Aku tersaruk-saruk ketika berusaha menyejajari langkah Xabi sembari menyeret koperku yang sepertinya bertambah berat kalau dibandingkan dengan saat aku datang ke hotel ini. Aku tidak tahu mengapa aku harus repot-repot mengejar Xabi dan berlarian di lobi hotel seakan-akan aku cinta setengah mati kepada pemuda itu. Padahal setelah dipikir-pikir lagi, apa yang kukatakan memang benar adanya.
Jadi, aku sama sekali tidak tahu alasan mengapa bayi besar ini merajuk padaku. Setelah membuatku merasa bersalah dikarenakan caranya menatapku di kamar tadi, sekarang dia mendramatisir aksinya dengan mogok bicara padaku. Apalagi raut wajahnya sama sekali tidak sedap dipandang. Orang lain yang melihat kami mungkin akan mengira kami sepasang kekasih.
Oke. Aku dan Xabi memang bertunangan, tapi bukan berarti kami bisa digo
Cowok Berlesung Pipi : Ra, bagaimana kabarmu? Seminggu yang lalu aku datang ke hotel tempatmu menginap, tetapi kata resepsionis kamu sudah lama check-out. Sekarang kamu di mana? Kamu baik-baik saja, ‘kan? Sebenarnya aku ragu mengirim pesan ke nomor ini, tapi aku mengkhawatirkanmu. Kalau kamu sudah pulang dan sudah membaca pesan ini, tolong balas secepatnya supaya aku tenang. Cowok Berlesung Pipi : Aku merindukanmu. Maaf karena waktu itu aku sudah bersikap seperti berengsek. Cowok Berlesung Pipi :
“Tante nggak menyangka kalau kalian akan datang lebih cepat, jadi masakannya belum selesai. Kamu jadi repot-repot bantuin masak.” Aku tersenyum meskipun kusadari bahwa Tante Rani tidak bisa melihatnya karena posisiku yang memunggunginya. Konsentrasiku hampir sepenuhnya terpusat pada capcay di hadapanku. Tante Rani memasukkan potongan sosis dan bakso, kemudian kuaduk masakan itu dengan penuh kehati-hatian dan kasih sayang.Bukannya aku sama sekali asing dengan dapur, tetapi biasanya aku datang ke dapur hanya untuk mengambil makanan. Paling banter aku memasak mi instan. Untuk memasak makanan sungguhan, ini pengalaman pertama bagiku. Aku berusaha agar tidak terlihat kikuk ketika memegang spatula. Singkat cerita, aku hanya membantu mengadu
Lagi-lagi nama Xabian yang tertera pada layar ponselku. Tanpa keraguan sedikit pun, aku menolak panggilan itu untuk yang kesekian kalinya. Sudah delapan hari berlalu sejak acara makan siang penuh bencana itu dan aku masih terus menghindari Xabian. Kemudian, terdengar denting notifikasi dari ponselku. Tampaknya Xabian masih tidak mau menyerah karena sekarang dia mengirimiku pesan. Tuan Perajuk : Ra, kita harus bicara. Ponselku berdenting lagi. Tuan Perajuk : Sampai kapan lo
Mereka menatapku seolah aku baru saja mengumumkan akan berparade di jalan raya sembari bertelanjang bulat. Rahang ketiganya ternganga. Ingin rasanya aku meleburkan diri dengan kursi yang tengah kududuki. Wajahku terasa panas, bisa dipastikan sekarang mulai memerah. Aku berdeham, lalu melanjutkan, “Aku … ada yang menawariku menjadi model untuk produk mereka. Aku ingin mencoba. Aku bosan setiap hari hanya di rumah tanpa mengerjakan apa pun yang berguna.” Yang terpenting, aku ingin terlepas dari bayang-bayang nama besar kedua orang tuaku.“Lo bisa kerja di kantor sama gue, Ra. Jadi sekretaris gue atau jadi salah satu desainer di perusahaan kita. Desain lo bagus-bagus,” ujar Gamma.“Atau kerja di butik Mama,” Mama menyahut.Aku sudah menduga hal ini. Mereka pasti akan berusaha
“Pagi Ma, Pa,” sapaku.Aku turun bersama Gamma. Dia sudah rapi dan siap berangkat ke kantor, begitu pula denganku yang sudah siap untuk berangkat ke pemotretan pertamaku. Jika Gamma begitu formal dengan setelan jasnya, penampilanku justru kebalikannya. Aku hanya mengenakan celana jins ketat serta kemeja putih oversize. Rambutku dikucir ekor kuda. Aku membawa ransel kecil sekadar untuk membawa ponsel dan dompet. Kukecup pipi Papa dan Mama bergantian. Keduanya balas mengecup pipi kemudian keningku, kemudian tersenyum padaku. Aku nyengir lebar.“Jangan nyengir terus. Nanti wajah lo bisa-bisa retak,” gerutu Gamma sembari menuang jus jeruk untuk dirinya sendiri. Cengiranku semakin lebar dan Gamma membalas dengan memutar-mutar bola matanya.
Baru sekitar dua jam kemudian aku siap menjalani pemotretan. Aku harus berupaya keras untuk meredam emosiku. Dan sekarang, kemarahanku berubah menjadi perasaan tidak enak hati kepada tim yang bekerja. Mereka tidak mengeluh meski kutahu mereka pasti kesal padaku.Aku keluar dari ruanganku dan menemukan Xabi yang ternyata sudah memulai sesinya lebih dulu. Sedangkan Gamma tidak tampak batang hidungnya sama sekali—mungkin dia sudah pergi ke kantornya sendiri. Aku duduk menunggu sesi pemotretanku tiba.Selama menunggu, diam-diam aku mengawasi Xabi yang tampak begitu santai. Dia berpose seolah di tempat ini hanya ada dirinya seorang. Xabi tampak begitu menikmatinya. Dan aku tersadar kalau memang inilah dunianya. Dia sudah berkecimpung di dunia hiburan semenjak usianya masih belasan tahun. Kami bersitatap dan kulihat ada kelegaan pada sorot matanya dan aku cepat
“Lo nggak mau mampir, ‘kan?” Nara bertanya ketika mobil Xabi melewati gerbang rumahnya. Xabi tak menjawab. Pandangannya lurus ke depan. Nara mendengus ketika tidak mendapatkan respons yang diinginkannya.Begitu pemotretan selesai, Xabi memerintahkan supaya gadis itu pulang bersamanya. Naraya menurut meski sembari bersungut-sungut. Dia mengajak gadis itu ke sebuah taman. Ia ingin berbicara lebih banyak dengan Naraya, tetapi kata-kata itu berhenti di ujung lidahnya. Lidahnya terasa kelu. Apalagi ketika melihat Naraya yang masih saja menjaga jarak setelah apa yang mereka lewati hari ini.Pemuda itu membantu Naraya melepaskan sabuk pengaman, kemudian sebelum Naraya sempat menghindar, dia mengecup pipi gadis itu, kemudian langsung turun dari mobil untuk membukakan pintu. Naraya sempat tertegun meski hanya sejenak, kemudian dia turun dari mobil dan
Aku memakai gaun hitam gemerlapan berlengan panjang dengan belahan dada rendah. Gaun ini terbuat dari kain sutra berwarna hitam pekat, dilapisi kain hitam berkerlap-kerlip yang memberikan kesan seolah gaun ini ditaburi serbuk bintang. Roknya melambai di belakangku dengan belahan yang mengekspos kakiku ketika melangkah. Bibirku diberi pewarna merah pekat, dan garis mataku dibuat lebih tebal dengan sudut tajam.Ketika memejamkan mata, bulu mataku terasa menggelitik pipi. Rambutku digulung ke atas sehingga leher serta dadaku semakin terekspos. Perias itu menyematkan hiasan perak berbentuk jalinan daun dan bunga-bunga kecil. Tanpa perhiasan apa pun selain cincin batu rubi di jari manis tangan kananku. Satu kata yang bisa menggambarkan penampilanku sekarang. Brutal dan kejam.Kupastikan riasanku baik-baik saja sebelum