Seketika Rosaline dan Emily menatap Matteo dengan mata bergetar. Niat mereka untuk menenangkan pikiran sejenak dengan menghadiri tempat indah-Villa d'Este jusru membuatnya merasakan sensasi seakan-akan itu adalah akhir dari kehidupan mereka. 'Scandal? Apakah maksud Matteo mengundang Greta di acara ini untuk ...' batin Emily sembari bergidik. Gadis itu menutup telinganya dengan kedua tangan sembari menunduk. Dia tidak ingin mendengar percakapan yang menyudutkannya setelah ini. Alessia mengangguk pelan, masih mengipas lehernya dengan kipas lipat berwarna merah yang selalu dia bawa. "Tentu saja Ibu ingin melihat seperti apa bentuk para kera itu," sungut Alessia dengan emosi berapi-api. "Mereka berdualah, orangnya, Ibu." Matteo menunjuk Emily dan Rosaline. Berbanding terbalik dengan Emily yang pasrah akan keadaan berikutnya sehingga gadis itu menunduk, Rosaline justru mengetakan rahang dan berusaha menyangkal. "Bagaimana kau yakin kalau kami yang melakukannya!" bentak Rosaline, k
"Bukankah, itu Nico, mantan pacar Anda, Nona Emily?" pertanyaan dari seseorang yang duduk di belakangnya seketika membuat Emily dan Rosaline menoleh. Dia merasa tidak asing dengan suara itu. "Greta ... kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Emily dan Rosaline nyaris bersamaan. Ibu dan anak tersebut tampak heran melihat keberadaan Greta dan ibunya-Grace berada di acara yang sama. Grace yang tampak payah karena kondisi kesehatannya itu bahkan menghadiri acara pernikahan Luna menggunakan kursi roda. Greta tersenyum. "Anda tak perlu heran, Nona. Tuan Matteo yang mengundangku di acara pernikahannya." Seketika Rosaline dan Emily menautkan alisnya seakan tak percaya dengan jawaban Greta. Dari sekian banyak pelayan di kediaman Alexander Winterbourne, Matteo hanya mengundang Greta. Emily memiliki firasat bahwa hal buruk akan segera terjadi. "Kalian," panggil Greta yang merujuk pada Emily dan Rosaline yang masih tercenung menatap dirinya dan ibunya. "berhenti menatapku seperti itu. Lebi
Alexander berjalan keluar rumah saat seorang pelayan mengatakan bahwa seseorang yang mengaku sebagai utusan Matteo untuk menjemputnya sudah datang. Pria itu berjalan keluar dengan koper berisi barang yang dia perlukan, diikuti Emily dan Rosaline yang dia abaikan beberapa hari ini. Rosaline menatap seorang pria berbadan tinggi besar dengan rambut ikal yang baru saja keluar dari sebuah Rolls Royche Phantom. Seketika perempuan paruh baya itu menyikut lengan Emily. "Apa menurutmu pemuda itu memiliki hubungan saudara dengan Matteo?" tanya Rosaline dengan berbisik. Dia berpikir untuk membuat anak gadisnya menggait hati pria tersebut kalau saja pria itu kaya raya seperti Matteo. Emily mencuri lihat dari balik tubuh ayah tirinya untuk melihat siapa pria yang dimaksud ibunya. "Itu Stefano, aku berpikir kalau dia adalah anak buah Matteo, Bu," jawab Emily, mengingat sebelum Matteo mengakui siapa dirinya, Stefanolah yang melakukan tugas CEO di Magnolia spring Resort. 'Bawahan Matteo ... meng
"Tutup mulutmu, Rosaline!" bentak Alexander yang seketika membungkam mulut Rosaline. Membuat wanita paruh baya itu kembali tersadar dengan kemarahan Alex yang diakibatkan oleh ulah Emily. Wanita paruh baya itu pun bersikap lebih tahu diri untuk saat ini. Melihat keberanian dan kewibawaan yang terpancar nyata pada diri Matteo membuat Alex ingin mendengar lebih banyak apa yang hendak Matteo sampaikan. "Lanjutkan," pinta Alex. "Begini, Tuan. Dalam satu pekan ke depan, saya dan putri Anda akan melangsungkan pernikahan. Kiranya Tuan bersedia menghadiri acara pernikahan kami." Matteo berucap lugas. Luna menatap kagum pada Matteo yang dengan tenang mengatakan maksud kedatangannya ke rumah itu. Dadanya dipenuhi rasa hangat mendengar suara menenangkan Matteo, sehingga muncul keberanian Luna untuk berbicara kepada Alex. "Benar. Kami akan segera menikah. Kami harap Ayah merestui dan sudi untuk datang ke acara pernikahan kami." Rosaline yang berpikir bahwa Luna terlalu naif tertawa ker
Seketika ucapan yang keluar dari bibir Adrian memantik amarah Rosaline dan Alexander. "Apa maksudmu tidak mungkin?" tanya Alex dengan rahang mengetat. Pria paruh baya itu yakin bahwa Adeia adalah satu-satunya pemuda yang menjalin kedekatan dengan anak tirinya. Adrian tertawa hambar. Tampak sekali dia sedang mentertawakan semua orang yang ada di ruang tamu itu. "Bagaimana mungkin dia hamil anakku, sedangkan aku selalu membuang sepermaku di wajah dan mulutnya. Itu semua aku lakukan semata-mata agar dia tidak hamil. Aku bahkan tidak mencintai Emily, Tuan Alex yang terhormat," jawab Adrian sembari tersenyum miring. Seketika ulu hati Emily terasa sakit, rasa sesak memenuhi dadanya. Sesaat dia lupa bagaimana cara bernapas. "Adrian ..." lirih Emily dengan suara parau, air mata menggenangi kedua matanya. "Jadi selama ini kau ..." Adrian menoleh ke arah Emily dan menatap gadis itu dengan sorot mata penuh amarah. "Aku apa? Hanya menjadikanmu pelampiasan nafsuku? Harusnya kau ingat
Seperti pagi-pagi sebelumnya. Matteo yang baru saja selesai menyiapkan menu sarapan langsung melempar senyuman kepada Luna yang baru saja selesai berdandan dan berjalan mendekati meja makan. "Cepatlah makan selagi makanan masih hangat," ucap Matteo sambil menarik salah satu kursi dan mempersilahkan Luna duduk. "Hmm." Luna duduk dan tersenyum simpul. Gadis itu mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, tetapi kali ini dengan gerak ragu, tidak seperti biasanya. Raut kegelisahan di wajah Luna tentu saja tak luput dari perhatian Matteo. Pria itu pun mereguk air dalam gelasnya, sebelum akhirnya bertanya kepada Luna. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kau sedang merasa tidak enak badan?" Luna menarik napas dalam. "Aku ragu. Apakah Ayahku akan menerima kehadiran kita nanti?" Pertanyaan Luna melemparkan ingatan Matteo pada kejadian beberapa bulan yang lalu, saat Alexander mengusir Luna dan dirinya yang menjenguk Alexander di rumah sakit. Matteo mengatupkan rahangnya. Dia begitu benc