Share

Bab 1 Awal yang Ambigu

 

 

 

"Ada banyak cara orang bertahan hidup. Tapi, hanya sedikit yang siap dengan keadaan terburuk."

~Aruna Ardhani~

 

***

 

Suara jam weker menginterupsi Aruna dari alam mimpi. Dari samping, Arsen berdesis lalu samar terlihat tangannya menutup telinga dengan bantal. Masih terdengar umpatan tertahannya.

 

"Berisik, matikan jam wekernya!" Suaranya teredam di balik gumpalan bantal.

 

Aruna menghela napas panjang, mencoba untuk bisa bersabar menghadapi laki-laki yang bahkan tak menghargainya. Aruna segera menekan bagian atas jam weker agar berhenti berbunyi.

 

Pukul 03.00 WIB, gadis itu sengaja memasang jam weker di saat sepertiga malam. Bermunajat pada Sang Ilahi, membisikkan doa di bumi. Berharap langit ikut mengamini, hingga ijabah adalah bukti kekuasaan-Nya.

 

Dengan pelan, Aruna bangkit dan terduduk di sofa. Mata masih mengerjap-ngerjap, mencoba mengembalikan kesadaran sepenuhnya. Saat semua pandangan jelas, matanya seketika mengunci satu sosok yang tengah terlelap dengan wajah polosnya.

 

Arsen Ganendra, nama gagah sesuai sosoknya. Namun, semua itu bernilai nol dengan tingkahnya. Aruna mendesah panjang, mencoba melepaskan beban yang sudah ditanggung semenjak ijab kabul kemarin pagi.

 

Andai saja Ayah dan ibunya tidak meninggal dalam kecelakaan. Andai saja ayahnya tak pernah menulis surat wasiat dan andai saja sang ayah bukan teman baik Papa mertua, mungkin saat ini Aruna masih menikmati masa remajanya dengan normal. 

 

Sayangnya, semua hanya andai-andai Aruna saja. Dengan cepat, dirinya menghilangkan semua pengharapan yang hampa. Mau tidak mau, gadis itu harus memulai hidup baru.

 

Sengaja dilangkahkan kakinya dengan pelan menuju kamar mandi, takut jika Arsen bangun. Dua hari mengenalnya cukup membuat Aruna tahu tabiat orang itu.

 

Setelah mengambil wudu, Aruna bergegas menunaikan salat tahajud. Sunah Rasul yang amat bermanfaat untuk kehidupan umatnya. Ketenangan menyelusup jiwa sang gadis saat mulut berucap asma-Nya.

 

Cukup sepuluh menit untuk menyelesaikan ritual sembahyang itu. Aruna langsung melipat mukena dan sajadah. Saat dia membalikkan badan, betapa terkejutnya mendapati Arsen tengah duduk di atas ranjang dengan wajah menyelidik.

 

"Astagfirullah!" Aruna berseru seraya beringsut mundur.

 

Laki-laki itu menautkan kedua alis, seperti tengah mengejek dengan wajah yang tampan. Iya, jujur Aruna akui wajahnya tampan saat bangun tidur. Hanya saja, Aruna yakini benak laki-laki itu tengah berpikir aneh tentangnya.

 

"Apa yang lu perbuat di pagi buta, hah?" tanyanya dengan wajah menantang.

 

Aruna mengeryit. Pertanyaannya ambigu. Untuk laki-laki berusia 18 tahun, harusnya dia tahu kalau Aruna baru saja selesai sembahyang. Gadis itu hanya menggeleng cepat, dan bergegas ke luar kamar.

 

"Woi! Lu mau ke mana lagi? Gue belum selesai bicara!" serunya saat kaki Aruna mencapai bibir pintu.

 

Aruna menoleh sekilas, tak berniat menjawab. Hanya ingin melihat wajahnya yang tengah menahan kesal. Untuk pertama kalinya, sang gadis ingin tertawa mendapati wajah tampan itu bermuka garang. Sama sekali tidak menakutkan.

 

Dengan cepat Aruna kembali melangkah, membiarkan dia berteriak tidak jelas. Entah apa maunya, yang pasti Arsen termasuk laki-laki yang membuat Aruna merasa ambigu.

 

***

 

"Lho, Aruna. Kamu ngapain di sini?" Bu Ningrum tiba-tiba menghampiri Aruna yang sedang berkutat dengan alat masak.

 

Aruna tersenyum tipis dan kembali melanjutkan aktivitas. Mbok Nah tampak kikuk, dia lalu menghampiri Bu Ningrum.

 

"Maaf, Nya. Saya sudah melarang Non Aruna agar tidak ikut membantu. Tapi, Non Aruna malah maksa," tutur Mbok Nah, menjelaskan alasan Aruna berada di sana.

 

Gadis itu menggeleng cepat dengan senyuman yang masih setia terukir. "Enggak apa-apa, Ma. Aruna memang ingin membantu Mbok Nah, biar cepat selesai. Lagian, Aruna bingung harus melakukan apa di sini," paparnya, bentuk pembelaan pada Mbok Nah.

 

Bu Ningrum membalas senyum seraya mengelus jilbab biru yang dikenakan Aruna. "Enggak masalah. Yang penting kamu nyaman di rumah ini. Em, Arsen mana?" tanyanya membuat Aruna langsung mematung.

 

Aruna menatap wajah Bu Ningrum yang tengah menuntut sesuatu darinya. Sayangnya, dirinya tak mengerti sama sekali.

 

"Arsen?" Gadis itu malah balik bertanya dan sukses membuat Ibu mertuanya tertawa renyah.

 

Aruna dan Mbok Nah saling pandang, bingung dengan tingkah wanita paruh baya itu. Lalu, sedetik kemudian Bu Ningrum berhenti tertawa. Dia mengusap pundak menantunya dengan pelan. 

 

"Arsen itu kebo, Nak. Dia tidak akan bangun kalau tidak dibangunkan," katanya dengan nada jahil.

 

Sang gadis mengejapkan mata. Antara percaya dan tidak percaya. Arsen, susah bangun tidur? Padahal dini hari tadi, dia tiba-tiba bangun.

 

"Em, Ma. Masa Arsen begitu?"

 

"Iya, Sayang. Arsen itu susah sekali dibangunkan. Setiap pagi pasti ribut-ribut karena harus membangunkannya."

 

"Ta-Tapi--"

 

"Nah, sekarang kamu bangunin Arsen, gih. Karena, sudah ada kamu, jadi Mama akan menyerahkan estafet tugas itu untuk kamu," ujar Bu Ningrum memotong ucapan Aruna yang hendak menjelaskan kejadian dini hari tadi.

 

Aruna seperti terhipnotis dengan ujaran Bu Ningrum. Dengan perlahan, kaki Aruna menaiki anak tangga menuju kamarnya--lebih tepatnya kamar mereka. Mengecek kebenaran ucapan Ibu mertuanya.

 

Saat pintu terbuka, matanya langsung disuguhkan dengan pemandangan yang membuat jengah. Tangan itu refleks menutup mata dengan suara jeritan tertahan.

 

***

 

Aruna masih menutup mata, sesekali mengintip di antara jari-jari yang bertengger manis di wajah. 

 

Ini benar-benar memalukan. Lihatlah! Laki-laki galak itu tengah tidur telentang tanpa baju dan hanya mengenakan kolor hitam saja. 

 

"Ya Allah, mataku ternoda. Ah, tunggu! Bukankah dia suamiku? Ini tidak dosa."

 

Namun, ada sesuatu yang mendorongnya untuk terus menutup mata.

Mungkin, karena dia masih asing, hingga semua masih baru untuk Aruna. Jantungnya tiba-tiba berlomba memompa darah untuk mengalirkan ke seluruh organ tubuh. 

Dia amat tampan.

 

Aruna merasakan pipinya memanas. Bahkan mungkin sudah semerah tomat. Dirinya mulai bingung dengan cara yang tepat untuk membangunkan Arsen.

 

Segala pilihan alternatif sudah tersedia di benak. Dari yang normal sampai anti-mainstream. Aruna menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. 

 

"Oke, Aruna. Ini mudah!"

 

Tangannya terulur untuk menyentuh tangan Arsen dengan jari telunjuk. "Arsen, bangun!" serunya dengan nada normal, seperti saat Aruna tengah berbicara.

 

Dia bergeming, hanya ada dengkuran halus yang menjadi jawaban untuk si gadis. Mata Aruna terpejam sesaat, memberanikan diri untuk melakukan cara kedua.

 

"Arsen, bangun!" Kali ini Aruna mengguncang tubuhnya. Jangan lupakan nada yang dinaikkan dua oktaf.

 

Tubuhnya bergerak, Aruna sudah antusias. Akan tetapi, laki-laki itu bukan bangun, melainkan pindah posisi tidur. Kali ini, dada Aruna bergemuruh dengan tangan mengepal kuat.

 

"Benar-benar menyusahkan makhluk satu ini."

 

Tanpa pikir panjang, Aruna mengambil guling dan memukul-mukul tubuh Arsen. Oh, ya, jangan lupakan suaranya yang terus menyerukan agar laki-laki itu bangun. Naik lagi jadi tiga oktaf.

 

"Woi! Dasar cewek bar-bar. Lu udah gila, ya? Cari mati!" sentaknya saat dia terpaksa bangun dengan mata mengerjap-ngerjap.

 

Aruna tersenyum miring seraya berkacak pinggang. "Kamu yang gila! Jam segini masih buat pulau, dasar cowok jorok!" seru Aruna membalas.

 

Mata Arsen langsung melek, bahkan memelototi gadis berhijab itu. Namun, itu tak berpengaruh pada Aruna. Dengan cepat, si gadis pergi ke kamar mandi dan mengambil handuk untuknya.

 

"Aku tunggu sampai sepuluh menit. Kalau telat, sarapanmu hangus!" ancam Aruna seraya berlalu meninggalkan Arsen yang terlihat dongkol.

 

Aruna menyeringai, puas. “Ini balasanmu untuk semalam, Arsen. Jika kamu tetap bersikukuh menolakku, maka akan kupastikan ketenangan hidupmu terusik. Aku pandai, 'kan?” gumam Aruna kemudian berlalu.

 

---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status