Janu Krispala berusia 32 tahun ketika tiba-tiba seseorang menyerahkan seorang anak berusia 4 tahun kepadanya. Secara mendadak dia harus mengurus dan menafkahi si anak tersebut. Bersama dengan keenam temannya dia kemudian berusaha menerima bahwa sekarang dia adalah seorang single parent.
View MoreJanu menggerakan kakinya dengan gelisah di dalam taksi, telepon dari ibunya membuat dia jadi tidak sabra untuk segera sampai ke rumah keluarganya. Setelah sekian lama keluarganya tidak menelepon menanyakan kabarnya, alih-alih mengobrol santai ibunya meminta dia untuk cepat kembali ke kampung halamannya. Janu bertanya ada apa, tapi ibunya terus mengatakan bahwa ada hal penting yang harus diselesaikan.
“Ibu gak ngerti orang ini ngomong apa, Nu. Ngomongnya pakai Bahasa Inggris.” Ucap ibunya diujung telepon.
Janu jadi bertanya-tanya, siapa gerangan selain teman-teman dekatnya yang datang ke rumah orangtuanya? Bahkan Janu berani bertaruh media tidak tahu dimana keluarganya tinggal, agensinya adalah agensi terbaik di negeri ini yang bisa menjaga privasi artis dan staffnya dengan sangat baik. Jadi, siapa?
“Pak, bisa dipercepat gak?” Tanya Janu. Si bapak supir hanya meliriknya dari kaca tanpa menjawab, mereka sedang berada dijalan tol. Bapak supir sampai kebingungan karena tadi tiba-tiba Janu menyetop taksinya dan masuk dengan tergesa, meminta dia pergi sejauh 2 jam perjalanan keluar kota. Baru saja pak supir berusaha nego untuk biaya taksi, Janu sudah mengatakan dia akan membayar dua kalli lipat dari harga argo yang tertera. Tentu saja pak supir senang mendengarnya, maka dari itu mendengar Janu memintanya untuk mempercepat laju kendaraan membuatnya kesal tapi pak supir tetap diam menelan semuanya.
Kurang lebih dua jam akhirnya mereka sampai, Janu meminta pak supir untuk menunggunya diluar rumah, dia berencana kembali menggunakan taksi yang sama ke kota tempatnya tinggal. Dia berpikir, mungkin ayahnya sakit, atau nenek dan kakeknya atau adiknya akan melahirkan? Ada banyak pertanyaan dikepalanya tapi Janu tetap berusaha santai masuk ke dalam rumah. Dia membuka pintu dan ibunya sedang berdiri disana, terkejut.
“Bu?”
“Janu! Kok lama banget sih?!” Pekik ibunya.
Janu terdiam, ibunya memukul punggungnya.
“Biasanya juga selama ini,” Pikir Janu, tapi tidak dia utarakan sama sekali. Dia hanya diam ketika ibunya menariknya masuk ke dalam. Ayahnya sedang duduk di ruang tamu, bersama dengan seorang wanita tua berambut putih. Ketika Janu masuk, wanita tua itu berdiri dan disitulah Janu melihat bahwa wanita itu tidak sendirian. Dia bersama seorang gadis kecil. Gadis kecil berusia empat tahun, rambutnya berwarna hitam pekat dengan mata besar berwarna biru cerah dan bulat, dagunya terlihat lancip dan ketika dia menggigit bibir bawahnya sebuah lesung pipi terlihat jelas di kedua pipinya.
Melihat gadis kecil itu, Janu seperti melihat seseorang yang pernah dia kenal.
Janu duduk di sebelah ayahnya, masih kebingungan dengan apa yang terjadi sama seperti Janu, gadis kecil itu juga terlihat sama bingungnya, tangan kecil itu terus-terusan memelintir ujung mini dress putih yang ia kenakan, memeluk erat boneka teddy besar bola mata biru terang itu terus menatap seluruh orang di dalam ruangan. Janu menatap anak itu lekat-lekat.
“Her name is Alba, 4 years old. We never tried to contact you because my niece said we can’t tell you that she was pregnant.” Wanita tua di sebelah gadis kecil itu berkata sambil menatap Janu. Janu bisa merasakan kedua orangtuanya menunggu untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“I want to leave Alba to you now because I could no longer take care of her after Millie’s dead. I’m old and can’t support her anymore, if you didn’t take her with you, people’s from government will take her.”
Janu sedang mencerna setiap kalimat yang wanita tua itu lontarkan. Merangkainya di dalam benaknya sendiri. Dia membicarakan tentang keponakannya yang hamil, Millie. Janu tahu Millie, dia mengenalnya tentu saja. Mantan pacarnya selama 4 tahun, orang Amerika. Dia dan Millie bertemu karena pekerjaan, karena sama-sama belajar di satu agensi, sama-sama bermimpi hal yang serupa, kala itu mimpinya dan Millie adalah satu. Tapi itu kejadian 5 tahun lalu sebelum akhirnya Millie meninggalkannya, memutuskannya.
Tunggu dulu…
Mengingat apa yang terjadi padanya dan Millie dahulu, Janu jadi paham. Tapi sebentar, bukahkah wanita tua itu bilang..
“Sorry, but you said that Millie is…..Dead?”
Wanita tua itu mengangguk, kemudian dia bercerita bahwa dua tahun lalu Millie divonis memiliki penyakit tumor otak. Tidak ada yang tahu karena Millie merahasiakan hal itu sampai akhirnya dia sakit dan harus di opname, semuanya terlambat sampai akhirnya Millie meninggal dua tahun setelah berjuang. Wanita tua ini adalah bibi dari Millie, orangtua Millie tidak pernah tahu dimana keberadaannya. Bibinyalah yang merawat Millie sejak perempuan itu masih kecil, dia meminta maaf kepada Janu karena harus menyebabkan kepanikan kecil kepada orangtuanya.
Bibi Millie mendapatkan alamat Janu dari Millie, sebelum meninggal Millie banyak menulis dan dia menuliskan tentang Janu disana. Selama ini, Millie bungkam tentang siapa ayah dari anaknya, tapi di notes yang dia tinggalkan tertulis semuanya. Isi hatinya bahkan tercurah disana dan nama Janu selalu disana. Bibinya menyerahkan notes coklat yang sudah hampir robek itu, Janu yakin bibinya sudah membaca itu berulang kali untuk mengenang Millie.
Ini sudah satu tahun semenjak kepergian Millie dan bibinya merasa sudah tidak sanggup merawat Alba. Bibinya sudah tua dan berencana untuk pergi ke panti jompo, dia tidak bisa membiarkan Alba dibawa oleh pemerintah di negaranya. Dia ingin Alba tinggal bersama ayah kandungnya.
“Millie never knew where her parents were, she never saw her dad, when she died even her parents didn't care. I hope that doesn't happen to Alba, I want this child to be happy.” Ujarnya.
Janu menatap gadis kecil bernama Alba itu. Dia bisa melihat wajah Millie disana. Mata yang biru itu, dia sangat hapal betul. Mata yang bertahun-tahun dia selami, mata yang membuatnya mabuk, mata yang akhirnya pergi meninggalkan kenangan buruk padanya. Mata biru itu, identik sekali dengan milik Millie.
“Bu,” Janu buka suara. Kedua orangtuanya yang sedari kebingungan karena tidak mengerti Bahasa Inggris kemudian bereaksi.
“Ibu, ayah, kayaknya Janu mau ambil tes DNA.”
“J..Janu, maksudnya gimana? Ibu gak ngerti?” Ibunya bertanya dengan tergesa,
“Dia bilang, gadis kecil itu-” Janu menatap kedua orangtuanya, “Dia anak Janu.”
Dan kedua orangtuanya terkejut setengah mati. Janu tahu, keluarganya tidak mungkin bereaksi hanya dengan ‘hah’ saja ada pukulan disana. Benar, Janu terkena hantaman di kepala dari ayahnya, ibunya berteriak histeris dan Janu bisa mendengar suara telepon berdering bertepatan dengan hal itu. Adiknya. Itu pasti adiknya yang menelepon, ingin tahu keadaan disini. Janu bisa melihat wanita tua itu terkejut setengah mati melihat apa yang terjadi, dan Alba si gadis kecil itu meringkuk dibalik badan si wanita itu. Janu terdiam, kepalanya sedang kosong sekarang, berusaha menerima apa yang mungkin akan terjadi padanya untuk ke depannya.
Geya sedang sibuk memilih baju dari lemari. Hari ini adalah hari yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya setelah perpisahannya dengan mantan suaminya dulu. Dia berpikir mungkin akan berakhir sendirian sampai tutup usia. Jika berpikir pertemuannya dengan Janu sampai orang itu mengira dia adalah tukang bully sampai mereka bertemu lagi di Rumah Sakit, kalau dipikir lagi jodoh itu memang selucu itu. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya semuanya akan menjadi sejauh ini, dia dan Janu. Dia tidak pernah berpikir kalau kedekatannya dengan Alba akan membawa perasaan lain pada ayah si bocah. Janu yang sejak awal memang tidak berniat untuk mendekatinya malah juga ikut jatuh hati padanya. Dia memilih baju terusan berwarna abu-abu dengan corak goresan berbentuk bunga, mengecek lagi penampilannya di kaca dia sudah begitu yakin semuanya terlihat baik, tidak terlalu berlebihan. Dia keluar dan mendapati Janu serta Alba sudah berdiri di teras, menunggunya. Ketika dia berjalan mendekati mereka
Ini sudah dua minggu semenjak Diraya akhirnya keluar dari rumah milik Yara, ketika Yara memintanya untuk bercerai hari itu juga dia keluar dari rumah. Yara tidak mengusirnya karena sejak awal pembelian rumah itu atas nama Diraya, rumah itu hak Diraya tapi dia terlalu malu bahkan untuk mengakui bahwa rumah itu miliknya. Dia merasa tidak pantas. Memang. Dia tidak pantas untuk mengakui kalau rumah itu miliknya, itu dibeli dengan uang Yara, dan kini setelah si pemilik memintanya untuk pergi dia harus tahu diri kalau itu juga termasuk dengan meninggalkan apa yang sudah dia berikan. Yara sudah meneleponnya beberapa kali, menanyakan mengapa dia tidak datang ke tempat kerja. Tapi dia sudah begitu malu. Dia datang ke tempat Geya dan tanpa malu menanyakan kemana kesetiaan Geya terhadapnya ketika sejak awal dialah yang telah berkhianat. Dia merasa semua orang menjauhinya sekarang atau mungkin sejak awal memang tidak ada yang ada disisinya selain Geya? Suara ketukan mengejutkannya ketika dia
Alba menatap mata berwarna hitam pekat di depannya, keningnya berkerut dan wajahnya mengeras. Dia berusaha untuk menahan airmata yang sebentar lagi mungkin akan jatuh karena matanya sudah begitu berair dan perih. Dan akhirnya dia mengedip, “AAAAAK!” Pekiknya, bocah berusia satu tahun di depannya tergelak, tertawa melihat kelakuannya. “Ngapain sih Ba? Pasti main adu kedip sama Kai ya?” Seorang wanita keluar membawa satu mangkok MPASI untuk Kaivan, Ginel tertawa, duduk di sebelah Alba yang kini sibuk mengucek matanya yang terasa perih. “Kai ‘kan masih kecil jadi refleksnya buat kedip itu gak kayak kita.” Ginel mencoba menjelaskan pada apa yang sekarang sudah menatapnya. “Tapi adik Kai kelamaan gak kedip, Aba aja gak kuat.” Kata bocah itu menjelaskan, Ginel hanya tertawa kemudian memakaikan bib pada Kaivan yang sudah kegirangan karena dia sudah mengerti jika bib dipasang, artinya dia akan makan. Ginel menyuapi Kaivan dan Alba terus mengoceh pada batita itu, sesekali menoleh mengecek
Geya membuka matanya, suara diluar kamar seperti biasa membangunkannya. Bu Cicih dan Bu Ria sedang sibuk di dapur dan ruangan sekitar, membersihkan dan membuat makanan. Dia baru saja membalikkan badan ke samping ketika jari jemarinya merasakan sesuatu, menarik tangan kirinya wajahnya berubah sumringah, senyumnya begitu lebar. Cincin dari Janu. Ini sudah seminggu setelah akhirnya Janu mengungkapkan rasa seriusnya pada dirinya, sudah seminggu ketika dia, Janu dan Alba menangis di parkiran karena akhirnya dia dilamar lelaki itu. Meskipun tidak dalam suasana romantis tapi itu semua mampu membuatnya bahagia. Di depan Alba, Janu meminta dirinya menjadi istrinya. Dan dua hari kemudian pria itu datang bersama bocah cantiknya, berdiri di depan pintu dengan buket bunga, dan si kecil Alba membawa kotak cantik berwarna biru muda. Kebahagiaannya tidak dapat terbendung, yang diinginkan Geya sejak awal begitu sederhana. Dia hanya ingin membangun rumah tangga ringan, dimana dia sebagai istri dan
Yara mendengar apa yang terjadi di toko buku pada suaminya dari orang suruhannya, hati sakit, terbakar cemburu. Dia ingin pergi kesana namun kepalanya terlalu pusing, badannya terlalu berat untuk diajak bekerja sama. Dia memang sedang tidak baik-baik saja, berkali-kali dia mencoba menyelesaikan hidupnya namun tidak pernah berhasil, selama ada Diraya sudah tidak bisa dihitung lagi dia melakukan percobaan itu berapa kali. Hidupnya bersama Diraya sudah hancur. Diraya masih menginginkannya, Geya. Dia masih menginginkan wanita itu kembali ke hidupnya. Mungkin Yara sejak awal tidak diinginkan oleh Diraya, mungkin sejak awal lelaki itu memang mengincar hartanya saja, untuk Diraya dia hanya tidak lebih dari sekedar ATM berjalan. Dia menangis lagi, meskipun kepalanya masih terasa sangat sakit tapi airmatanya tidak berhenti. Para pelayannya keluar masuk mengecek keadaannya, mereka memanggil dokter keluarga untuk memeriksanya. Pagi ini dia sudah muntah lebih dari enam kali, tidak ada makanan y
Diraya keluar dari dalam mobil, disambut salah satu supirnya di rumah. Dia menatap rumah besar itu, rumah besar yang dia sangka akan hangat namun kenyatannya jauh lebih dingin dari rumah yang pernah ia punya bersama dengan mantan istrinya. Ini adalah rumah yang paling dingin yang pernah dia tinggali. Dia masuk ke dalam rumah dan para pelayan menyambutnya, berbisik-bisik memberitahu keadaan sang istri yang sejak kepergiannya tidak baik-baik saja. Hal ini bukan hal mengejutkan lagi baginya karena memang sejak awal, Yara tidak pernah baik-baik saja. Wanita itu akan selalu seperti itu, cemas, ketakutan setiap kali Diraya pergi dari rumah. Lama kelamaan itu semua tidak lagi membuat khawatir, dia malah jadi muak. Masuk ke dalam kamar dia mendapati Yara meringkuk diatas kasur. “Gue udah balik jadi cepetan bangun dari tempat tidur.” Ujar Diraya, ketus, dia bahkan tidak mengenali siapa yang tengah berbicara sekarang. Dia bahkan sudah tidak mengenali dirinya sendiri yang sudah lama menghilan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments