Rio tampak beberapa kali menyeka keringatnya, padahal pendingin udara di dalam mobil sudah diatur maksimal. Aku saja sudah menggigil kedinginan, pakaian yang kupakai juga sudah cukup tebal. Aku sengaja memilih kaos turtle neck dengan blazer berbahan semi wool untuk mengurangi rasa dingin kota Bandung pagi ini.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku mengusap lengannya. Hal yang jarang kulakukan, tapi melihat gelagatnya yang tak biasa, membuatku jadi khawatir."Ha-ha, aku gugup," balasnya dengan senyum kaku.Entah kemana rasa percaya diri cowok ini menguap. Selama ini dia selalu terlihat santai kemana pun kami pergi, baik ketika hendak bertemu dengan teman lama, maupun dengan orang baru. Baru kali ini kulihat wajahnya segugup ini."Biasa aja, sih. Yang bakal kamu temui nanti manusia biasa juga, bSuasana hening menyekap. Tidak ada yang berani angkat suara. Yang terdengar hanya suara obrolan hangat pengunjung lain dari meja sebelah kami. Di mejaku, semua sibuk dengan hidangan yang ada di piring masing-masing. Rio terlihat makin gelisah. Berkali-kali kulihat dia melirik ke arah Papa.Ini adalah acara makan siang tercanggung yang pernah kualami. Bahkan hingga semua selesai makan pun, masih belum ada yang berani berbicara meski hanya sekedar obrolan ringan seperti yang kulihat pada keluarga yang lain.Lalu, kudengar Rio berdehem pelan di sampingku. "Maaf, Om ... Tante ... mungkin ini agak terkesan lancang. Tapi saya tidak tahu kapan bisa dapat momen seperti ini lagi. Bertemu dengan keluarga lengkap Lia ...." Rio menjeda. Papa melotot, Mama seperti menahan napas. Kak Daren dan Kak Arsya berpandang-pandangan. Aku pun tak kalah tegang.
Aku mulai sekarat menunggu macet mereda. Hampir dua jam terjebak di jalan ini. Terdengar hiperbola memang, tapi rasa bosan menunggu jalanan kembali lancar itu benar-benar terasa membunuh. Kali ini, jalanan tersendat menuju putaran ke arah Dago.Terlihat Polisi lalu lintas sibuk mengatur kendaraan agar kemacetan mengurai, di tengah hujan yang makin menderas. Sudah bukan hal aneh memang, macet dan hujan bagaikan dua sejoli yang seiring dan sejalan. Pasalnya, ketika hujan datang, sebagian lampu pengatur lalu lintas tidak bekerja sebagaimana mestinya. Diperparah pengendara yang kadang tidak tertib aturan, ingin saling mendahului."By, udah laper lagi?" tanya Rio, membuatku mengalihkan perhatian dari luar jendela ke arahnya."Lumayan." Udara dingin memang selalu membuat perut tak bisa diajak kompromi. Karena ia membutuhkan bahan bakar lebih untuk membuat tu
Mama berkali-kali menelpon, tapi kuabaikan. Rio menyetir dalam diam. Membiarkanku tenggelam dalam pikiran, tanpa sepatah kata tanya pun ia ucap. Aku masih sesekali terisak meredakan sesak. Rasa kesal pada Papa masih belum tuntas."Kita mau kemana?" tanyaku saat tersadar mobil Rio berbalik arah kembali ke hotel tempat orangtuaku menginap."Tadi aku udah janji mau bawa kamu balik lagi ke sana," sahut Rio tanpa menoleh padaku."Aku nggak mau!" tolakku kembali terisak.Aku merasa dikhianati. Padahal Rio tau aku sedang tak ingin bertemu mereka."By! Masalah nggak akan selesai kalau kamu menghindar seperti ini!" Suara Rio pun mulai meninggi."Jadi kamu mau nyerah? Mana katanya mau berjuang buat aku? Bullshit aja!" Aku makin tergugu.Rio bungkam, tapi tak menyurutkan niatnya untuk mengantarkanku kembali ke hotel. Justr
Mataku menyisiri keramaian kafe yang terdapat di salah satu sudut Cihampelas Walk. Hari ini setelah menyelesaikan bimbingan dengan salah seorang dosen pembimbing skripsi, aku memenuhi janji dengan Aldo. Aku datang sendiri, karena Rio masih berkutat dengan revisi yang akan diserahkan pada dosen pembimbingnya sore ini.Terlihat Aldo melambaikan tangannya dari salah satu meja yang terdapat di tengah ruangan kafe. Gegas kupercepat langkah. Sudah lama sekali tidak bertemu cowok berkacamata itu. Seingatku, saat di rumah sakit ketika Ares di rawat adalah kali terakhir bertemu dengannya.Penampilan Aldo sedikit berubah. Poni yang biasa menutupi keningnya dipangkas dan di tata dengan pomade dengan gaya acak. Membuat wajahnya terlihat lebih segar dari biasa. Pipinya juga terlihat lebih bulat daripada biasanya."Lama nungguin?" Aku menghenyakkan tubuh di kursi ya
Setelah melewati rangkaian proses yang panjang dan melelahkan, di sinilah akhirnya aku berdiri. Menatap nanar pintu kayu berpelitur warna coklat. Setelah beberapa jam berjuang mati-matian mempertahankan hasil penelitian di hadapan para dosen penguji. Menahan diri untuk tidak terbawa emosi ketika hantaman pertanyaan demi pertanyaan di lontarkan untuk menguji keabsahan data yang kusampaikan.Kini aku menunggu dengan harap-harap cemas. Rio yang berdiri di sampingku tak kalah khawatir. Kesan optimis yang biasa tercetak di wajahnya lenyap. Begitu juga dengan beberapa orang peserta sidang lainnya. Tak ada yang bersuara, mereka seperti menahan napas. Detik pun terasa berjalan lambat.Perlahan pintu ruang sidang terbuka. Salah seorang dosen penguji keluar membawa kertas di tangannya. Dia tersenyum sekilas pada peserta sidang, dan menempelkan kertas itu pada papan pengumuman yang terdapat di depan rua
Sesaat setelah sang perias selesai memoles wajahku, aku melihat bayangan yang terpantul di cermin. Seorang gadis yang begitu mempesona menatapku balik. Aku hampir tak mengenal gadis yang menatap dari pantulan cermin itu. Namun, wajah cantik gadis itu terlihat begitu suram. Tak ada jejak kebahagiaan yang tercetak di sana. Sorot matanya penuh beban."Senyum, dong, Say. Nggak guna hasil make up teteh kalau kamu cemberut gitu," komentar Teteh yang meriasku.Aku mencoba mengulas senyum. Dua lengkung di ujung bibir kutarik sedemikian rupa. Dari sana, aku menyadari bahwa ternyata selama ini aku yang memilih untuk membawa beban atas segala pikiran-pikiran buruk dari ungkapan kekecewaan Papa dan Mama di dalam hati. Aku yang memilih membiarkan mereka membuatku terpuruk. Padahal jika aku mau, bisa saja semua perkataan mereka kuanggap sebagai angin lalu, yang mampu membawaku terbang
Acara pertemuan keluargaku dan keluarga Kak Nadia berjalan lancar. Membuat suasana hati Papa sehari ini terlihat begitu baik. Tidak ada wajah masam yang biasa ditunjukkannya. Bahkan sampai kami mengantar mereka ke bandara, wajah Papa masih menguarkan aura bahagia.Bagaimana tidak, mempunyai calon menantu yang cantik dan juga seorang dokter, dari keluarga terpandang. Orangtua mana yang tidak akan bahagia.Aku dan Kak Arsya baru saja keluar dari tol bandara ketika Rio menelpon."By, kamu dimana?" tanyanya begitu aku menjawab panggilan."Baru keluar bandara habis nganter Papa.""Sampai kapan di Jakarta?""Rencana besok baru mau pulang. Kenapa?" Aku mengernyit heran. Menoleh sekilas pada Kak Arsya yang tampak ingin tahu dengan percakapanku dan Rio.
Aku duduk gelisah di kursi ruang tunggu bandara. Rio terlihat cukup mampu menguasai rasa gugupnya dengan asyik bermain game di ponselnya. Aku juga mencoba berkosentrasi penuh, membuat beberapa sketsa untuk mengalihkan pikiran. Namun, memikirkan reaksi Papa, kembali membuatku tak tenang.Rio memaksa untuk berangkat menemui kedua orangtuaku di kampung hari ini. Dia benar-benar berusaha mewujudkan satu persatu rencana yang telah ia susun. Termasuk menemui orangtuaku untuk mendapatkan restu. Satu hal yang membuatku kehabisan kata-kata, dia benar-benar membawa perlengkapan berkemah. Satu set tenda lipat dan perlengkapannya, ia muat di dalam tas ransel besar."Kamu serius mau bikin tenda di depan rumahku?" Tawaku pecah saat tau isi ransel yang Rio bawa."Iya, buat jaga-jaga kalau Papa kamu nggak mau kasih izin kita menikah," katanya dengan wajah serius tak terpengaruh d