Padahal Jisya sudah merelakan waktu untuk bertemu dosen pembimbing, tapi ternyata dosennya ada kepentingan mendesak yang tidak bisa ditinggalkan. Dari pada menggerutu tidak jelas, Jisya memilih menenangkan diri di kantin kampus. Setidaknya, ada sesuatu yang masuk ke dalam lambungnya sedikit meredam emosinya sambil menunggu Yuna yang tengah mengurus administrasi kuliah.
Kaki jenjangnya melangkah menuju meja kasir untuk memesan minuman. Ketika matcha latte dingin yang menjadi minuman favoritnya telah berhasil dia genggam, Jisya mengedarkan pandangannya mencari meja kosong. Hingga pandangannya tertuju pada salah satu meja di sudut kantin yang dekat dengan taman. Sambil mengaduk minumannya, gadis itu berjalan menuju meja itu.
Namun, di pertengahan langkahnya, kaki Jisya tersandung oleh kaki seseorang hingga membuatnya jatuh tersungkur dan gelas plastik yang dia bawa pecah. Matcha latte yang baru saj
Jisya dan Yuna tengah berada dalam taksi yang sama. Yuna sibuk menenangkan Jisya yang masih emosi mengingat pertengkarannya dengan Linzy yang tak ada habisnya. Padahal biasanya Jisya paling hebat dalam masalah pengendalian emosi, tapi entah mengapa hanya mengahadapi seorang Linzy mampu membuatnya berapi-api."Udah lah, Sya... Jangan diinget-inget lagi. Kamu kan baru sembuh. Aku nggak mau lihat kamu sakit lagi gara-gara kepikiran cewek nggak waras tadi.Jisya berkali-kali menarik napas panjangnya untuk mengatur kembali emosinya. Benar yang dikatakan Yuna. Kalau dia terus-terusan mengingat Linzy, bisa-bisa membuat imunitasnya menurun. "Tapi, Yuna... Dia it---""Sssttt... Udah, lupain aja. Anggap kita nggak pernah kenal sama dia." Yuna sengaja memotong ucapan Jisya agar gadis itu tak semakin berlarut-larut mengingat tentang Linzy.
Pagi-pagi Yuna sudah mengerjapkan matanya karena cahaya matahari lamat-lamat mulai memasuki penglihatannya melalui celah jendela kaca. Terbangun tanpa sehelai benang pun yang membungkus tubuhnya di balik semut tebal bersama dengan Abin yang masih setia melingkarkan tangan di perutnya. Perlahan Yuna melepas tagan Abin dan mulai memunguti potongan-potongan pakaiannya, lantas memasuki kamar mandi.Merosotkan tubuhnya di balik pintu dengan perlahan. Meremas rambutnya dengan kuat dan isakan yang tertahan. Lagi-lagi Yuna melakukan kesalahan dengan Abin. Dia terpaksa melakukannya atas tawaran Abin yang ingin menjadikannya teman saling menguntungkan. Abin berjanji akan membayar semua biaya kuliahnya dan membantu pengobatan orang tuanya di kampung halaman jika Yuna bersedia menjadi teman untuk melampiaskan nafsunya.Awalnya Yuna menolak sangat keras tawaran Abin. Tapi, karena sudah terdesak, Yuna tidak punya pilihan lagi. Toh, Ab
Kebetulan sekali Yuna dan Jisya sedang tidak ada jadwal konsultasi dengan dosen. Mereka sudah mengatur jadwal untuk bertemu dengan Dion selaku CEO agensi yang menaungi Jisya di dunia permodelan. Seperti janjinya pada Jisya, Dion langsung menerima Yuna sebagai model di agensinya tanpa seleksi. Dari awal Dion memang sudah tertarik dengan aura Yuna, hanya saja perempuan itu selalu menolak tawarannya."Minggu depan kamu bisa mulai pemotretan lipstik. Gue udah taken kontrak sama brandnya. Kamu banyak-banyak latihan sama Jisya. Gue yakin kamu gampang diarahin."Di ruangannya, Dion mengajak Yuna dan Jisya mengobrol santai. Baru saja bergabung, Yuna sudah ditawari pekerjaan. Otomatis Jisya bertepuk tangan gembira karena sahabatnya tak butuh waktu lama untuk masa pelatihan. Tapi, di tengah acara Jisya mendapat telepon dari dosennya untuk segera ke kampus dan terpaksa meninggalkan Yuna sendiri dengan Dion.Sementa
Setelah diterima menjadi model, Yuna memutuskan untuk mengakhiri perjanjiannya dengan Abin. Dia sudah menghubungi Abin dan meminta untuk bertemu. Kebetulan juga suasana hati Abin sedang tidak nyaman. Dia ingin Yuna menemaninya, bahkan mengusir Linzy secara halus dengan alasan latihan band.Yuna yang telah diberi kebebasan oleh Abin untuk mengakses apartemennya membuka pintu dengan ragu-ragu. Ketika masuk dia melihat Abin duduk di sofa dengan wajah berantakan. "Bin...," panggilnya dengan suara lirih.Mendengar suara merdu Yuna, Abin langsung bangkit dan memintanya untuk duduk bersebelahan. "Tumben kamu mau ketemu aku?" tanya Abin ketika Yuna sudah duduk di sebelahnya memangku kedua tangnnya."Ada yang mau aku bicarakan sama kamu, Bin.""Bicara apa, hm?" tanya Abin sambil menyisipkan helaian rambut ke belakang telinga Yuna dan sesekali mengendus leher perempuan itu. Yuna yang masih belum t
Akhirnya Abin mau berhenti juga dan kembali menaikkan celana dalam Yuna. Yuna pun bangkit bersamaan dengan Abin yang memakai kembali pakaiannya. Perempuan itu mengaitkan kembali branya dengan susah payah. Abin yang bisa membaca maksud Yuna pun langsung mengambil alih untuk membantunya.Yuna menatap nanar kemeja putihnya yang sudah tidak karuan. Semua kancingnya terlepas dan tidak bisa dikaitkan lagi. "Aku pulangnya gimana, Bin?"Abin langsung berdiri dan masuk ke dalam kamarnya. Tak berselang lama dia keluar dengan membawa kemeja putih wanita. "Pakai ini aja."Yuna mengernyitkan keningnya ketika menerima kemeja itu. "Punya siapa?""Punya mantan aku."Yuna meletakkan kembali kemeja itu dengan raut wajah masam. "Kamu katanya baru ngelakuin sama aku?"Melihat wajah cemburu Yuna membuat Abin terkekeh. Dia menangkup kedua pipi perempuan itu dengan telapak tan
Jisya tengah sibuk menghapus make up setelah sesi pemotretan. Tak lupa juga melepas perhiasan yang dia pakai dibantu seorang perempuan yang menjadi assistannya. Di sebelahnya juga ada Yuna yang masih mempersiapkan diri untuk pemotretan pertamanya."Jisya, aku nervous banget nih. Gimna kalau pemotretannya gagal?""Makanya jangan nervous. Kalau kamu nervous, hasilnya nggak bakal maksimal. Santai aja, Yuna. Kamu pasti bisa kok. Percaya deh sama aku."Yuna mengulas senyumnya dengan manis. Jisya selalu membuatnya merasa tenang. "Makasih, Sya.""Itu kan gunanya teman? Kalau nggak saling support buat apa?""Yuna, lima menit lagi take." Manager Jisya yang sekaligus menjadi manajer Yuna memberi aba-aba untuk Yuna agar segera bersiap.Ketika Yuna meninggalkan ruangan itu, Abin tiba-tiba datang meghampiri Jisya dengan menutup mata perempuan itu dari belakang. "Abin...," peringat Jisya dengan lembut.Abin melepas tangannya dan t
Linzy berjalan menyusuri koridor kampus bersama dua teman barunya sambil memelintir rambut dengan jari. Tanpa sengaja dia melihat Yuna yang tengah sibuk membawa tumpukan dokumen di tangannya. Mengingat Yuna teman dekat Jisya, Linzy berinisiatif menjaili untuk menjailinya.Mencetak seringaian tipis dan menahan langkah kedua temannya. "Guys guys!"Kedua temannya pun spontan menghentikan langkah dan menatap Linzy dengan kerutan kening. Linzy melirik keberadaan Yuna dengan mencurigakan. Mereka pun akhirnya tahu apa yang dimaksud Linzy."Cus!" Linzy mengayunkan tangannya untuk segera melakukan aksinya. Mereka bertiga berjalan sambil bergurau seolah tak peduli dengan sekitar. Dan ketika berpapasan dengan Yuna, Linzy sengaja membenturkan bahunya dengan kencang hingga membuat Yuna jatuh tersungkur dan dokumennya berserakan ke mana-mana. Lututnya membentur ujung kursi hingga mengluarkan banyak darah.
Jisya berjalan menuju ruang kesehatan seraya merogoh tas untuk mencari ponselnnya. Ketika sampai dia melihat Abin duduk menjauh dari Yuna dengan menyilangkan kaki seraya memainkan ponsel miringnya. Entah mengapa melihat kediaman Yuna dan Abin terasa mengganjal di hatinya."Kamu udah enakan?" Jisya menempelkan punggung tangannya pada kening Yuna. Tidak panas, hanya sedikit hangat."Udah enakan kok, Sya. Tadi Bu Indri gimana? Pasti marah ya sama aku? Bukan kamu kan yang dimarahi?"Jisya terlihat mengulas senyumnya. Terlihat tulus, hanya saja sebenarnya tak begitu. Jisya hanya pura-pra untuk melegakan prasangka Yuna. "Nggak kok. Bu Indri makhlumi. Tapi, aku belum bisa buktiin kalau itu ulahnya Linzy."Yun akahirnya bisa bernapas dengan lega. "Syukurlah kalau gitu. Makasih ya, Sya...." Jisya menganggukkan kepalanya dengan senyuman tulus. Dia akan selalu melakukan apa pun demi sahabatnya. Yun