Share

8. Perjalanan

Nun jauh di sana. Di sebuah ruang rahasia. Percakapan paman dan kedua keponakannya juga didengarnya dengan sangat jelas. Senyum tipis menghias wajahnya, turut mendengarkan obrolan itu. Menyeramkan katanya. Dia geleng-geleng mendengarnya. Dasar bocah.

Segera laki-laki itu keluar dari ruang rahasia. Menutup kembali pintunya. Mengunci dengan menekan tombol yang ada di bawah terminal listrik yang ada di belakang meja rias. Perlahan dia bergerak mendekati jendela kaca. Menatap taman yang ada di samping kamarnya. Ada begitu banyak hal yang sedang coba ditelaahnya dalam diam, sekarang ini. Siapapun jelas tak bisa menebak bahwa akan banyak keputusan besar penuh kejutan yang dibuatnya beberapa hari ke depan. Malam semakin larut, tapi lihatlah dia, tetap diam ditempat semula. Dingin dan sepi adalah teman dalam diamnya hingga kini.

***

Keesokan harinya 

Aktifitas di rumah Fafa sudah dimulai menjelang subuh. Setelah menyelesaikan sholat subuh dan membaca Alquran, Fafa mulai berkutat di dapur. Menyiapkan minuman hangat dan menu sarapan. 

Sepulangnya dari masjid, Rusdi segera menuju ke dapur. Tidak ada yang berubah dengan rumah ini, rumah warisan orang tuanya dan sudah diserahkan kepada Fafa dan Ikhsan. Rusdi tersenyum melihat kedekatan Ikhsan dan Fafa. Fafa dengan masakannya di depan kompor. Sedangkan Ikhsan belajar di meja makan yang tak jauh dari Fafa. Ikhsan sesekali menikmati singkong rebus dan kopi. Persis seperti mending mas Ruslan dan dirinya dahulu. Rusdi tersenyum mengingat kenangan dengan mendiang kakaknya.

Ehhem Ehhem

Dehem Rusdi, membuat Fafa dan Ikhsan menoleh.

"Assalamu'alaykum," sapa Rusdi.

"Wa alaykumusalam," jawab Fafa dan Ikhsan bersamaan.

"Silahkan duduk dulu, Paklik. Fafa sudah bikinkan teh hangat!" 

"Iya, Nduk." Rusdi langsung duduk di dekat Ikhsan. Lalu mengambil secangkir teh hangat dan menyesap isinya perlahan. Dirinya mengamati Ikhsan yang asyik mengerjakan tugas sekolahnya.

"Masih banyak Le tugasnya?"

"Iya, Paklik. Sebagai ganti tugas selama satu minggu tidak masuk sekolah. Paklik, kalau misalnya nanti siang, San bawa buku pelajaran nggak papa?"

"Ya nggak papa Le, tugasnya bisa dikerjakan di sana juga. Kalau ada yang nggak bisa, bisa tanya suami kakakmu!"

"He ..., he ..., malu."

"Kenapa malu, 

Le! Calon suami kakakmu itu pintar. Dia ahli buat peralatan canggih," ujar Rusdi. Ikhsan langsung tertarik mendengar perkataan Rusdi.

"Benarkah? Wah asyik! Nanti San mau minta tolong menyelesaikan tugas robotik!" seru Ikhsan. Fafa melihat adiknya antusias geleng-geleng. 'Apa dia lupa, kalau kemarin malam bilang orangnya menyeramkan,' batin Fafa.

Jadwal Fafa hari ini hanya mengantar Ikhsan ke rumah sakit. Sedangkan Rusdi belanja oleh-oleh. Ketiganya berharap sebelum pukul 14:00 WIB sudah berkumpul di rumah. Untuk sekedar bisa istirahat sejenak dan membersihkan diri sebelum berangkat ke Jakarta naik kereta api-sesuai permintaan Ikhsan. Untuk itu Fafa berniat berangkat ke rumah sakit sepagi mungkin, karena loket pendaftaran sudah buka sejak pukul 07:00 WIB.

"Dik, sudah pukul 06:00 WIB, mandi dulu sana gih! Air hangatnya sudah kakak siapkan," perintah Fafa. Ikhsan langsung membereskan buku-bukunya, kemudian membawanya masuk ke kamarnya.

Setelah sarapan, Fafa dan Ikhsan langsung meluncur ke rumah sakit dengan naik motor. Sedangkan Rusdi masih ada di rumah, karena toko langganan oleh-oleh baru buka pukul 07:30 WIB. Rencananya setelah dari rumah sakit, Fafa dan Ikhsan akan berkunjung ke makam kedua orang tuanya.

Setelah membersihkan diri, Rusdi ke halaman depan. Ternyata tetangga sekaligus kawan Rusdi mengobrol di pos, yang tidak jauh dengan rumah Fafa. Langsung saja, Rusdi bergabung sekaligus bernostalgia dengan tetangga kanan kiri. Tetangga sebelah rumah Fafa: Pak Budi, Pak Eko, dan Pak Junaedi. Melihat kedatangan Rusdi ketiganya tersenyum lebar. Ya, mereka memang sepantaran, ketiganya kawan Rusdi sekolah maupun bermain. Setelah ayah dan ibu Fafa meninggal dunia, Rusdi sengaja meminta bantuan mereka untuk ikut mengawasi kedua keponakannya itu. Bagaimanapun, Fafa dan Ikhsan adalah tanggungjawabnya walaupun mereka sudah remaja. Pengawasan tetaplah sangat penting.

Menjelang dhuhur, Rusdi sudah sampai di rumah kembali. Istirahat sejenak, kemudian packing oleh-oleh yang dipesan istrinya. Rusdi lantas berselonjor di sofa ruang tengah. Memejamkan matanya dan membatin, 'Mas Ruslan maafkan Di, yang belum bisa membantu saat Ikhsan mendapat musibah. Pada akhirnya ini yang terjadi, Fafa menikah diusia muda. Semoga Fafa sabar menghadapi Ian. Mas Ruslan, Andrian itu sebenarnya laki-laki baik. Akan tetapi karena musibah yang bertubi-tubi disaat usianya masih anak-anak, menjadikan orang seperti sekarang ini. Mas Ruslan dan Mbak Siti tenang saja, Di tetap mengawasi Fafa, walaupun dia sudah menikah. Sekali lagi, maafkan Di.' 

Ikhsan dan Fafa sudah tiba di rumah sekitar pukul 13:00 WIB. Setelah membersihkan diri dan sholat dhuhur. Fafa segera membangunkan Rusdi.

"Paklik bangun!" ucap Fafa pelan sambil menggoyang lengan Rusdi.

Rusdi mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu mengusap wajah dengan telapak tangannya. Menoleh melihat Fafa yang sedang duduk di single sofa.

"Nduk, sudah pulang?" tanya Rusdi sembari duduk menegakkan badannya menghadap Fafa.

"Iya, Paklik." Rusdi melihat jam di dinding, sudah pukul 13:45 WIB. Ternyata lama tidurnya tadi.

"Paklik mau mandi dulu terus sholat dhuhur," ujar Rusdi langsung bangkit dari duduknya.

Rusdi, Fafa, dan Ikhsan bergegas berangkat ke Stasiun Kediri, begitu waktu sudah menunjukkan pukul 16:00 WIB. Ikhsan paling antusias karena keinginannya terwujud, ke Jakarta naik kereta api eksekutif. Setelah menunggu tak kurang dari 30 menit, Kereta Gajayana jurusan Malang-Jakarta datang. Dengan langkah tertatih dan wajah berbinar Ikhsan naik ke atas kereta.

"Dik, hati-hati," tegur Fafa.

"Iya Kak," jawab Ikhsan riang.

"Sudah, biarkan saja Nduk," Rusdi menengahinya.

Fafa langsung membantu Rusdi, membawakan tas kecil yang isinya oleh-oleh. Sedangkan Rusdi menyeret kopernya sendiri dan koper Ikhsan.

Setelah mendapat tempat duduknya. Ikhsan masih saja berdecak kagum, sembari menunjukkan pada teman satu gengnya. Tak berapa lama kereta berangkat.

***

Di Kediaman Andrian, Jakarta

Menjelang maghrib, Rusdi mengirim chat pada Ian, jika kereta sudah berangkat dan kemungkinan besok selepas subuh baru sampai Jakarta. Ian langsung mengambil ponselnya yang ada di saku kursi rodanya. Setelah membaca dan membalas chat tersebut, Ian bergegas masuk ke dalam lab-nya. 

Jika Rusdi ada tugas luar seperti sekarang ini, maka tugas yang biasa dikerjakannya diambil alih oleh Anto. Dua orang inilah yang selalu melayani Ian, selain Tini. Anto sendiri merupakan sopir mengantikan tugas Rusdi. Anto direkrut oleh Ian sepuluh tahun lalu, saat Rusdi mengalami kecelakaan yang mengharuskannya bedrest selama 20 hari.

Semalam, setelah makan malam Ian terus berada di lab menyelesaikan proyeknya. Dia mendongakkan kepala, "sudah pukul 03:30 WIB," gumamnya pelan. Ini berarti calon pengantinnya sudah tiba di Jakarta. Ian segera keluar dari lab. Mengayuh kursi roda perlahan. Lagi dan lagi, tempat favorit-nya. Berdiam diri di sebelah jendela kaca. Tampak taman buatan mendiang ibu. 'Ibu, ayah, Ian akan menikahi perempuan itu. Ian tidak tau, apakah benar atau salah. Ian hanya merasa saat itu harus menikahinya. Ian berharap langkah Ian ini tidak salah. Ian hanya tidak ingin keturunan Andrinof berhenti pada Ian. Ibu, ayah, tolong restui Ian,' kata Ian dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status