Kafe sore ini terlihat cukup ramai, beberapa orang keluar masuk hanya untuk memesan, menunggu dan kemudian pergi membawa pesanan mereka, sama seperti segelintir abang ojek online yang tengah menunggu pesanan, ada juga yang duduk di depan kafe hanya untuk menunggu hujan berhenti. Iya, hujan turun beberapa menit lalu, langsung deras, tidak ada peringatan di prakiraan cuaca. Well, prakiraan cuaca Indonesia kadang gak bisa dijadikan patokan karena memang gak begitu akurat. Hujan dan panas datang tanpa bisa prediksi.
Seorang wanita dengan rambut digelung, berpakaian kasual, kaos hitam pas tubuh, celana jeans pas pinggang, sling bag dan masker putih yang menutupi setengah wajahnya mengedarkan seluruh pandangan keluar kafe, kepalanya kesana kemari mencoba melihat jalanan yang tertutup hujan, menunggu seseorang. Dia melirik lagi kearah jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul 8. Dia mau pulang duluan tapi tahu benar, seseorang yang sedang ditunggunya ini nanti kesal, mereka
“Javis Nirankara Ishara.”“Maaf?”“Javis mbak, J A V I S. Javis Nirankara Ishara.”Perempuan berkerudung di depannya mengerenyit, berusaha mengeja nama belakang Javis dengan benar. Akhirnya si pria muda dengan banyak tato ditubuhnya itu memberikan KTP kepada petugas Rumah Sakit, tidak ada lima menit si petugas mengembalikan KTP miliknya. Sudah sering kali Javis sedikit bermasalah ketika dia menyebutkan namanya kepada orang-orang, entah di kafe, atau tempat makan apalagi di Bank. Orang-orang sering salah mengeja namanya, Japis, Jafis, atau Isyara, Isara, Ihsara. Tidak ada yang bisa menebak sekali dengan benar ejaan namanya.Dia duduk kembali ke tempatnya, menunggu gilirannya untuk melakukan MCU.Setiap setahun sekali Javis pasti melakukan MCU, ini sudah prosedur dari sanggar yang menaunginya. Kesehatan para petinju adalah yang utama. Terlebih lagi Javis tengah melakukan latihan untuk kembali bertarung di kejuaraan
Magani melambaikan tangannya sekali lagi, berpamitan kepada kedua orangtua dan adik serta pacar adiknya. Dia baru saja selesai makan malam dengan mereka, makan malam yang cukup dramatis karena ibunya meminta untuknya datang untuk bicara pada adiknya, Javis. Kedua orangtuanya menentang keputusan bocah itu untuk beralih menjadi seorang atlit MMA, ya, sejujurnya Magani juga khawatir. Bagaimanapun, atlit MMA memiliki resiko sangat tinggi. Kedua orantuanya menyayangi Javis, begitu juga dirinya. Untungnya semua berjalan lancar, mereka makan malam dan pulang.Melirik ke belakang mobil dan melihat tumpukan kresek hitam dia hanya tersenyum, ibunya membagi bahan makanan di parkiran. Untuknya dan untuk Tara, pacar adiknya. Selalu seperti itu, ibunya tidak pernah berubah. Dia selalu membagikan semua orang rezekinya tanpa terkecuali.Ibu seorang dosen di Universitas ternama di kotanya, sedangkan ayahnya juga seorang dosen di Universitas ternama di kota lain yang jaraknya 1,5 jam da
Janu memakirkan mobil ke dalam garasi, mengepak beberapa barang yang berserakan di dalam mobil ke dalam tas dia keluar, menutup garasinya masuk ke gerbang menuju pintu utama rumahnya. Dia berjalan, melewati kebun kecil yang tanamannya dia tanam sendiri, bunga-bunga itu mulai bermekaran dengan indah. Sampai di depan pintu utama dia mengeluarkan kunci cadangan. Hari ini, kak Yuwa dan Rainer menjaga Alba selagi dia sibuk di kantor.“Hei, udah pulang?” Sebuah suara yang tentu saja sangat familiar di telinga Janu membuat pria itu mengangguk pelan, melihat seorang pria dengan rambut hitam sedikit acak-acakan, memakai pajamas berwarna ungu dengan kacamata bertengger di hidungnya muncul dari balik sofa dengan buku tebal di tangan.Melirik ke jam dinding yang menempel, waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu malam.“Kak Yuwa gak tidur?” Tanya Janu, dia menyimpan tasnya di atas meja makan dan berjalan kearah kulkas, membukanya dan meng
Magani, Javis, dan Theo buru-buru datang ke tempat Sadam. Mereka mendapat pesan pribadi dari Rainer yang mengatakan kalau Yuwa dan Janu cekcok semalam. Ketiganya terburu-buru pergi setelah tahu Alba berada disana juga. Javis dan Theo tentu sama terkejutnya seperti Sadam dan Rainer ketika pertama kali tahu kalau Yuwa mengetahui keberadaan Alba, dialah juga yang merencanakan setelah kematian Millie, Alba harus pergi kemana.“Sebenernya gak ada yang salah, yang dilakukan kak Yuwa udah bener kok.” Theo buka suara, memainkan topi di tangannya. Kelima temennya yang lain duduk di depannya, mendengarkan. “Hanya saja sudah terlalu terlambat, maksudku, kalau kak Yuwa seenggaknya ngasih tahu Janu setelah Aba lahir itu bakalan jauh lebih baik.”“Well, yang jelas sekarang Aba kan sudah disini, Janu berhak marah tapi kayaknya itu juga sudah terlalu terlambat.” Magani menambahkan, membuka masker yang menutupi wajahnya.“Tapi k
Ketujuh mata itu langsung menuju ke arah si kecil yang masih mematung di tempatnya, suasana yang semula sendu mendadak riuh. Sadam berlari ke arah Alba dan menggendongnya, menciumi gadis kecil itu. “Hmm wanyi banget ciihhhhhhh padahal bangun bobok.” Ucapnya sambil mencium dan mengendus-endus Alba. “Ya Tuhan serem banget sih you ngendus-ngendus Aba.” Magani menanggapi, mengambil alih Alba dalam pelukannya, duduk di sofa yang hanya bisa diduduki satu orang, Alba duduk di pangkuannya masih mencoba mengumpulkan ‘nyawa’ dengan menerawang jauh. Wajahnya terlihat sangat lucu dengan mulut setengah terbuka, tatapan kosong, dan rambut acak-acakan. “Gimana tidurnya?” Tanya Janu, Alba mengalihkan perhatiannya, menatap Janu kemudian berkedip-kedip, melirik ke arah Yuwa dia ingat apa yang terjadi semalam. Dia kemudian mengitari pandangannya, melihat semua pamannya berada disini. Melirik ke arah Magani, dia menangkup wajah pria itu meskipun kedua tangan mungi
Janu terbangun dari tidurnya, hal pertama yang dia lihat adalah plafon berwarna putih, suara lembut disfuser, dan dengkuran kecil dari sisinya membuatnya terbangun sepenuhnya, menengok, dia mendapati putri kecilnya masih tertidur dengan posisi telungkup. Pipi kanannya berada di bawah hingga bibirnya maju ke depan, Janu terkekeh, menyibak rambut Alba dia tersenyum kecil sebelum akhirnya mencium pipi itu.Setelah satu bulan penuh dia mengerjakan proyek album baru untuk Kiyoko, akhirnya Janu bisa sepenuhnya berada di rumah. Proyeknya telah selesai dan yang tertinggal hanya pemotretan Kiyoko, wanita itu juga sudah menyelesaikan rekaman dan hasilnya bagus sehingga tidak memakan waktu banyak untuk prosesnya. Alba meminta tidur bersama semalam karena memang selama satu bulan lebih gadis kecil itu berpindah dari satu paman ke paman yang lainnya, Janu bisa menebak paman-pamannya tidak membiarkan anak itu tidur sendiri setelah mereka menemaninya sampai tertidur.Janu tidak ingin
Javis membuka ponselnya dan kebingungan melihat pesan dari Janu. Tara di bully? Dia baru saja akan membalas pesan ketika satu telepon masuk, Tara. Gadis itu sudah berada di basement, jadi Javis sarung tinju dan handwrap dan segera turun ke bawah.Lift berhenti tepat di basement, ketika keluar Javis menemukan sosok Geya di sebelah Tara. Dia terdiam sebentar, mengingat pesan yang dikirimkan Janu dia jadi terkekeh.“Vis!” Tara melambaikan tangannya, pemuda penuh tato dengan rambut yang kini di potong sangat pendek memakai sleeveless serta celana pendek itu menghampiri.“Pantes aja kak Janu ngirim pesan aneh, ternyata ada kak Geya.”Si wanita yang disebutkan namanya itu mengerenyit bingung, “Hah? Emang kenapa?”“Kata kak Janu pacarku kayaknya di bully di kantor.”Geya dan Tara kemudian saling menatap sebelum akhirnya mereka tertawa, disusul tawa Javis.“Mukamu nah kak, serem b
“Coba buka mulutnya, AAA” Janu berkata, berjongkok di depan Alba sambil membuka mulutnya agar si kecil bisa mengikutinya. Anak itu dengan rambut kuncir dua, seragam rapi, bersiap untuk pergi ke sekolah mengikuti ayahnya membuka mulut lebar-lebar.“Nah, pantesan sudah gak panas dan mau makan ya nak, giginya sudah keluar.” Janu bertepuk tangan dan mengelus puncak kepala si kecil yang kini tersenyum sangat manis padanya.“Sudah tidak sakit!” Katanya penuh semangat, berlari ke arah mbak Ayu yang tersenyum sambil memakaikan tas di punggung si kecil. “Mbak, makan Aba sudah banyak ya?” Tanyanya lagi, mencoba meyakinkan kalau dia sudah memberitahu info tepat pada ayahnya yang masih berdiri menatapnya sambil tersenyum.“Iya, Non sudah makan banyak dan lahap!”“Lahap! Lahap!” Dia mengikuti ucapan itu dengan riang.Janu hanya tersenyum sambil menggeleng kecil, berjalan mengambil kunci mobil