Share

Awal Mula Cerita

Aku kembali ke kamar setelah semua sketsa Ares menjelma jadi jelaga. Tak ada lagi yang bersisa. Namun entah kenapa masih saja ada sesak yang kurasa mengganjal.

"Nih, diminum dulu. Terus ini kompresan buat mata lo," ujar Tania menyerahkan segelas teh lemon hangat dan eye pad gel ke tanganku. "Lo udah makan?" kembali dia bertanya sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih.

"Sudah."

"Makan apa?" selidiknya seakan tak percaya dengan jawabanku.

"Tadi Aldo datang bawa kwetiaw."

"Oh, ya sudah. Istirahat kalau bisa." Tania berlalu meninggalkanku seorang diri di kamar.

"Ta!" Aku mencegatnya sebelum gadis itu menutup pintu.

"Uhm? Kenapa?" Mojang Kuningan berparas kemayu itu melongokkan kembali kepalanya di antara celah pintu yang hampir ditutup.

"Kayaknya aku cerita sekarang aja, deh. Kamu udah mau tidur?" tanyaku ragu-ragu.

"Belum, sih. Ya sudah kalau mau cerita, sok mangga." Tania kembali masuk kamar dan menghempaskan tubuh lampainya di bean bag lantai kamar. Kemudian duduk bersila menatapku penuh perhatian.

"Ta, emang salah ya kalau aku selama ini suka sama Ares?" tanyaku dengan mata kembali berembun.

"Enggak salah, sih. Cuma rada bego aja menurut gue. Emang Ares cakep, perhatian sama lo, tapi kalau ngga ngasih kepastian kayak gitu buat apa ditungguin terus sampai menutup diri dari cowok yang beneran suka sama lo," cecar Tania dengan berapi-api.  "Terus kenapa tiba-tiba lo jadi bakar-bakarin tuh sketsa si Ares?" tanyanya penasaran.

"Aku baru tau, ternyata selama ini Ares ngerasa keganggu sama aku."

"Tau dari mana?"

"Rio yang bilang." Aku kembali menyusut ingus dengan suara bergetar kembali melanjutkan bercerita, "Katanya, selama ini Ares cuma terpaksa bersikap baik sama aku karena dia memang orangnya enggak enakan."

"Masa sih? Kok gue enggak percaya, selama yang gue kenal, Ares itu ceplas ceplos aja kayak gue," ungkap Tania menyangsikan ceritaku.

Memang benar apa yang dikatakan Tania. Ares tipe cowok ceplas ceplos dan terkesan cuek.  Dia hampir seperti buku yang terkembang. Apa yang ada di pikirannya, selalu ia ungkapkan tanpa memikirkan efeknya. Hingga apa yang disampaikan Rio siang tadi tentang apa yang dikatakan Ares, terasa begitu mengejutkan.

*****

Satu setengah tahun setelah gelar budaya yang diadakan di Jakarta, aku kembali disibukkan dengan segala urusan sekolah. Terlebih lagi ketika naik kelas tiga, semua bimbingan belajar untuk mata pelajaran yang tak kuminati, harus kuikuti.

Papa memberi ultimatum, jika sampai nilai-nilaiku jeblok dan tidak bisa lulus Fakultas Kedokteran seperti kakak-kakakku, aku harus membiayai sendiri kuliahku nanti jika masih ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana.

Ditengah-tengah rasa frustasi menghadapi semua modul-modul tugas sekolah dan bimbingan belajar, wajah Ares masih belum bisa sepenuhnya minggat dari pikiranku. Di sela-sela waktu yang kupunya, aku masih saja terus menggoreskan sketsa wajahnya. Entah kenapa, setiap kali pensilku menggoreskan garis wajahnya di buku sketsa, seperti ada rasa tenang yang kurasa.

"Cowok ini lagi. Ini siapanya kamu, Lia?" Suara bass Aldo mengagetkanku.

Aldo, dia tadinya kakak kelasku. Hanya saja ketika kelas dua, dia mengikuti program pertukaran pelajar ke Jepang dengan konsekuensi,  tertinggal satu tahun di sekolah formal. Lalu ketika kembali ke Indonesia, dia sekelas denganku.

Hobinya menggambar membuat kami menjadi dekat. Jika Aldo lebih menyukai sketsa desain ruang, aku lebih menyukai sketsa wajah.

"Eh malah bengong ditanya." Aldo menyentil ujung hidungku.

"Enggak kenal juga, sih. Tiba-tiba tanganku gerak aja ngegambar wajah ini," sahutku sedikit berbohong.

"Kalau aku perhatikan, kamu mulai sering  menggambar wajah ini setelah pulang dari Jakarta. Kenal di pameran, ya?" Tembaknya dengan cengiran lebar.

"Hu-uhm. Aku tiba-tiba nggak bisa melenyapkannya dari pikiran. Dengan menggambar sketsa begini sedikit membuatku bisa mengurangi bayangannya."

"Kamu jatuh cinta sama cowok di sketsa itu?" Aldo kembali bertanya.

"Ketinggian mungkin kalau dibilang cinta, ya. Mungkin lebih tepatnya kagum. Kamu ingat pas pementasan musik, ada yang mainin Kiss the rain pakai gitar akustik, nggak?"

Aldo terlihat mencoba mengingat-ingat sesuatu. Satu setengah tahun berlalu dari acara kebudayaan itu, wajar dia lupa.

"Enggak," sahutnya menyerah. "Kalau disuruh ingat cewek, aku bisa ingat," kekehnya.

"Huu ...." Tepukan ringan melayang ke bahunya yang bidang.

"Terus, kamu suka sama cowok ini?" tanyanya dengan wajah serius.

"Enggak tau deh, cuma suka lihat garis wajahnya," sahutku menatap hasil goresanku di buku sketsa.

Aldo hanya diam. Mengalihkan tatapannya dariku.

"Eh, kamu sudah tau lomba bikin komik yang kemarin ditempel di mading belum?" tanyanya tiba-tiba.

"Belum, Memangnya ada?"

"Ada, lusa hari terakhir. Aku pikir kamu sudah tau. Tadinya mau ngajak kolaborasi, kamu bikin karakternya, aku bikin background," ujarnya antusias.

"Ya ... Do, kamu 'kan tau, aku nggak punya waktu lagi buat bikin-bikin komik. Semua alat gambarku disita Papa," sahutku memasang raut kecewa.

"Kalau kamu mau bandel dikit, bilang sama Papamu belajar kelompok aja. Entar kita bikin di rumahku, aku baru beli tablet untuk gambar." Aldo menyeringai jahil. "Lumayan kalau menang, hadiahnya jalan-jalan ke Jepang," lanjutnya antusias.

Aku membuang napas pelan. Merasa tidak tega mematahkan semangat yang tampak berkibar dari balik kacamata cowok berkulit pucat itu.

"It's over, finito!" sahutku pelan.

"Yah!" Kecewa jelas terjejak pada wajahnya.

"Sorry, Do. Hidupku bakal tamat kalau Papa tau aku berbohong. Aku enggak berani," sesalku.

"Sayang banget, sih, Li. Banyak orang harus les buat bisa gambar kayak kamu. Giliran kamu punya bakat malah nggak dikembangkan." Dia masih berusaha membujuk.

"Ya ... mau gimana lagi. Tuhan juga salah ngasih kayaknya ke aku," keluhku mendengkus lemah.

"Hush! Malah nyalahin Tuhan," sergahnya.

"Yang ngasih aku bakat seperti ini, 'kan Tuhan. Lalu, yang nempatin aku di keluarga yang enggak ngehargain bakatku, juga Tuhan. Aku mau nyalahin siapa lagi." Aku mengendikkan bahu.

Aldo tak lagi bersuara. Selalu seperti itu. Bagai menemukan jalan buntu, setiap kali membicarakan perihal talenta yang kupunya. Aldo mempunyai orangtua yang mendukung penuh bakatnya, segala fasilitas yang di butuhkannya untuk mengembangkan bakat, disediakan lengkap.

Sementara aku, jangankan mendapatkan fasilitas serupa, sekedar melepas lelah dengan menggambar pun aku tak mendapat izin.

Lulus SMA, aku dan Aldo sama-sama berangkat ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan kami. Aldo sudah mantap memilih Fakultas Seni Rupa di kampus tertua di Bandung. Sedangkan aku, tetap harus menjejal otakku dengan bimbingan belajar untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi.

[Lia, di kosanku ada cowok yang mirip sama sketsamu] satu pesan singkat dari Aldo sontak membuat pikiranku kembali terfokus pada cowok berhidung mancung itu.

[Namanya Ares, bukan?] balasku cepat.

[Iya. What a small world! Ntar deh aku ajak ketemuan, ya.]

Mendadak bingung harus membalas apa. Ketemuan? Lalu nanti hendak membicarakan apa. Bahkan mungkin namaku tak lagi diingat cowok itu.

[Ih, enggak usah, Do. Kamu, kan tau kalau aku paling males ketemuan sama orang baru, apalagi cowok.] Akhirnya kalimat penolakan yang bisa kukirimkan pada Aldo.

[Dia masih ingat kamu, kok, Lia.] Kembali satu kalimat singkat dari Aldo itu berhasil membuat jantungku berlompatan.

"Eh, kamu memangnya cerita apa sama Ares? Kok tau-tau bilang dia masih ingat aku?" semburku ketika Aldo menerima panggilan telponku.

Bolak balik membaca dan membalas pesan dari Aldo mengenai Ares membuatku gugup membalas pesan darinya. Entah berapa kali aku mengetikkan kalimat yang kacau karena mendadak tanganku gemetar. Entah karena apa.

"Enggak cerita apa-apa. Pas ada anak baru pindah di depan kamar, aku merasa familiar melihat wajahnya. Iseng deh nanya apa dia kenal sama kamu. Pas aku kasih tau nama kamu, dia langsung inget, tuh," papar Aldo.

Serasa diterbangkan ke langit begitu mendengar apa yang dikatakan Aldo. Selama ini, aku bagai punguk merindukan bulan. Setiap hari menggambar sketsa orang yang sama tanpa tau kabarnya bagaimana. Ternyata orang yang telah memonopoli pikiranku, juga masih mengingatku. Berbagai kata andai mulai memenuhi pikiranku.

"Lia, masih disana?" Suara Aldo menyeretku kembali pada kenyataan.

"Iya, masih," sahutku meredakan euforia sesaat.

"Jadi, mau nggak, ketemuan nanti malam?"

"Uhm, aku nggak berani keluar malam, Do. Takut tiba-tiba Kak Daren datang ke kosan. Bisa dicincang sama Papa kalau ketauan keluar malam." Membayangkan Kak Daren dengan wajah kakunya melapor pada Papa seketika membuatku bergidik.

"Atau aku yang main ke sana sama Ares?"

"Eh, kan kosanku enggak boleh nerima tamu cowok, Do. Lagian kenapa sih harus malam ini? Masih bisa besok, 'kan ketemuannya?" tanyaku sedikit heran.

"Nih, ngomong sendiri." Terdengar suara Aldo seperti berbicara pada orang lain.

"Halo, Li," sapa sebuah suara yang tak kukenal dari seberang sambungan.

"Iya. Ini siapa?"

"Ares. Masih ingat, kan?"

Otomatis aku membekap mulut agar tidak ada jeritan yang keluar. Semua ini terasa begitu tiba-tiba. Ruangan mendadak terasa panas. Entah aku terkena sindrom apa. Suara cempreng yang dulu kuingat berganti dengan suara lelaki dewasa. Aku salah tingkah sendiri meski orangnya tak berada di hadapanku.

"Halo, Li?" Suara renyah dan empuk di telinga itu kembali terdengar.

"Iya. Maaf aku lagi mencoba mengingat," ujarku menetralkan rasa grogi.

"Cowok yang kamu bikinin sketsa waktu di pameran budaya," ungkapnya seakan menimpakan sebongkah batu besar di kepala.

"Iya, aku ingat." Aku menyerah untuk terus berpura-pura. Khawatir jika Aldo juga sempat mengatakan bahwa setelah pameran budaya itu, aku masih terus memenuhi bukuku dengan sketsa wajahnya. Bisa hancur harga diriku.

"Besok bisa ketemuan?" tanyanya sekali lagi.

"Abis pulang bimbel kali, ya." kalimat itu lepas begitu saja, lalu menyesal telah mengucapkannya.

"Ok. Sekalian makan siang, ya. See you. Ini aku balikin lagi sama Aldo." Aku hanya melongo tanpa sempat menjawab.

"Sampai ketemu besok, Lia!" Aldo pun memutuskan sambungan.

"Hei! Kalian kenapa seenaknya saja menyudahi pembicaraan tanpa menunggu orang lain menjawab sih?" teriakku pada handphone yang masih kupegang.

Arrgh! Besok aku harus bagaimana? Rasa panik mulai menjalar. Tak pernah terpikirkan olehku akan bertemu kembali dengan orang yang tanpa sengaja sempat masuk dalam alur cerita hidupku. Aku berpikir, dia hanya salah seorang figuran yang berperan sekilas dalam ceritaku.

Kembali, aku mengambil buku sketsa. Menorehkan kembali garis-garis yang membentuk wajah Ares. Membayangkan seperti apa wajahnya sekarang. Gugup, tapi tak sabar menunggu besok.

Jangan-jangan Ares jodohku, gumamku dalam hati, tak mampu menghentikan bibir yang tak berhenti tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status