23 Desember, 2018 ....
Bathrobe putih membungkus tubuh kekarnya yang jangkung menjulang. Lelaki itu sibuk menyesap hangatnya caramel macchiato buatan sendiri pagi-pagi buta. Orang-orang mengenalnya sebagai Renjuna Winarga. Asal-usulnya kelabu, bahkan mereka tak tahu marga apa yang disandang laki-laki itu.
Lagi, orang-orang berkata kalau seharusnya Juna jadi penyandang The Most Handsome and Cool Boy di kampus- wajahnya tampan, otaknya pintar dan baju-bajunya ... ah, terlihat mahal dan berkelas. Namun tahun pertama kuliahnya, Juna mematahkan itu.
Juna katanya tak segan-segan memukul atau menghajar siapa saja yang menghalanginya jalannya atau dia yang membuatnya kesal. Memang ya, orang-orang itu berpikiran sempit. Juna hanya pernah satu kali memukuli seorang dan bagi Juna, itu tindakan yang tepat bagi keparat busuk yang hobi menelisik badan perempuan.
"Lihat tuh, kakinya aja segede gaban." Tiga pemuda bergerumul dalam satu meja di kafetaria fakultas. Juna sibuk menggeser beranda sosial media sambil menunggu Jeno dan beberapa temannya yang katanya mau mengambilkannya makanan.
Awalnya Juna tak peduli. Tapi begitu gadis yang mereka bicarakan mendekat ke arah tiga pemuda itu Juna mulai tertarik.
"Kalian ngomongin gue?" Gadis itu bertanya dengan raut muka tidak enak. Wajahnya merah entah menahan malu atau marah.
"Owww tenang dong, datang jangan langsung marah-marah, Mbak!" ucap salah satunya dengan raut wajah menggoda, dan sesekali tertawa meremehkan. Juna menukik mulai menukik alis.
"Iya nih, gak seru. Harusnya kamu senyum dong, biar kelihatan cantik dikit." Satunya lagi menimpali, yang dapat hadiah tawa ejek dari kedua temannya.
Wajah gadis itu kian memerah. "Ih, kenapa kok kayak malu gitu? Jangan malulah, sini duduk sini sama Abang."
"Gila ya kalian!" Gadis itu menghentak kaki, lalu pergi dengan bersungut-sungut.
Juna meremas sedikit erat pada ponselnya. Laki-laki itu tersenyum sumir setelah sebuah ide epik mampir ke kepalanya.
Juna berdiri lalu dengan keras dia menghantam salah satu wajah dari pemuda di samping mejanya. Semua atensi tertuju pada mereka berempat.
"Oh, sori-sori, gue sengaja." Juna berkata dengan seringai yang tercetak jelas. "Aduh, gimana dong? Wajah lo udah jelek jadi makin jelek." Lalu wajah tersenyum itu hilang, berganti jadi lagak sok khawatir yang jelas sekali cuma dibuat-buat.
"Masalah lo apa sih?!" Salah satunya bertanya menyolot.
"Masalah gue? Gue sih gak punya masalah, kayaknya kalian deh yang bermasalah." Juna mengetuk pelipisnya beberapa kali dengan ujung telunjuk. "Otak kalian kayaknya ketinggalan di rumah, ya?"
"Kurang ajar!" Yang kepalanya hampir benjol karena sodokan maut ponsel iPhone Juna pun marah. Laki-laki itu dengan cepat melayangkan Bogeman mentah di wajah Juna.
Lalu hanya dengan begitu saja, pertandingan satu lawan tiga tak dapat dihindarkan. Mereka bergerumul hingga meja-meja berserakan, bangku terbalik dan tak urung patah kakinya. Tentu saja mahasiswa lain juga berlomba, berlomba mengambil gambar, video dan memviralkan kejadian itu di sosial media.
Juna mendapatkan poin diskors selama satu semester gara-gara kejadian itu. Salah satu dari pemuda keparat, patah tangannya dan yang dua pingsan. Jangan remehkan Juna, sungguh!
Rumor menyebar dengan cepat setelah Juna kelihatan tak lagi masuk selama hampir satu Minggu. Fakta bahwa ibunya mati di tangan ayahnya sendiri menjadi kayu bakar gosip pedas dan panas. Katanya, "bapaknya aja psikopat, apalagi anaknya." Lalu netizen tertawa.
Tapi jangan salah, marga yang disandang Juna-yang berusaha ditutupi olehnya- tak main-main rasanya. Soalnya hanya 8 hari setelah kejadian itu, semua berita lenyap begitu saja. Seolah-olah ditimbun oleh apa-apa saja. Tiga pemuda keparat keluar dari kampus, sementara Juna kembali masuk seperti hari-hari biasa.
Jadi ... apa kalian kira, Juna berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja? Jawabannya tidak. Bahkan, pemerintah pun hanya bisa diam begitu keluarganya bergerak.
Sejak saat itu, Juna mulai menjauhi kerumunan. Dia terbiasa sendirian, meski Martin and the geng tak pernah bosan mendekati Juna. Berharap Juna kembali seperti Juna yang dulu, Juna yang baru masuk sebagai mahasiswa baru. Juna yang lancar dalam bersosialisasi.
Sekarang sudah tahun ketiga, semuanya terasa biasa-biasa saja. Orang-orang tak pernah menyapa Juna, begitu pun Juna sendiri. Laki-laki itu, sungguh-amat-sangat terbiasa dengan ini.
Kelas hari ini dimulai pagi-pagi, itu sebabnya Juna segera meninggalkan caramel macchiato-nya yang tinggal separuh di atas pantri dan memilih masuk kamar untuk baju ganti.
Kelas sastra bukan minat Juna, begitu pun jurusan yang dia ambil. Sastra Indonesia. Hanya saja Juna memilih itu secara random. Supaya neneknya cepat diam saja. Sebab waktu itu neneknya sudah macam orang kesurupan dan minta Juna cepat-cepat mendaftar kuliah.
Tidak ada yang menarik, penjelasan dosen membosankan. Tak sekali dua kali, laki-laki itu menguap di kelas. Dia duduk bersama seorang gadis, rambutnya sepanjang bahu berwarna hitam kemerahan. Entah karena memang warnanya begitu, atau sebab tersiram cahaya matahari pagi yang menelusup lewat celah-celah jendela.
Juna terdiam cukup lama, dia merasa mengenali gadis itu. Namun ... dia memutuskan untuk tak berpikir lebih lanjut waktu mengetahui kelas ditutup.
Ia berdiri, merapikan beberapa buku yang berserak tak tentu arah. Bahkan Juna sudah lupa tentang apa-apa saja yang dikatakan dosen tadi. Otaknya pintar, namun cukup malas. Karena dia kaya ... yah ... ya sudahlah ya.
Setelah menyandang tasnya di bahu, Juna tak melupakan eksistensi jaketnya yang disampirkan pada bahu kursi. Cepat, dia menyambar benda berwarna hijau army itu lalu benar-benar pergi dari sana.
Koridor lantai tiga sepi, hanya terisi oleh mahasiswa/i yang baru saja berada satu kelas dengan dirinya. Juna menatap jam di pergelangan tangan, sudah hampir jam 12 siang. Lama juga dia terduduk terkantuk-kantuk di sana.
"Tunggu! Hei!" Seseorang berteriak di belakang. Juna mana peduli. Pasti memanggil orang lain, batinnya berbisik. Langkah itu masih seringan kapas dan sepanjang galah karena terima kasih kepada kaki-kaki yang panjang itu.
Tapi Juna kontan berhenti begitu sebuah tangan meraih pundak. Menoleh.
"Saya bilang berhenti kenapa masih lanjut aja sih?!" Gadis itu menggerutu kesal. Juna menyipit, seperti pernah melihat gadis di depannya. Tapi di mana?
Pemuda 21 tahun itu berbalik, menyingkirkan tangan mungil di bahunya karena risih. "Kenapa, ya?"
Perempuan di depan yang masih tersengal napasnya, kembali menyentuh pundak Juna. Tapi berbeda, kali ini pundak kiri di mana jaket hijau tersampir.
"Ini jaket saya," kata gadis itu.
"Ha?"
"Jaket kita tertukar, Pak." Gadis itu menambahi, lalu menarik satu tangan Juna dan memberikan jaket yang di tangannya kepada Juna. "Ini jaket bapak." Lalu ia menunjuk lagi jaket di bahu Juna. "Ini jaket saya."
Oh ... ternyata jaket mereka sama.
"Enak aja lo panggil gue bapak! Kita seumuran, ya!" Juna protes waktu mereka sudah resmi bertukar jaket.
Gadis di depannya meringis. "Abisnya Anda kelihatan tua. Lagian saya juga masih Maba dan kayaknya kita nggak satu angkatan deh."
Juna menggeleng kecil, tak tahu harus jawab apa. "Ya udah, bye." Pemuda itu berkata, lalu berbalik dan pergi.
"Pak, makasih ya." Gadis itu mensejajarkan langkah dengan Juna.
Juna mengerutkan dahi, tak mengerti.
"Makasih karena waktu itu udah nolongin saya di lampu merah."
Ah, Juna jadi ingat kejadian itu. Rupanya tak salah, memang dia pernah melihat gadis di depannya.
Tiffany dan Taharja duduk di taman rumah sakit. Suasana agak cerah dan ramai oleh pasien maupun pengunjung. Beberapa di antara mereka datang sendirian, ada juga yang berdua. Meski suasana cukup bising, Taharja dan Tiffany tak dapat merasakan keramaian itu sebab; mereka terlalu hanyut dalam lamunan masing-masing.Canggung mendera atmosfer di antara keduanya. Maksudnya, bagaimana bisa seseorang bersikap biasa-biasa saja sementara masa lalu mereka yang cukup gila masih berbekas hingga sekarang.Taharja berdeham sekali. Tenggorokannya terasa serak dan kering, maka laki-laki paruh baya itu kontan berdiri. "Saya beli minuman dulu," pamitnya.Tiffany mengangguk tanpa kata. Sebab wanita tua itu pun juga merasa sangat tidak nyaman."Terima kasih." Tiffany menerima uluran tangan Taharja yang berisi air mineral dingin. Taharja tak membalas, ia kembali mendudukkan diri di samping Tiffany
Jeno dan Tara mengikuti pak Suryo ke rumah sakit. Berniat menjenguk Juna meski cuma sebentar. Ada rasa cemas di hati Tara sewaktu perjalanan yang cukup memakan waktu itu.Setiba di ruang rawat, terlihat Tiffany sedang bersama Juna. Juna tertidur pulas sementara Tiffany memegang lengan Juna dengan raut cemas.Mereka bertiga masuk. Kontan mata Tiffany dan Tara bertemu, canggung menerpa keduanya.Jeno berdehem kecil untuk mencairkan suasana. "Malam, Tante. Masih ingat saya nggak? Saya Jeno, temen kuliahnya Juna." Jeno mendekat, memberi salam.Tiffany tersenyum, lalu mengangguk. "Ingat kok, Juna juga pernah cerita soal kamu sama saya." Tiffany berkata, tapi menatap pada Tara. Seketika yang ditatap kembali merasa canggung.Diam kembali mewarna atmosfer tempat itu. Tiffany bangkit dengan canggung. "Saya belum makan malam, ayo makan malam Pak Suryo!" ajakny
"Ayo ... ayo bilang kalau kamu nggak baik-baik saja, kalau kamu sakit, kamu nangis setiap hari, kamu ... kamu nggak kuat. Ayo bilang sama aku!" Tangis Jeno menderu-deru. Bak suara debur ombak yang berlomba-lomba mencapai pesisir. Laut yang biasa terasa menenangkan, kini menyayat hati."Padahal dari dulu, susah payah aku buat nggak terlihat lemah di depan kamu. Karena apa? Karena aku mau kamu sadar, kalau aku itu bisa diandalkan. Kamu bisa mengandalkan aku. Kamu bisa cerita semua masalah kamu, kamu boleh bersandar di bahuku ketika kamu nggak ada tempat yang tepat untuk pulang." Laki-laki itu berkata.Dia menggeleng kuat hingga air matanya semakin berlomba-lomba untuk jatuh di pipi. "Tapi kamu nggak pernah. Kamu nggak pernah datang sama aku dan berkata kalau kamu lelah, kalau kamu letih dan muak dengan hidup ini. Kamu nggak pernah. Kamu seolah-olah menganggap aku nggak pantas buat jadi sandaran kamu saat berada di titik rendah. Beg
"Langit dibalik menimpa laut, laut dibalik menimpa langit. Tapi Tuhan tak pernah memutuskan buat membalik mereka. Karena Tuhan tahu, ada hal-hal yang harus dilindungi oleh masing-masing. Laut itu indah, di dalamnya ada suka duka. Tempat bekerja bagi para nelayan juga. Di sana, gue nggak tahu bakal menemukan apa. Tapi di sini, dengan melihat deburan ombak yang tenang, gue menemukan diri gue tiba-tiba baik-baik saja. Laut itu, sebuah mahakarya, hadiah dari Tuhan untuk kita." Jeno memaparkan. "Dari yang aku tangkap, kamu suka laut karena deburan ombak itu," laki-laki itu menunjuk jauh ke sana, "membuat kamu merasa tenang, 'kan?"Deburan ombak, membuat Tara merasa tenang.Iya, debur ombak memang selalu membuatnya Tenang. Sejenak, Tara melupakan bahwa dia menyukai laut karena baginya; hidup terlalu pelik dan curut-marut.Selesai menyantap mi ayam- karena cuaca sangat mendukung Tara mengiyakan saja padahal ti
"Apa yang mereka lakuin di sana?" "Mereka makan mi ayam di sebuah kedai, Pak," jawab seseorang dari seberang panggilan. Juna meremas ponselnya agak kuat. Laki-laki itu mengeram rendah sebelum akhirnya berkata kepada laki-laki di seberang panggilan untuk terus mengikuti kemana arah perginya dua anak manusia itu, Tara dan Jeno. Ya, Juna memutuskan untuk menyewa orang buat mengikuti Tara kemana-mana. Mendengar Tara keluar bersama Jeno, dengan perjalanan kurang lebih 2 jam dari ibukota membuat emosi Juna kontan menggebu-gebu. Bayangkan saja, Tara tak menerima teleponnya dan tak pernah membaca pesan darinya. Tapi di hari Minggu ini, gadis itu malah jalan-jalan dengan laki-laki lain. Juna hampir saja membanting ponselnya saat sebuah pesan masuk, membuatnya urung melempar ponsel mahal itu menjadi beberapa pecahan. Orang tadi
"Udah?" Tara hanya mengangguk mendengar pertanyaan Jeno. "Cus! Berangkat, ya, Om!" kata Jeno sambil melambai, Tara juga. Lalu Somad (nama motor Vespa Jeno) melaju pelan keluar dari pekarangan Keluarga Taharja. Sebenarnya Tara masih kebingungan. Soalnya Jeno sama sekali enggak bilang mereka mau pergi kemana. Laki-laki itu cuma datang dan Tara juga sudah siap-siap karena dipaksa bergerak cepat sama ayah dan kakaknya. Bahkan, ayahnya yang menyiapkan bekal mereka. Kalau melihat bekal yang dibawakan oleh Taharja sih, kayaknya mereka mau piknik. Terka Tara dalam hati. "Jen," panggilnya. Namun Jeno tak urung menjawab. "Jeno!" "Heh—eh, apa?!" tanya Jeno dengan sedikit berteriak, lalu kepalanya agak menoleh ke belakang sekilas. "Udah liatin jalan aja, nanti kecelakaan 'kan gak lucu!"