Sementara itu, Lorena langsung pergi ke kelasnya dan Alberto mencoba untuk mengejar Lorena. Alberto memanggil nama Lorena berkali-kali. “Lorena! Lorena!”
Lorena berpura-pura bahwa, ia tidak mendengar suara Alberto karena hatinya merasa sangat sakit.
“Buat apa aku memperhatikan suara Alberto dan menengok ke arahnya? Aku sangat tidak ingin menemui dirinya. Bagaimanapun ia tidak seharusnya berselingkuh dariku? Aku tahu bahwa, memang salahku yang sering menolak ajakan Alberto bermain dewasa tapi tidak seharusnya ia berselingkuh dengan Vega,” pikir Lorena.
“Mengapa Lorena tidak menengok ke arahku? Aku tahu, aku salah tapi apa dia sudah tidak mau mendengar pernyataan dariku lagi?” pikir Alberto.
Sesampainya di kelas, Lorena langsung berjalan ke kursinya dengan cepat. Sementara itu, Alberto masih mengejar Lorena. Semua mata tertuju ke arah mereka. Setelah itu, Lorena memilih duduk di kursinya. Bonita (sahabat Lorena) yang duduk di belakang Lorena langsung memahami ada masalah di antara Lorena dan Alberto. “Lorena, kenapa?”
“Cowok aku ...” Ucapan Lorena terpotong karena Alberto berjalan ke arahnya. Lorena langsung memalingkan wajahnya dari Alberto. Sementara itu, Alberto memilih untuk duduk di depan Lorena.
“Lorena!” Alberto memanggil Lorena.
“Kenapa cewekmu, Bert?” Bonita langsung mengernyitkan dahinya. Matanya yang belo dengan kedua irisnya yang berwarna hijau langsung menatap Alberto dengan tatapan bingung karena setahu Bonita hubungan Alberto dan Lorena baik-baik saja tapi Lorena sempat cemburu dengan Professor Vega.
“Enggak tahu.” Alberto mengangkat kedua bahunya dan menurunkan kedua bahunya lagi dengan cepat.
“Kamu lagi enggak mood?” Bibir kecil Bonita berkata dengan lembut ke arah Lorena.
“Lorena!” Alberto memanggil Lorena lagi dengan harapan Lorena menengok ke arahnya, tapi Lorena tidak ingin menatap Alberto. Lorena sudah merasa sangat jijik dengan Alberto.
Alberto langsung berdiri dan mendekat ke arah Lorena. Alberto langsung berusaha untuk menatap mata Lorena. Alberto langsung menggenggam tangan Lorena. “Lorena, please, dengerin aku!”
Lorena merasa risi dengan tingkah Alberto. Lorena langsung menekuk wajahnya, menatap Alberto dengan tatapan benci, dan berkata dengan ketus. “Kenapa?”
“Aku mau omongin sesuatu ke kamu tentang yang sebenarnya terjadi.”
“Omongin apa? Omongin tentang gaya kamu di ranjang sama Professor Vega? Omongin bagaimana nikmatnya Professor Vega di ranjang? Itu yang mau kamu omongin, right?” marah Lorena.
Bonita langsung menatap ke arah Lorena dengan tatapan bingung. “Memangnya, dia selingkuh sama Professor Vega?”
“Ya. Professor Vega kasih rekaman mereka sedang bermain di ranjang, Bonita!” marah Lorena.
“Bisa saja itu cara busuk Professor Vega untuk memutuskanmu dengan Alberto, Lorena. Professor Vega itu orangnya ambisius. Pasti dia akan berjuang segala cara untuk mendapatkan hati Alberto dan memenangkan persaingan cinta ini. Mana mungkin Alberto selingkuh dengan Professor Vega, Lorena? Dia itu sangat mencintaimu, Lorena.” Bonita memang sangat tidak percaya Alberto berselingkuh dengan Professor Vega.
“Mungkin saja. Makanya, dia bisa berselingkuh dengan Professor Vega. Hatinya sudah berubah, Bonita!” Lorena merasa sangat kecewa.
“Kamu sudah lupa, ya? Dulu, Alberto didekati Olivia dengan sekeras mungkin, tapi Alberto menolak Olivia. Kamu tahu, kan, Olivia itu cantik banget? Kulitnya putih. Hidungnya mancung. Matanya belo dengan kedua irisnya yang berwarna biru. Kurus, pintar, bibirnya kecil. Dia itu jauh lebih cantik dari Professor Vega. Kalau dia ingin mengkhianatimu, pasti dia akan lebih memilih untuk berselingkuh dengan Olivia daripada berselingkuh dengan Professor Vega, Lorena.” Lorena hanya memutar kedua bola matanya, karena ia merasa malas dengan kedua bola matanya.
“Ya, tapi Professor Vega jauh lebih menggoda daripada Olivia, Bonita,” bantah Lorena.
“Kenapa kamu bicara begitu? Memangnya, kamu menyaksikan sendiri mereka berselingkuh?” Bonita mengernyitkan dahinya dan menatap Lorena dengan bingung, karena ia merasa bingung dengan Lorena yang sangat tidak mempercayai Alberto sama sekali.
Lorena langsung menjawab pertanyaan Bonita dengan tegas. “Ya. Aku menyaksikan sendiri mereka sedang berselingkuh.”
Mata Alberto langsung melotot karena ia merasa sangat kaget. Alberto benar-benar tidak percaya bahwa, Lorena menyaksikan sendiri.
“Jadi, dia menyaksikan sendiri aku berselingkuh dengan Professor Vega. Pantas saja dia langsung percaya dengan Professor Vega. Biasanya, kalau ada rumor aku berselingkuh dengan orang lain, dia langsung membantahnya dengan keras dan membelaku dengan sangat keras,” ucap Alberto dalam hati.
Tidak lama kemudian, rasa penasaran Alberto muncul. Alberto langsung mengernyitkan dahi, karena Alberto merasa bingung. Seingat Alberto, Alberto tidak mendengar suara langkah kaki saat Alberto dan Vega sedang have a sex tadi. Alberto ingin bertanya, tapi ia memilih untuk terdiam. En boca cerrada no entran moscas.
Untungnya, Bonita berpikir yang sama sehingga ia bertanya kepada Lorena. “Bukannya kamu hanya mendengar dari rekaman itu?”
“Kamu lupa bahwa, aku ini penanggung jawab kelas ini untuk pelajaran Anatomi Manusia dan Fisiologi Manusia?” Lorena kembali bertanya kepada Bonita.
“Enggak. Aku ingat.” Bonita menjawab pertanyaan Lorena.
“Apa hubungannya?” Bonita merasa tidak ada hubungan antara posisi Lorena sebagai penanggung jawab di pelajaran Anatomi Manusia dan Fisiologi Manusia dengan Lorena yang melihat mereka sedang berkencan.
“Karena itu, aku menyaksikan mereka berselingkuh.” Tidak lama kemudian, Lorena mulai menceritakan cara ia dapat menyaksikan Alberto sedang berselingkuh dengan Professor Vega.
***
Saat itu, Lorena sedang berjalan ke ruang dosen untuk mengingatkan Professor Vega mengajar di kelasnya. Di saat itu, ia melihat seorang pria sedang duduk di kursi dosennya. Pria itu berkulit coklat, berhidung mancung, bermata sipit dengan kedua irisnya yang berwarna coklat. Pria itu sedang menyisir rambutnya klimisnya yang ikal dan berwarna coklat. Pria itu adalah Professor Chico.
“Professor, Professor lihat Professor Vega?” Lorena langsung melontarkan pertanyaan.
“Professor Vega?” Mata Professor Chico langsung melotot karena ia merasa sangat kaget Lorena menanyakan hal tersebut. Dirinya merasa bingung mengenai hal apa yang harus ia katakan. Ia tahu bahwa, Alberto sedang bermain dewasa dengan Professor Vega. Ia ingin mengatakan hal tersebut, tapi ia merasa tidak tega.
“Ya. Professor Vega.” Lorena meyakinkan Professor Chico. Karena menurut Lorena, Professor Chico mencoba untuk memastikan orang yang ditujukan Lorena.
Professor Chico langsung mengembuskan napasnya dengan berat. Ia lebih memilih membiarkan Lorena tahu dengan sendirinya daripada memberitahu Lorena, karena ia takut Lorena tidak percaya dengannya dan akan menjauh darinya. “Professor Vega ada di ruangannya. Ruangannya ada di lantai dua di sebelah kiri laboratorium Anatomi Manusia dan Fisiologi Manusia.”
“Baik, Professor. Terima kasih!” Lorena langsung pergi dari ruangan tersebut menuju ruangan Professor Vega. Sesampainya di ruangan Professor Vega, ia mendengarkan suara desahan-desahan dan erangan-erangan dari Professor Vega dan Alberto.
Siapa yang sedang berkencan? Kok sangat mirip dengan suara Alberto? Apa Alberto sedang berkencan dengan Professor Vega? Begitulah pikir Lorena saat itu. Karena Lorena hapal betul suara Alberto, Lorena sangat yakin bahwa, orang yang ada di dalam tempat tersebut adalah Alberto dan Professor Vega.
***
“Jadi, mau Professor Vega memberikan bukti rekaman suara dan memutarkan bukti rekaman suara kepadaku ataupun tidak, aku akan tetap percaya bahwa, kamu bermain dewasa dengan Professor Vega, Alberto.” Perkataan Lorena yang membuat Bonita langsung menampar pipi Alberto dengan keras dan Bonita yang mengejek Alberto.
“Dasar cowok playboy! Kamu jahat, Alberto! Kamu cowok brengsek!”
Gawat! Lorena sudah tahu apa yang terjadi? Aku harus bagaimana? Begitulah pikir Alberto. Untungnya, dengan cepat ia menemukan ide untuk mengatakan bahwa, dirinya dipaksa oleh Professor Vega. “Enggak begitu. Aku dipaksa.”
“Dipaksa apa?” Lorena menatap Alberto dengan tatapan bingung. Karena setahu Lorena, tidak ada pemaksaan dari tadi. Tidak ada kekerasan yang diberikan oleh Professor Vega kepada Alberto. Tidak ada pengancaman nilai juga. Alberto dan Professor Vega saling mencintai sehingga mereka mau bermain dewasa bersama.
“Seperti yang kamu katakan tadi, Bonita, Professor Vega itu orangnya ambisius. Ia memaksaku untuk bermain dewasa dengannya. Kalau tidak, aku akan tidak diluluskan oleh Professor Vega, Bonita. Maafkan aku, Lorena! Mungkin aku terkesan sangat jahat di depan kalian. Tetapi kalian tahu, aku ini harus lulus cepat karena memang untuk kuliah ini aku berusaha mencari uang dengan sangat keras dan aku tidak mendapatkan beasiswa, Bonita. Jadi, mau ataupun tidak mau aku harus menuruti permintaan Professor Vega.” Alberto langsung menceritakan cerita palsunya dan berpura-pura bahwa, ia merasa sangat terpaksa untuk bermain dewasa dengan Professor Vega.
“Masa, sih? Aku rasa, Professor Vega tidak sejahat itu, Alberto.” Lorena merasa tidak percaya dengan perkataan Alberto.
“Tetapi, itu faktanya. Karena itu, aku bermain dewasa dengan Professor Vega. Kalau tidak seperti itu, tentu saja aku tidak akan bermain dewasa dengan Professor Vega. Aku itu sangat mencintaimu, Lorena.” Alberto berusaha meyakinkan Lorena.
“Oh begitu. Aku tidak menyangka Professor Vega akan sejahat itu,” komentar Bonita.
“Ya, aku juga. Maafkan aku! Aku telah salah sangka denganmu, Alberto,” kata Lorena.
Lorena percaya bahwa, apa yang dikatakan oleh Alberto itu benar karena ia hanya menyaksikan sedikit momen Alberto dan Vega bermain dewasa dari momen permainan dewasa mereka yang tentu jauh lebih lama. Mendengar perkataan Lorena, Alberto langsung mengembuskan napasnya. Hatinya merasa tenang, karena Lorena telah percaya dengannya. Alberto masih mendapatkan hati Lorena, meskipun ia berselingkuh dengan Professor Vega dan telah bermain dewasa dengan Professor Vega.
Jika Professor Vega memberikan bukti tentang perselingkuhan mereka, Alberto tinggal mengelak saja. Itu hal yang Alberto coba ingat dengan baik. Alberto langsung berkomentar. “Enggak apa-apa. Aku paham. Hal ini pasti akan menimbulkan kesalahpahaman,”
Di saat itu, Professor Vega masuk ke kelas Lorena. Setelah itu, Professor Vega melihat Alberto, Lorena, Bonita, dan beberapa murid sedang berada di kelas.
Professor Vega langsung menekuk wajahnya, menatap Alberto dengan tajam, dan berkata dengan ketus. “Katanya, mau ke kelas. Kok malah ke sini? Memangnya, kamu sekelas dengan Lorena? Enggak, kan?”
Alberto langsung mencari alasan. “Tadi saya mampirin Lorena dulu, Bu. Ada perlu.”
Professor Vega yang sudah mendengarkan percakapan Alberto, Lorena, dan Bonita dari tadi langsung memutar kedua bola matanya. Ia merasa sangat malas dengan Alberto yang mulai mencoba untuk membodohinya.
Ia menatap Alberto dengan lebih tajam. “Alasan apa? Alasan kenapa kamu bermain dewasa dengan saya?”
“Enggak seperti itu, Professor.” Alberto mencoba berkilah.
“Terus, seperti apa? Kenapa kamu enggak mengaku saja bahwa, kamu memang sangat mencintai saya, Alberto? Bukannya kamu sendiri yang memohon kepada saya? Aneh!” ejek Professor Vega.
“Dia pikir, aku tidak mendengar apa yang ia katakan. Anak ini sangat lucu!” ejek Professor Vega dalam hati.
“Aku akan menghukumnya lebih berat, karena ia tidak mau mengakui dirinya yang memohon kepadaku. Lihat saja nanti! Aku akan menghukummu dan membuatmu memohon kepadaku lebih dari tadi, Alberto!” pikir Professor Vega.
“Kembali ke kelasmu sana!” Perintah Professor Vega dengan ketus kepada Alberto. Alberto langsung melangkah pergi dari tempat tersebut.
“Oh ya ...” ucap Professor Vega yang tiba-tiba membuat Alberto berbalik ke arahnya.
“Jangan lupa setiap saya selesai mengajar di kelasmu, Alberto, kamu harus mengantarkan saya ke ruangan saya tadi!” Perintah Professor Vega lagi.
“Baik, Professor.” Alberto langsung pergi meninggalkan tempat tersebut ke kelasnya.
Setelah itu, Professor Vega berjalan ke arah kursinya. Ia langsung menaruh barang-barangnya di atas meja dan setelahnya ia mulai mempersiapkan untuk presentasi materi hari itu. Ia mencoba untuk menghubungkan laptopnya dengan kabel penghubung ke proyektor, tapi laptopnya tidak bisa terhubung. Lantas, ia langsung memanggil Lorena.“Lorena!” panggil Professor Vega.“Ya, Prof,” sahut Lorena.“Ini kok enggak bisa terhubung?” Professor Vega komplain sembari ia menunjukkan laptopnya yang tidak bisa terhubung.“Enggak tahu, Prof.” Lorena mengangkat kedua bahunya dan menurunkannya.“Kok kamu enggak tahu? Yang tugasnya untuk mempersiapkan laptop saya itu penanggung jawab materi saya di kelasnya. Alberto selalu mempersiapkan laptop saya sebelum saya mulai mengajar.” Professor Vega langsung menatap tajam Lorena dan berkata dengan kencang yang membuat seisi kelas menatap ke arah mereka. Lorena merasa malu. Ia hanya bisa menundukkan kepalanya. Setelahnya, ia meminta maaf.“Oh begitu, Prof. Maaf sa
Sesampainya Vega di ruangannya, Vega masih teringat dengan perkataan Alberto tadi Vega masih teringat dengan tingkah Alberto. Saat itu, Vega mendengarkan perkataan Alberto tapi ia memilih untuk berpura-pura tidak mendengar daripada dia ikut berbicara dalam percakapan tersebut. Vega langsung mengepal tangannya dan menekuk wajahnya.Setelah itu, ia membanting semua buku yang ada dalam hatinya sembari ia marah dalam hatinya. "Dasar, Cowok brengsek! Kenapa kamu malah berkata bahwa, aku memaksamu, Alberto? Aku sama sekali tidak memaksamu. Dasar, Cowok brengsek!""Kenapa kamu tidak mengaku saja, kalau kamu memang mencintaiku, Alberto? Kenapa kamu tidak berkata bahwa, kamu mencintaiku sehingga kamu berselingkuh denganku, Alberto? Kenapa? Bukannya kamu sudah berjanji untuk meninggalkan Lorena, Alberto?" Vega berteriak dalam hati dengan histeris."Di mana janjimu? Dasar, Cowok brengsek!" Vega mencoba untuk menahan tangisnya."Memangnya, aku memaksanya? Apa buktinya aku memaksa dirinya? Karena
Tentunya sebelum Lorena menangis di dalam toilet, Lorena langsung menyalakan keran yang membuat air di dalam ember sebagai tempat penampungan air yang ada di dalam toilet tersebut terisi. Ia selalu merasa nyaman untuk menangis di dalam toilet, karena ia merasa sangat yakin tidak ada yang mendengar tangisnya. Karena itu, toilet selalu menjadi saksi bisunya ketika ia menangis. Kalau kalian selaku pembaca menebak bahwa, ada yang peduli dengannya dan akan mendengar tangisnya, tentu Lorena merasa tidak ada yang peduli dengannya.Siapa yang peduli dengannya? Alberto? Alberto sudah berselingkuh darinya dan main gila dengan Vega. Bonita sebagai sahabatnya? Tentu saja tidak!Bonita memang sahabat Lorena, tapi Bonita tidak pernah sangat peka dan sangat peduli kepada Lorena sampai tahu Lorena telah menangis. Bonita masih mudah dibodohi oleh Lorena. Lorena tinggal membasuh mukanya dan setelahnya ia keluar dari kamar mandi dengan senyuman palsunya yang ia berikan sebaik mungkin. Setelahnya, ia tin
Hari terus berlanjut. Esoknya, jam tujuh malam, di halaman parkir saat Alberto sedang berjalan ke motornya yang ia parkirkan tadi pagi, ia melihat Vega yang sedang berjalan menuju mobilnya. Saat itu, Alberto baru saja pulang dari kelas malam dengan Professor Hugo sementara Vega baru saja selesai mengajar untuk mahasiswa yang berkuliah kelas malam. Sontak Alberto langsung menyapa Vega dengan ramah.“Malam, Vega!” sapanya dan setelahnya ia tersenyum.“Malam, Alberto!” sapa Vega kembali kepadanya sembari Vega berjalan ke arah Alberto.“Alberto, kamu lagi sibuk enggak?” Vega menanyakan kondisi Alberto terlebih dahulu, karena ia khawatir Alberto sedang sibuk.“Enggak, Vega.” Alberto menjawab dengan singkat.“Kamu mau ke mana?” Vega menanyakan tujuan Alberto.“Mau ke rumah.” Alberto menjawab pertanyaan Vega dengan singkat.“Oh begitu.” Vega menganggukkan kepalanya, karena ia mulai merasa segan untuk meminta tolong kepada Alberto.“Ada apa, Vega?” Alberto mulai curiga dengan sikap Vega yang
Tidak lama kemudian, mereka telah sampai di lampu merah. Tidak jauh dari mereka, mereka melihat nama “Hotel Avenue” yang berkelap-kelip berwarna putih. Tidak hanya itu, mereka juga melihat banyak kelap-kelip berwarna putih yang mengelilingi gedung hotel tersebut beserta pepohonan-pepohonan yang berada di sekitarnya.“Sayang, sebentar lagi kita sampai!” Vega langsung memijat-mijat dada karena ia merasa sangat senang.“Ya, Sayang.” Alberto hanya mengiyakan saja. Di dalam hatinya, ia merasa senang karena ia bisa kabur dari jebakan Vega. Tidak lama kemudian, lampu telah menjadi hijau. Alberto langsung mengendarai mobil tersebut ke hotel tersebut.Setelah di dekat hotel tersebut, Alberto melihat di depannya terdapat Hotel Avenue dan restoran Avenue yang merupakan cabang dari Hotel Avenue. Dari posisi Alberto, Hotel Avenue terletak di depan sebelah kanan dan Restoran Avenue terletak di depan sebelah kiri.Di sebelah kanan Alberto terdapat kursi-kursi dan meja yang terletak di Restoran Avenu
Pagi-pagi sekali, Vega sudah rapi-rapi untuk pergi ke kampus menemui Alberto. Tetapi, tiba-tiba saja ia langsung merasa mual. Ia segera pergi ke kamar mandi. Lalu, setelahnya ia muntah.Setelah itu, ia minum dan membersihkan bekas muntahannya. Tetapi, ia malah muntah lagi dan lagi hingga tiga kali.Sementara itu, di ruang dosen, Alberto sudah menunggu kehadiran Vega untuk mengajar di kelasnya. Banyak teman Alberto yang telah mengirimkan pesan kepada Alberto baik di grup chat ataupun melalui chat pribadi.“Alberto! Professor Vega, hari ini mengajar tidak?” tanya Dario.“Ya. Hari ini, Professor Vega mengajar tidak?” tanya Nicolas. “Aku tidak tahu. Belum ada balasan dari Professor Vega sampai saat ini. Padahal, pagi-pagi sekali aku sudah menghubunginya,” keluh Alberto.“Tetapi, kita ini sudah menunggu terlalu lama, Alberto! Kita tidak kuat untuk menunggu lebih lama lagi. Jangan buat kita menunggu, dong! Ini sudah telat lima menit. Pasti Professor Vega ada sesuatu. Dia tidak pernah seper
Sesampainya di kampus, Professor Vega langsung memarkirkan mobilnya. Lalu, ia berjalan ke ruang dosen dengan terburu-buru. Sesampainya di depan ruang dosen, Professor Vega langsung melakukan absensi dan pergi ke kursinya dengan terburu-buru. Sesampainya di kursinya, ia mendapati Alberto yang sedang menunggu di depan kursinya sembari membaca handout darinya."Pagi, Alberto!" Professor Vega menyapa Alberto sembari ia terburu-buru menyiapkan untuk kelas hari itu. Ia langsung menyalakan laptop, mengambil buku-buku, dan alat tulis dengan cepat. Alberto melihat muka Professor Vega yang pucat dan badannya yang terus berkeringat."Pagi, Prof!" sapa Alberto."Kamu sudah menunggu saya agak lama, ya?" Professor Vega merasa tidak enak dengan Alberto yang telah menunggunya dari tadi."Tidak lama juga, sih, Prof!" Alberto sengaja berkata seperti itu, meskipun ia merasa dirinya telah menunggu agak lama. Karena ia tahu bahwa, Professor Vega adalah orang yang mudah panik. Ia tidak ingin membuat Profes
Di saat itu, para murid yang belum selesai mengejar Professor Vega dan berusaha memberikan kertas kuis mereka kepada Professor Vega. Untungnya, Professor Vega masih berbaik hati dan menerima kertas jawaban kuis dari mereka. Sesampainya di depan ruangan Professor Vega, Professor Vega langsung mencari kunci untuk membuka pintu. Di saat itu, tiba-tiba saja Professor Vega merasa mual dan ingin muntah lagi.Professor Vega mencoba menahan mualnya dan mencari kantung kresek yang ada di tasnya. Tidak lama kemudian, Professor Vega menemukannya dan memuntahkan kembali di kantung kresek. Setelahnya, Professor Vega membuang kantung kresek tersebut yang terletak di dekat tempat sampah. Mengetahui Professor Vega masih muntah, Alberto langsung merasa panik. Mukanya pucat.“Lebih baik kamu pergi saja ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut dan mengetahui kondisi selanjutnya. Mungkin, memang ada kondisi serius yang tidak kamu ketahui, Vega.” Alberto memberikan saran, karena ia tidak tahu harus m