HIRO GYM
Vera membaca papan nama pusat kebugaran di depannya yang sedang tutup. Bangunan itu berdiri di pinggir jalan raya, di apit oleh dua ruko besar.Di kota ini, setidaknya ada lima pusat kebugaran bernama Hiro Gym, ini salah satu cabangnya yang paling besar."Tempatnya tutup, pasti disini dia," ucap Vera yakin kalau suaminya ada di dalam.Iya, pusat kebugaran Hiro Gym adalah bisnis Danno. Bisnis ini sudah menyebar ke seluruh Nusantara, bahkan mulai tersebar juga ke negara tetangga.Vera cukup kesal. Ditambah hari sudah siang, matahari di kota Surabaya pusat ini seperti dekat dengan ubun-ubun, lengkap sudah sakit kepalanya.Dia berjalan ke pintu masuk pegawai di Hiro Gym yang terletak di sisi samping bangunan. Kemudian, dia mengetuknya.Pintu dibuka.Seorang pria kekar dengan pakaian serba hitam menyambutnya. Dia minggir, mempersilakannya masuk.Vera bertanya, "mana suami saya?""Ada di boxing area, Nyonya, lurus saja— belok kiri," jawab pria itu menuding ke lorong depannya.Vera masuk ke dalam, berjalan di lorong panjang itu. Semakin dekat langkahnya ke boxing area alias area tinju, suara pukulan dan rintihan orang semakin keras.Sebagaimana di pusat kebugaran lain, tempat ini juga memiliki banyak sekali fasilitas, termasuk boxing area ini.Begitu sampai, Vera bisa melihat suaminya sedang bertelanjang dada, hanya memakai celana hitam.Pria itu sedang melatih kekuatan otot kakinya dengan menendang samsak merah gantung di depannya. Tetapi, setiap kali dia menendang, samsak itu seperti bergerak, dan terdengar rintihan di dalamnya.Vera langsung tahu ada orang di dalamnya. "Kamu lagi apa?""Oh, Ayang datang, kamu hebat banget tau aku disini, kamu harusnya nelpon dulu kalo mau ketemu," sahut Danno tak jadi menendang samsak itu lagi.Dia mengulurkan tangan ke seorang pria, pengawalnya, yang sedari tadi menunggu di pojok ruangan.Si pengawal memberikan sebotol air putih. Usai melakukan itu, dia menurunkan samsak ke lantai, lalu membuka resletingnya.Ternyata bukan pasir ataupun benda lain yang ada di dalam samsak, melainkan seorang tubuh manusia yang tangan dan kakinya terikat, mulutnya terlakban. Itu adalah Hardi, si pengedar narkoba yang sebelumnya mereka tangkap."Ka-kamu apain dia?" Vera menahan napas melihat kondisi pria itu yang sudah babak belur, wajah memar-memar, bibir pun sobek.Danno membungkuk sedikit agar bisa melihat Hardi lebih dekat. Dia memperlihatkan senyum jahatnya. "Sekarang, mau 'kan bicara?"Hardi mengangguk cepat. Kalaupun lakban di mulutnya dibuka, dia tak yakin sanggup bicara. Dia tak pernah disiksa semalaman sampai sesakit ini. Sekujur tubuhnya terasa seperti baru saja dihantam mobil."Bawa dia—" Danno bicara ke anak buahnya.Hardi segera diseret pergi. Dia benar-benar diseret layaknya karung tidak berguna.Vera tegang juga melihat semua ini. Dia menatap suaminya yang sedang menyeka keringat di kening dengan handuk kecil. "Kamu ini nggak sabaran banget, dia pasti ngomong juga.""Halah, kamu terlalu lembut, Sayang— udahlah, metode mengancam kamu itu nggak guna. Orang itu nggak takut di penjara, mereka itu takut mati.""Ya daripada kekerasan.""Metode kamu itu cuma mempan kalo sama aku. Aku nyerah kalo kamu ancam.""Aku nggak lagi pengen bercanda, loh. Ini masalah serius. Kalau polisi tau kelakuan kamu gimana?""Kan ada kamu ...“ Danno tersenyum genit sembari mencolek dagu istrinya. Dia berkata lagi dengan suara lirih, "...pengacara seksiku.""Kamu ini bener-bener suka cari masalah, ya?”"Nggak usah mikirin hal sepele kayak gini, Sayang, nggak ada habisnya nanti.""Sepele? Oke, oke— terus gimana? Kamu udah dapat apa dari orang itu?""Aku udah dapat kartu nama salah satu germo yang bekerja untuk si anak setan, target kita.""Oh itu—"Danno berjalan mendekati meja, lalu menaruh botol minumnya.Di atas meja itu terdapat lipatan koran sepuluh tahun silam. Kondisi kertas koran tersebut sudah menguning sebagian telah sobek.Tetapi, headline berita utamanya masih bisa jelas bertuliskan:'SEORANG JAKSA TEWAS AKIBAT KECELAKAAN'Di bawah judul berita itu ada potret hitam putih saat mobil yang ditumpangi jaksa tersebut ditarik keluar dari sungai Brantas.Vera menghampiri Danno. Suasana hatinya menjadi gundah saat melihat foto di berita itu.Danno menatapnya. "Tenang aja, papa kamu akan dapat keadilan. Kalau pelakunya tetep nggak dipenjara, aku sendiri yang menghukumnya nanti.""Papa kasihan ke korban kecelakaan waktu itu— ingin pelaku penabraknya dihukum maksimal, tapi lupa kalau di negeri ini, anak di bawah umur nggak bisa dihukum berat-berat, apalagi anak pejabat.""Jadinya papa kamu disingkirin.""Yang bikin sedih itu— setelah papa dibunuh, mereka malah bebasin pelaku. Hukum makin lama makin lemah.""Nggak usah sedih. Ada aku disini—suami paling berguna di bumi." Danno lantas memeluknya, lalu mengelus rambut wanita itu dengan penuh sayang.Vera mengusap air mata yang hendak menetes dari matanya. Dia tersenyum dengan semua ucapan sang suami. "Iya."Dia kembali tegar. Balas dendam untuk Jaksa Tino alias ayahnya baru dimulai, dia tak boleh sentimental.***Balas dendam.Iya, balas dendam baru akan dimulai.Vera menguatkan dirinya. Setelah bertahun-tahun, kini dia sudah menjadi pengacara— dia bertekad untuk menjebloskan pembunuh sang ayah ke dalam penjara.Danno masih betah memeluk sang istri. Dia berbisik di telinganya, "senjataku uang, Sayang. Jika pasal hukum kamu nggak bisa diandalim, andalin uangku saja. Kita pasti bisa membalas si anak babi itu.""Makasih.""Apapun untuk istriku tersayang."Vera tersenyum. Dia mendorong dada Danno hingga melepaskan pelukannya. "Mending kamu mandi dulu, ayo kita cari makan siang— di sebelah itu mall, sudah lama aku nggak makan di mall.""Jangan-jangan kamu nyariin aku cuma buat bayarin makan 'kan, ya?""Iya, dong. Kartu debitku nggak bisa dipakai, keblokir gara-gara kamu asal masukin pin kemarin. Duitku tinggal dua puluh ribu ini.""Maaf, Cantik. Iya, aku mandi dulu— setelah itu kita cari makan.""Ayo kita makan ramen, udah lama nggak makan makanan Jepang.""Boleh." Danno tersenyum sambil mencubit p
Rumah sewaan Vera dan Danno berada di pusat kota, dekat dengan jalan raya dan gedung-gedung tinggi lain. Kanan dan kiri bangunannya merupakan ruko dan minimarket, jauh sekali dengan tetangga.Malam ini, Vera pulang ke rumah sendiri lagi. Suaminya berkata ingin melakukan sesuatu di luar. Jadinya, dia tidur sendiri.Tepat di jam satu dini hari, ponselnya yang ada di meja nakas terus berbunyi. Awalnya, dia menghiraukannya, tapi lama kelamaan malah menyambung ke telepon rumah. Mau tidak mau, dia mengangkat panggilan itu."Hmm?" Vera menelpon dengan mata masih menutup.Suara Danno terdengar di balik sambungan telepon itu, "Sayang, lama banget kamu angkatnya? Aku ada di kantor polisi, tolong datang terus bebasin aku.""Kantor polisi? Kamu ngapain?""Datang dulu sini. Aku tunggu."Vera masih malas membuka mata. Dia sudah sering mendengar suaminya dapat masalah. "Kamu mukulin berandalan di jalan 'kan? Bebas sendiri aja lah.""Ini masalahnya nggak bisa damai sama uang, Ayang-ku, Cinta-ku . Da
Vera bangun beberapa jam kemudian, tepat ketika jam tujuh pagi. Dia masih ingin malas-malasan, enggan masak, efek masih kesal dengan kelakuan Danno semalam. Tetapi, saat dia bangun, di sebelahnya sudah rapi, tak ada Danno."Kemana lagi dia?" Dia heran.Baru juga bicara, pintu tiba-tiba dibuka.Danno masuk dengan membawakan nampan bed atau meja lipat kecil yang atasnya sudah ada satu piring roti panggang isi mozarella dan segelas jus stroberi."Selamat pagiii, Istriku~" sambutnya dengan suara ceria dan manis.Vera mengerjap-ngerjapkan mata, mengira ini mimpi. Rasanya mustahil suaminya membuat makanan. Ini memang kenyataan. Danno datang. Pria ini masih menggunakan baju tidur bermotif garis abu-abu. Dia menaruh meja lipat itu di antara paha Vera, lalu berkata, "Waktunya breakfast in bed!"Vera heran. "Ini hari apa?""Sabtu.""Bukan, maksudku ... kamu bikin makanan? Buat aku? Kok bisa? Biasanya kamu cerewet kalo nggak ada sarapan. Hari ini hari apa?""Kenapa kamu malah curiga? Aku 'kan
Usai sarapan dan mandi, Vera diajak suaminya untuk duduk santai di sofa panjang ruang tengah, lalu menonton berita pagi di televisi.Vera membuka obrolan, "kamu nggak ada kerjaan hari ini?""Nggak ada.""Nggak ada ketemuan sama rekan bisnis atau hangout sama temen atau ke gym atau apa gitu?""Nggak ada.""Bagus.""Kenapa?" Danno menoleh ke wanita yang duduk di sebelahnya itu sambil tersenyum manis. Dia menggoda, "... bilang aja kalo mau mesra-mesraan sama aku. Iya 'kan?""Enggak.""Kamu itu ngatain aku pemalu, padahal yang suka malu-malu itu cuma kamu.""Kamu itu suka godain, tapi digoda balik malah diam.""Kalo gitu goda aku lagi.""Males."Danno meraba pipi Vera, dielus-elus dengan jemarinya, sentuhannya begitu posesif. Dia berbisik mesra, "males apa nggak kuat sama pesona-ku?"Vera tersenyum mendengar itu. Dia menoleh. "PD banget kamu?"Jari-jari Danno kini menggeiltik di dagu Vera. Dia tampaknya gemas sekali dengan istrinya itu.Mata mereka bertemu. Keduanya bungkam karena saling
Danno masih diam memandangi dan mendengar berita di televisi. Ini mustahil. Dia tidak mengerti. Kenapa jadinya begini? Apa maksudnya ini? Kemarin pria itu mati?Kemarin?Vera panik. Dia meremas kemeja depan sang suami, lalu mengoyaknya sedikit. "Sayang, jawab! Jangan diam aja! Kamu— kamu bunuh dia!?"Danno memegang kedua tangan Vera, lalu diturunkan. Dia membantah, "enggak. Nggak mungkin, aku sudah bebasin dia kemarin. Setelah dia mengakui semua, aku bebasin.""Tolong jujur.""Sumpah. Aku nggak mungkin bunuh orang sembarangan.""Kamu ... kamu mungkin keterlaluan mukulin dia, terus dia mati, kamu buang mayatnya, kamu harus jujur.""Vera, aku nggak bunuh orang. Lihat aku ..." Danno menangkup wajah Vera dengan kedua tangannya. Jadi, mereka saling pandang lagi. "... Apa menurut kamu, aku bohong masalah beginian?"Vera terdiam. Tidak mungkin juga suaminya berbohong masalah seperti ini. Lagipula, dia juga yakin pria ini bukan pembunuh.Dia berkata, "Tapi, itu jepit dasi kamu 'kan? Kalo kamu
Vera dan Danno menikmati hari libur mengunjungi salah satu cabang kedai es krim di kota ini. Keduanya duduk berdua di meja yang dekat dengan jendela. Saat mereka datang masih terlalu pagi, jadi belum terlalu ramai."Sayang, tumben kamu nggak ngomel lagi," kata Danno memandangi Vera yang duduk di seberang meja darinya."Kenapa harus ngomel?" Vera menjilati es krim cone sambil menikmati pemandangan jalan raya yang sudah ramai."Kita hari ini jadi ke kantor polisi?""Iya lah, sebelum mereka tahu apa yang terjadi, lebih baik kooperatif sama mereka.'"Tapi, bukannya bagus mereka nggak tau itu punyaku.""Bukan nggak tau, tapi belum tau. Udahlah, nanti habis makan siang, kita ke kantor polisi lalu ngaku kalau itu jepit dasi punya kamu.""Kenapa nggak sekarang aja?""Kamu nggak liat aku sedang apa?"Danno tersenyum. "Istriku jahat banget, selalu ngutamain es krim ketimbang aku. Aku cemburu, loh.""Kamu ngeselin, kalo es krim 'kan nyenengin." Vera balas tersenyum.Danno berdiri sedikit, lalu n
Di kamar tidur mereka, terdapat papan tulis dekat tembok yang terdapat tulisan spidol bertuliskan:BALAS DENDAMDanno menempelkan beberapa foto orang di situ dengan bantuan double tape, beberapa di antaranya berasal dari potongan koran. Setelah itu, dia menulis nama-nama mereka di bagian bawah.Danno menuding tiga deret foto paling atas, semuanya pria, dua di antaranya sudah di atas empat puluh tahunan, sementara satunya masih muda."Si bocah setan, Alarik. Ayahnya, Henry, dan kemudian pengacara mereka dulu ... Gio, mereka adalah target utama kita," katanya sambil menuding mereka dengan ujung pena.Vera duduk di pinggiran ranjang, memperhatikan papan tulis dengan seksama.Danno menggambar garis dari foto Gio si pengacara ke foto seorang pemuda asing yang bagian bawahnya tertulis nama Roni. "... nah, ini Roni, teman Hardi yang kasus kematiannya kamu tangani sebelum nikah sama aku, sekitar dua bulan yang lalu baru selesai kasusnya?""Iya.""Roni itu saksi suap yang dilakuin pengacara Gi
"Tapi itu untuk nanti malam, Sayang—siapin diri kamu, ya~" Danno masih menyeringai. Dia memberikan ciuman mesra ke bibir Vera.Vera menyudahi ciuman itu sembari berbisik, "kita ngomongin ini dulu, dong—Aku ntar lupa kita barusan bahas apaan.“Danno tergelak lirih. Dia kembali ke papan tulis, dia menggambar garis dari foto Roni ke foto Hardi.Dia menjelaskan, "jadi intinya— Hardi, pengedar narkoba yang kita tangkap malam itu, tapi sekarang sudah mati dibunuh. Dia adalah orang yang buat mobil papa kamu menjadi rem blong sampai terjadi kecelakaan sepuluh tahun silam. Selain itu ..."Dia berhenti sejenak untuk menggambar garis dari foto hardi ke foto Henry. "... Hardi cuma suruhan Henry alias ayah Alarik."Spidolnya kemudian mengaitkan garis dari foto Alarik ke foto buram yang sepertinya diambil diam-diam, serta foto hitam putih dari potongan koran yang tidak jelas juga.Suami Vera ini menjelaskan kembali, "Alarik sekarang berbinis prostitusi online dengan membawahi dua mucikari, Johan da