Share

Bab 2 Sekolah Baru

"Tak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Kadang, apa yang kita rasa baik, belum tentu benar."

~Aruna Ardhani~

***

Suara dentingan alat makan saling beradu, menjadi pemecah kesunyian di antara mereka. Sebenarnya, suasana di ruang makan lebih terasa tegang dibanding canggung. Apalagi laki-laki itu sesekali menatap tajam pada Aruna.

Ah, sudah dipastikan dia menabuh genderang perang. Tentu saja, orang asing seperti Aruna berani bermain kasar dengan membangunkan tidur nyenyaknya. Akan tetapi, semua sudah terjadi. Biarkan saja berjalan semestinya.

Dari ekor mata, terlihat Bu Ningrum mengamati mereka. Posisi duduknya yang ada di antara dua remaja itu seperti penonton gratisan. Sesekali dia terkekeh. Mungkin lucu atau jengah melihat tingkah mereka.

"Ekhm. Sen, jangan melihat Aruna seperti itu. Enggak sopan!" seru Bu Ningrum, memergoki anaknya yang tengah menatap benci pada Aruna.

Arsen hanya menyeringai. Tidak lama kemudian, dia menyudahi sarapan dan bergegas berangkat ke sekolah. Namun, sayangnya laki-laki itu terpaksa kembali duduk.

"Jangan dulu pergi! Duduk!" perintah Bu Ningrum.

Arsen berdecak, dia tetap menurut walau dengan malas. "Ada apa lagi, Ma? Aku bangun terlalu pagi karena cewek bar-bar itu," rutuknya dengan mata yang menatap Aruna tajam.

Bu Ningrum memukul tangan anaknya pelan. Sebagai peringatan atas kata-katanya barusan.

"Jaga itu mulut! Harusnya sedari dulu mama jodohkan kalian, jadi tingkah laku kamu bisa cepat berubah. Lagian, kamu bangun itu sudah agak telat, bukan kepagian," cerocos Bu Ningrum membuatnya cemberut.

Ingin sekali Aruna tertawa lepas mendengar omelan Ibu mertuanya, tapi diurungkan saat mata Arsen kembali mendelik padanya. 

Ish, dasar laki-laki galak!

"Udahan ceramahnya, Ma. Tadi Mama kenapa nyuruh aku duduk?" Arsen sengaja mengalihkan topik pembicaraan, mungkin menghindari omelan Bu Ningrum lebih panjang lagi.

Bu Ningrum berdecak, kesal. Dia lalu mulai memberikan ultimatum yang membuat Aruna dan dirinya semakin terkejut.

"Sen, mulai hari ini Aruna akan sekolah di tempat kamu, Nak."

"Apa?!" Aruna dan Arsen tersentak mendengar ucapan Bu Ningrum.

Ini di luar dugaan. Aruna pikir, pernikahan ini hanya akan berimbas pada kesehariannya di luar sekolah. Akan tetapi, ini semua sungguh membuat gadis itu tak berdaya.

"Enggak! Sekolah dia 'kan masih bisa dijangkau dari sini, Ma. Ngapain pindah segala sih?" protes Arsen dengan muka tegang.

Cih, siapa pula yang sudi satu sekolahan dengan laki-laki enggak punya adab kaya dia.

"Iya, Ma. Biar Aruna sekolah di tempat yang dulu saja," ujar Aruna ikut menentang titah Ibu mertua.

"Enggak bisa, Sayang. Ini perintah Papa. Jadi, kalian akan tetap satu sekolah," papar Bu Ningrum seraya mengusap jilbab putih yang  Aruna kenakan.

Arsen berdecih, dia tampak tak suka dengan gerak-gerik Bu Ningrum yang begitu lembut pada Aruna.

"Ini apa-apaan sih, Ma? Lagian Papa belum pulang, tidak seharusnya ikut campur sampai seperti ini!" Lagi-lagi suami yang enggan diakui itu protes.

"Aku udah setuju dengan menikahi cewek bar-bar itu, tapi kenapa harus satu sekolahan? Nanti apa kata temen-temenku kalau sampai tahu serumah dengan dia!" Kali ini laki-laki itu menunjuk wajah Aruna, benci.

Bu Ningrum melotot pada anaknya. Dia tetap bersikukuh untuk menyekolahkan Aruna di tempat yang sama dengan Arsen.

"Ini sudah final, Sen. Mama dan Papa setuju dengan syarat yang kamu ajukan sebelum pernikahan," ujar Bu Ningrum langsung dibalas dengan helaan napas panjang dari Arsen.

Ya, laki-laki itu setuju menikahi Aruna dengan syarat, identitas si gadis sebagai istrinya harus dirahasiakan sampai waktu yang tidak ditentukan. Bagi Aruna, itu tidak masalah. 

Toh, mereka masih sekolah dan Aruna pun malu mengakui dia sebagai suaminya di depan publik. Bukannya ucapan selamat, malah cemoohan yang didapat dengan berbagai asumsi mereka. Bisa saja mereka mengira Aruna hamil di luar nikah karena pernikahan dini.  

Ah, pusing rasanya kalau membayangkan itu.

"Lagian, kamu itu suaminya. Sudah bertanggungjawab untuk melindungi Aruna. Mama dan Papa hanya bisa membimbing dan mengawasi," lanjut Bu Ningrum.

Arsen hanya diam. Air mukanya benar-benar tak bersahabat. Sudah dipastikan dia menolak keputusan ini. Namun, lagi-lagi mereka tak bisa berbuat banyak.

"Kapan Papa pulang?" tanyanya setelah cukup lama terdiam.

"Besok atau lusa," jawab Bu Ningrum singkat.

Arsen hanya mengangguk, dia lalu bergegas pergi tanpa berucap apa pun.

"Hei, kamu mau ke mana? Arunanya diajak!" seru Bu Ningrum saat Arsen sudah hampir sampai di bibir pintu utama.

"Mama saja yang antar!" Hanya itu yang Arsen ucapkan sebelum hilang di balik pintu.

Rumah megah tanpa sekat antar ruangan kecuali kamar ini, membuat Aruna bisa melihat jelas tubuh Arsen yang pergi dengan kekesalannya. Gadis itu bisa apa? Bahkan untuk menolak saja rasa tak pantas baginya.

***

Arsen berdecak, kesal. Dia mendelik pada Aruna. Gadis itu hanya diam sok imut. 

Ya, aku harus terlihat manis di depan orang baru. Setidaknya di depan guru-guru.

"Nah, Bu Fatma. Ini anak saya juga. Em, maksud saya dia mena--"

"Mama!" potong Haura dan Arsen.

Bu Ningrum langsung menutup mulut, hampir saja dia keceplosan tentang status mereka. Haih, susah kalau jadi ibu-ibu, segala macam susah difilter.

"Ada apa?" tanya Bu Fatma, heran.

Aruna dan Arsen tersenyum kikuk. Sedangkan Bu Ningrum hanya berdehem.

"Enggak ada apa-apa, Bu. Saya cuma mau bilang, Aruna itu termasuk keluarga Arsen juga. Jadi, kalau ada apa-apa hubungi Arsen, ya, Bu." Arsen langsung melotot mendengar pernyataan Bu Ningrum.

Aruna yang masih baru di sini hanya mematung, menjadi pendengar dan pengamat saja. Selebihnya, biarkan saja terjadi sesuai keadaan nanti.

"Oke, Bu. Sesuai kelas yang kosong, Aruna akan ditempatkan di kelas Arsen. Kebetulan ya, Bu?" Bu Ningrum tampak berbinar mendengar ucapan Bu Fatma.

Sebenarnya, usia Aruna 17 tahun kurang 3 bulan. Harusnya masih duduk di kelas XI, tapi Aruna langsung loncat kelas waktu kelas IV. Jadilah, dirinya selalu yang termuda di kelas. 

Sialnya, keberuntungan Aruna menguap karena harus sekelas dengan laki-laki kasar seperti Arsen. Inginnya menolak, tapi apalah daya. Aruna terlalu malu untuk menuntut semua keinginannya.

"Ayo, Nak!" seru Bu Ningrum, seraya menarik tangan Aruna, halus.

Aruna berjalan di belakang Bu Ningrum dan Bu Fatma. Mereka tampak menikmati pembicaraan. Sedangkan Aruna hanya diam mengukuti mereka. Oh, jangan lupakan Arsen yang ada di belakangnya.

"Heh, cewek bar-bar!" serunya pelan. Dia menyamakan langkah kaki dengan si gadis, dan Aruna tak perduli.

"Shit! Gue lagi ngomong sama lu!" serunya lagi, wajahnya tampak kesal.

Tak mau mencari ribut, Aruna pun hanya menoleh dengan mengangkat dagu tanda bertanya.

"Heh, awas ya lu! Jangan bilang ke yang lain kalau lu istri gue. Bisa hilang pamor nanti!" ancamnya masih dengan suara pelan.

Aruna hanya mengedikkan bahu, tak perduli. 

Lagian yang ada namaku bisa tercemar karena harus mengakuinya sebagai suami.

Dia melotot mendapati jawaban yang ambigu dari Aruna.

 โ€˜Lucu juga bisa buat dia kesal,โ€™ batin Aruna bersorak.

Tidak terasa mereka sampai di depan ruangan yang bertuliskan XII IPA 3.

Itu nama kelas yang akan Aruna tempati. Jantungnya berpacu hebat. Antara senang dan canggung, berharap ada kedamaian selama belajar dua semester ke depan.

Bu Ningrum langsung pulang setelah mengantar Aruna sampai depan pintu kelas. Sedikit berlebihan, mengingat si gadis sudah duduk di bangku SMA. Namun, itu semua membuatnya bahagia. Perhatian seorang Ibu telah kembali lagi.

***

"Perkenalan, nama saya Aruna Ardhani. Saya pindahan dari SMA Bakti Luhur. Terima kasih."

Dengan lancar Aruna memperkenalkan diri. Tak ada yang spesial dari ucapannya. Hanya saja, Aruna ingin ini awal yang baik selama dirinya di sana.

"Njirr, itu siapanya elu, Sen?"

"Wadau, cantik! Kayak ada manis-manisnya gitu!"

"Sen, kalau bukan punya elu, buat gue aja."

Beberapa selentingan ucapan siswa membuat Aruna menahan napas. Mereka berkata begitu dengan terang-terangan. Sudah dipastikan wajah gadis itu memanas, tentu juga memerah. Parahnya, Arsen hanya diam dengan menatapnya tajam.

โ€˜Dasar laki-laki galak!โ€™ rutuk Aruna dalam hati.

"Sudah diam-diam! Jangan buat Aruna enggak nyaman. Nah, Aruna silakan duduk di sebelah Hara," titah Bu Fatma.

Aruna mengangguk dan bergegas duduk di bangku ke tiga dari depan. Teman sebangkunya adalah siswi berkacamata dengan rambut hitam sebahu. Kalem dan tatapannya damai.

"Hai, aku Hara." Dia mengulurkan tangan seraya tersenyum, manis.

Aruna membalas uluran tangan Hara dan memperkenalkan diri. Dadanya terasa lega dari himpitan ketakutan. 

Semoga Hara akan menjadi teman baikku di sini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status