"Egomu menutupi mata hati, hingga kau keliru dengan kenyataan. Aku masih di sini, menanti kau berbalik dengan sisa-sisa kepercayaanku."•Aruna Ardhani•ðŸŒºðŸŒºðŸŒºSepoi angin menerpa wajah cantik Aruna yang tampak sendu. Wildan tahu apa yang terjadi. Laki-laki itu mengamati Aruna sedari acara makan dimulai.Waktu baru saja menunjukkan pukul 12.05, tapi hawa sejuk menyelimuti tempat itu. Berbeda sekali dengan di Jakarta. Aruna beberapa kali menarik napas dan mengembuskannya. Dia seolah mencari kelegaan dan ketenangan di sana. Mungkin, melihat pemandangan hamparan hijau di depannya bisa mengurai sesak karena kejadian tadi."Bagaimana, sejuk kan?" tanya Wildan sembari menarik kursi untuk Aruna.Aruna tersenyum kikuk. Bukan karena pertanyaan Wildan, tapi sikap laki-laki itu yang belum perna
"Aku marah. Semua perhatian yang kuharapkan malah tercurah untuk laki-laki lain. Kamu milikku, Aruna. Hanya milikku."•Arsen Ganendra•ðŸŒºðŸŒºðŸŒºArsen mengeratkan genggaman pada punggung kursi. Hati dan pikirannya sudah dipenuhi dengan emosi. Dia tidak terima Aruna berlaku seperti tadi, terlebih di depan teman-temannya.Karisa yang duduk takut pun mencoba mendekati Arsen. Ini kesempatan langka, di mana dia bisa menyaksikan Arsen bertengkar dengan istrinya. Karisa akan gunakan peluang itu untuk menghasut pujaan hatinya."Sayang, tadi itu istrimu, kan?" tanya Karisa, tangannya mengelus pundak Arsen lembut.Arsen tak menjawab, tatapannya tetap tajam ke depan. Kalau dia bersuara, takutnya akan menambah masalah dengan Karisa. Setidaknya, dia masih bisa mengendalikan amarah."Em, aku pikir istrimu perempu
"Apakah kesempurnaan sebuah rasa harus selalu nyata untuk mata? Jika itu benar, maka cinta sejati hanya bualan belaka."~Aruna Ardhani~***"Lu tidur di sofa!" serunya, saat kaki sang gadis melangkah melewatinya.Untuk sesaat, Aruna diam sejenak, memindai datar wajahnya yang tak bersahabat. Dengan cepat, Aruna menggerakkan kepala ke bawah, tanda setuju atas seruan yang gadis itu yakini sebagai sebuah perintah.Dia mendengkus seraya berkacak pinggang, mungkin kesal atau marah mendapati respon Aruna.Aruna berjalan menuju sofa hitam di samping ranjang pengantin mereka. Ya, ranjang yang penuh taburan bunga di atasnya. Tetapi, itu hanya formalitas pelengkap rentetan rencana konyol atas dasar wasiat sang ayah.Di atas kasur, dia mendelik pada Aruna. Seperti ingin ber
"Ada banyak cara orang bertahan hidup. Tapi, hanya sedikit yang siap dengan keadaan terburuk."~Aruna Ardhani~***Suara jam weker menginterupsi Aruna dari alam mimpi. Dari samping, Arsen berdesis lalu samar terlihat tangannya menutup telinga dengan bantal. Masih terdengar umpatan tertahannya."Berisik, matikan jam wekernya!" Suaranya teredam di balik gumpalan bantal.Aruna menghela napas panjang, mencoba untuk bisa bersabar menghadapi laki-laki yang bahkan tak menghargainya. Aruna segera menekan bagian atas jam weker agar berhenti berbunyi.Pukul 03.00 WIB, gadis itu sengaja memasang jam weker di saat sepertiga malam. Bermunajat pada Sang Ilahi, membisikkan doa di bumi. Berharap langit ikut mengamini, hingga ijabah adalah bukti k
"Tak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Kadang, apa yang kita rasa baik, belum tentu benar."~Aruna Ardhani~***Suara dentingan alat makan saling beradu, menjadi pemecah kesunyian di antara mereka. Sebenarnya, suasana di ruang makan lebih terasa tegang dibanding canggung. Apalagi laki-laki itu sesekali menatap tajam pada Aruna.Ah, sudah dipastikan dia menabuh genderang perang. Tentu saja, orang asing seperti Aruna berani bermain kasar dengan membangunkan tidur nyenyaknya. Akan tetapi, semua sudah terjadi. Biarkan saja berjalan semestinya.Dari ekor mata, terlihat Bu Ningrum mengamati mereka. Posisi duduknya yang ada di antara dua remaja itu seperti penonton gratisan. Sesekali dia terkekeh. Mungkin lucu atau jengah melihat tingkah mereka."Ekhm. Sen, jangan melihat Aruna seperti itu. Enggak sopan!" seru Bu Ningru
"Jika kamu berani bermain hati, maka harus siap patah hati. Karena selalu ada dua pilihan untuk satu keputusan. Mati atau bertahan."~Aera~🌺🌺🌺"Hai, nama gue Vando. Temen sengkleknya si Arsen," ucap laki-laki berparas oriental dengan retina coklat, seraya mengulurkan tangan.Belum juga dibalas ulurannya, satu lagi laki-laki menggeser tempat Vando. "Gue Ali. Campuran Arab betawi dengan wajah mirip Aladin," ujar laki-laki dengan kulit hitam dan hidung bangir.Vando yang tidak terima dengan ulah Ali malah memelototinya. Vando dan Ali saling adu pandang, tangan mereka masih sama-sama terulur. Ingin Aruna tertawa, tapi diurungkan saat Arsen kembali menatapnya nyalang."Elah, elu pada caper amat! Dia kagak ada bagus-bagusnya. Ayolah cabut!" seru Arsen, menarik kerah kedua laki-laki itu.
"Tak perlu ada hitam untuk menorehkan penjanjian. Cukup ikrar yang mampu menggetarkan hati. Itulah laki-laki sejati."~Aera~🌺🌺🌺Ketegangan begitu kentara di ruangan yang didominasi warna putih dan abu-abu. Sepertinya bernapas pun harus hati-hati karena mendapat tatapan aneh dari Pak Arya--Papa mertua Aruna. Belum lagi Bu Ningrum yang tersenyum mencurigakan, menjadi pelengkap kegundahan hati."Ayo, Pa! Sekarang saja." Bu Ningrum menepuk tangan suaminya, memberi isyarat entah untuk apa.Pak Arya mengangguk, dia menghela napas panjang. Tangannya merogoh sesuatu dari dalam tas kerja. Mata Aruna membulat sempurna saat Pak Arya memberikan kertas di depannya dan Arsen."Apa ini, Pa?" Pertanyaan sama diajukan Arsen. Alis tebalnya saling bertautan.Pak Arya dan Bu Ningrum malah saling pa
"Aku benci karena kau yang menaburnya. Tapi, iba masih setia hadir di sanubari. Lalu, jika rasa lain tumbuh, siapa yang salah?"~Aruna Ardhani~🌺🌺🌺Matahari masih malu menampakkan cahaya. Bulan sabit yang mulai memudar pun setia menggantung di cakrawala pagi. Jangan lupakan dengan sepoi angin mengusik ketenangan dari sela ventilasi udara.Baru pukul 04.00, tapi Aruna harus berurusan dengan setumpuk pakaian yang Arsen beri. Entah apa tujuannya? Pagi buta menggedor pintu kamar hanya untuk menyuruh Aruna setrika baju."Nah, elu kan udah jadi istri gue. Jadi, noh baju-baju gue setrikain. Hari Senin gini harus rapi, kan?" Arsen berkacak pinggang seraya menunjuk-nunjuk pakaian putih-abu yang akan dikenakan olehnya."Tapi, ini masih terlalu pagi untuk setrika, Sen," rutuk Aruna sembari melirik ja