Are you Okey?
Seusai acara runding ulang tadi, Ody memang lebih banyak diam. Dia selalu berusaha menghindari El dan tidak mau menatap wajah El dengan memilih untuk selalu berada di belakang Bobby.
El sendiri masih bingung bagaimana harus mulai mengajak bicara Ody tentang kejadian semalam. Kepalanya berputar cepat memikirkan kata-kata yang tepat untuk dikatakan, tapi tiap kali akan mulai bicara selalu saja lidahnya terasa kelu.
"Bob.." Panggil El
"Hemm.." Jawab Bobby yang sudah memejamkan matanya, rasa kantuk mendera dirinya.
"Gue mulai ngomongnya ke Ody gimana ya?"
"Ya ngomong aja."
"Mulainya?"
"Hai Dy apa kabar?"
"Ya masak apa kabar sih Bob, lo ma aneh deh."
"Lo tanya dan gue jawab kan?" Jawab Bobby yang terlihat malas
"Somplak..." Ujar El sambil menoyor kepala Bobby.
Saat ini mereka ada diatas pesawat kembali menuju ke Jakarta. Ody yang menghindari El semenjak tadi memilih untuk memejamkan matanya agar tidak diajak bicara El. setelah 1 jam terbang, El memutuskan untuk menghampiri Ody di kursinya. Bobby yang duduk di sebelah El tampaknya sudah tertidur pulas. Perlahan El duduk di kursi kosong sebelah Ody.
Ody yang sempat memejamkan matanya merasakan tubuhnya mulai sakit, langsung menyadari kehadiran El dari bau tubuh El yang sangat dikenalnya. Ody tampak sulit menyembunyikan kegugupannya.
"Are you okey Dy? Muka kamu merah banget. Kamu demam?" Tanya El sambil hendak menyentuh kening Ody dengan punggung tangannya, namun reflek Ody menepis tangan El.
"Ah.. Maaf Pak El. Saya permisi ke toilet sebentar pak." Ucap Ody yang berusaha kabur dari El. Namun pergelangan tangannya digenggam El. Ody hanya bisa memejamkan matanya menahan sakit di pergelangan tangannya.
"Nanti dulu, saya mau bicara. Duduk.." Perintah El yang mau tak mau membuat Ody harus memaksakan diri untuk duduk. Ody hanya bisa menunduk lalu kembali duduk disamping El.
"Ody..." Panggil El sambil menatap Ody dengan pandangan menyelidik hingga membuat Ody tak mampu berkata-kata dan menunduk semakin dalam.
"Dy, coba liat saya? Saya mau tanya sesuatu ke kamu." perintah El lagi, yang mau tak mau membuat Ody mendongakkan sedikit kepalanya, menatap El sekilas kemudian menunduk lagi.
"Bapak mau tanya apa?" Tanya Ody cepat, rasanya berat bagi dirinya untuk berlama-lama ada disamping El.
"Kenapa kamu menghindari saya seharian ini?" Tanya El berusaha melihat ekspresi Ody. Detak jantung Ody bertalu-talu, dia menggigit bibir bawahnya menahan cemas.
"Ody, jawab saya!"
"Saya nggak menhindari bapak. Itu cuma perasaan Pak El."
"Itu bukan perasaan saya. Pagi ini kamu nggak pasangin dasi untuk saya." Ucap El, sambil terus mengamati Ody
"Ya karena Pak El sudah pakai dasi sendiri."
"Tapi berantakan. Kamu nggak berniat gitu rapikan dasi saya?"
"Maaf Pak."
"Sepanjang hari kamu juga nggak banyak ngomong, kecuali saya tanya."
"Ya kan bapak yang minta."
"Kapan?"
"Kemarin malam." Ujar Ody yang langsung mengernyitkan dahinya sambil merutuki kelancangan mulutnya yang malah mengarahkan pembicaraan.
"Kemarin malam waktu saya mabuk, saya bilang apa ke kamu?" El mulai melakukan interogasi, karena menemukan celah. Ody berusaha juga mencari celah untuk menghindari.
"Bapak bilang saya cerewet, berisik, dan minta saya buat diam." Ucap Ody dengan suara tercekat menahan tangisnya.
"Cuma itu?"
"Ya banyak, orang bapak teriak-teriak macam orang kesurupan, sampai bikin saya malu karena diliatin banyak orang." ucap Ody dengan susah payah
"Parah banget?"
"Ya gitu lah Pak." Jawab Ody sekenanya sambil menundukkan kepalanya dalam.
El sadar Ody tidak pernah melakukan hal tersebut, bahkan ketika dia berbuat salah sekalipun. Tapi kali ini berbeda, Ody benar-benar menghindari tatapan El.
"Terus saya bilang apa tentang hansip?"
"Hansip? Ohh.. Bapak bilang hansip komplek kerjanya bagus, terus minta saya kasih bonus ke hansip komplek." Jelas Ody
"Saya bilang gitu?" Mempertanyakan kebenaran cerita Ody
"Iya. Bapak nggak sadar?"
"Terus waktu saya mabuk, ada kejadian apa lagi?"
"Nggak ada apa-apa."
"Jangan bohong Ody." Ujar El yang membuat Ody semakin dilanda kepanikan. Perutnya tiba-tiba terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk.
"Bapak mau denger apa sih dari saya?" Tanya Ody kesal karena merasa terus di introgasi oleh El.
"Saya mau penjelasan."
"Penjelasan apa yang Bapak mau dengar dari saya?" Ucap Ody keras.
"Pertama, tentang luka di leher saya. Kedua, kenapa saya bisa telanjang? Ketiga, kenapa ada kancing baju berceceran di kamar saya juga ada lipstik kamu tertinggal di kamar saya? Dan yang ke empat, kenapa ada bercak darah di ranjang saya?" Tanya El mengejar menuntut penjelasan. Ody berpikir cepat menghindari untuk menjelaskan apa yang dilakukan El padanya.
"Pertama luka di leher pak El itu karena kuku saya, maaf untuk itu saya nggak sengaja Pak. Itu karena Pak El berontak waktu mau dibawa ke kamar, saya sampai kerepotan sama security klub." Dusta pertama Ody.
“Ya Tuhan ampuni aku atas setiap dusta yang akan ku buat.” Batin Ody.
"Untuk pertanyaan kedua, Itu karena pak El muntah. Muntahannya mengotori seluruh baju pak El. Saya minta tolong security buat bantu saya lepas baju bapak. Ini juga menjelaskan pertanyaan ketiga bapak, bapak muntahnya nggak kira-kira. Sampai ngenain baju saya juga, setelah muntah bapak jatuh pingsan sambil narik baju saya sampai kancingnya lepas. Penjelasan masalah lipstik, waktu saya mau angkat badan pak El ke kasur, tas yang saya bawa jatuh mungkin lipstik saya juga jatuh keluar dari dalam tas saya saat itu." Sederet dusta yang diucapkan Ody sedikit membuatnya lega, dan berharap bahwa El mempercayainya.
"Lalu untuk pertanyaan ke empat saya?"
"Ya itu darah dari luka Pak El. Maaf untuk itu, tolong jangan potong gaji saya ya Pak." Ujar Ody kembali berbohong.
"Jadi saya nggak ngelakuin apapun ke kamu?"
"Nggak ada Pak." Ujar Ody sambil menahan rasa sakit didadanya.
"Syukurlah. Kamu yakin kan saya nggak melakukan hal buruk ke kamu?"
"Yakin Pak." Ujar Ody yang menelan ludahnya banyak-banyak, menahan rasa sakit yang luar biasa. Bahkan seluruh tubuhnya masih terasa begitu sakit dan ngilu. Bekas kepemilikan yang ada area tubuhnya, belum lagi memar di pergelangan tangannya akibat cengkeraman tangan El, bahkan nyeri di bagian intinya pun masih terasa menyakitkan. Ody berusaha menahan semua rasa itu dan sesungguhnya saat ini tubuhnya terasa menggigil. Tampaknya ada luka di dalam yang membuatnya agak demam.
Sepanjang perjalanan Ody benar-benar menghindari El. Dia tidak ingin El melihat kondisinya yang semakin drop. Saat tiba di Jakarta, tubuhnya sudah tak mampu untuk menahan rasa sakit. Dia hanya mengirim pesan pada Bobby.
"Pak Bobby, bisa langsung pulang saja dengan Pak El. Mobil jemputan sudah menunggu di pintu kedatangan. Saya pulang sendiri karena ada urusan lain. Terima kasih Pak." Tulis Ody melalui pesan singkat.
"Kenapa Bob?"
"Nggak papa, Ody ada urusan katanya. Dia bilang lo suruh pulang sendiri. Udah dijemput juga di depan."
"Ooo.."
"Bob, gue bisa minta tolong lagi?"
"Apa?"
"Gue minta lo cari semua informasi tentang Ody, dan tolong kirim orang buat awasin dia mulai dari sekarang."
"Lo udah tanya ke dia?"
"Udah, tapi gue yakin dia bohong."
"Kenapa lo bisa bilang gitu?"
"Sepanjang jawab pertanyaan gue, dia selalu menunduk. Ody itu perempuan yang percaya dirinya tinggi dan eyes contact buat dia itu penting tapi kali ini dia bener-bener menghindari pandangan gue. Gue yakin dia nyembunyiin sesuatu."
"Lo beneran mau tanggung jawab kalau sampai sesuatu yang lo pikirin itu beneran terjadi?"
"Gue nggak yakin Bob, tapi disisi lain gue ngerasa bersalah sama dia Bob. Andai itu hal buruk itu beneran terjadi, gue nggak mau dia sampai nanggung kesalahan gue sendirian."
"Okey kalau itu sudah jadi keputusan lo. gue akan dukung lo, karena gue tau sahabat gue bukan pengecut dan pecundang. Lo orang yang sangat bertanggung jawab." Ujar Bobby bersungguh-sungguh, walaupun disisi lain hatinya bersorak.
“Satu lagi.”
“Apa?”
“Cari tau keberadaan Chika.”
“Chika? Buat apa?”
“Urusan gue sama dia belum beres.”
“Maksud lo?”
“Lo nggak perlu tau, cukup cari aja dimana keberadaan Chika. Secepatnya!” Ujar El memberi perintah, Hati bobby yang awalnya berbunga kembali meredup. Dia sadar bahwa sahabatnya ini masih mencintai Chika dan belum rela melepaskannya.
Kimora Angelica Rivera Gadis kecil kesayangan El kini telah bertumbuh jadi gadis super cantik dengan perpaduan wajah bule dan oriental. Kimora bertumbuh dengan sehat dan kuat, apa yang dulu mereka khawatirkan bahwa Kim tidak akan bertumbuh sehat nyatanya terbantahkan. Meskipun perjalanan hidupnya tidak mudah, namun gadis kecil yang sudah beranjak remaja itu kini bertumbuh jadi kuat dan pemberani yang cenderung nekat. "Dad, please.. ijinkan aku sekolah ke Singapura," bujuk Kim entah untuk yang ke berapa puluh kali. Pembahasan ini sudah berjalan begitu lama, sejak kasus bully yang dialami Kim 1 tahun lalu. Kim memang tak mau membahas hal itu karena takut membuat kedua orang tuanya cemas namun tak dapat di pungkiri bahwa salah satu alasan Kim memutuskan untuk meninggalkan Indonesia adalah karena hal itu. "Kim, apa nggak bisa ya cari sekolah di Indonesia aja? Di Indonesia juga banyak sekolah bagus kok," ucap El berusaha mengubah keinginan Kim. "Dad, aku ingin berkembang. Jadi tolong i
Pelangi Sehabis Hujan Kepergian Victor 6 bulan lalu memang begitu menyesakkan bagi seluruh keluarga Harrison. Bahkan sebelum kepergiannya itu, dia menitipkan pesan yang sama pada Riana, Erina, dan Ody. Pesan yang meminta mereka untuk memaafkan dirinya yang egois dan berbahagia setelah dia meninggalkan dunia ini. Dia juga berharap agar kepergiannya dapat menebus segala kesalahannya pada mereka selama ini. Situasi jadi jauh lebih baik saat ini. Riana dan Erina belakangan lebih sering menghabiskan waktu bersama. Mereka sepakat untuk memulai segalanya dengan lebih baik sebagai seorang sahabat sekaligus besan. El sendiri mulai dapat bernafas lega. Kasus Rahmat Sutedjo berjalan dengan sangat lancar, ada begitu banyak bantuan yang tak terduga datang silih berganti. Hingga satu demi satu masalahnya pun perlahan dapat diselesaikan. Sekarang, semua orang sedang menikmati buah dari perjuangan mereka. Karena badai tak akan selalu bertahan dan sang surya pasti akan kembali bersinar. Setelah mela
Awal Sebuah AkhirEl menatap punggung Riana yang sedang duduk di taman sendirian. Dari kejauhan El dapat melihat tubuh Riana sedikit berguncang karena tangisnya yang tersedu-sedu. Perlahan El coba mendekati Riana lalu duduk di sampingnya tanpa bicara sepatah katapun.Rasanya dada Riana begitu sesak, dia sungguh tersiksa mengetahui semua fakta yang baru saja didengarnya dari Victor dan Erina. Lelah menangis Riana hanya bisa menyandarkan kepalanya di bahu El. Beban di hatinya terlalu berat untuk ditanggungnya sendiri.El tetap setia menemani Riana hingga hari semakin malam. Ketika Riana sudah cukup tenang, El berusaha menemukan kata-kata penghiburan yang tepat agar dapat meringankan beban hati Riana."Kalau terlalu berat jangan di tahan Ma, lepasin aja," ucap El merangkul bahu Riana erat. "Mama, nggak pernah sangka bahwa akan jadi seperti ini," ujar Riana menghapus sisa air matanya."El paham, Ma. El juga nggak sangka waktu dengar semuanya dari mulut Mami dan Papa." Sontak mata Riana m
Ketika Semua JelasSituasi dalam ruang ICU terasa begitu memberatkan hati Riana. Melihat pria yang sudah puluhan tahun menemani hari-harinya sedang terbaring lemah tak berdaya. Meski sakit membelenggunya hatinya karena berulang kali Victor telah menorehkan luka hingga hampir membuatnya menceraikan cintanya itu. Menurut dokter Lio yang menangani jantungnya, kondisi tubuh Victor melemah. Andai dilakukan operasi saat ini resikonya kematian di atas mejanya akan sangat tinggi. Upaya yang dapat dilakukan disementara waktu adalah mempertahankannya hingga kondisinya lebih stabil dan dapat dilakukan tindakan pembedahan.Victor menatap Riana yang berada di sisi kirinya, tangannya menggenggam erat tangan Riana sambil tersenyum tipis. Lalu dia menoleh ke sisi kanannya dimana Erina berdiri. "Rin," sapa Victor pelan."Hai, Vic," balas Erina ramah. "Akhirnya aku bisa bertemu lagi denganmu," ucapnya dengan suara bergetar. Victor menatap lekat wajah Erina yang masih terlihat cantik seperti puluhan
Obrolan RinganHari menjelang malam saat kondisi Victor terlihat mulai membaik dan dia meminta bertemu semua anggota keluarga. Walaupun kondisi Ody dan Kim saat ini sudah sangat baik, bahkan Ody juga kembali ceria seperti sebelumnya, namun tak dapat dipungkiri bahwa perasaan tak nyaman jelas muncul di hati mereka. Seakan Victor meminta mereka semua berkumpul untuk berpamitan.Seperti sekarang, Victor sedang bertemu dengan Riana dan Erina secara pribadi, sedang yang lain menunggu di luar. El hanya bisa mengawasi keadaan yang ada tanpa mau menjelaskan apapun pada Amara, Aryo, maupun Ody. Dia tahu niatan Victor untuk menemui semua orang hari ini."Bao, apa mereka akan baik-baik saja di dalam?" bisik Ody yang duduk di kursi ruang tunggu ICU.
Pengakuan Erina5 hari telah berlalu, El mulai bisa sedikit lega dan jadi lebih banyak bersyukur. Tekanan yang dialaminya sedikit demi sedikit mulai berkurang. Setelah tim legal menyelesaikan seluruh berkas kasus Rahmat Sutedjo, kini kondisi Kim juga semakin kuat dan sudah mulai lepas dari alat bantu nafasnya. Perbaikan kondisi Kim membuat keadaan Ody pun ikut jadi lebih baik. Ody kembali seperti Ody yang dikenalnya. Perempuan itu memang diakui El sangat tangguh. Namun berbeda dengan yang dialami Victor, kondisinya masih belum ada perbaikan.El sudah kembali berkantor walaupun tak penuh waktu. Seperti pagi ini, ketika mobil El baru saja berhenti di depan lobi kantor Intel tiba-tiba ponselnya berdering dan menampilkan nama Amara. El segera menekan tombol hijau di layar ponselnya dan panggilan langsung terhubung.