Share

BAB 02

Balas dendam.

Iya, balas dendam baru akan dimulai.

Vera menguatkan dirinya. Setelah bertahun-tahun, kini dia sudah menjadi pengacara— dia bertekad untuk menjebloskan pembunuh sang ayah ke dalam penjara.

Danno masih betah memeluk sang istri. Dia berbisik di telinganya, "senjataku uang, Sayang. Jika pasal hukum kamu nggak bisa diandalim, andalin uangku saja. Kita pasti bisa membalas si anak babi itu."

"Makasih."

"Apapun untuk istriku tersayang."

Vera tersenyum. Dia mendorong dada Danno hingga melepaskan pelukannya. "Mending kamu mandi dulu, ayo kita cari makan siang— di sebelah itu mall, sudah lama aku nggak makan di mall."

"Jangan-jangan kamu nyariin aku cuma buat bayarin makan 'kan, ya?"

"Iya, dong. Kartu debitku nggak bisa dipakai, keblokir gara-gara kamu asal masukin pin kemarin. Duitku tinggal dua puluh ribu ini."

"Maaf, Cantik. Iya, aku mandi dulu— setelah itu kita cari makan."

"Ayo kita makan ramen, udah lama nggak makan makanan Jepang."

"Boleh." Danno tersenyum sambil mencubit pipi Vera. Dia selalu gemas kalau melihat wanita itu, rasanya seperti jatuh cinta padanya sepanjang hari.

***

Danno dan Vera masuk ke dalam Galaxy Mall, salah satu pusat perbelanjaan yang cukup besar di kota.

"Akhirnya masuk juga ... panas banget di luar, kota ini banyak dosa apa gimana? Panasnya nggak ngotak," gerutu Danno asal bicara.

Vera berbisik di sebelahnya, "udah jangan ngomel mulu, kita sampai."

Tempat makan ramen yang mereka tuju tak terlalu jauh, jadi langsung sampai. Berhubung sekarang masih jam makan siang, situasi di dalamnya cukup ramai, tapi beruntung masih ada meja yang kosong.

Usai memesan, Vera dan suaminya duduk di meja yang tersisa. Mereka duduk berhadapan.

Tak lama kemudian, pelayan mengantarkan pesanan di atas meja mereka.

Vera melihat meja-meja di sekitarnya yang sudah ramai. Dia tersenyum, mengenang masa lalu.

Dia berkata, "Jadi ingat, dulu kita ketemu waktu makan di mall juga 'kan, waktu itu kamu kayak gembel, potongan rambut nggak jelas, brewokan, nggak ada daya tariknya sama sekali, mana kulit kamu gosong lagi— kayak orang-orangan sawah. Kok bisa ya aku mau kenalan sama kamu?"

Danno agak kesal kalau Vera mengungkit masa lalunya yang jarang merawat diri karena sibuk berbisnis.

Dia membela diri, " ... aku dulu banyak kerjaan. Kamu harusnya terima kasih sama orang-orangan sawah ini karena kita udah banyak uang sekarang."

"Makasih, Papa. Aku cuma bercanda doang, jangan cemberut, kamu itu ganteng banget, jelas aku mau kenalan sama kamu," balas Vera dengan suara manja sambil tersenyum manis.

Senyuman itu melelehkan hati Danno. Dia tak lagi bisa jengkel kalau sudah memandangi senyum dari bibir merah nan ranum istrinya itu.

Dia menggoda, "Sayang, kamu ini kok curang, ya? Masa setiap hari sanggup bikin aku jatuh cinta— ini 'kan nggak adil."

"Makin lihai gombal ya, Pak Danno? Kita pacaran dua tahun, kamu jarang gombal, sok sibuk, nge-date jarang, nge-chat jarang. Apa karena baru nikah sebulan— jadi gombal terus biar jatah malam lancar?"

"Loh, justru karena kita udah nikah, kita tinggal bersama sekarang, aku bebas gombalin kamu tiap hari. Dulu 'kan masih pacaran, nggak enak kalo terlalu mesra."

"Halah, halah, bullshit."

Danno tergelak.

Vera mengambil sumpit, dan mulai makan ramen pilihannya. Dia agak kesulitan menggunakan sumpit, sudah lupa.

Danno menyadari itu, lalu membenarkan posisi jari Vera saat memegang sumpit.

Vera tersenyum. "Makasih."

"Kalau masih kesulitan, ini aku suapi~" Danno menyumpit irisan daging di dalam ramennya, lalu di sodorkan ke mulut Vera.

"Nggak usah. Jangan lebay kamu." Vera malu. Dia melirik kanan-kiri, berharap tak ada orang yang memperhatikan mereka.

Akan tetapi, tentu saja itu tidak mungkin. Sejak awal, Danno punya paras menawan— garis wajahnya tegas, daya tariknya begitu kuat. Pesonanya terpancar terang sampai-sampai mustahil diacuhkan wanita.

Karena Vera tak mau, Danno memakan sendiri irisan daging ramen. Dia terlihat santai.

Mendadak, perhatian Vera teralihkan oleh dua wanita yang masuk ke dalam situ. Dua-duanya berparas cantik, berpenampilan modis dan elegan.

"Kayaknya aku pernah ngeliat mereka ..." Vera bergumam lirih, mengingat-ingat salah satu wanita tersebut, tepatnya yang berambut lurus sebahu.

Danno terkejut, dia menengok ke belakang— mengira istrinya sedang memperhatikan pria keturunan Tionghoa yang duduk sendiri di meja dekat pintu masuk.

Sontak saja, dia cemburu, dan langsung menaruh sumpitnya. Kemudian, dia mencubit dagu Vera dengan jempol dan telunjuk.

Dia protes, "Sayang, jangan coba-coba ngeliat mas-mas Cindo. Kamu nggak puas liat aku? Mataku juga lumayan sipit ini, kurang apalagi?"

"Nggak gitu!" Vera ingin tertawa. Dia menurunkan tangan Danno dari dagunya. "Lagian apaan sih kamu? Siapa yang ngeliat mas-mas? Aku ngeliat mbak-mbak itu, loh."

"Mbak-mbak?" Danno menoleh lagi, kali ini pandangannya ke meja sebelah dari pria keturunan Tionghoa tadi.

"kayaknya aku pernah liat yang rambutnya pendek itu masuk karaoke— dekat rumah pindahan kita."

"Terus?"

Vera terlihat bingung, antara tidak enak asal tuduh tapi juga yakin. "Gimana ya jelasinnya ..."

Danno tak lama kemudian paham. "Oh, aku ngerti. Kita makan dulu, nanti kutemui dia."

"Kamu? Ngapain?"

"Tanya-tanya doang, siapa tau dia kenal sama germo yang kita cari." Danno mengeluarkan kartu nama dari dalam saku celananya. Itu adalah nama pria yang diduga mucikari, kenalan dari target utama mereka.

Target utama, si bocah yang dulu dibebaskan karena telah menabrak orang sampai tewas, si bocah yang saat ini sudah tumbuh dewasa.

Vera tak yakin. "Yakali mendadak tanya begituan, kamu bisa digampar nanti."

"Siapa yang berani gampar pria sepertiku?" Danno tersenyum penuh rasa percaya diri.

Pria itu sadar dengan daya tariknya yang pasti bisa menaklukkan wanita manapun. Dia menoleh lagi ke wanita yang akan dia ajak bicara nanti.

Vera menatapnya dengan kesal.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status