Share

Bab 5 || Bukan Cinta!

-Apakah benar cinta itu datangnya dari mata lalu turun ke hati, lantas bagaimana jika tangga pertama itu hilang?  Masihkah ada kata cinta semanis saat pertama kali jumpa?-

“Eh, adek abang udah pulang,” pekik Revan menyambut kedatangan Jenia.

“Kenapa nih mukanya cemberut gitu?” kali ini Revan mencubit pipi adeknya itu. Percayalah di usia yang sudah menginjak SMA seperti ini wajah Jeania masih terlihat baby face.

“Aw... sakit, kak!” Jeania menggerutuki kakaknya.

Dari kejauhan terlihat Devi menggeleng-geleng melihat tingkah laku Revan itu. Sudah berapa kali Devi mengatakan agak tidak memperlakukan adik wanitanya itu seperti anak kecil. namun karena ini adalah sikap normal sebagai seorang manusia jadi Devi sedikit memakluminya, hanya sedikit.

“Mah, ini Kak Revan rese!” ketus Jeania. Tangannya mendekap di dadanya. Revan yang melihat ini hanya terkekeh, sebenarnya tangannya sudah tidak tahan untuk mencubit adiknya yang sangat manis itu untuk kesekian kalinya. Namun, apalah daya Devi ikut menimbrung dengan mereka.

“Gimana hari pertama di sekolah baru, sayang?” ujar Devi mengelus-ngelus tungkuk Jeania.

“Ngeselin, mah!” sergah Jeania. Wajahnya semakin terlihat kesal. Devi yang melihat itu mengernyitkan dahinya dan membuat alisnya saling bertaut.

Revan mengeluarkan handphone yang berada di saku celanannya.

Cepret...

“Ish... kak! Ngeselin banget, sih!” pekik Jeania. Akhirnya Revan berhasil mengabadikan wajah imut adiknya saat marah itu di handphonenya, dia begitu bangga.

Revan adalah kakak yang sangat menyayangi adiknya. Meskipun terlihat suka mengganggu adiknya seperti itu, tapi dia pernah mempunyai jasa menyelamatkan nyawa adiknya dulu.

Saat Jeania berusia 14 tahun...

Kala itu dia masih duduk di bangku SMP, dan saat hendak ingin menyebrang Jeania lalai untuk memperhatikan jalur kanan-kirinya hingga pada akhirnya sepeda motor sesaat hampir menabraknya, dan kakaknya dengan sigap mendorongnya.

“Jen!!! Awas.”

Beruntung saat itu tidak ada luka serius karena akhirnya hanya terjadi srempetan kecil, kalaupun Revan harus dirawat di rumah sakit beberapa hari. Selain itu Revan juga tidak jarang mentraktir adiknya saat ia kelaparan di tengah larutnya malam ia merengek-rengek kepada kakaknya, dan Revan rela membuang rasa kantuknya hanya untuk memenuhi kebutuhan perut Jeania. Berbanding jauh dengan yang lain, Jeania sangat manja kepada kakak satu-satunya itu.

“Revan, udah!” tegur Devi. Terlihat wajah Jeania begitu sumringah seperti seseorang yang menang berjudi.

“Rasain, lo!” Jeania menjulurkan lidahnya bermaksud memberi ejekan kepada kakaknya.

“Iya, mah. Revan bakal diem, tapi...” tiba-tiba Revan berhasil mencuri perhatian mamahnya yang lupa tidak memberi penjagaan ketat pada Jeania. Revan berhasil mencubit pipi Jeania sebelum ngacir meninggalkan mereka berdua.

“KAKAK!” teriak Jeania membuat seisi ruangan terkejut. Bahkan, ayahnya yang sedang asyik membaca koran sempat menoleh. Devi berdecak melihat kelakuan anak laki-lakinya itu.

“Kamu kenapa, sayang? Mukanya cemberut aja dari tadi,” tanya Devi berusaha membujuk Jeania agar bercerita.

“Paling juga ditolak cowok, mah,” pekik Revan tiba-tiba. Ternyata dia berlum pergi terlalu jauh.

Jeania memiliki keluarga yang masih lengkap, dan memiliki ekonomi yang bisa dikatakan sangat berkecukupan. Rumahnya saja disinggahi sekitar 8 orang beserta pembantu rumah tangga yang masing-masing memiliki tugas pribadinya. Albert sengaja merekrut pembantu agar istrinya tidak kelelahan hanya karena mengurus pekerjaan rumah.

Jeania mendongak melihat wajah Devi yang tersenyum manis, seakan siap menerima ceritanya kalaupun jika harus dilakukan selama 24 jam.

“Jen lagi kesel, mah. Tadi ada cowok ngeselin banget!” Jeania menduduk.

“Cowoknya cakep, mah,” cecar Jeania melanjutkan penjelasnnya. Devi tersenyum semakin lebar melihat anaknya itu bercerita.

“Mamah kok malah senyum?” tanya Jeania keheranan, sedikit kesal.

Devi mengehela nafas panjang, kemudian tangannya mengusap rambut Jeania yang menjuntai sangat rapi itu. Bahkan, saking rapinya teman-temannya dulu sering bertanya berapa kali Jeania melakukan perawatan rambut dalam sehari. Padahal Jeania itu adalah orang yang tergolong pemalas, hobinya saja rebahan, mana mungkin dia sempat melakukan perawatan rambut. Rambut lurusnya itu adalah turunan dari Devi ibundanya.

“Kamu suka sama dia!?” tanya Devi menatap lekat-lekat wajah Jeania yang mulai merona. Dengan  cepat Jeania menggeleng-gelangkan kepala tanda tidak setuju dengan pertanyaan sekaligus pernyataan yang dilontarkan Devi, lalu Jeania membuang jauh-jauh mukanya.

“Jangan ngadi-ngadi, mah!” tolak Jeania mentah-mentah. Kedua tangannya bersedekap.

Lagi-lagi Devi tersenyum lebar melihat anaknya itu. Devi berusaha memaklumi anaknya, memang sudah saatnya dia merasakan hal semacam itu. Tapi, jauh di lubuk hatinya masih sangat takut akan perihal buruk jika menimpa anaknya itu. Apalagi sekarang sedang maraknya berita buruk mengenai masa-masa pacaran SMA –banyak siswi hamil di luar nikah-  itu yang ditakutkan Devi.

“Yaudah sayang. Kamu ganti baju dulu, ya. Nanti mamah masakin makanan favorit kamu,” ujar Devi yang masih belum melepaskan tangannya di tengkuk Jeania.

“Loh, makanan kesukaan Revan gimana, mah!?” pekik Revan. Ternyata sedari tadi diam-diam sedang menguping.

“Revan...” Albert tiba-tiba memanggil anaknya, “ Kamu ikut papah sini, nak. Bantuin angkat barang-barang papah.”

Mendengar hal itu Jeania terkekeh, dia menjulurkan lidah lalu menorehkannya kepada Revan sang kakak yang sedang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Jeania merasa puas.

Okay, mah. Jeania ganti baju dulu.” Ujar Jeania meninggalkan Devi yang masih belum beranjak.

Drtt... drttt... drtt...

5 messages from Carina rese

“Jen!”

“JEANIAAA.”

“JEANIA ROSEMARIE.”

“LO KEMANA SIIIIIH!?”

“GUE ADA CERITA PENTING NIH!”

Jeania menghela nafas panjang membaca pesan masuk yang sudah membentuk seperti anak tangga dari teman.

“Baru temenan sehari aja udah brutal kek gini, dasar Carinna kamp*et,” sunggutnya kesal.

Semoga lo betah sama gue.

Tiba-tiba Jeania teringat kata-kata yang dilontarkan saat mereka masih berbasa-basi tadi pagi.

“Astaga, jadi ini alasanya dia ngomong gitu. Mampus gue!” Jeania menepuk jidatnya.

“Itu ngapain CAPSLOCKnya jebol siih?!” –kirim

Tring... tring... tring...

Tak berlangsung lama handphone Jeania berdering. Jeania sudah sedikit menebak akan terjadi hal semacam ini, dia paham bagaiamana sifat seseorang jika sudah sangat berantusias ingin bercerita.

“Lo dari mana, Jen!? Gue chat lima jem yang lalu baru bales aja bocah!” bentak Carina membuat Jeania harus menjauhkan handphonenya dari telingannya.

“Biasa aja, sih, ngomongnya! Bisa gak!?” gertak Jeania.

“Gue ada berita penting beut!” Carina tidak menanggapi gertakan Jeania.

“Apa...” jawab Jeania datar.

“Kak Xavier udah punya pacar tau.”

Dada Jeania terasa sesak seketika mendengar kalimat itu, nafasnya terasa berhenti untuk sesaat dan dia benar-benar terperangah seperti dilempar di ruangan yang sangat sunyi. Padahal Xavier adalah orang yang dia benci sejak pertama kali jumpa.

“Jadi gue beneran cemburu?” desis Jeania terdengar samar oleh Carina.

“Hah! Lo ngomong apa, Jen?” tanya Carina penasaran.

“Enggak, gak papa. Mak gue lagi nungguin, nih! Sorry ya, Rin.” Tanpa menunggu jawaban dari Rina, Jeania langsung mematikan sambungan telepon dari Carina.

Jeania merebahkan tubuhnya diatas kasur yang empuk, kasur yang selalu menemaninya setiap hari. Pikirannya kini berkutat pada perkataan yang dilontarkan Carina tadi.

Xavier udah punya pacar.

“Jeania, harusnya lo itu benci sama cowo sialan itu! Kenapa sekarang cemburu?! Jangan bego, Jen! Jangan bego!” jenia menggerutuki dirinya sendiri.

“Ingat, Jen! Ini bukan cinta!”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status