"Aku benci karena kau yang menaburnya. Tapi, iba masih setia hadir di sanubari. Lalu, jika rasa lain tumbuh, siapa yang salah?"~Aruna Ardhani~๐บ๐บ๐บMatahari masih malu menampakkan cahaya. Bulan sabit yang mulai memudar pun setia menggantung di cakrawala pagi. Jangan lupakan dengan sepoi angin mengusik ketenangan dari sela ventilasi udara.Baru pukul 04.00, tapi Aruna harus berurusan dengan setumpuk pakaian yang Arsen beri. Entah apa tujuannya? Pagi buta menggedor pintu kamar hanya untuk menyuruh Aruna setrika baju."Nah, elu kan udah jadi istri gue. Jadi, noh baju-baju gue setrikain. Hari Senin gini harus rapi, kan?" Arsen berkacak pinggang seraya menunjuk-nunjuk pakaian putih-abu yang akan dikenakan olehnya."Tapi, ini masih terlalu pagi untuk setrika, Sen," rutuk Aruna sembari melirik ja
"Aku pikir, kau melakukannya karena itu hakmu. Tapi, aku salah. Kau menorehkan luka amat dalam dengan dalih balas dendam. Brengsek!"~Aruna Ardhani~๐น๐น๐นSuara bel tanda satu jam mata pelajaran berakhir. Masih dengan guru Bahasa Indonesia, memberikan pelajaran tentang membuat berita tertulis untuk dijadikan tugas. Bersamaan dengan itu, Arsen masuk.Wajahnya masih merah, hasil dari berjemur di lapangan terbuka. Saat dia masuk dan melewati Aruna, matanya melirik tajam. Berhasil menggetarkan sesuatu di dalam sana.Dia duduk di belakang bangku Aruna dan berbisik pelan. "Awas lu! Tunggu pembalasan gue!" ancamnya dengan suara mendesis.Gadis itu menelan ludah dengan susah payah. Semakin gentar keberanian yang sebelumnya sempat berdiri kokoh di batas hati. Aruna tak menoleh atau membalas
“Kupikir ini benci, ternyata awal dari perasaan yang tersembunyi.”~Arsen Ganendra~๐๐๐Arsen membuka pintu seraya bersenandung. Dia bahkan bersiul saat melewati Mbok Nah yang sedang menyapu ruang keluarga.“Den, sendiri?” tanya Mbok Nah, polos.Arsen menghentikan langkah dengan alis yang terangkat sebelah. “Iya, Mbok. Kenapa? Emang sama siapa lagi?” ujar Arsen dengan enteng.Mbok Nah tersenyum kikuk. Dia enggak ikut campur, tapi kekhawatirannya pada Aruna membuatnya buka suara.“Non Aruna, Den,” ucap Mbok Nah singkat.Seketika wajah Arsen berubah.Lengkungan senyum menghiasi wajahnya. “Oh, cewek bar-bar itu. Mungkin dia lagi pingsan berdiri, Mbok. Arsen naik dulu, ya.&rd
“Kenapa kau mengalah? Berontaklah! Agar rasa ini tak tumbuh semakin mengakar.”~Arsen Ganendra~๐๐๐Malam telah larut, tapi Aruna tak jua memejamkan mata. Pikirannya di penuhi tiga kejadian. Namun, yang paling mengganggu pikiran adalah permintaan Bu Ningrum.“Mama mohon, terus dampingi Arsen. Jika bisa rubah dia, tapi kalau Aruna tak mampu setidaknya jangan tinggalkan dia. Mama tidak mau melihat Arsen lebih buruk dari ini,” pinta Bu Ningrum menutup obrolan di meja makan kala itu.“Ta-tapi, bagaimana jika Kari—““Kamu harus tetap di sampingnya. Harus, Aruna. Hanya itu yang Mama minta. Mama mohon.” Semakin erat genggaman tangan Bu Ningrum pada Aruna.Entah apa yang mendorong Aruna untuk menyetujui permintaan sulit yang
“Harusnya aku memberi batas agar kau tak semena-mena memorak-porandakan perasaan yang tengah kususun dengan susah payah. Nyatanya, aku terlalu lemah untuk memberontak.”~Aruna Ardhani~๐น๐น๐นAruna menunduk dalam saat Arsen terus menatapnya tajam. Jam istirahat masih ada, dan kelas masih kosong. Ini dijadikan kesempatan untuk Arsen berbicara pada Aruna.“Lu kenal dia di mana?” tanya Arsen akhirnya bersuara.Aruna bungkam. Dia bingung harus berkata jujur atau bohong. Pasti akan ada dampak untuk dirinya.“Aruna, jawab!” seru Arsen sembari menggebrak meja.Aruna langsung mendongak, menatap mata Arsen yang masih diliputi emosi.“Di jalan,” jawab Aruna kembali menunduk.Arsen mengernyit bing
โHarusnya kudengarkan kata hati, tapi terlalu egois karena emosi. Aku menyesal.โ ~Aruna Ardhani~ ๐น๐น๐น โPlease, Na. Kali ini aja mau, ya. Gue mau ngomong sesuatu sama elu,โ ujar Ahtar memohon. Seperti biasa, Aruna tengah menunggu ojol dan ditemani oleh Ahtar. Sudah beberapa hari Aruna merasa tak nyaman dengan permintaan Ahtar. Namun, kali ini laki-laki itu begitu memelas, membuat Aruna ragu mengambil keputusan. โEm, emang mau ke mana? Aku enggak bisa lama, soalnya orang rumah udah pada nunggu,โ ucap Aruna beralasan. Ahtar tampak berbinar mendengar ucapan Aruna. Gadis itu memberi lampu kuning untuknya. Dia hanya perlu meyakinkan Aruna agar mau ikut dengannya. โKita cuma makan dan nongkrong di kafe. Enggak lama kok.
“Semakin aku menganalmu, ada kenyamanan yang aku dapatkan. Tetaplah di sini bersamaku, merajut asa hingga ujung usia.”~Arsen Ganendra~๐๐๐Semenjak kejadian itu, Arsen semakin dekat dengan Aruna. Bahkan, Aruna wajib pulang dan berangkat ke sekolah bersama suaminya. Alasannya khawatir jika terjadi hal buruk seperti tempo hari, padahal itu hanya alasan Arsen saja. Perubahan pada diri Arsen semakin jelas terlihat. Laki-laki itu jarang merokok lagi, pakainya juga semakin rapi karena Aruna terus mengomel jika ke sekolah dengan baju yang dikeluarkan.Apalagi masa-masa mengahadapi ujian nasional semakin dekat, Arsen pun lebih menepel lagi pada Aruna. Sesekali mereka belajar bersama dengan Vando, Ali, juga Hara.Kedekatan kedua insan itu membuat tiga orang temannya curiga akan hubungan yang terjalin di antara mereka.Se
“Awalnya, aku dan kamu bukan siapa-siapa. Tetapi, kelembutanmu mampu meluluhkan hati dan mendobrak ego. Saat kenyamanan sudah bersemayam, kala itulah perasaan aneh muncul. Namun, keraguanku menahan ucap.~Arsen Ganendra~***Hari ini adalah hari yang akan menentukan masa depan semua siswa tingkat SMA. Ujian nasional yang menjadi penentu kelulusan atau tidaknya proses belajar mereka selama tiga tahun. Mungkin terdengar tak adil, tapi inilah sistem pendidikan. Nilai menjadi tolak ukur kualitas siswa.Arsen benar-benar malas menghadapi ujian nasional. Namun, tidak ada pilihan lain. Dia harus belajar dan mengerjakan soal-soal itu. Untunglah, dia sempat belajar dengan Aruna. Setidaknya, Arsen punya persiapan untuk mengerjakan soal-soal UN.“Sen, gue jiper,” ucap Ali sesaat sebelum ujian di mulai.&nb