Begitu pemuda itu keluar dari gang, lampu jalan dekat trotoar langsung pecah. Dia kaget, suasana mendadak gelap, jalanan pun sepi, hanya ada bangunan-bangunan ruko yang telah terbengkalai.
Tiba-tiba, seseorang mendekat dari kegelapan, lalu menyerang si pemuda dengan tendangan kakinya."ARRGH!" Pria itu kesakitan, mundur beberapa langkah sambil memegangi perut. Dia berteriak, "SIAPA ITU!"Orang misterius berpakaian serba hitam itu kembali mendekat, lalu menendang wajahnya.Tendangan kuat itu sanggup membuat si pria terdorong hingga masuk ke dalam gang, lalu jatuh dengan posisi tengkurap.Pria itu bangkit, dia sekilas melihat sepatu yang dipakai penyerangnya, memiliki tanda perak berkilau. Saat dia mencoba bangun untuk melihatnya, orang itu sudah lenyap.Perutnya terasa di koyak, sementara wajahnya panas akibat tendangan demi tendangan barusan.Dia mengusap darah yang keluar dari hidung, merangkak keluar dari gang, berusaha keras untuk bangun.Apa yang terjadi? Siapa yang menendang?Seorang wanita muda berjalan mendekat. Suara hak tingginya terdengar cukup keras saat bersentuhan dengan trotoar jalan itu.Ia berpakaian formal, setelan jas hitam dipadu dengan rok span, keluar dari mobil tersebut. Kakinya terhias oleh sepasang hak tinggi hitam yang cukup mahal.Dia berhenti tepat di depan pria yang barusan diserang. Karena pencahayaan lampu agak kurang, jadinya sosoknya agak samar terlihat.Sambil menunjukkan foto di layar ponselnya, dia berkata, "pasal seratus empat belas ayat satu, setiap orang tanpa hak ataupun sudah melawan hukum menawarkan, menjual, membeli, menerima ataupun menjadi perantara bahkan menukar menyerahkan narkotika golongan satu akan memperoleh pidana seumur hidup atau minimal lima tahun dan maksimal dua puluh tahun.""Si—siapa kamu?" Pria itu panik aksinya menjual narkoba di balik gang barusan.Si wanita berkata, "nama saya Vera, Mas Hardi, saya pengacara. Saya sedang menyelidiki kasus sepuluh tahun silam yang melibatkan kematian jaksa bernama Pak Tino. Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan untuk mas-nya."Mendengar nama Tino, mata pria bernama Hardi itu langsung melotot. Iya, seolah-olah rahasia lama yang harusnya tertutup tiba-tiba dibuka.Dia menjawab dengan gugup, "sa-saya nggak tau apa-apa."Vera mengancam, "masa? kalau terbukti bersama-sama melakukan pembunuhan berencana, hukumannya itu mati loh, Mas."Merasa terancam, pria itu buru-buru bangkit, lalu hendak menyerangnya dengan tinju.Tetapi, seseorang keburu datang, lalu menendang perut pemuda itu kuat-kuat hingga membuatnya terdorong lagi ke belakang— lalu menabrak tembok bangunan rusak dekat gang.Pria itu meringis kesakitan. Tulang punggungnya terasa remuk. Dia berteriak, "SIAPA!!"Orang yang menendangnya pun muncul. Dia berjalan mendekati Vera, lalu berhenti tepat di sebelahnya.Dia, seorang pria, awal tiga puluh tahunan, yang memiliki paras menawan. Postur tubuhnya tinggi tegap, tampak atletis— sangat ideal. Dia punya bentuk mata yang agak sipit, rambut hitam legam sedikit acak, terutama di bagian poni.Seperti Vera, dia juga berpakaian formal, setelan jas hitam rapi, tapi sudah tak memakai dasi."Apa kubilang, Sayang, penjual ganja itu nggak bisa diajak bicara baik-baik, untung kamu belum diserang," katanya.Ketakutan, penjual narkoba tadi langsung berlari kabur, memaksakan diri walau punggungnya sakit bukan main.Akan tetapi, tiba-tiba ada dua pria berpakaian serba hitam yang keluar dari gang lain, menyergap Hardi."Apa-apaan ini!" Pria itu panik, berusaha melawan. "Mau apa kalian!?"Kedua pria tadi membungkam mulutnya dengan lakban, lalu diseret ke mobil yang sudah terparkir di kejauhan.Vera masih diam melihat pria itu dibawa pergi. Dia sedikit cemas. "Kamu harusnya jangan keterlaluan tendang dia, kalau dia mati gimana?""Mau gimana lagi? Aku panik barusan, aku takut kamu kenapa-napa. Aku nggak peduli yang lain, pokoknya Istriku yang cantik nggak boleh sampai terluka.""Danno, jangan lebay.""Siapa yang kamu panggil Danno? Panggilnya Sayang, dong. Kita udah nikah. Masa masih aja panggil nama? Nggak mesra banget kamu ..." Pria bernama Danno itu berubah manja. Dia melingkarkan tangan di pinggang Vera.Vera melirik Danno. Berhubung dia menggunakan hak tinggi, jadi tinggi mereka hampir setara. Dia bisa memandangi wajah pria itu dengan lebih baik.Dia mengingatkan, "tendangan kamu itu tendangan mantan juara dunia karate, tapi jangan dipakai sembarangan.""Makasih.""Itu bukan pujian.""Iya, iya, ngomong-ngomong, aksi kamu barusan keren dan seksi banget, Sayang— apalagi waktu ngancam," ucap Danno menyeringai sembari mendekatkan bibirnya ke telinga Vera, lalu berbisik, "... aku mau dong diancam."Vera tertawa geli. "Kita jahat banget, aku takut nanti masuk neraka. Kamu ini 'kan imam-ku, harusnya menuntunku yang baik-baik biar masuk surga, bukannya diajak balas dendam begini.""Ya udah, ayo aku tuntun ke surga.""Sekarang?""Iya lah, itu dekat sini ada hotel."Vera tertawa karena paham maksudnya. Itu jelas surga yang lain, surga dunia.Danno tersenyum.***HIRO GYMVera membaca papan nama pusat kebugaran di depannya yang sedang tutup. Bangunan itu berdiri di pinggir jalan raya, di apit oleh dua ruko besar.Di kota ini, setidaknya ada lima pusat kebugaran bernama Hiro Gym, ini salah satu cabangnya yang paling besar."Tempatnya tutup, pasti disini dia," ucap Vera yakin kalau suaminya ada di dalam. Iya, pusat kebugaran Hiro Gym adalah bisnis Danno. Bisnis ini sudah menyebar ke seluruh Nusantara, bahkan mulai tersebar juga ke negara tetangga.Vera cukup kesal. Ditambah hari sudah siang, matahari di kota Surabaya pusat ini seperti dekat dengan ubun-ubun, lengkap sudah sakit kepalanya.Dia berjalan ke pintu masuk pegawai di Hiro Gym yang terletak di sisi samping bangunan. Kemudian, dia mengetuknya.Pintu dibuka.Seorang pria kekar dengan pakaian serba hitam menyambutnya. Dia minggir, mempersilakannya masuk.Vera bertanya, "mana suami saya?""Ada di boxing area, Nyonya, lurus saja— belok kiri," jawab pria itu menuding ke lorong depannya.Vera
Balas dendam.Iya, balas dendam baru akan dimulai.Vera menguatkan dirinya. Setelah bertahun-tahun, kini dia sudah menjadi pengacara— dia bertekad untuk menjebloskan pembunuh sang ayah ke dalam penjara.Danno masih betah memeluk sang istri. Dia berbisik di telinganya, "senjataku uang, Sayang. Jika pasal hukum kamu nggak bisa diandalim, andalin uangku saja. Kita pasti bisa membalas si anak babi itu.""Makasih.""Apapun untuk istriku tersayang."Vera tersenyum. Dia mendorong dada Danno hingga melepaskan pelukannya. "Mending kamu mandi dulu, ayo kita cari makan siang— di sebelah itu mall, sudah lama aku nggak makan di mall.""Jangan-jangan kamu nyariin aku cuma buat bayarin makan 'kan, ya?""Iya, dong. Kartu debitku nggak bisa dipakai, keblokir gara-gara kamu asal masukin pin kemarin. Duitku tinggal dua puluh ribu ini.""Maaf, Cantik. Iya, aku mandi dulu— setelah itu kita cari makan.""Ayo kita makan ramen, udah lama nggak makan makanan Jepang.""Boleh." Danno tersenyum sambil mencubit p
Rumah sewaan Vera dan Danno berada di pusat kota, dekat dengan jalan raya dan gedung-gedung tinggi lain. Kanan dan kiri bangunannya merupakan ruko dan minimarket, jauh sekali dengan tetangga.Malam ini, Vera pulang ke rumah sendiri lagi. Suaminya berkata ingin melakukan sesuatu di luar. Jadinya, dia tidur sendiri.Tepat di jam satu dini hari, ponselnya yang ada di meja nakas terus berbunyi. Awalnya, dia menghiraukannya, tapi lama kelamaan malah menyambung ke telepon rumah. Mau tidak mau, dia mengangkat panggilan itu."Hmm?" Vera menelpon dengan mata masih menutup.Suara Danno terdengar di balik sambungan telepon itu, "Sayang, lama banget kamu angkatnya? Aku ada di kantor polisi, tolong datang terus bebasin aku.""Kantor polisi? Kamu ngapain?""Datang dulu sini. Aku tunggu."Vera masih malas membuka mata. Dia sudah sering mendengar suaminya dapat masalah. "Kamu mukulin berandalan di jalan 'kan? Bebas sendiri aja lah.""Ini masalahnya nggak bisa damai sama uang, Ayang-ku, Cinta-ku . Da
Vera bangun beberapa jam kemudian, tepat ketika jam tujuh pagi. Dia masih ingin malas-malasan, enggan masak, efek masih kesal dengan kelakuan Danno semalam. Tetapi, saat dia bangun, di sebelahnya sudah rapi, tak ada Danno."Kemana lagi dia?" Dia heran.Baru juga bicara, pintu tiba-tiba dibuka.Danno masuk dengan membawakan nampan bed atau meja lipat kecil yang atasnya sudah ada satu piring roti panggang isi mozarella dan segelas jus stroberi."Selamat pagiii, Istriku~" sambutnya dengan suara ceria dan manis.Vera mengerjap-ngerjapkan mata, mengira ini mimpi. Rasanya mustahil suaminya membuat makanan. Ini memang kenyataan. Danno datang. Pria ini masih menggunakan baju tidur bermotif garis abu-abu. Dia menaruh meja lipat itu di antara paha Vera, lalu berkata, "Waktunya breakfast in bed!"Vera heran. "Ini hari apa?""Sabtu.""Bukan, maksudku ... kamu bikin makanan? Buat aku? Kok bisa? Biasanya kamu cerewet kalo nggak ada sarapan. Hari ini hari apa?""Kenapa kamu malah curiga? Aku 'kan
Usai sarapan dan mandi, Vera diajak suaminya untuk duduk santai di sofa panjang ruang tengah, lalu menonton berita pagi di televisi.Vera membuka obrolan, "kamu nggak ada kerjaan hari ini?""Nggak ada.""Nggak ada ketemuan sama rekan bisnis atau hangout sama temen atau ke gym atau apa gitu?""Nggak ada.""Bagus.""Kenapa?" Danno menoleh ke wanita yang duduk di sebelahnya itu sambil tersenyum manis. Dia menggoda, "... bilang aja kalo mau mesra-mesraan sama aku. Iya 'kan?""Enggak.""Kamu itu ngatain aku pemalu, padahal yang suka malu-malu itu cuma kamu.""Kamu itu suka godain, tapi digoda balik malah diam.""Kalo gitu goda aku lagi.""Males."Danno meraba pipi Vera, dielus-elus dengan jemarinya, sentuhannya begitu posesif. Dia berbisik mesra, "males apa nggak kuat sama pesona-ku?"Vera tersenyum mendengar itu. Dia menoleh. "PD banget kamu?"Jari-jari Danno kini menggeiltik di dagu Vera. Dia tampaknya gemas sekali dengan istrinya itu.Mata mereka bertemu. Keduanya bungkam karena saling
Danno masih diam memandangi dan mendengar berita di televisi. Ini mustahil. Dia tidak mengerti. Kenapa jadinya begini? Apa maksudnya ini? Kemarin pria itu mati?Kemarin?Vera panik. Dia meremas kemeja depan sang suami, lalu mengoyaknya sedikit. "Sayang, jawab! Jangan diam aja! Kamu— kamu bunuh dia!?"Danno memegang kedua tangan Vera, lalu diturunkan. Dia membantah, "enggak. Nggak mungkin, aku sudah bebasin dia kemarin. Setelah dia mengakui semua, aku bebasin.""Tolong jujur.""Sumpah. Aku nggak mungkin bunuh orang sembarangan.""Kamu ... kamu mungkin keterlaluan mukulin dia, terus dia mati, kamu buang mayatnya, kamu harus jujur.""Vera, aku nggak bunuh orang. Lihat aku ..." Danno menangkup wajah Vera dengan kedua tangannya. Jadi, mereka saling pandang lagi. "... Apa menurut kamu, aku bohong masalah beginian?"Vera terdiam. Tidak mungkin juga suaminya berbohong masalah seperti ini. Lagipula, dia juga yakin pria ini bukan pembunuh.Dia berkata, "Tapi, itu jepit dasi kamu 'kan? Kalo kamu
Vera dan Danno menikmati hari libur mengunjungi salah satu cabang kedai es krim di kota ini. Keduanya duduk berdua di meja yang dekat dengan jendela. Saat mereka datang masih terlalu pagi, jadi belum terlalu ramai."Sayang, tumben kamu nggak ngomel lagi," kata Danno memandangi Vera yang duduk di seberang meja darinya."Kenapa harus ngomel?" Vera menjilati es krim cone sambil menikmati pemandangan jalan raya yang sudah ramai."Kita hari ini jadi ke kantor polisi?""Iya lah, sebelum mereka tahu apa yang terjadi, lebih baik kooperatif sama mereka.'"Tapi, bukannya bagus mereka nggak tau itu punyaku.""Bukan nggak tau, tapi belum tau. Udahlah, nanti habis makan siang, kita ke kantor polisi lalu ngaku kalau itu jepit dasi punya kamu.""Kenapa nggak sekarang aja?""Kamu nggak liat aku sedang apa?"Danno tersenyum. "Istriku jahat banget, selalu ngutamain es krim ketimbang aku. Aku cemburu, loh.""Kamu ngeselin, kalo es krim 'kan nyenengin." Vera balas tersenyum.Danno berdiri sedikit, lalu n
Di kamar tidur mereka, terdapat papan tulis dekat tembok yang terdapat tulisan spidol bertuliskan:BALAS DENDAMDanno menempelkan beberapa foto orang di situ dengan bantuan double tape, beberapa di antaranya berasal dari potongan koran. Setelah itu, dia menulis nama-nama mereka di bagian bawah.Danno menuding tiga deret foto paling atas, semuanya pria, dua di antaranya sudah di atas empat puluh tahunan, sementara satunya masih muda."Si bocah setan, Alarik. Ayahnya, Henry, dan kemudian pengacara mereka dulu ... Gio, mereka adalah target utama kita," katanya sambil menuding mereka dengan ujung pena.Vera duduk di pinggiran ranjang, memperhatikan papan tulis dengan seksama.Danno menggambar garis dari foto Gio si pengacara ke foto seorang pemuda asing yang bagian bawahnya tertulis nama Roni. "... nah, ini Roni, teman Hardi yang kasus kematiannya kamu tangani sebelum nikah sama aku, sekitar dua bulan yang lalu baru selesai kasusnya?""Iya.""Roni itu saksi suap yang dilakuin pengacara Gi