Share

Bab 4 Hitam di Atas Putih

"Tak perlu ada hitam untuk menorehkan penjanjian. Cukup ikrar yang mampu menggetarkan hati. Itulah laki-laki sejati."

~Aera~

๐ŸŒบ๐ŸŒบ๐ŸŒบ

Ketegangan begitu kentara di ruangan yang didominasi warna putih dan abu-abu. Sepertinya bernapas pun harus hati-hati karena mendapat tatapan aneh dari Pak Arya--Papa mertua Aruna. Belum lagi Bu Ningrum yang tersenyum mencurigakan, menjadi pelengkap kegundahan hati.

"Ayo, Pa! Sekarang saja." Bu Ningrum menepuk tangan suaminya, memberi isyarat entah untuk apa.

Pak Arya mengangguk, dia menghela napas panjang. Tangannya merogoh sesuatu dari dalam tas kerja. Mata Aruna membulat sempurna saat Pak Arya memberikan kertas di depannya dan Arsen.

"Apa ini, Pa?" Pertanyaan sama diajukan Arsen. Alis tebalnya saling bertautan.

Pak Arya dan Bu Ningrum malah saling pandang, mereka seolah berkomunikasi lewat netra. Tingkah mereka malah membuat Aruna semakin gulana. Takut jika hal buruk akan terjadi setelah ini.

"Jadi, Begini, Sen. Em, kalian masih SMA. Butuh beberapa bulan lagi untuk lulus. Mengingat masa depan kalian, jadi kami membuat surat perjanjian untuk kalian. Terutama kamu, Sen," tutur Pak Arya membuka percakapan.

Aruna diam, mencoba mendengarkan semua penuturan mertuanya. Akan tetapi, berbeda dengan Arsen. Dia malah berdecak kesal dan malas mendengarkan.

"Kalau tahu kami belum lulus, kenapa malah dipaksa nikah, Pa?" protes Arsen, menyela.

Bu Ningrum memelototi Arsen, sukses membuat anak itu terdiam. 

Lalu, Pak Arya kembali menjelaskan alasan memberikan surat perjanjian. Demi melindungi Aruna, katanya.

Semua poin-poin disebutkan dengan terperinci. Dari mulai larangan Arsen menyentuh Aruna sebelum genap 18 tahun sampai hal remeh-temeh lainnnya.

"Undang-undang pernikahan sudah berbeda dari tahun-tahun lalu. Maka dari itu, kami sengaja menikahkan kalian tanpa undangan. Yang penting, kalian sudah sah secara agama," ungkap Pak Arya, membuat Aruna paham dengan pernikahan mereka kemarin lusa.

Ya, mereka menikah hanya dihadiri kerabat Aruna dan keluarga Arsen. Karena ayahnya Aruna anak tunggal dan tak ada yang bisa dijadikan wali, maka Aruna menggunakan wali hakim. Tidak ada resepsi atau pesta, cukup ijab kabul dan makan-makan saja.

Aruna tak pernah mempermasalahkan itu. Toh, rumah tangga yang sebenarnya adalah saat hari pernikahan usai. 

"Kalian akan mendaftar pernikahan di KUA kalau sudah berusia cukup. Saat Arsen usai 20 tahun dan kamu 19 tahun, Aruna. Enggak apa-apa, 'kan?" tanya Pak Arya pada menantunya.

Gadis itu tersenyum dan mengangguk. Tak ada yang perlu ditolak dari surat perjanjian itu. Karena, semua memang untuk kebaikan Aruna dan Arsen.

Arsen berdecih melihat Aruna. Dia lalu merubah posisi duduk, berhadapan dengan istrinya.

"Elah, elu mah seneng. Menang banyak, lah gue rugi dong! Masa gue kudu kasih elu jajan. Lah, gue aja belum kerja," cerocosnya tak terima.

Memang benar, ada poin di mana Arsen harus memberi Aruna nafkah berupa uang jajan. 

Aku? Tentu saja bersorak hore. Kalau dia? Peduli amat.

"Itu mulut dijaga. Kenapa manggil Aruna dengan sebutan gue-elu. Enggak sopan, Arsen!" Bu Ningrum menimpali, bertambah senang hati Aruna.

Aruna dan Pak Arya terkekeh. Entah harus senang atau sedih dengan surat perjanjian itu. Untuk saat ini, gadis itu akan melakukan yang terbaik demi kehidupan selanjutnya.

"Ingat, Sen! Jangan menyentuh Aruna sebelum waktunya!" seru Bu Ningrum seraya mengangkat telunjuk.

Arsen membuang napas kasar, dia bangkit dan hendak meninggalkan pembicaraan yang belum usai.

"Mau ke mana?" Bu Ningrum menghentikan langkah Arsen.

"Mandi, Ma," jawab Arsen kembali melangkah.

Bu Ningrum meracau, kesal. Sedangkan Pak Arya malah menertawakan istrinya. Aruna lebih memilih memandangi punggung Arsen yang menjauh. 

Banyak pertanyaan tentangnya, tapi bukan sekarang saat yang tepat untuk Aruna pertanyakan. Jika waktunya tiba, gadis itu akan menagih semua jawaban atas pertanyaannya hari ini. Pasti.

***

Arsen melirik diam-diam, saat Aruna menoleh padanya, dia justru membuang muka. Aruna hanya mengedikkan bahu, tak peduli dengan tingkahnya. Pekerjaan si gadis lebih penting daripada mengamati aksi konyol laki-laki itu.

"Heh, cewek bar-bar. Bisa bicara sebentar?" Dia bangkit dan berjalan ke arah Aruna yang sedang membereskan barang-barang untuk pindah kamar.

Pisah kamar adalah perjanjian tertulis yang Pak Arya buat. Mereka diperbolehkan satu ranjang jika sudah lulus SMA. Sebenarnya, perjanjian itu lebih menguntungkan Aruna dibanding Arsen. Laki-laki itu justru harus bertanggujawab penuh atas istrinya.

"Kita perlu bicara sebelum gue tanda tangani surat perjanjian yang Papa buat," ujarnya sukses membuat Aruna terdiam.

Gadis itu hentikan aktivitas dan berdiri berhadapan dengannya. Surat perjanjian tadi belum sepenuhnya sah karena tidak ada tanda tangan Arsen. Dia malah berlalu di saat pembicaraan masih mengantung.

"Apa yang ingin kamu katakan?" tanya Aruna, akhirnya memberi ruang untuk Arsen.

Dia memberi isyarat agar Aruna mengikutinya untuk duduk di sofa. Dia duduk memberi jarak, dan Aruna pun memang tidak mau berdekatan dengannya. Jadilah mereka saling duduk di ujung sofa.

"Gue akan tanda tangan surat perjanjian dari Papa dengan syarat," ucapnya langsung tanpa basa-basi.

Wajahnya tampak serius, tidak ada sorot ragu dari matanya. Kali ini jantung Aruna berdetak tak menentu. Entah takut atau kaget mendapati ekspresi Arsen, yang pasti Aruna tak tenang.

"Gimana?" tanyanya, seperti tengah bernegosiasi.

"Apa syaratnya?" Gemetar pertanyaan itu dilontarkan. 

Dia menyeringai sembari menaikkan sebelah alis. Itu membuat Aruna semakin meradang, mungkinkah Arsen akan berbuat macam-macam dengan menggunakan alasan surat perjanjian? Entahlah, Aruna berharap itu hanya kekhawatiran saja.

"Karena gue harus kasih lu uang saku dan segala macam tanggung jawab yang tertulis di surat perjanjiaan. Jadi, gue mau lu juga tunaikan tugas sebagai seorang istri, gimana?" 

Susah payah Aruna menelan ludah, berharap mampu membasahi tenggorokan yang kering akibat terdiam dengan mulut sedikit menganga. Firasatnya tidak baik, terlebih wajah Arsen berubah menyebalkan. Seringainya kembali lagi.

"Ma-maksudnya apa?" Kata-kata Aruna seolah tercekat di kerongkongan.

Sialnya, Arsen malah menatapnya aneh. Tanpa diduga dia beringsut mendekati Aruna, semakin dekat dan semakit dekat. Aruna tak bisa beringsut, karena posisinya di pojok sofa.

Saat tinggal satu jengkal mendekat, Aruna segera berdiri. Akan tetapi, tangannya lebih gesit menarik Aruna. Suara pekikkan keluar dari mulut itu, dia memaksa Aruna duduk berhadapan dengannya, hampir tak berjarak.

"A-apa yang sedang kamu lakukan?" cicit Aruna.

Sial! Suaraku malah mirip kucing terjepit. 

Embusan napasnya bisa didengar dengan jelas. Lalu, tiba-tiba suara tawa menggema di ruangan itu. Dia langsung mundur dari hadapan Aruna. 

"Hahaha, lucu liat muka lu!" serunya di sela tawa.

Pipi Aruna terasa terbakar, bahkan sekarang berubah warna. 

Dasar sengklek! Dia mengerjaiku.

"Apaan sih?" Aruna kesal, bergegas bangkit dan menyelesaikan pekerjaannya.

"Eh, cewek bar-bar diam dulu! Gue belum selesai ngomong!" serunya, kembali menarik Aruna untuk duduk.

Gadis itu terpaksa duduk, tidak mau membuat masalah baru. Dia lalu mulai berbicara serius tentang keinginannya terhadap diri Aruna. Dengan jeli, gadis itu mendengarkan. 

Walaupun ada beberapa yang memberatkannya, tapi syarat dari Arsen masih bisa diterima. Kata sepakat mereka ikrarkan, karena yang perlu Aruna lakukan adalah hal-hal lumrah seperti yang dilakukan seorang istri pada umumnya, kecuali masalah ranjang. Itu masih jauh dari angan, tak tersentuh oleh pikirannya saat ini.

"Satu lagi, jangan ikut campur urusan gue. Terutama masalah pribadi. Lu juga bebas melakukan apa saja. Kita masing-masing," ujarnya menutup pembicaraan tentang syarat yang dia ajukan.

Aruna hanya mengangguk, tak ada yang perlu disanggah. Lagipula, untuk saat ini belajar lebih penting dibanding masalah asmara sesaat masa SMA. 

Semoga keputusanku benar untuk menyetujui syarat yang Arsen buat.

โ€˜Siapkan diri lu, Cewek bar-bar!โ€™ seru Arsen dalam hati sembari menyeringai.

***

Bu Ningrum tersenyum dengan mata berbinar. Dia mengusap-usap kertas perjanjian yang baru saja ditandatangani oleh Arsen. Reaksi Ibu mertua Aruna luar biasa.

"Ck, dikira kertas itu barang berharga. Kenapa sampai segitunya sih, Ma?" protes Arsen seraya menyalakan TV.

Bu Ningrum mendelik dan mencibir pada anaknya. Lagi, Aruna dibuat geli melihat tinggah dua orang di depannya

"Sayang, kalau Arsen nakal, jangan sungkan buat marahi dia. Kalau perlu getok aja kepalanya," ucap Bu Ningrum.

Aruna tersenyum, sedangkan Arsen bermuka masam. Sudah dipastikan kesal karena ucapan sang ibu. 

"Sebenarnya yang anak kandung itu aku atau si cewek bar-bar?" gerutu Arsen, matanya malah fokus pada siaran sepak bola yang baru saja dimulai.

Bu Ningrum tiba-tiba menarik telinga Arsen, sukses membuat si empunya mengaduh.

"Ngomong apa tadi? Coba diulang? Mulutmu perlu dimasukkan ke kelas les tatakrama, hah!" Bu Ningrum mengomel dengan kecepatan maksimal.

Arsen hanya mengaduh dan meminta ampun. Aruna? Tentu menikamatinya dengan senang hati. Bukankah balasan itu nyata? Tanpa perlu menyentuh, Arsen sudah menerima akibatnya.

"Ampun, Ma. Sakit! Iya, Arsen akan jaga ucapannya. Ampun." Arsen terus meracau dengan tangan yang memegangi telinga.

Setelah puas memarahi Arsen, Bu Ningrum merebut paksa remot TV. Arsen hendak mengambil kembali, tapi diurungkan saat ibunya memberi peringatan lewat pelototan.

"Sini, Nak! Kita nonton film Lee Min Ho," ajak Bu Ningrum seraya menepuk-nepuk sofa kosong di sebelah kirinya.

Tanpa pikir panjang, Aruna menghampiri Bu Ningrum, melewati Arsen dengan menjulurkan lidah sebagai tanpa ejekan. Wajah Arsen memerah, otot rahangnya mengeras. Jelas marah karena Bu Ningrum malah membela Aruna.

"Awas lu!" ancamnya dan berlalu meninggalkan mereka.

Aruna tak perduli. Selama masih ada Ibu mertua, posisinya aman di sini. Egois? Biarlah, toh syarat yang diajukan Arsen pun terkesan egois. Mereka imbang.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status