Cahaya matahari pagi menelusup dari balik jendela, membuat gadis bernama Alicia yang juga kerap disapa Alice itu terganggu.
Alicia bangkit dari duduknya, berniat menarik gorden di ruangan kerja miliknya dan beberapa orang disana.
Menurut Alicia, kantornya itu luar biasa. Bahkan untuknya yang bekerja di bagian keuangan, ia memiliki ruangan dengan jendela kaca besar yang menyuguhkan pemandangan indah kota. Apalagi sesosok manusia yang kini tersenyum manis padanya dari balik kaca gedung sebelah.
Lelaki itu melambaikan tangannya, membuat Alicia tersipu malu. Lelaki itu tampan dan sangat manis, tapi tetap saja Alicia malas berurusan dengan yang namanya cinta. Alicia hanya mengangguk sekilas lalu menarik gorden besar itu. Ia tidak suka cahaya matahari yang menggangu pekerjaannya, apalagi teriakan menggema teman satu ruangannya sekarang.
"PAK BOS DATANG! AAAA AYO BERESIN SEMUANYAAA!" teriak wanita itu heboh dan panik.
Jujur, Alicia belum pernah bertemu langsung dengan bosnya. Katanya sih bos baru dan gosipnya, lelaki itu memiliki wajah tampan setampan idol korea.
"LICE! KENAPA BENGONG? AYO BERESIN MEJA KAMU, NANTI DIMARAHIN PAK BOS KALO BERANTAKAN," teriak wanita tadi masih dengan mode panik dan heboh.
"Aduh Ci, santai kenapa? Teriak-teriak aja kayak di hutan," balas Alicia.
Wanita itu mengatur nafasnya yang tak karuan.
"Gue panik, Lice! Gawat banget ini, pak bos kita galak. Gue takut," ucap wanita bernama Cici itu.
Nah, itu dia. Lelaki itu juga terkenal galak dan dingin.
"Lagian ngapain deh itu orang kesini?" tanya Alice sembari membereskan beberapa barang yang berantakan di mejanya.
"Bu Amel salah ngasih laporan, paling si pak bos mau amukin dia," jawab Cici sedikit berbisik.
Alice mengerutkan keningnya. "Lah, terus kenapa kita yang repot mesti beberes? Namanya juga lagi kerja ya pasti mejanya berantakan dong," balas Alicia sedikit tidak terima.
"Pak bos tuh kalo udah kesini pasti suka ngecek karyawan lain juga. Dan yang paling penting, dia ga suka sama karyawan yang berantakan. Dia pengen kita semua kerja rapi," jelas Cici.
"Repot banget jadi orang."
"Shut, itu dia," bisik Cici.
Alice menatap sosok lelaki tampan yang baru saja memasuki ruangan mereka dengan wajah datar. Ya, Alice bisa merasakan aura dingin dan mengintimidasi dari lelaki itu.
Ia meneguk salivanya susah payah ketika matanya dan mata bosnya yang tampak marah itu beradu.
Brakkk!
"Eh setan!" ucap Alice spontan.
Sontak semua orang menatap padanya. Alice hanya mampu menundukkan kepalanya dan menutup mulut seraya merutuki dirinya ketika Cici yang berada di sampingnya menyikut lengannya.
"Siapa yang buat laporan ini?" tanya Ardan dingin seraya menunjuk beberapa kertas yang baru saja ia lempar ke lantai.
"Maaf, Pak. Itu kerjaan Alicia," jawab kepala bagian yang bernama Amel.
"Hah?!" Alicia sontak membelalakkan matanya ketika namanya terseret dan menjadi inti permasalahan mereka.
Ardan menatap Alicia nyalang.
"Kamu yang namanya Alicia?"
"I-iya, Pak," jawabnya gugup.
"Kamu bisa kerja ga? Sampah ini kamu sebut laporan?!" tanya Ardan penuh penekanan dan mengintimidasi.
Alicia sontak menciut, bisa-bisanya kepala bagian malah menyalahkan dirinya.
"Maaf Pak, saya belum tau kesalahannya ada dimana," ucap Alice mencoba santai. Padahal, jantungnya sudah berdegup tak karuan. Benar kata karyawan yang lain, bosnya sangat menakutkan hingga Alice rasanya akan langsung diterkam dengan tatapan tajam laki-laki itu.
"Coba kamu lihat sampah yang kamu sebut laporan ini! Coba lihat apa ini pantas disebut laporan?!" Sekali lagi Ardan berucap dengan penuh amarah.
Alicia menatap Amel, kepala bagian keuangan yang malah lepas tangan begitu saja. Wanita itu tampak jauh lebih ketakutan daripadanya. Amel yang menundukkan kepalanya menatap Alicia, memberikan kode agar Alicia maju dan memunguti laporan hasil kerjanya.
Alicia menurut, dengan langkah yang berat gadis itu melangkah pelan.
"Setelah ini kamu ke ruangan saya," titah Ardan sebelum meninggalkan ruangan mereka.
"Satu lagi, buka gordennya biar sinar matahari masuk," ucap lelaki itu menghentikan langkahnya.
"Baik, Pak," jawab Amel.
"Huh..." Amel menghela nafas panjang ketika Ardan sudah tak terlihat disana.
"Kena mental gue, Lice," ucap Cici terduduk lemas.
"Kok jadi saya yang salah sih, Bu?" tanya Alice sambil menatap Amel tak terima.
"Kamu liat deh isinya, Lice! Saya kan udah bilang kalo kamu harus revisi itu laporan. Angkanya ada yang salah," jelas Amel masih berusaha mengatur nafasnya.
Alicia membuka laporannya, perasaan ia sudah merevisi seluruh isi laporannya dan sudah ia periksa berulang kali.
"Bu, Ibu salah ambil berkas. Ini laporan sebelum revisi," ucap Alice frustasi.
Ia melirik ke atas meja kerjanya dan menemukan berkas dengan warna map yang berbeda di sana.
"Saya kan bilang kalo laporannya pake map biru," tambah Alice.
"Astaghfirullah, Alice. Saya yang salah," ucap Amel merutuki dirinya sendiri.
"Duh, gimana dong ini?" tanya Cici takut.
"Kita bertiga bisa-bisa habis kalo pak bos udah ngamuk kayak tadi." Amel tampak semakin frustasi.
"Udah, tenang aja biar saya bawa laporan yang asli ke ruangannya. Nanti biar saya yang ngomong deh," ucap Alice memberi solusi.
"Nanti saya yang dimarahin, Lice," ucap Amel.
"Ya mending dimarahin daripada dipecat."
Alice mengambil laporan yang sudah ia perbaiki, lalu berjalan keluar dari ruangan mereka menuju lantai tertinggi di gedung kantornya.
Alice langsung masuk ke dalam lift meski jantungnya tak karuan. Ia takut diamuki lelaki tadi.
Namun Alice sudah membulatkan tekadnya, ia memejamkan matanya sebelum menekan angka tujuh disana.
Ting!
Pintu lift terbuka, Alice menghembuskan nafasnya pelan. Suasana lantai tertinggi di kantornya ini tampak sepi karena memang hanya ada satu ruangan disini, ruangan milik bosnya.
Bahkan Alice tak melihat seorang sekretaris di bagian luar ruangan kerja lelaki itu.
Tok tok tok
"Masuk," ucap seseorang dari dalam sana.
"Permisi, Pak."
Ardan menaikkan satu alisnya, "Udah ketemu kesalahannya dimana?"
"Maaf Pak, tapi yang Bapak liat tadi laporan yang salah. Sebelumnya laporan tersebut sudah saya revisi, tapi Bu Amel salah ambil," jelas Alice mencoba tenang dengan jantung yang berdetak kencang.
Lelaki itu masih menatap garang ke arahnya.
"Ini dia laporan terbarunya, Pak." Alice menyerahkan berkas yang tadi ia bawa bersamanya.
Ardan segera mengambil berkas itu lalu membacanya.
"Lain kali berkas yang salah jangan disatuin sama yang bener. Beresin dan langsung buang berkas-berkas yang terdapat kesalahan. Kamu harus lebih teliti, saya ga mau ada kesalahan lagi setelah ini," omel lelaki itu panjang lebar.
"Baik, Pak. Saya minta maaf," ucap Alice sembari menundukkan kepalanya.
"Ya, kalau bisa bikin laporan jangan sampai ada kesalahan. Buang-buang kertas aja, mubazir tau!" omelnya lagi.
"Iya, Pak. Sekali lagi saya minta maaf," balas Alice sopan.
"Ya udah, kamu boleh keluar. Ga usah minta maaf terus, ini bukan lebaran."
"Iya, Pak. Maaf."
Ardan memutar bola matanya malas ketika gadis itu kembali mengucapkan kata maaf.
"Keluar."
Alice langsung melangkahkan kakinya keluar ruangan dengan kesal. Bisa-bisanya lelaki itu mengusirnya. Harga dirinya terasa jatuh berceceran di lantai.
"Tunggu dulu!" panggil lelaki itu ketika Alice baru saja hendak membuka pintu.
"Lain kali jaga sikap."
Alice mengangkat satu alisnya bingung.
"Tingkah kamu tadi bikin saya malu sebagai bos kamu," ucap Ardan sebelum kembali menyibukkan diri dengan berkasnya.
Alice mengangkat satu alisnya heran. Tingkahnya tadi? Oh, Alice mulai paham. Tingkah spontannya tadi yang mempermalukan diri sendiri di depan Ardan.
"Namanya juga kaget. Dasar bos rese!" gerutunya pelan.
Mobil melaju membelah jalanan, berbelok ke kiri dan ke kanan di persimpangan. Alice duduk tenang di samping Ardan yang mengemudikan mobilnya tanpa suara pula.Suasana tampak canggung dan hening. Alice dengan dunianya sendiri dan Ardan dengan banyak pikiran di benaknya.Ardan melirik Alice sesekali, mencuri pandang saat gadis itu lengah. "Kenapa?" tanya Alice tanpa menoleh.Ardan menatap Alice dari kaca mobil. "Hm? Apanya yang kenapa? Kamu bicara sama saya?" tanyanya."Emangnya ada orang lain disini?" Alice balik bertanya.Ardan mendengus, Alice selalu saja berhasil membuatnya tampak bodoh. "Siapa tau kamu bicara sendiri, kamu kan suka ga waras," jawab Ardan sebagai pembelaan atas dirinya.Alice kembali diam, ia malas sekali berdebat dengan Ardan. Suasana hatinya tidak begitu bagus setelah dibentak oleh atasannya itu.Alice merasa mentalnya semakin lemah akhir-akhir ini, ia merasa pertahanannya pelan-pelan rubuh. Alice takut kalah, Alice takut tidak bisa mengendalikan diri."Pak, Saya
Berminggu-minggu sejak Alice menjadi sekretaris Ardan, kegiatan Alice semakin padat setiap harinya. Sebagai sekretaris, Alice diharuskan mengikuti setiap kegiatan Ardan. Alice yang pada dasarnya tidak suka bertemu banyak orang, kini terpaksa harus bertatap muka dengan banyak orang yang tidak dikenalnya.Seperti hari ini, ia baru saja selesai menemani Ardan bertemu klien di sebuah restoran mahal."Pak, tawaran mereka bagus loh, ambil aja," ucap Alice yang baru saja kembali seusai mengantarkan klien mereka ke pintu keluar.Ardan menatap Alice lamat. "Nanti saya pikirin lagi, mending sekarang kita makan. Saya udah lapar," jawab Ardan tak acuh.Alice mengulum bibirnya lalu kembali duduk dengan tenang. "Kamu mau makan apa? Makan ini aja atau pesan yang baru?" tanya Ardan menunjuk dua piring steak di hadapannya.Alice tampak berpikir sejenak. "Saya mau makan nasi aja deh, ga bakal kenyang kalo makan beginian," jawab Alice."Ya udah, kita pindah tempat?"Alice mengangguk pelan. "Boleh, tapi
Alice mendudukkan dirinya dengan malas di atas kursi tahanannya. Tahanan Ardan Prawira lebih tepatnya.Ia menyalakan komputer miliknya lalu melihat apa yang bisa ia kerjakan. Ternyata banyak sekali email masuk yang berisikan tugasnya hari ini. "Gak mikir banget sih ngasih kerjaan begini," gerutu Alice membuka satu persatu emailnya. Banyak sekali laporan yang harus ia kerjakan dan serahkan pada Ardan dalam waktu dekat. Juga beberapa pertemuan yang harus ia jadwalkan untuk bosnya itu.Saat Alice masih sibuk memeriksa email sambil menggerutu pelan, suara langkah kaki terdengar mendekati meja kerjanya. Gadis itu melirik sekilas bayangan tegap laki-laki yang berjalan menujunya."Kamu kenapa?" "Gapapa, saya sibuk," jawab Alice sekenanya.Lelaki itu menghela nafasnya, lalu meletakkan bungkusan makanan yang ia bawa."Terserah kamu aja, ini saya bawain kamu bubur. Kalo kamu mau makan Alhamdulillah, kalo enggak ya udah," terang lelaki itu."Gak usah terlalu peduli, Pak!""Terserah, saya sibuk
Alice melangkahkan kakinya dengan tergesa mengikuti langkah besar milik Ardan yang tampak santai.Brukk!"Aw," rintih Alice memegangi kepalanya yang baru saja terbentur hebat dengan punggung Ardan."Liat-liat kalau jalan, sakit tau!" ucap Ardan garang."Salah Bapak sendiri kenapa berhenti tiba-tiba, ini kepala saya lebih sakit dari punggung Bapak," balas Alice."Makanya kalau jalan pake mata," ucap Ardan menekankan setiap katanya."Dimana-mana jalan itu pake kaki bukan pake mata!" jawab Alice dengan sedikit berbisik, pasalnya mereka sudah menjadi tontonan banyak karyawan di cafetaria kantor."Maksud saya tuh..." Ardan menghentikan ucapannya lalu menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Percuma menjelaskan apapun pada gadis keras kepala seperti Alice.Tanpa sepatah katapun Ardan kembali melangkahkan kakinya menuju sebuah meja kosong di pojok cafe dan tanpa pikir panjang Alice pun mengikuti langkah besar lelaki itu."Kamu mau makan apa?" tanya Ardan sesaat setelah ia mendudukkan
Alice melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Perutnya sudah berbunyi tanda cacing sudah berdemo di dalamnya.Ia menyesal kenapa tadi malam ia tidak turun untuk sekedar mengobrak-abrik dapur dan isi kulkas."Tumben bangun pagi," celetuk Alexa."Tiap hari juga gue bangun pagi," jawab Alice malas."Mau kemana kamu?" tanya Ibu Alice."Mau kerjalah, Bu," ucap Alice sembari membuka kulkas dan mengambil sekotak susu."Berhenti dari pekerjaan kamu!"Alice ternganga mendengar permintaan ibunya. "Gak! Gak bisa.""Kamu mau jadi apa, Alice?! Mau jadi ayam kampung?!""Ibu! Alice itu kerja yang halal, bukan kayak yang kalian tuduhin!" ucap Alice menaikkan nada bicaranya."Ibu biasanya gak pernah peduli sama apa yang Alice lakuin, tapi sekalinya peduli Ibu malah nuduh Alice kayak gini."Gadis itu meraih tasnya lalu berlari keluar dari rumahnya. Rumah yang tak ingin ia tinggali lagi, namun tak tau harus kemana setelah pergi.Air mata Alice jatuh, seburuk itu pandangan ibunya pada dirinya."No, Al
Hujan turun mengguyur kota disertai angin kencang. Udara malam semakin dingin, Alice baru saja tiba di rumahnya dengan keadaan basah kuyup.Gadis itu langsung mengetuk pintu rumah dan berharap seseorang di dalam sana membukakannya pintu."Ibu!" panggil Alice dengan suara yang bergetar akibat kedinginan."Ibu, ini Alice, Bu!" panggilnya lagi.Ceklek!Pintu terbuka dan menampilkan seorang wanita paruh baya dengan badan tinggi semampai. Wanita itu menatap garang Alice yang tampak menggigil."Darimana aja kamu?" tanya wanita itu saat Alice menerobos masuk."Dari kantor, kan Alice kerja, Bu," jawab Alice."Kantor mana yang pulangnya jam segini? Ini udah malam, Alice! Jangan-jangan kamu kerja yang gak bener ya?!" hardik wanita itu saat Alice baru saja hendak mengambil gelas dan membuat segelas kopi."Alice lembur, Bu," jawab Alice."Lembur? Lembur atau kamu jalan sama om-om?!" Wanita yang dipanggil 'Ibu' oleh Alice itu menaikkan nada bicaranya."Ibu, Alice beneran kerja. Alice gak jalan sam