fafa dan Ikhsan bersamaan.

"Silahkan duduk dulu, Paklik. Fafa sudah bikinkan teh hangat!" 

"Iya, Nduk." Rusdi langsung duduk di dekat Ikhsan. Lalu mengambil secangkir teh hangat dan menyesap isinya perlahan. Dirinya mengamati Ikhsan yang asyik mengerjakan tugas sekolahnya.

"Masih banyak Le tugasnya?"

"Iya, Paklik. Sebagai ganti tugas selama satu minggu tidak masuk sekolah. Paklik, kalau misalnya nanti siang, San bawa buku pelajaran nggak papa?"

"Ya nggak papa Le, tugasnya bisa dikerjakan di sana juga. Kalau ada yang nggak bisa, bisa tanya suami kakakmu!"

"He ..., he ..., malu."

"Kenapa malu, 

Le! Calon suami kakakmu itu pintar. Dia ahli buat peralatan canggih," ujar Rusdi. Ikhsan langsung tertarik mendengar perkataan Rusdi.

"Benarkah? Wah asyik! Nanti San mau minta tolong menyelesaikan tugas robotik!" seru Ikhsan. Fafa melihat adiknya antusias geleng-geleng. 'Apa dia lupa, kalau kemarin malam bilang orangnya menyeramkan,' batin Fafa.

Jadwal Fafa hari ini hanya mengantar Ikhsan ke rumah sakit. Sedangkan Rusdi belanja oleh-oleh. Ketiganya berharap sebelum pukul 14:00 WIB sudah berkumpul di rumah. Untuk sekedar bisa istirahat sejenak dan membersihkan diri sebelum berangkat ke Jakarta naik kereta api-sesuai permintaan Ikhsan. Untuk itu Fafa berniat berangkat ke rumah sakit sepagi mungkin, karena loket pendaftaran sudah buka sejak pukul 07:00 WIB.

"Dik, sudah pukul 06:00 WIB, mandi dulu sana gih! Air hangatnya sudah kakak siapkan," perintah Fafa. Ikhsan langsung membereskan buku-bukunya, kemudian membawanya masuk ke kamarnya.

Setelah sarapan, Fafa dan Ikhsan langsung meluncur ke rumah sakit dengan naik motor. Sedangkan Rusdi masih ada di rumah, karena toko langganan oleh-oleh baru buka pukul 07:30 WIB. Rencananya setelah dari rumah sakit, Fafa dan Ikhsan akan berkunjung ke makam kedua orang tuanya.

Setelah membersihkan diri, Rusdi ke halaman depan. Ternyata tetangga sekaligus kawan Rusdi mengobrol di pos, yang tidak jauh dengan rumah Fafa. Langsung saja, Rusdi bergabung sekaligus bernostalgia dengan tetangga kanan kiri. Tetangga sebelah rumah Fafa: Pak Budi, Pak Eko, dan Pak Junaedi. Melihat kedatangan Rusdi ketiganya tersenyum lebar. Ya, mereka memang sepantaran, ketiganya kawan Rusdi sekolah maupun bermain. Setelah ayah dan ibu Fafa meninggal dunia, Rusdi sengaja meminta bantuan mereka untuk ikut mengawasi kedua keponakannya itu. Bagaimanapun, Fafa dan Ikhsan adalah tanggungjawabnya walaupun mereka sudah remaja. Pengawasan tetaplah sangat penting.

Menjelang dhuhur, Rusdi sudah sampai di rumah kembali. Istirahat sejenak, kemudian packing oleh-oleh yang dipesan istrinya. Rusdi lantas berselonjor di sofa ruang tengah. Memejamkan matanya dan membatin, 'Mas Ruslan maafkan Di, yang belum bisa membantu saat Ikhsan mendapat musibah. Pada akhirnya ini yang terjadi, Fafa menikah diusia muda. Semoga Fafa sabar menghadapi Ian. Mas Ruslan, Andrian itu sebenarnya laki-laki baik. Akan tetapi karena musibah yang bertubi-tubi disaat usianya masih anak-anak, menjadikan orang seperti sekarang ini. Mas Ruslan dan Mbak Siti tenang saja, Di tetap mengawasi Fafa, walaupun dia sudah menikah. Sekali lagi, maafkan Di.' 

Ikhsan dan Fafa sudah tiba di rumah sekitar pukul 13:00 WIB. Setelah membersihkan diri dan sholat dhuhur. Fafa segera membangunkan Rusdi.

"Paklik bangun!" ucap Fafa pelan sambil menggoyang lengan Rusdi.

Rusdi mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu mengusap wajah dengan telapak tangannya. Menoleh melihat Fafa yang sedang duduk di single sofa.

"Nduk, sudah pulang?" tanya Rusdi sembari duduk menegakkan badannya menghadap Fafa.

"Iya, Paklik." Rusdi melihat jam di dinding, sudah pukul 13:45 WIB. Ternyata lama tidurnya tadi.

"Paklik mau mandi dulu terus sholat dhuhur," ujar Rusdi langsung bangkit dari duduknya.

Rusdi, Fafa, dan Ikhsan bergegas berangkat ke Stasiun Kediri, begitu waktu sudah menunjukkan pukul 16:00 WIB. Ikhsan paling antusias karena keinginannya terwujud, ke Jakarta naik kereta api eksekutif. Setelah menunggu tak kurang dari 30 menit, Kereta Gajayana jurusan Malang-Jakarta datang. Dengan langkah tertatih dan wajah berbinar Ikhsan naik ke atas kereta.

"Dik, hati-hati," tegur Fafa.

"Iya Kak," jawab Ikhsan riang.

"Sudah, biarkan saja Nduk," Rusdi menengahinya.

Fafa langsung membantu Rusdi, membawakan tas kecil yang isinya oleh-oleh. Sedangkan Rusdi menyeret kopernya sendiri dan koper Ikhsan.

Setelah mendapat tempat duduknya. Ikhsan masih saja berdecak kagum, sembari menunjukkan pada teman satu gengnya. Tak berapa lama kereta berangkat.

***

Di Kediaman Andrian, Jakarta

Menjelang maghrib, Rusdi mengirim chat pada Ian, jika kereta sudah berangkat dan kemungkinan besok selepas subuh baru sampai Jakarta. Ian langsung mengambil ponselnya yang ada di saku kursi rodanya. Setelah membaca dan membalas chat tersebut, Ian bergegas masuk ke dalam lab-nya. 

Jika Rusdi ada tugas luar seperti sekarang ini, maka tugas yang biasa dikerjakannya diambil alih oleh Anto. Dua orang inilah yang selalu melayani Ian, selain Tini. Anto sendiri merupakan sopir mengantikan tugas Rusdi. Anto direkrut oleh Ian sepuluh tahun lalu, saat Rusdi mengalami kecelakaan yang mengharuskannya bedrest selama 20 hari.

Semalam, setelah makan malam Ian terus berada di lab menyelesaikan proyeknya. Dia mendongakkan kepala, "sudah pukul 03:30 WIB," gumamnya pelan. Ini berarti calon pengantinnya sudah tiba di Jakarta. Ian segera keluar dari lab. Mengayuh kursi roda perlahan. Lagi dan lagi, tempat favorit-nya. Berdiam diri di sebelah jendela kaca. Tampak taman buatan mendiang ibu. 'Ibu, ayah, Ian akan menikahi perempuan itu. Ian tidak tau, apakah benar atau salah. Ian hanya merasa saat itu harus menikahinya. Ian berharap langkah Ian ini tidak salah. Ian hanya tidak ingin keturunan Andrinof berhenti pada Ian. Ibu, ayah, tolong restui Ian,' kata Ian dalam hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • My Husband's Secret   117. Pria Tua 2

    "Keduanya dalam keadaan baik, hanya sedikit shock. Sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit, Paman," anjur dr. Jessy. "Ada lagi yang bisa kubantu, Paman?"Anav mengibaskan telapak tangannya. Dr. Jessy memahami isyarat itu, dia berpamitan. "Dari dulu, Keluarga Milosevic tak tersentuh," gumamnya.Melalui ekor matanya, pria tua itu mengawasi setiap langkah dr. Jessy. Setelah memastikan dr. Jessy telah menjauh, Pria tua itu mulai mencerca sang anak."Kamu teledor, Lothar." Pria tua yang tak lain adalah Anav Milosevic menahan amarah. Disela-sela kemarahannyaAnav tersenyum menyeringai sangat tipis. Bahkan Lothar tidak menyadarinya.Lothar menunduk. Dia sadar akan kesalahannya. Anaknya hampir saja menodai adik ipar. "Maaf," ujar Lothar lemah.Anav membuang napas kasar. Di usia yang kian renta, kenapa masalah keluarga membuatnya semakin pusing. Dia juga harus bersiap menghada

  • My Husband's Secret   116. Pria Tua 1

    Dr. Thomas menyerahkan tas berisi ponsel kepada Aldric Dia juga sudah mengatur brankar Aldric naik sedikit hingga seperti bersandar. Aldric mengeluarkan ponsel perlahan dan memasukkan security code. Dr. Thomas dan George geleng-geleng melihat hal itu. Dia sama sekali tidak tampak seperti orang yang baru saja bangun dari tidur panjang selama satu bulan."Pergilah," ucap Aldric dingin. George mengelus tengkuknya, dia merasa ada yang tidak beres tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dr. Thomas dan George berjalan keluar kapsul. Saat dr. Thomas hendak memutar handle pintu, keduanya terhenti karena mendengar suara Aldric, "Andrian. Just Andrian." George dan dr. Thomas mengangguk.Kapsul kembali hening. Andrian langsung mengganti dinding kapsul yang semula transparan menjadi berwarna hitam. Dia langsung membuka Ghost System pada Private Application miliknya. Andrian tersenyum, gurat bahagia dan penuh kerinduan saat menatap lekat layar tab. Bebe

  • My Husband's Secret   115. Deja Vu

    Sander berdecak kesal. Fafa ternyata memakai baju dua lapis. Dia sedikit tidak sabar melepaskan pakaian yang melekat pada tubuh Fafa. Sander langsung merobek gamis tanpa lengan yang Fafa kenakan sebagai dalaman. Dia menatap lekat gadis hamil di hadapannya ini. Untuk sesaat, Sander takjub. Jadi seperti ini bagian yang terbungkus? Sander bersiul, dia tidak menyangka jika saat yang dinantikan telah tiba.Sander menyisir setiap inci tubuh Fafa dengan mata elangnya. Fafa membeku, dia tidak sanggup berkata-kata, pikirannya kosong dan akalnya hilang entah kemana bahkan tubuhnya sudah tidak memberontak seperti tadi. Fafa terhanyut oleh pesona netra biru Sander. Sejurus kemudian, Fafa memekik karena terkejut kala tubuh Sander tiba-tiba menimpanya.***London, InggrisTubuh Andrian bergetar hebat, seolah-olah tersengat aliran beratus volt. Kapsul mendadak riuh oleh suara peralatan dan tim dokter. Dr. Thoma

  • My Husband's Secret   114. Kelamku 2

    "Diam!" bentaknya. Suara pria itu membuat Fafa membeku dan berhenti meronta. Apakah dia tidak salah dengar! Dia familiar dengan suara ini. 'Ini seperti suara Kak Sander!' batin Fafa."Jalan!" perintahnya. Fafa perlahan melangkah dengan badan sedikit tegang. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria selain Andrian. Rasa takut mulai menyergap hatinya. Pikiran Fafa bercabang, antara menuruti pria ini ataukah berusaha melepaskan diri. Fafa sadar kondisi hamil muda sangat rawan untuk dia dan calon janinnya. Namun, bagaimana jika pria ini berbuat tidak senonoh. Apakah dia akan diam saja! Pria itu mendorong pelan Fafa menuju kamar Sander dengan sedikit sempoyongan. Fafa juga mencium aroma fruity dari telapak tangan pria yang membekapnya. Letak kamar Sander tidak jauh dari kamar tamu dan bersebelahan dengan ruang kerja Sander. 'Apakah benar ini Kak Sander. Kenapa membawaku ke kamarnya! Kenapa jalan Kak Sander seperti ini,' batin Fafa penuh pertanyaan. Fafa semakin merasa

  • My Husband's Secret   113. Kelamku 1

    "Nak ... Fa!" panggil Lothar. Jessy berinisiatif menyentuh lengan Fafa. "Eh ... iya." Fafa terkejut dan memutuskan lamunannya. Dia merasa tidak enak kepada Lothar dan Jessy, setelah melihat piring mereka berdua sudah terisi. "Maaf," ujarnya. "Makan dulu! Setelah itu kita berbincang. Ada hal yang ingin kutanyakan padamu!" Fafa mengangguk. Akhirnya, mereka bertiga makan, sesekali terdengar gurauan dan senyum mengembang dari ketiganya. "Hhmm. Menyenangkan!" gumam Sander. Dia melihat interaksi mereka bertiga dari layar ponsel. Entah apa yang ada dibenaknya sekarang. Dia seolah melihat gambaran keluarga kecil yang bahagia. Lihatlah pria lumpuh itu. Cih! Dia begitu bahagia, apa dia lupa jika gadis hamil itu istri keponakan bukan istri anaknya. Dasar pria tua tak tahu diri. "Sand, ayo!" ajak Becker, setelah kepalanya menyembul sedikit di sela pintu. Sander keluar dari aplikasi CCTV yang ada di ponselnya dan segera memasukkan ke saku cel

  • My Husband's Secret   112. Kerinduanku

    George mengembuskan napas kasar. Dia benar-benar dalam posisi sulit. Bagaimanapun kehidupan pribadi Aldric bukan urusannya. Kondisi rumah tangga sahabatnya ini tidak baik-baik saja, terlalu banyak rahasia yang Aldric sembunyikan dari sang istri. Dia harus mempersiapkan jawaban jika istri Aldric menanyakan dan itu adalah kebohongan. 'Aldric apakah ini maumu? Kamu di mana dan istrimu di mana! Kehidupan seperti inikah yang kamu sebut pernikahan!' batin George "Kita tunggu sampai masa trimester pertama lewat. Jika keadaan Aldric tetap belum ada perubahan kita beritahu istrinya," putus George. Rahman dan dr. Thomas menyetujuinya. Sebagai seorang istri, Fathimah adalah pihak yang paling berhak mengetahui keadaan suaminya. Akan tetapi hak itu sudah dicabut oleh suaminya sendiri. "Man, coba tanya istrinya. Dia ingin tetap di Berlin atau kita jemput!" lanjut George. "Yes, Sir." "Dok!" panggil George. Dr. Thomas tidak mengindahkan panggilan itu. Dr. Thomas asyi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status