Share

1. Cewek Sinting

Tara tak pernah membayangkan, ternyata ia ditolong oleh kakak tingkatnya sendiri. Namanya Renjuna Winarga, satu fakultas dengan Tara, kumpulnya sama Martin and the geng yang terkenal seantero kampus. Masalahnya, teman Martin-Jeno-adalah sahabat Tara, tapi mengapa Tara tak tahu kalau dalam perkumpulan mereka ada seseorang bernama Juna yang ganteng banget?! Tara tidak kuat.

Ya memang sih, mereka semua berbeda angkatan. Juna dan Jeno satu angkatan, dan berada dalam fakultas, mereka terdaftar di angkatan 2015, Tara jelas di angkatan 2018. Sebenarnya Tara seumuran dengan Jeno, mereka satu kelas waktu SMA, tapi Tara harus ketinggalan satu tahun karena suatu alasan.

Jujur, Tara sangat berterima kasih atas bantuan yang Juna ulurkan kepadanya, meski jelas terlihat laki-laki itu tidak begitu tulus. Wajahnya kelewat ketus dan dingin, Tara sampai merasa mengigil dibuatnya.

Setelah mengetahui bahwa Juna adalah kakak tingkatnya, Tara jadi semakin tertarik. Dari informasi yang ia dapatkan melalui teman perempuan Jeno, Juna itu hampir jadi most wanted kampus ini. Tapi batal dengan alasan yang tidak mereka jelaskan. Menurut pandangan cerdik Tara, ia bisa menebak apa yang membuat Juna batal menjadi orang paling digemari oleh gadis-gadis.

Apalagi? Wajahnya yang kelewat dingin, sopan santun yang kurang memadai dan suka meninggalkan orang-orang tanpa pamit apalagi senyum manis. Orang-orang pasti takut untuk menghadapinya, tatapan Juna terkadang bisa lebih dingin daripada kedinginan itu sendiri. Tapi terkadang Tara melihat matanya berubah, apalagi saat sore hari di bawah pohon oak taman belakang (Tara juga baru tahu kalau Juna suka berada di sana saat sore hari), tatapan itu, mata sekelam malam yang seolah-olah berkata bahwa dia kesepian.

Tara tak tahu, apakah terkaannya benar atau hanya sebuah spekulasi. Tapi hanya dengan menatap mata itu untuk pertama kalinya, Tara benar-benar seolah ditarik oleh magnet paling kuat di dunia. Dia sangat ingin tahu tentang laki-laki itu lebih dalam, masuk ke dalam dunianya yang mungkin saja menarik.

Setelah penutupan kelas yang sama sekali tidak menarik, Tara tak bisa menahan dirinya untuk tidak segera turun ke bawah. Sebab dari lantai tiga, dari tempat duduknya, Tara bisa melihat seorang lelaki yang mengenakan hoodie abu ukuran super besar dan celana skinny jeans hitam yang sialnya tampak tampan-tampan saja—sedang termangu sendirian di bawah sana.

"Ra, mau kemana?" Tara menoleh ke belakang sewaktu seseorang menarik tangannya. Jeno tahu-tahu sudah di depan kelasnya.

"Mau pulang lah. Ngapain sih?" Tara melepaskan tangan Jeno dengan gaya sosialita kelas kakap, tidak mau dipegang-pegang sama Jeno, soalnya dia marah. Kalau dipikir gara-gara Jeno juga Tara waktu itu harus pulang sendiri, dia ditinggal entah kemana. Dasar sahabat tak setia kawan!

"Masih marah lo?" Jeno bukannya kesal malah tertawa oleh kelakuan sahabatnya.

"Iyalah! Lo tuh tega banget ninggalin gue. Pasti pasti pacaran 'kan lo?"

"Bukan gitu-"

"Halah! Gak menerima alasan lagi. Udah, gue mau turun dulu." Tara kembali berjalan ke arah tangga.

"Ya udah deh, gue duluan ya. Nanti kalo kakak lo gak jemput telefon gue aja." Jeno menyamainya, lalu mengusap surai panjang Tara. Setelah itu pergi meninggalkan Tara yang terdiam tanpa kata-kata.

Radio kampus sore itu mengudara seantero tempat maha luas yang digadang-gadang sebagai kampus paling elit di kota. Dalam kebisingan dunia, seorang lelaki berdiri di bawah pohon oak putih kecil yang mulai mengugurkan daun. Tak jarang mereka jatuh di atas kepala pemuda tulen itu. Namun ada yang lebih menarik daripada menyingkirkan daun jatuh. Sebab jauh di depan sana, langit ceria. Udara hangat sore hari dan angin sejuk adalah perpaduan yang sempurna. Tapi rasanya sakit, di dalam dadanya terasa sesak. Suasana indah sore itu tak berarti apa-apa.

Juna punya tempat favorit di kampus, letaknya di taman belakang berdekatan dengan gudang kertas. Orang-orang bilang pohon oak putih kecil ini ada penunggunya, tapi Juna tidak percaya. Iya, ada penunggunya. Semut!

"Eh, Kak Juna."

Juna menoleh tatkala namanya dipanggil oleh warna suara yang akhir-akhir ini sering mampir ke telinganya. "Tara? Ngapain?"

Akhir-akhir ini Tara sering menganggunya, Juna kira sudah cukup dengan perkenalan kecil mengetahui mereka berada di kampus yang sama dan meluruskan gadis itu supaya tak memanggilnya dengan sebutan 'pak', karena tolong! Mereka masih seumuran. Tapi tidak, sebab Tara masih setia menganggunya di berbagai kesempatan.

Seperti saat ini, gadis itu asyik menyesap permen lollipop bermerk milkita. Kalau Juna tengok-tengok gadis ini sangat sering mengemut permen.

Juna pikir Tara pasti sering sakit gigi. Tapi apa peduli Juna? Dia tak mau berurusan dengan orang lain.

"Lewat doang, eh ada Kak Juna di sini, nyapa deh," jawab Tara sambil tertawa kecil, lalu mensejajarkan badan dengan Juna, turut berteduh di bawah pohon.

"Katanya di sini ada penunggunya loh, Kak. Ternyata emang bener. Tapi kalau penunggunya ganteng kayak Kak Juna, nggak papa deh, aku mau kesini tiap hari," timpalnya. Menatap mata Juna, kemudian tertawa.

Juna menatap gadis berambut panjang di sebelahnya, lalu menaikkan kedua alisnya. "Ngaco lo." Juna tak membalas dengan tawa, karena nyatanya candaan Tara sama sekali tidak lucu.

Hening. Canggung tiba-tiba mendera, tapi Tara sama sekali tidak peduli, berada di dekat Juna sedikit lebih lama dari biasanya adalah hal langka. Tara yakin, sebentar lagi manusia itu akan pergi meninggalkan dia seperti hari-hari lalu.

Juna terdiam. Rasanya canggung juga, ia membatin. Lantas Juna membenarkan letak tas hitamnya di pundak. "Saya mau pergi, kalau kamu mau di sini ya silahkan," pamit Juna yang tidak terdengar seperti pamitan.

"Kalau Kak Juna pergi, aku juga pergi."

Tara menyusul Juna yang berjalan lumayan cepat. Perbedaan panjang kaki mereka sangat mempengaruhi. "Kak Juna mau pulang?"

"Iya."

"Nggak ada kelas lagi?"

"Nggak."

Huh, susah banget deketin Kak Juna! cerca gadis itu dalam hati.

"Aku juga mau pulang, aku juga nggak ada kelas lagi," beber Tara tanpa ditanyai.

Juna berhenti sejenak, memandang Tara. Yang pandang juga tak mau kalah, kalau mau adu pandang ya ayo! Tara tersenyum lalu memiringkan kepalanya 25 derajat ke kanan.

"Oh, begitu." Setelahnya Juna kembali berjalan.

"Iyaaaa begituuuuuuuuuu."

Sampai di basemen, gadis itu masih tak menyerah untuk membuntuti Juna. Juna hampir saja melempar tasnya kalau tidak ingat bahwa Tara ini perempuan. Laki-laki itu berhenti di samping mobil hitamnya, menghela napas panjang, melihat ke arah gadis yang terlihat sangat polos di depannya.

"Saya mau pulang, Tara."

"Oh, silahkan." Tara membuat gerakan seolah menyuruh Juna masuk ke dalam mobil, sambil membungkuk sedikit agar sensasi membabunya semakin terasa. Sangat mendalami.

"Oke. Terima kasih." Laki-laki itu segera masuk ke dalam mobil. Pertama, melepaskan tasnya, lantas menyalakan mesin dan berlalu dari sana.

Tara terdiam di luar, menunggu mobil hitam Juna yang perlahan-lahan menghilang dari pandangan. Tak lupa ia melambaikan tangan sambil tersenyum penuh kepuasan.

"Pendekatan yang bagus, Tara. Semangat!" ucap Tara berbangga diri. Ia mengepalkan tangan dan mengangkat ke udara, sebuah gerakan untuk menyemangati diri sendiri. Apa pun yang terjadi, Tara harus jadi teman Juna.

Juna melihat gadis itu tersenyum joker dari spion. Laki-laki itu menggeleng kecil. "Cewek sinting."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
waah aku suka banget sama cerita romance yang kayak gini ... ngga sabar buat baca semua ceritanya~ btw author gaada sosmed kah? aku pingin follow
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status